Usai bercinta, Siwi segera mengemasi pakaiannya. Wajahnya masih tanpa ekspresi dengan tatapan mata yang kosong. Setelah berpakaian, Siwi meninggalkan Hasta."Siwi...mau kemana?"Siwi tak menjawab, dia pergi tanpa berkata-kata atau menoleh ke belakang. Hasta merasa aneh dengan sikap Siwi. Dia duduk termangu memikirkan peristiwa tadi.Siwi, mengapa dia bersikap aneh? Seorang gadis baik-baik bersedia tidur denganku tanpa harus kuajak atau kubujuk? Hmm... pasti ada sesuatu atau jangan-jangan, dia di bawah pengaruh Mahesasura?pikir Hasta.Ketika pagi menjelang, Siwi seperti biasa membagikan makanan pada para pengungsi. Kali ini Hasta menyapanya "Siwi...kamu baik-baik saja?"Siwi tampak heran dengan pertanyaan Hasta. Namun sikapnya pada Hasta masih tetap sama seperti kemarin-kemarin, tak ada yang berubah."Iya Kangmas Hasta, saya baik-baik saja, memangnya kenapa?""Oh, nggak...nggak apa-apa,"Hasta menggeleng lalu menerima semangkuk bubur dari Siwi.Siwi tersenyum kemudian berlalu. Hasta ha
Ki Yasa Lurah Desa Dadapan sudah mulai membaik keadaannya. Sekarang dia sudah dapat beraktivitas seperti biasa. Para warga desa yang mengidap penyakit Cacar, sudah diungsikan di Bale Desa agar tidak menulari warga lainnya yang masih sehat. Sore itu di pendopo rumah Ki Yasa, Rangga bersama Ki Yasa dan Nyai Yasa sedang menikmati kudapan sore. Ada kue Wajik, Nagasari dan Jadah Blondo yang ditemani secawan Wedhang Uwuh. "Terimakasih Rangga, kamu telah menyembuhkan penyakitku dan penduduk desa Dadapan. Kami tidak mau wabah ini kembali berulang di desa kami,"ujar Ki Yasa. "Anda tidak perlu kuatir, jika sudah pernah terkena penyakit cacar, selanjutnya dia tidak akan terkena penyakit itu lagi karena tubuhnya sudah kebal terhadap kuman cacar,"jelas Rangga. Ki Yasa tampak gemɓira "Kalau begitu berarti aku tidak akan sakit seperti ini lagi?"tanya Ki Yasa. "Tidak Ki Yasa, tapi anda juga harus tahu bahwa wabah penyakit itu tidak hanya penyakit cacar saja. Ada wabah Lepra, Diare, Malari
Rangga tertegun, dia berusaha menenangkan gemuruh emosi di dalam dirinya. Lalu diapun berkata "Bapakku bernama Dipo, ibuku bernama Ayu Dewi. Aku berasal dari desa Pandakan." Awehpati menatap wajah Rangga dengan pandangan menyelidik lalu bertanya dengan nada tajam. "Hmm...desa Pandakan ya. Apa kamu tahu Gajah Pagon dan Macan Kuping?" Wajah Rangga tampak terkejut "Tentu saja saja aku tahu, Eyang Gajah Pagon adalah Kakekku sedangkan Eyang Macan Kuping Kakek Buyutku. Bagaimana Ki Sanak bisa tahu nama mereka? Apa Ki Sanak mengenal mereka?" Kali ini Awehpati yang tampak terkejut, matanya tampak berkaca-kaca. Telunjuk Awehpati menunjuk Rangga lalu berkata dengan suara gemetar. "Jadi...kamulah anak itu...kamulah Rangga anak Ra Tanca! Tidak salah lagi, anak Ra Tanca punya tanda merah di bahunya sama seperti kamu dan nama kalian juga sama Rangga." Rangga bagaikan disambar petir di siang bolong. Dia masih tak percaya jika ternyata dirinya adalah anak Ra Tanca seorang pengkhianat
"Orang-orang Majapahit itu pernah melihatku sedang bersama anda. Pastilah mereka sekarang juga mencariku karena aku anak Ra Tanca,"ujar Rangga.Awehpati menatap Rangga lalu berkata dengan nada serius"Mulai dari sekarang, kamu harus hati-hati. Mereka sekarang sudah mengincarmu."Awehpati mengambil pisau bedah itu, lalu diberikan pada Rangga."Pisau bedah ini pernah digunakan Ra Tanca untuk membunuh Prabu Jayanegara. Ambil pisau ini dan gunakan untuk membunuh Dipo orang yang selama ini kamu anggap bapakmu. Kamu harus membalaskan dendam kematian Bapak kandungmu."Tangan Rangga gemetar ketika menerima pisau bedah itu. Rangga menimang pisau bedah Ra Tanca, pisau bedah itu terbuat dari logam hitam dan terasa ringan ditangan. Walaupun sudah berusia 20 tahunan, namun pisau bedah itu masih tampak bagus dan tak berkarat. Di gagangnya ada ukiran yang tampaknya masih setengah jadi karena masih kasar."Ki Sanak, terbuat dari apa pisau bedah ini? Memang pisau ini tidak nampak berkarat, tapi bobotn
