Bab 3 : Sistem yang Terbangun
Kenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka.
"Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.
Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.
“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.
Tiba-tiba, suara mekanis yang tenang terdengar di kepalanya.
[Sistem diaktifkan. Hadiah misi tersedia untuk klaim. Membuka menu...]
Sebuah tampilan transparan muncul di hadapan Kenta, seperti layar yang menggantung di udara. Ia melihat daftar hadiah dengan penjelasan rinci:
[Teknik Penyembuhan Diri (Kelas Normal) : menyembuhkan luka ringan dan memulihkan stamina dalam posisi bermeditasi, Tongkat Sihir Kuno (Kelas Langka) : peninggalan pemimpin desa, hadiah menyelamatkan ahli racun di pinggiran hutan) , Gulungan Kuno Misterius.]Mata Kenta berbinar saat membaca deskripsi hadiah tersebut.
“Teknik penyembuhan ini akan sangat berguna,” gumamnya. Ia memutuskan untuk mencobanya, duduk bersila dengan tangan diletakkan di atas lutut. Dengan memusatkan perhatian pada napasnya, ia merasa aliran energi di tubuhnya mulai mengalir lebih lancar. Denyut di lengannya berkurang, dan tubuhnya terasa segar kembali.
“Tongkat sihir ini juga menarik. Tapi, apa fungsi sebenarnya dari gulungan kuno ini?” Kenta memegang gulungan yang tiba-tiba muncul di tangannya. Sebelum ia sempat mempelajarinya lebih lanjut, suara baru yang berbeda dari sebelumnya terdengar.
[Administrator Sistem telah terhubung.]
Kenta tersentak. Suara itu terdengar lebih manusiawi, namun tetap memiliki nada mekanis. Ia menoleh ke sekeliling, tetapi aula itu kosong.
"Administrator sistem? Apa maksudnya?" tanyanya dalam hati.
"Selamat datang, Tuan Kenta," suara itu melanjutkan. "Saya adalah Maya, administrator sistem yang berada dalam pikiran Anda."
“Maya? Administrator sistem?” Kenta mencoba mencerna apa yang terjadi.
"Saya dirancang untuk memandu Anda dalam perjalanan ini. Dunia ini memiliki aturan dan hierarki tertentu. Anda telah menyelesaikan misi perburuan babi hutan dan menerima hadiah berupa gulungan kuno. Sebagai hadiah tambahan, Anda dapat mengajukan satu pertanyaan kepada saya."
Kenta mengerutkan kening. “Hanya satu pertanyaan?” pikirnya keras. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi ia tahu harus memilih dengan bijak.
“Kalau begitu, jelaskan sistem dunia ini. Aku ingin tahu apa yang sedang kuhadapi,” katanya akhirnya.
Maya menjawab dengan nada tenang, seolah mempertimbangkan bagaimana menyampaikan informasi. "Dunia ini mengikuti hierarki kekuatan tertentu: Normal, Langka, Spesial, Top, Supreme, dan Legendaris. Tingkatan ini berlaku untuk senjata, kemampuan manusia, hingga benda-benda kuno."
Kenta mengernyit. "Jadi, tongkat ini... Tongkat Sihir Kuno, termasuk kelas Langka? Apa yang membuatnya berbeda dari kelas Normal?"
"Tongkat Sihir Kuno mampu memperkuat sihir elemen dasar tanpa pelatihan khusus. Itu salah satu ciri utama kelas Langka," jelas Maya singkat. "Tapi, potensi itu hanya bisa dimanfaatkan sepenuhnya jika pengguna menguasai teknik tertentu."
Kenta merenung. "Jadi, semakin tinggi kelasnya, semakin sulit untuk menguasai kekuatan itu?"
"Betul. Tingkatan yang lebih tinggi tidak hanya soal kekuatan, tetapi juga kompatibilitas dan pemahaman. Bahkan ayah Anda, seorang pemburu yang berbakat, terhenti di tingkat Langka meskipun bertahun-tahun berusaha. Ia kehilangan kesempatan menjadi pemburu tingkat Spesial karena tidak mampu memanfaatkan potensi penuh 'Pisau Bayangan,' senjatanya dahulu."
Kenta menunduk, kenangan tentang ayahnya menyesakkan dada. Tapi ia segera mengalihkan pikiran. "Bukankah Kakek Ha pernah menceritakan bahwa ayahku dibunuh oleh bos organisa bandit gunung? Bisakah kau menceritakan padaku mengenai kekuatannya?"
