Nyai, apakah di sini ada Sinshe atau tabib dari China yang buka praktek pengobatan?"tanya Rangga.Nyai Yasa menggeleng"Tidak ada, mereka hanya buka praktek di kota,"jawab Nyai Yasa.Rangga menghela nafas berat, desa Dadapan adalah desa terpencil yang dikelilingi hutan. Sepertinya tidak ada harapan untuk memperoleh bahan obat terbaik. Dia harus bisa mencari bahan alternatif yang ada di desa itu. "Suami Nyai daya tahan tubuhnya sangat lemah sehingga penyakit ini dengan mudah menjangkitinya. Saya rasa dia juga ada penyakit lain sehingga makin memperparah sakitnya. Ginseng itu dapat meningkatkan daya tahan tubuhnya, setidaknya beliau bisa segera sembuh termasuk penyakit-penyakit lain yang sudah lama dideritanya,"ujar Rangga.Nyai Yasa hanya termangu mendengar penjelasan Rangga, dia lalu berkata"Aku tidak berani meminta pada keluarga Prawara. Aku takut anggota keluargaku bakal dijadikan tumbal. Mereka keluarga yang aneh, jarang bergaul dengan masyarakat di desa ini."Rangga terdiam me
"Kamu harus bisa menyembuhkan penyakit kami sekeluarga,"ujar Prawara. Rangga terkejut lalu buru-buru menukas "Kalau penyakit itu menurut saya adalah penyakit keturunan. Mohon maaf, kalau penyakit keturunan saya tidak bisa,"tukas Rangga. Prawara tampak tidak suka dengan alasan Rangga. "Ini bukan penyakit keturunan, aku tidak mau tahu pokoknya penyakit di keluargaku ini harus sembuh! Kamu mau orang-orang desa itu sembuh tidak?" Rangga sejenak tertegun, ucapan Prawara seolah bagai ancaman bagi penduduk desa. Sedangkan penyakit itu ada karena praktek pesugihan yang mereka lakukan. "Baiklah saya bersedia mengobati anda sekeluarga. Tapi saya harus mengobati penduduk desa terlebih dahulu baru keluarga anda." Prawara tampak gembira mendengarnya. "Baiklah, mari ke gudang, di sana ada banyak bahan obat yang kamu perlukan. Ambil saja semaumu." Prawara dan Rangga ke gudang penyimpanan obat. Saat memasuki tempat itu, aroma herbal langsung menyergap.hidung. Saat memasuki ruangan, Rangga
"Ya memang seperti itu resikonya. Tapi di sini aku akan mendapatkan keuntungan, jika pasukanku berhasil menghancurkan Sadeng, pasti Gusti Ratu akan menganugerahkan kenaikan pangkat bahkan menjadikanku sebagai Mahapatih Majapahit menggantikan Mpu Krewes,"ujar Ra Kembar dengan yakin.Wajah Ra Kembar merah menahan kemarahan, nafasnya sudah terengah-engah. Persaingan Ra Kembar dengan Gajah Mada dalam memperebutkan jabatan Mahapatih Majapahit sudah menjadi rahasia umum. Ra Kembar yang merasa senior, mengabdi sejak Prabu Wijaya berkuasa tak rela jika harus menjadi bawahan Gajah Mada yang jauh lebih muda.Melihat Ra Kembar yang dalan keadaan marah, Hasta belum berani berkomentar. Setelah berhasil menenangkan dirinya Ra Kembar melanjutkan perkataannya."Aku ini sudah mengabdi semenjak Prabu Wijaya berkuasa. Aku juga ikut serta berperang melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol, memadamkan pemberontakan Ranggalawe ,Nambi dan Ra Kuti. Masa bertahun aku terus menerus berada bersama para prajurit y