Rangga mengangkat pisau bedah itu lalu menunjukan gagang berukir ular naga yang belum selesai. "Ki Sanak, lihat di bagian mulut ular ini, tadi sewaktu memegang pisau ini, tanganku tak sengaja tergores ukiran gigi ular ini hingga berdarah. Darah itu menempel di gagang. Ketika akan kubersihkan, darahnya kulihat ditelan kepala ular ini. Pisau bedah ini ternyata hidup, dia makan darah,"kata Rangga mulai takut. Wajah Awehpati tampak berubah, namun sejurus kemudian dia memalingkan wajahnya dan berkata "Ah, aku selama menggunakan pisau bedah ini tidak pernah mengalami hal aneh. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Yaah...mungkin Ra Tanca menciptakan suatu mekanisme agar ketika membedah pasien, gagang pisaunya tidak licin karena darah,"Awehpati berusaha menenangkan Rangga. Awehpati lalu menepuk bahu Rangga sambil berkata. "Dengan memiliki pisau itu, kamu akan jadi seorang tabib yang ternama." Rangga menimang pisau itu, ada keraguan dalam dirinya. Tapi Rangga juga ingin membuktikan kat
"Siapa itu?"tanya Rangga."Ini aku Prawara, tolong kami, kami dalam bahaya.""Dia Ki Prawara,"Rangga beranjak hendak membuka pintu.Namun Awehpati mencegahnya"Sudah kubilang jangan dibuka.""Kenapa?"tanya Rangga."Itu bukan Prawara,"jawab Awehpati."Bukan Prawara bagaimana? Itu Prawara,"kata Rangga.Suara Prawara terdengar lagi"Rangga, Ki Awehpati tolong kami!"Rangga bergerak hendak membuka pintu namun Awehpati masih terus berusaha mencegah dan membentak Rangga."Sudah kubilang jangan!"Rangga menepis tangan Awehpati lalu berkata"Paman, dimana hati nuranimu? Ki Prawara memerlukan pertolongan tapi kita hanya mendiamkan saja!""Baiklah akan kubuktikan dia bukan Prawara, coba kamu intip dia dari tempat yang aman,"ujar Awehpati.Suara ketukan itu kemudian berpindah ke jendela di samping rumah. Jendela rumah digedor dengan keras dan terdengar suara Prawara memanggil nama mereka. "Rangga.. Ki Awehpati buka pintunya tolong kami!"Merasa penasaran Rangga menghampiri jendela. Namun Awehp
Namun ombak besar kembali menghantam ke pantai. Ombak itu memadamkan api Rangga. "Ah, sial mereka memadamkan apiku!"seru Rangga kesal. Rangga dan Awehpati terus berlari hingga akhirnya mereka berhasil mencapai hutan. Tapi baru beberapa langkah masuk ke hutan, tiba-tiba wanita cantik tapi seram itu sudah muncul di hadapan mereka "Mau ke mana kalian?!"tanya wanita itu. Rangga mulai kesal karena gara-gara wanita ular itu dia harus nyasar ke dimensi lain. Ranggapun memakinya. "Hei uler keket, aku mau pulang ke duniaku. Pergilah jangan ganggu kami lagi!" Wanita ular itu hanya tersenyum sinis, lalu mulai menembangkan sebuah kidung kematian yang nadanya terasa menyeramkan di telinga Rangga walaupun sebenarnya suara wanita itu merdu dan lembut. Mendadak perasaan Rangga mulai dihinggapi rasa takut dan kuatir yang sangat kuat. Lalu dia mulai merasa pusing dan sulit bernafas seperti dicekik lehernya. Dia mulai merasa engap hingga terengah-engah kesulitan bernafas. Melihat keadaan R
