Bab 2 : Berburu Babi Hutan
Matahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.
“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.
Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi.
"Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.
Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.
Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Hakka memejamkan mata sejenak sebelum melanjutkan, suaranya menjadi lebih lembut namun tetap keras. "Aku hanya ingin kau tahu, dunia ini tidak peduli pada kelembutan. Kalau kau ingin hidup, kau harus belajar. Jangan biarkan ayahmu kecewa melihat anaknya hanya menjadi beban."
Kenta tidak menjawab, hanya menggertakkan gigi sambil bersiap. Setelah sarapan singkat penuh ceramah dari Hakka, mereka berjalan ke utara desa menuju hutan. Perjalanan sunyi, hanya diisi suara langkah kaki mereka dan sesekali keluhan dari Kenta.
“Haruskah kita berjalan sejauh ini hanya untuk berburu?” keluh Kenta, melihat jalan setapak yang seolah tak ada habisnya.
“Berhenti mengeluh! Kau pikir berburu itu duduk-duduk di atas kuda dengan panah emas di tangan?” balas Hakka tajam. “Ayahmu dulu bahkan tak pernah mengeluh, meski aku menyuruhnya memanjat tebing untuk menangkap burung liar.”
Kenta melirik Hakka dengan tatapan ragu. “Ayahku melakukan itu?”
“Ya, dan dia tidak pernah menyebutku cerewet seperti yang kau lakukan!” Hakka menghentikan langkahnya, menatap Kenta dengan sorot tajam. “Kau mungkin anaknya, tapi jangan harap aku akan bersikap lembut hanya karena itu.”
Kenta menelan ludah, menyadari bahwa perjalanan beratnya baru dimulai. Saat mereka sampai di tepi hutan, Kenta tertegun melihat pohon-pohon besar menjulang tinggi, menciptakan kanopi hijau yang hampir menutupi langit. Kabut pagi masih melayang, memberikan suasana misterius.
Hakka berhenti di sebuah lapangan kecil, menatap sekeliling dengan waspada. “Baiklah, kita mulai di sini,” ujarnya, mengeluarkan sebuah tongkat kayu dari dalam jubahnya dan menyerahkannya kepada Kenta.
“Pegang ini!” Hakka melemparkan tongkat itu dengan keras, hampir membuat Kenta terhuyung saat menangkapnya.
“Kau mau aku melakukan apa dengan ini?” tanya Kenta, memandangi tongkat itu dengan ragu.
Dalam hati Kenta dia sedikit menggerutu, “Bukankah dalam komik komik fantasi kharakter utama memiliki senjata hebat semacam pedang atau tombak naga yang keren, kenapa aku memegang kayu lapuk seperti ini?!” ia bergidik heran.
“Belajar bertahan hidup, apa lagi? Dunia ini tidak akan memberimu kesempatan kedua, jadi lebih baik kau memanfaatkan setiap detik,” jawab Hakka dingin.
Hakka mulai memperagakan beberapa gerakan dasar, menunjukkan cara bertahan, menyerang, dan menghindar dengan presisi yang tampak sederhana namun mematikan.
“Ini bukan permainan, bocah. Kalau kau lambat, kau mati. Kalau kau ceroboh, kau juga mati. Jadi, dengarkan baik-baik,” ujarnya sambil memukul tanah dengan tongkatnya.
Kenta mencoba meniru gerakan itu, tetapi tubuhnya terasa kaku dan lamban. Hakka tidak segan-segan mengkritiknya.
“Kau pikir ini parade? Gerakkan tubuhmu lebih cepat!” bentaknya.
“Aku mencoba!” sahut Kenta frustrasi.
“Jangan mencoba, lakukan!”
Latihan mereka terhenti ketika suara gaduh terdengar dari semak-semak. Kenta menoleh, dan matanya melebar melihat seekor babi hutan besar muncul dari balik pepohonan. Tubuhnya kekar, dengan taring panjang yang mengancam.
Hakka tersenyum tipis, seolah sudah menantikan momen ini. “Ah, akhirnya datang juga. Ayo, bocah. Tunjukkan apa yang sudah kau pelajari.”
“Maksudmu… aku harus melawannya?” Kenta menelan ludah, merasa tubuhnya gemetar.
“Tentu saja. Kau pikir aku membawamu ke sini untuk piknik?” balas Hakka sinis. “Kalau kau tidak ingin jadi makan malam babi itu, lebih baik kau bertindak sekarang.”