Hasta bersama rombongan telik sandi dan tak lupa dua sahabat sekaligus abdi setianya Gembong dan Tunggul yang senantiasa bersamanya menyusuri jalanan di perbatasan wilayah Lamajang Tigang Juru dan Majapahit. Setelah beberapa saat berjalan tibalah mereka di benteng Renon yang dibangun semasa Aria Wiraraja berkuasa sebagai penguasa Lamajang Tigang Juru. Dari kejauhan benteng itu terlihat sepi, tidak ada prajurit bersenjata lengkap yang berjaga di atas tembok benteng. "Aneh, benteng itu kelihatannya kosong, aku tidak melihat satupun prajurit di atas sana,"ujar Tunggul.Hasta ikut memperhatikan benteng itu dengan seksama, benar kata Tunggul, benteng itu terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalamnya. Tapi sesuai prosedur perang, dia tidak boleh hanya mempercayai dari apa yang dilihatnya saja."Memang sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tapi sesuai prosedur perang, kita harus tetap waspada,"Hasta berkomentar.Hasta menoleh pada Tunggul"Tunggul, kamu dan
Melihat sosok itu, Hasta langsung berlutut menyembah"Gusti Mahesasura yang maha sakti, hamba ingin minta bantuan anda. Turunkanlah wabah penyakit di desa Taladwaja ini."Mahesasura dengan suaranya yang berat dan besar bertanya"Untuk apa kamu memintaku menurunkan wabah penyakit pada orang-orang itu?""Orang-orang itu adalah musuh Majapahit yang harus hamba perangi. Hamba ingin memperoleh kemenangan dengan mudah. Jika hamba berhasil memperoleh kemenangan, hamba akan mendapatkan kenaikan jabatan.""Ha ha ha ha itu soal mudah bagiku. Tapi itu ada syaratnya,"ujar Mahesasura."Apa itu syaratnya?""Beri aku tumbal seorang gadis muda yang cantik untukku!"Hasta tersenyum jahat lalu berkata"Tentu saja hamba akan segera memenuhinya."Asap tebal kembali muncul, sosok Mahesasura makin lama makin tenggelam dalam asap. Ketika asap mulai menipis, Mahesasura sudah lenyap dari pandangan.******Saat Hasta keluar dari komplek pasetran, hari sudah subuh. Buru-buru Hasta berkemas lalu kembali ke desa.
Usai bercinta, Siwi segera mengemasi pakaiannya. Wajahnya masih tanpa ekspresi dengan tatapan mata yang kosong. Setelah berpakaian, Siwi meninggalkan Hasta."Siwi...mau kemana?"Siwi tak menjawab, dia pergi tanpa berkata-kata atau menoleh ke belakang. Hasta merasa aneh dengan sikap Siwi. Dia duduk termangu memikirkan peristiwa tadi.Siwi, mengapa dia bersikap aneh? Seorang gadis baik-baik bersedia tidur denganku tanpa harus kuajak atau kubujuk? Hmm... pasti ada sesuatu atau jangan-jangan, dia di bawah pengaruh Mahesasura?pikir Hasta.Ketika pagi menjelang, Siwi seperti biasa membagikan makanan pada para pengungsi. Kali ini Hasta menyapanya "Siwi...kamu baik-baik saja?"Siwi tampak heran dengan pertanyaan Hasta. Namun sikapnya pada Hasta masih tetap sama seperti kemarin-kemarin, tak ada yang berubah."Iya Kangmas Hasta, saya baik-baik saja, memangnya kenapa?""Oh, nggak...nggak apa-apa,"Hasta menggeleng lalu menerima semangkuk bubur dari Siwi.Siwi tersenyum kemudian berlalu. Hasta ha
Ki Yasa Lurah Desa Dadapan sudah mulai membaik keadaannya. Sekarang dia sudah dapat beraktivitas seperti biasa. Para warga desa yang mengidap penyakit Cacar, sudah diungsikan di Bale Desa agar tidak menulari warga lainnya yang masih sehat. Sore itu di pendopo rumah Ki Yasa, Rangga bersama Ki Yasa dan Nyai Yasa sedang menikmati kudapan sore. Ada kue Wajik, Nagasari dan Jadah Blondo yang ditemani secawan Wedhang Uwuh. "Terimakasih Rangga, kamu telah menyembuhkan penyakitku dan penduduk desa Dadapan. Kami tidak mau wabah ini kembali berulang di desa kami,"ujar Ki Yasa. "Anda tidak perlu kuatir, jika sudah pernah terkena penyakit cacar, selanjutnya dia tidak akan terkena penyakit itu lagi karena tubuhnya sudah kebal terhadap kuman cacar,"jelas Rangga. Ki Yasa tampak gemɓira "Kalau begitu berarti aku tidak akan sakit seperti ini lagi?"tanya Ki Yasa. "Tidak Ki Yasa, tapi anda juga harus tahu bahwa wabah penyakit itu tidak hanya penyakit cacar saja. Ada wabah Lepra, Diare, Malari