Mpu Sengkala tampak berpikir, sejurus kemudian, dia berkata "Bisa tapi berat untuk dilakoni." "Itu tidak masalah bagiku, yang penting ilmu pesugihan ini harus diputus agar tidak menyusahkan generasi berikutnya,"ujar Rangga. Mpu Sengkala menghela nafas "Kalau tidak bisa menyediakan tumbal pengganti, kalian harus bisa mengalahkan Nyi Blorong." "Bagiku itu tidak berat, asal ada kemauan pasti ada jalan. Tidak ada satupun makhluk di bumi ini yang sempurna dan sakti mandraguna. Karena hanya Sang Hyang Widi yang memiliki segala kesempurnaan itu." Mpu Sengkala tersenyum lalu berkata "Kamu betul Ngger dan aku yakin kamu bisa mengalahkannya." Suara deru air menghilang, cuaca kembali cerah. Awehpati keluar rumah mengecek keadaan di luar. Setibanya di luar dia melihat pohon-pohon kecil bertumbangan. Hanya pohon-pohon besar yang masih bisa bertahan. Dilihatnya bangunan rumah tempat mereka berlindung. Rumah kecil itu masih berdiri dengan kokohnya, tidak ada kerusakan yang berarti.
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata"Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami.""Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga.Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi."Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?"Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara."Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan para demit di
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar.Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar."Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati."Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget."Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!""Sudahlah kamu pe
"Jolodhong adalah nama julukan teman-temannya di dunia hitam. Nama aslinya adalah Jayendra. Dia sahabat Nambi Mahapatih Majapahit saat itu. Saat Nambi pulang ke Lamajang karena Pranaraja bapaknya meninggal, Halayuda memfitnah Nambi dengan mengatakan bahwa Nambi akan memberontak. Sehingga pasukan Majapahit menyerang Nambi dan keluarganya Lamajang." "Apakah Eyang membantu Nambi memberontak?"tanya Jiwo. "Tentu saja, sebagai sahabat yang baik, Eyang Jolodhong memberitahu Nambi tentang kelicikan Halayuda. Dia kemudian membantu Nambi menghadapi pasukan Majapahit di Benteng Arnon,"tutur Bima. "Pemberontakan Nambi bisa ditumpas, lalu bagaimana nasib Eyang setelah penyerangan di Lamajang?"tanya Wening. Bima menghela nafas lalu berkata "Eyangmu tidak pulang ke Majapahit karena jika pulang dia bisa dibunuh. Setelah mengetahui Nambi telah gugur, aku dan ibuku ke Lamajang mencari bapakku. Tapi sayang sesampainya di Lamajang ibuku meninggal karena sakit dan kelelahan. Demi keselamatanku, bap
Saraswati maju ke hadapan Jiwo lalu dengan cepat menampar wajahnya dua kali. "Plaaak...plaak!" "Kamu laki-laki dengan nafsu binatang, kalau tidak ingat kamu adalah anak Ki Bima, sudah aku kebiri kamu!" Wajah Jiwo langsung merah karena marah, tangan kirinya yang masih utuh bergerak hendak memukul Saraswati. "Perempuan jalang, bukannya kamu sendiri yang menggodaku saat itu? Lalu saat bapakku datang kamu pura-pura lumpuh karena ditotok dan mengatakan aku sudah memperkosamu?"ejek Jiwo. Rangga yang gusar karena tidak terima dengan penghinaan Jiwo pada Saraswati langsung protes. "Kamu lupa Jiwo, aku mendengar percakapanmu dengan Saraswati dan melihat apa yang kamu lakukan pada dia. Jadi jangan mencoba membohongi semua orang!" Wening yang melihat semua kejadian itu, seketika menyesali dirinya yang terlanjur bercerita tentang perasaannya pada Rangga pada kakaknya. Dia tak menyangka reaksi kakaknya setelah mendengar ceritanya sampai seperti itu. Kang Mas Jiwo rupanya tertarik pa