Babi hutan itu menggeram, melompat maju dengan kecepatan tinggi. Kenta mencoba menghindar seperti yang diajarkan Hakka, tetapi gerakannya terlalu lambat. Taring babi itu menyerempet lengannya, membuatnya terhuyung mundur.
“Lihat itu! Kau seperti penari mabuk!” seru Hakka, matanya tak lepas dari pergerakan Kenta.
“Tolong aku!” Kenta berteriak panik.
“Tidak. Ini pertarunganmu. Kalau kau gagal, aku hanya akan mengurus jenazahmu,” jawab Hakka dengan nada dingin.
Babi hutan itu menyerbu, dan Kenta hanya sempat mengangkat tongkat kayunya. Tubuh babi yang besar menghantamnya dengan keras. Tongkat itu terpental dari tangannya, dan Kenta terhempas ke tanah, dadanya terasa seperti dihantam palu godam.
“Cepat berdiri, bocah!” suara Hakka menggema, penuh tekanan. “Kalau kau hanya berguling seperti itu, babi itu akan mencabikmu.”
Kenta menggeliat, mencoba berdiri. Pandangan babi mendekat, harapan hampir hancur. Namun, sesuatu muncul di pikirannya—pelajaran gerakan dari Hakka.
“Aku harus fokus,” pikir Kenta, dengan kelelahan yang memuncak kenta mencoba memutar otak, dan mencoba strategi baru.
Ia memindahkan tongkat kayunya ke tangan kiri dan bergerak ke kanan. Kali ini, dia menghindari taring babi dengan lebih cepat, memanfaatkan pengalaman gerakan yang diajarkan Hakka sebelumnya. Melihat kesempatan, Kenta mengangkat tongkatnya lebih tinggi. Dengan gerakan cepat, ia memutar tongkat ke arah kepala babi, memukul babi itu hingga terhuyung. Meski berhasil menyerang, pukulan itu tak begitu berarti bagi babi hutan dengan kulitnya yang tebal dan keras. Babi hutan itu kembali mendekat, matanya yang merah menyala seolah hanya mengenali Kenta sebagai musuh.
Hakka menghela napas, ia akhirnya bertindak melihat tuan mudanya tidak bisa bangkit lagi dan nyawanya terancam. “Kau benar-benar payah.”
Dia melangkah maju. Dengan gerakan yang sangat terkontrol, Hakka mengetuk tanah dengan ujung tongkat kayunya. Seketika itu pula, sesuatu yang luar biasa terjadi. Lingkaran cahaya muncul di bawah kaki Hakka, selebar setengah batu belah. Cahaya itu tidak seperti sihir dalam dongeng. Ini mekanis, seperti pola rumit yang dirancang dengan presisi. Lingkaran itu dipenuhi simbol geometris yang bersinar biru cerah, berdenyut perlahan seperti mesin yang baru diaktifkan.
Dari tengah lingkaran, sebuah nyala api kecil menyembur, tidak lebih besar dari bara di ujung korek api. Namun, dalam sekejap, api itu tumbuh menjadi cahaya merah yang intens, seperti plasma yang terkompresi. Hakka mengangkat tangannya, seolah memberi perintah pada api itu. Cahaya dari lingkaran di tanah berdenyut lebih cepat, dan suara lembut seperti getaran elektronik terdengar, membuat jantung Kenta berdebar lebih kencang.
“Perhatikan, bocah,” ujar Hakka tanpa menoleh.
Tiba-tiba, api itu melesat. Tidak ada ledakan besar atau loncatan liar. Api itu terbang dengan kecepatan cahaya, membentuk garis merah menyala di udara, seperti lampu sorot yang menjangkau hingga ke tubuh babi hutan. Ketika mengenai targetnya, tidak ada waktu untuk menghindar.
Boom!
Babi hutan itu terlempar ke belakang, tubuhnya melayang beberapa meter sebelum jatuh menghantam tanah dengan suara yang berat. Asap mengepul dari luka bakar besar di dadanya. Meskipun terluka parah, babi itu masih bergerak, tubuhnya bergoyang, berusaha untuk kembali berdiri. Kenta berdiri terpaku. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Itu bukan sihir seperti dalam dongeng, melainkan sesuatu yang jauh lebih modern dan menakutkan.
“Apa... apa itu tadi?” tanya Kenta dengan suara parau, masih memandangi lingkaran sihir di tanah yang perlahan memudar.