Rangga tertegun, dia berusaha menenangkan gemuruh emosi di dalam dirinya. Lalu diapun berkata "Bapakku bernama Dipo, ibuku bernama Ayu Dewi. Aku berasal dari desa Pandakan." Awehpati menatap wajah Rangga dengan pandangan menyelidik lalu bertanya dengan nada tajam. "Hmm...desa Pandakan ya. Apa kamu tahu Gajah Pagon dan Macan Kuping?" Wajah Rangga tampak terkejut "Tentu saja saja aku tahu, Eyang Gajah Pagon adalah Kakekku sedangkan Eyang Macan Kuping Kakek Buyutku. Bagaimana Ki Sanak bisa tahu nama mereka? Apa Ki Sanak mengenal mereka?" Kali ini Awehpati yang tampak terkejut, matanya tampak berkaca-kaca. Telunjuk Awehpati menunjuk Rangga lalu berkata dengan suara gemetar. "Jadi...kamulah anak itu...kamulah Rangga anak Ra Tanca! Tidak salah lagi, anak Ra Tanca punya tanda merah di bahunya sama seperti kamu dan nama kalian juga sama Rangga." Rangga bagaikan disambar petir di siang bolong. Dia masih tak percaya jika ternyata dirinya adalah anak Ra Tanca seorang pengkhianat
"Terimakasih,"Rangga mengembalikan bumbung bambu itu pada Retno.Retno diam-diam mengamati Rangga yang saat itu keadaannya tampak kumal dan kotor. Kumis dan jenggot tumbuh tak beraturan di wajahnya. Kukit tubuhnya tampak menghitam karena daki dan keringat yang menyebarkan bau asem."Siapa namamu?"tanya Retno."Aku Rangga,"Rangga menjawab sambil mengunyah umbi Garut. Perutnya sekarang sudah lebih enak, asam lambungnya sudah diredam oleh umbi Garut yang bisa mengurangi produksi asam lambung."Ikutlah ke rumahku, nanti kamu bisa mandi dan berganti baju.""Nggak usah repot-repot, aku harus segera pulang ke kampungku. Bunga Ungu ini harus segera kuberikan pada ibuku untuk obat.""Di mana kampungmu?"tanya Retno."Aku tinggal di Lembah Hantu, kampungku jauh dari sini.""Sebentar lagi hari gelap dan kabut akan turun. Kamu akan kesulitan mencari jalan pulang. Bisa-bisa kamu akan tersesat di kampung gaib,"tutur Retno.Rangga berhenti mengunyah sekarang dia bisa merasakan tubuhnya begitu lelah
Saat itu hari sudah menjelang pagi. Matahari mulai menampakan diri di ufuk timurDimana aku sekarang? Kenapa Pasar itu tiba-tiba lenyap dan kenapa matahari sudah terbit padahal tadi sepertinya hari masih malam?pikir Rangga.Saat itu Rangga merasa tubuhnya begitu lemah, kepalanya masih sedikit pusing. Rangga berjalan sempoyongan lalu duduk di tanah. Dia mengamati bunga Ungu di tangannya sambil bergumam"Untuk mendapatkan bunga ini aku harus memasuki gerbang gaib beberapa kali. Semoga Mbah Janti dapat sembuh setelah makan bunga ini."Rangga membuka ikat kepalanya, lalu dengan hati-hati membungkus bunga itu lalu menggembolnya di dadanya.Saat sedang beristirahat tiba-tiba Rangga teringat Awehpati. Orang tua itu sedari tadi belum juga dilihatnya dilihatnya di sekitar tempat itu."Waduh, Awehpati, dimana dia?"Rangga berdiri lalu celingukan mencari sosok Awehpati di tempat itu. Tapi sejauh mata memandang, tidak ada satu orangpun di tempat itu. Rangga sendirian si padang batu itu, dia berte