Maya terdiam sesaat sebelum menjawab. "Ya. Menurut catatan sistem, ketua organisasi bandit tersebut menggunakan senjata magis kelas Spesial, 'Tombak Ular.' Kemampuannya cukup unik: serangan tombak itu meninggalkan luka yang sulit disembuhkan dengan teknik penyembuhan biasa karena racun unik yang ada didalamnya."
Mata Kenta membulat. "Jadi, bahkan Teknik Penyembuhan Diri yang baru saja kupelajari tidak akan berguna?"
"Teknik itu hanya efektif pada luka ringan," balas Maya. "Jika Anda berniat menghadapi mereka, Anda perlu kekuatan lebih besar. Gulungan Kuno yang Anda peroleh mungkin dapat membantu, tetapi hanya jika Anda memahami cara menggunakannya."
Sebelum Kenta sempat bertanya lebih lanjut, suara Hakka menggema dari arah dapur. "Kenta! Kalau kau sudah selesai bermalas-malasan, datang ke sini. Ada yang perlu kita bahas."
Dengan berat hati, Kenta mengabaikan tampilan sistem dan bangkit untuk menemui pamannya. Tapi di dalam benaknya, informasi dari Maya terus bergema. Ia tidak hanya harus melindungi desanya—ia juga harus menemukan cara untuk melampaui keterbatasan yang pernah menahan ayahnya.
Kenta mendengarkan dengan serius. Penjelasan ini menjawab sebagian kebingungannya, tetapi juga memunculkan lebih banyak pertanyaan di benaknya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lagi, suara Hakka terdengar dari arah dapur.
“Kenta! Kalau kau sudah selesai bermalas-malasan, datanglah ke sini. Bantu aku untuk mengurus babi-babi ini,” panggil Hakka dengan nada tegas.
Kenta bangkit dengan enggan, masih memikirkan informasi yang baru saja diterimanya. Ia berjalan menuju dapur, di mana Hakka sedang memotong daging dengan cekatan.
"Aku menemukan sesuatu," kata Kenta dengan hati-hati, mencoba menilai reaksi Hakka.
Hakka menghentikan pekerjaannya, matanya menyipit. "Tambang Besi Hitam? Tunggu, dari mana kau mendapatkannya?"
"Di kamar ayah, aku menemukan peta yang menunjukkan lokasi Tambang Besi Hitam."
“Ehmm, aku pernah mendengar bahwa ayahmu menceritakan beberapa hal terkait tambang ini bocah. Dulu saat Lembah Babi merupakan yang terbaik di Pinggiran Kota Batu, penghasilan utama keluarga adalah produk dari biji besi hitam.”
"Sejujurnya, aku tidak yakin," jawab Kenta. "Tapi aku merasa ini penting, terutama setelah... kematian ayah."
“Tapi, bahkan ayahmu yang memiliki pengalaman bertempur saja, tidak berani mendekatinya selama dua puluh tahun terakhir. Ia mengatakan ada Goblin Raksasa yang menjaganya!”
Kenta mengernyit,” Lalu, apakah tidak ada cara mengalahkannya, Kek?!”
Hakka mengangguk perlahan, ekspresinya berubah serius. "Ada, tapi setidaknya kita harus membawa banyak ahli pertempuran dan strategi yang matang untuk bisa mengalahkannya, tidak ada ruang untuk kesalahan."
Percakapan mereka terhenti oleh suara langkah kaki tergesa-gesa dari luar. Liam, keponakan Hakka, muncul di pintu dengan wajah tegang. Pemuda itu membawa busur besar di punggungnya dan gulungan kecil yang diikat pada anak panah.
“Paman Hakka! Pesan darurat!” serunya sambil menyerahkan gulungan itu. Hakka membuka gulungan dengan cepat, dan wajahnya berubah suram.
“Organisasi bandit gunung...” gumamnya. “Mereka memberikan ultimatum. Sepuluh hari lagi, desa ini harus menyerahkan biji-bijian, emas, dan... budak. Jika tidak, mereka akan membantai semuanya.”
Kenta mengepalkan tangannya. "Sepuluh hari... Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi."
Hakka menatapnya tajam. "Kalau begitu, kita harus bersiap. Dan itu termasuk mempersiapkan menaklukan apa yang ada di Tambang Besi Hitam. Kita akan gunakan apapun yang bisa membantu kita melawan mereka."
Kenta mengangguk, lalu menatap peta itu dengan serius. “Kita adakan sayembara!”
Bersambung…
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.