Kenta, yang menyaksikan itu semua, merasa seolah dunia terhenti. Lingkaran mekanis itu, ledakan cahaya, api yang dikendalikan dengan sempurna—itu lebih dari sekadar sihir. Itu teknologi, kekuatan yang terasa hampir tak terjangkau. Namun, saat dia menatap api yang perlahan memudar, sesuatu terjadi dalam dirinya. Sebuah suara samar, mekanis dan akrab, bergema di kepalanya.
“Penyalinan skill di proses. Mantra Api diaktifkan.”
Mata Kenta melebar. Dia memandang lingkaran sihir Hakka, lalu ke tangannya sendiri. Sebuah perasaan hangat menjalari tubuhnya, seolah ada sesuatu yang menyatu dengan dirinya. Tanpa sadar, Kenta memejamkan mata. Ketika dia membukanya kembali, lingkaran sihir yang hampir identik muncul di bawah kakinya. Denyutannya lebih lemah, tetapi pola geometris itu sama simetris dan sempurna.
“Apa?” gumam Hakka dengan alis terangkat. “Bagaimana bisa...?”
Namun, Kenta tidak mendengar kata-katanya. Di dalam dirinya, dia tahu apa yang harus dilakukan. Lingkaran sihirnya mulai bersinar merah, menyulut api kecil di atas telapak tangannya. Babi hutan itu bangkit dengan suara geraman yang dalam, meskipun tubuhnya bergoyang akibat luka bakar. Kali ini, ia menargetkan Hakka.
“Tidak!” seru Kenta.
Dia mengangkat tangannya, merasakan energi mengalir seperti arus listrik. Tanpa berpikir panjang, dia melemparkan api itu ke arah babi hutan. Api itu melesat liar, seperti kilatan merah yang berpendar terang, menghantam babi tepat di sisi tubuhnya.
Boom!
Hantaman itu membuat babi hutan terkapar. Tubuhnya tidak lagi bergerak. Lingkaran di bawah kaki Kenta memudar, tetapi rasa panas di dadanya masih terasa. Dia jatuh ke lutut, terengah-engah. Pandangannya bertemu dengan Hakka, yang menatapnya penuh kebingungan dan amarah.
"Aku... aku baru saja melakukan sesuatu yang bahkan tidak pernah kubayangkan. Bagaimana aku bisa mengendalikan api itu? Bukankah hanya Hakka yang memiliki kekuatan seperti itu? Apa ini... kemampuan yang diwarisi dari ayahku?"
Perasaan kagum dan panik saling beradu. Tubuhnya masih bergetar, tangannya masih terasa panas akibat lingkaran yang hampir menyatu dengannya.
“Bagaimana kau,” ujar Hakka, suaranya lebih tajam dari sebelumnya.
“Aku tidak tahu,” jawab Kenta, suaranya gemetar. “Itu... hanya terjadi.”
Hakka memandangi Kenta dengan tatapan penuh teka-teki. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia menghela napas panjang.
“Kau benar-benar bocah aneh,” gumamnya. “Kita akan membahas ini nanti. Sekarang, bangun. Kalau kau terlalu lama merenung, kau mungkin akan kehilangan kesempatan untuk hidup lebih lama.”
Dengan tubuh yang masih gemetar, Kenta berdiri.
“Misi kelas normal terselesaikan, hadiah dikirimkan ke dalam kotak penyimpanan.”
Bersambung…
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.