Kakek itu tersenyum menatap Rangga lalu berkata "Akhirnya sampai juga kamu kesini." Rangga tiba-tiba teringat sesuatu. Kakek itu adalah kakek yang memberinya obat untuk Mbah Janti dalam mimpinya. "Mbah, akhirnya kita bisa berjumpa di sini. Siapa kakek sebenarnya?" "Ah, aku ini bukan siapa-siapa, panggil saja aku Mbah Jalak." "Bunga Ungu itu apa bisa saya ambil sekarang?"tanya Rangga. Mbah Jalak tersenyum lalu berkata "Sabar dulu Ngger, bunga itu tidak ada di sini. Besok kita ke pasar mencari bunga itu. Sekarang kamu istirahat dulu." Di rumah itu Rangga dan Awehpati makan minum dan beristirahat. Rangga dan Awehpati yang sudah kelelahan akhirnya tertidur pulas. Entah berapa lama mereka tertidur. Tiba-tiba saja kakek itu sudah membangunkan mereka "Bangun Ngger, kita ke pasar sekarang." Rangga masih setengah mengantuk, dengan malas-malasan dia bangun lalu bertanya "Mbah, bukannya pasarnya masih buka besok malam?"tanya Rangga. Kakek itu tertawa melihat Rangga kebingu
Para manusia babi itu terkejut saat melihat kehadiran wanita itu. Namun salah satu dari mereka berkata"Kami berada jauh di luar gapura batu kalian. Tempat ini daerah bebas, kamu tidak usah ikut campur!"Wanita itu mendengus marah"Huuuh dasar babi guling mabok, mata kalian sudah picak semua ya. Coba teliti lagi dimana batas wilayah kalian?!"bentak perempuan itu.Salah satu dari manusia babi berjalan melihat dan meneliti lingkungan di sekitarnya. Di satu titik dia berhenti, matanya menatap ke satu obyek di depannya. Tiba-tiba wajahnya berubah pucat lalu berlari menghampiri teman-temannya."Celaka, dia benar! Kita sudah terlalu jauh masuk ke wilayah mereka!"ujarnya dengan panik.Salah satu temannya ada yang meragukan keterangannya. "Yang benar saja, gapuranya kan yang itu!"tangannya menunjuk gapura dari dua batu yang berjajar."Batasnya bukan gapura tapi tugu batu yang itu!"tangannya menunjuk tugu batu yang terletak jauh di depan mereka. Sontak gerombolan manusia babi itu terdiam, na
Rangga menoleh ke arah suara itu, ketika melihat siapa yang memanggilnya Rangga terkejut, ternyata beberapa manusia berkepala babi telah mengejarnya. "Sial, mereka berhasil menyusul kita!"maki Rangga. Rangga dan Awehpati mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar mereka dapat bergerak lebih cepat. Namun ternyata para manusia babi itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tak kalah hebat. Dalam sekejap mereka mampu menjaga jarak dalam jangkauan pandangan mereka. Sehingga sulit bagi Rangga maupun Awehpati untuk menghindar. Bahkan lama kelamaan jarak mereka sudah semakin dekat. Mereka terus bergerak cepat hingga tibalah mereka di sebuah padang savana. Sebuah lahan terbuka ditumbuhi rumput dan semak-semak. Di beberapa tempat ada bebatuan berserakan di tanah. Para manusia berkepala babi semakin dekat hingga salah satu dari mereka melompat jauh, melayang di atas kepala Rangga, lalu mendarat di depan Rangga dan Awehpati menghalangi jalan mereka. Langkah Rangga terhenti, manusia be
"Lalu bagaimana nasib teman-temannya yang lain?"tanya seseorang."Mereka sama-sama terbakar tapi masih bisa selamat,"seseorang menjawab.Terdengar suara ramai warga kampung yang menanggapi berita itu. Lalu seseorang berkata"Sebaiknya kita urus jenazah Randu dulu sajaTak lama kemudian Jiwan muncul di depan pintu kamar mereka berpamitan."Ki Sanak, saya tinggal pergi dulu ya. Ada warga yang meninggal, saya mau mengurus jenazahnya dulu.""Silahkan saja Ki Sanak,"jawab Awehpati.Jiwan keluar rumah menyusul rombongan teman-temannya. Setelah itu suasana kembali sepi. Saat itu juga perasaan Rangga mulai tak enak. Dia menjawil Awehpati yang duduk di dekatnya."Ki Sanak, perasaanku kok tidak enak ya?""Iya, aku juga kita pergi saja dari sini,"jawab Awehpati."Kita pergi sekarang,"Rangga langsung bangun mengemasi barang-barangnya.Usai berkemas Rangga berkata lagi"Kita pamitan dulu dengan Nyai Jiwan, tapi kalau orangnya sudah tidur kita langsung pergi saja."Berdua mereka mencari Nyai Jiwan