BAB 5. Penaklukan Goa HitamMalam itu, udara malam itu terasa begitu pekat. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Kenta telah berkumpul dalam radius 50 meter dari dekat mulut Gua Hitam, bersembunyi di balik formasi batu besar yang setengah terkikis waktu. Dari tempat mereka, cahaya bulan yang suram hanya cukup untuk menyoroti siluet besar goblin raksasa yang mondar-mandir di depan pintu masuk goa. Di belakang goblin, goa itu tampak seperti rahang raksasa, gelap, dan penuh rahasia mengerikan.Kenta melirik peta tambang yang dipenuhi tanda posisi peledak, jalur mundur, dan rencana cadangan. Sekitar mereka, bebatuan dan pecahan pohon berserakan, seolah menjadi bukti pertempuran yang pernah terjadi di sini. “Kita tidak bisa membiarkan goblin itu keluar. Kalau dia menyerang desa, kita semua selesai,” katanya pelan namun tegas.Di depan mereka, goblin raksasa itu berdiri, tubuhnya setinggi tiga meter dengan kulit bersisik seperti batu bara. Matanya kuning menyala, bergerak liar, mencari sesuatu
BAB 4 : SayembaraKenta mengangguk dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya berdegup keras. Dia menatap peta di tangannya dengan serius, seolah-olah peta itu adalah kunci terakhir untuk menyelamatkan desa. “Kita adakan sayembara,” katanya, suaranya tegas. “Kita kumpulkan orang-orang yang memiliki kemampuan dari desa ini.”Hakka, yang berdiri di sisinya, memandangnya dengan tatapan tajam sebelum tersenyum tipis. “Rencanamu lumayan juga bocah, tapi biar bagaimanapun dirimu harus waspada, Bocah. Desa ini sedang di ambang kehancuran. Orang-orangnya tidak mudah percaya. Luka mereka dalam, seperti jurang yang sulit dijembatani.”Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan menuju pusat desa, di mana sebuah batu besar yang biasa digunakan untuk pengumuman penting berdiri megah di tengah alun-alun. Setiap langkah terasa berat bagi Kenta, karena dia tahu tanggung jawab yang menanti. Ketika mereka tiba, sebuah kerumunan kecil telah berkumpul. Wajah-wajah kusam itu mencerminkan kelelahan, kemarahan y
Bab 3 : Sistem yang TerbangunKenta mengatur napasnya dalam-dalam, mencoba mengatasi kelelahan yang masih terasa setelah pertarungan sengit melawan babi hutan. Tubuhnya yang lelah bersandar pada salah satu pilar aula keluarga, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Hakka yang sedang memeriksa tumpukan daging babi hasil buruan mereka."Atur napasmu, dan coba evaluasi apa yang kau pelajari di hutan tadi," kata Hakka tanpa menoleh. Nada suaranya tegas namun tidak setajam biasanya. "Aku akan ke dapur untuk menyerahkan daging ini kepada tukang masak. Kalau kita beruntung, malam ini kita makan sup daging babi." Ia mengangkat bungkusan daging dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Kenta.Kenta hanya mengangguk pelan. Setelah Hakka keluar dari aula, ia duduk bersila, mencoba menenangkan pikirannya. Di saat itulah, sesuatu yang penting terlintas di benaknya.“Bukankah aku mendapatkan hadiah dari misi sebelumnya?” gumamnya. Ia memejamkan mata, mencoba memusatkan perhatian.Tiba-tib
Bab 2 : Berburu Babi HutanMatahari pagi baru saja muncul di langit timur ketika Kenta terbangun oleh suara keras yang memekakkan telinga.“Bangun, bocah! Kalau kau terus tidur seperti ini, kita takkan pernah memulai!” seru Hakka sambil mengetuk pintu kamar Kenta dengan tongkat kayunya.Kenta membuka matanya dengan berat, kepalanya masih terasa pening. Malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, terutama interaksinya dengan Hakka. Namun, suara kasar pria tua itu adalah bukti nyata bahwa dia tak bermimpi."Baik, baik! Aku bangun!" balas Kenta, mencoba bangkit dari tempat tidur dengan malas.Namun, Hakka sudah membuka pintu tanpa menunggu izin. “Lihat dirimu, seperti pangeran manja yang tersesat di pondok petani! Cepat siap-siap. Kita akan pergi ke hutan sebelum matahari terlalu tinggi,” perintahnya sambil melipat tangan, ekspresinya penuh ketidaksabaran.Kenta mendesah panjang, menyadari bahwa tidak ada gunanya membantah. “Kenapa kau begitu bersemangat membawaku ke hutan?” gumamnya, l
Bab 1: Kebangkitan di Lembah BabiGang sempit itu pengap, dipenuhi aroma keringat, asap rokok, dan lumpur basah. Lampu jalan redup berkedip lemas, menciptakan bayangan samar di malam yang pekat. Kenta terjatuh, tubuhnya penuh lebam dan luka. Napasnya tersengal-sengal, sementara dunia di sekelilingnya berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.Beberapa pria berdiri mengepungnya, tatapan mereka tajam penuh kebencian, seperti pemburu yang menemukan mangsa tak berdaya. Tawa dingin mereka menggema di malam kelam, menusuk hati. Salah satu dari mereka maju, tendangannya menghantam kepala Kenta dengan brutal. Darah hangat mengalir dari bibirnya yang pecah.“Uangnya mana? Beri sekarang, atau kau mati di sini!” suara pria itu pendek dan menusuk.Kenta mencoba menegakkan kepala, tapi pandangannya kabur. Tubuhnya gemetar, seperti lentera kecil yang nyaris padam. "Maaf... aku tidak punya apa-apa lagi," suaranya serak, hampir tenggelam dalam tawa para pria itu. "Tolong... jangan bunuh aku.