Rangga dan Awehpati berhenti melangkah lalu menoleh. Seorang kakek tua berjalan menghampiri mereka. Warga yang sedang berbincang di pendopo rumah berhenti berbincang memperhatikan mereka. "Ki Sanak, hari sudah malam,apalagi kalian datang dari jauh pasti kalian sudah lelah. Silahkan menginap di rumah saya ,"orang tua itu menawarkan jasanya. Rangga dan Awehpati berpandangan. "Gimana, kita jadi nginep di sini?"tanya Rangga. Sekilas Rangga melihat keraguan dalam mata Awehpati, namun teman seperjalanannya itu hanya mengangguk setuju. "Kalau anda tidak keberatan, kami mau menginap semalam saja di sini,"kata Rangga. Orang tua itu tertawa menepuk bahu Rangga. "Tidak saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa menolong orang dari jauh. Siapa nama Ki Sanak sekalian?" "Saya Rangga dan dia teman saya Ki Awehpati." "Saya Jiwan, mari silahkan masuk,"Jiwan mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya. Rumah Jiwan rumah gubuk sederhana berlantai tanah. Rangga dan Awehpati samar-s
Rangga melirik Awehpati yang masih saja mengikutinya selama dalam perjalanan. Orang tua itu katanya ingin merantau ke wilayah Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari pasukan Majapahit yang memburunya. Tapi bukannya memikirkan cara untuk segera sampai ke wilayah Sunda Galuh, orang tua itu malah mengikutinya mencari Pasar Dieng di gunung Lawu. "Ki Sanak, mungkin sebaiknya anda meneruskan perjalanan ke Sunda Galuh saja. Biar saya sendirian saja mencari Pasar Dieng,"Rangga menyarankan. Awehpati hanya tersenyum lalu menepuk bahunya dan berkata "Ngger, kamu adalah anak dari sahabat sekaligus guruku. Dia sudah kuanggap seperti Saudara sendiri. Setelah dia tiada, akulah yang bertanggungjawab terhadapmu. Lagipula untuk menuju ke arah barat aku tetap harus melewati gunung ini." Rangga diam-diam merasa terharu dengan kebaikan Awehpati. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Di satu sisi dia gembira karena akhirnya dia mengetahui jati dirinya dan orangtua kandungnya. Namun dia juga
"Kedua isteri dan anak-anaknya masih tinggal di sana tapi para gundiknya sudah pergi meninggaklan tempat itu begitu mendengar Prawara bangkrut. Rumah yang mereka tempati sekarangpun hanya gubug sederhana,"ujar Ki Yasa. Rangga menghela nafas lalu berkata "Kasihan mereka, pastinya berat rasanya sudah terbiasa hidup mewah kini harus hidup miskin seperti leluhurnya dulu." Nyai Yasa masuk kamar dan mengabarkan. "Ki Awehpati masih belum sadar sampai saat ini." Rangga mulai mencemaskan kondisi Awehpati. "Kenapa dia masih belum sadar juga?" "Tidak apa-apa, besok dia sudah bisa sadar. Energi buruk yang didapatnya dari Laut Kidul membuat tubuhnya lemah. Kita bisa minta tolong Pandhita Kasyiwan di pura desa untuk mendoakannya supaya energi buruknya bisa hilang,"Ki Yasa menenangkan Rangga. Ki Yasa lalu memanggil anaknya untuk memanggilkan Pandhita Kasyiwan di pura desa. Setelah anaknya pergi, terdengar pintu rumah diketuk dan suara seorang wanita memberi salam. "Kulonuwun!" N