Namun Jiwo tak peduli, dia melangkah ke kamar Rangga, saat itu dia melihat Saraswati yang sedang menunggui Rangga minum madu. Hati Jiwo langsung terbakar melihat keakraban mereka berdua. "Rangga, lihat apa yang sudah kamu lakukan terhadapku! Sekarang aku harus membuntungi tanganmu sebagai balasannya! Saraswati, sebaiknya jauhi penjahat itu!" Saraswati langsung pasang badan di depan Rangga melindunginya. "Mau apa kamu Jiwo? Pergilah jangan ganggu dia! Aku akan selalu berada di sampingnya,"Saraswati mengusir Jiwo. Namun Jiwo yang sudah terbakar api cemburu tetap menghampiri Rangga dan menyerangnya. Spontan Saraswati mendorong Jiwo sehingga pemuda itu mundur beberapa langkah. Saraswati kemudian menyerang Jiwo yang mencoba mendekati Rangga. Kini Saraswati dan Jiwo terlibat dalam satu perkelahian di dalam kamar yang sempit. Rangga merasakan tubuhnya sudah membaik maka diapun bangun dari tidurnya. Dia tak ingin Saraswati yang bertarung untuknya dan membuat rumah Ki Bima berantak
Tubuh Rangga semakin panas, dia masih tidak dapat mengendalikan energi Sang Hyang Agni di dalam. Suara teriakan Saraswati sudah tidak terdengar lagi tapi justru hal itu membuatnya cemas. Dalam keadaan tersiksa marena panas, Rangga mencari sosok Saraswati. Matanya tertuju pada dua sosok di tepi sungai. Lampu minyak yang diletakan Saraswati di atas batu, menerangi dua sosok di tepi sungai.Tampak Jiwo sedang melucuti pakaian Saraswati yang hanya diam terpaku tak bisa melawan. Mendidih darah Ramgga melihat Saraswati dilecehkan seperti itu. Tanpa mempedulikan rasa sakitnya, Rangga keluar dari sungai lalu menghampiri Jiwo dengan langkah terhuyung."Lepaskan dia, atau aku akan membunuhmu!"Jiwo menoleh menatap Rangga dengan gusar"Ooh kamu menantangku? Dalam keadaan lemah begini kamu menantangku apa kamu mau cari mati?!"Jiwo melangkah menghampiri Rangga lalu memukulnya. Rangga menangkis pukulan Jiwo namun tangkisannya begitu lemah sehingga ada saatnya Rangga roboh terkena pukulan Jiwo. Di
Baru berendam beberapa menit, air di sekitarnya sudah tak lagi dingin. Rangga berpindah tempat yang airnya masih dingin. Tapi itupun tak banyak membantu. Saraswati terbangun dari tidurnya karena rasa haus di tenggorokannya. Dia membuka pintu kamarnya, lalu berjalan menuju ke dapur. Saat itu dia mendapati kamar Rangga sudah terbuka. Dia mengintip ke kamar dan dilihatnya tempat tidur Rangga yang sudah kosong. Perasaan Saraswati mulai tak enak. Dia segera menuju pintu depan, ternyata pintu depan juga sudah terbuka. Saraswati mengambil lampu minyak yang tergantung di dinding, lalu dia keluar rumah mencari Rangga. Matanya menjelajahi setiap sudut halaman dan jalan setapak di depan rumah, tapi bayangan Rangga tak juga tampak. Saraswati memutuskan untuk mengitari lingkungan di sekitar rumah mencari Rangga, namun bayangan Rangga tak juga di temukan. Dia berjalan ke halaman belakang menuju kebun sayur. Saraswati melihat beberapa tanaman sayur roboh terinjak-injak. Mungkin Rangga l
Gajah Mada tercekat, berita itu membuatnya sedih sekaligus marah. Seseorang telah membunuh Rangga. "Hasta...siapa dia?"tanya Gajah Mada. "Saya mencari informasi ke salah satu murid Mpu Waringin yang selamat. Ketika dia menyebut nama Hasta, saya langsung menyelidiki soal Hasta. Dia adalah salah satu Senopati di pasukan Araraman dan Ra Kembar adalah pamannya,"jawab Tudjo. Gajah Mada terkejut, tak menyangka Hasta ternyata adalah seorang prajurit Majapahit keponakan Ra Kembar. Gajah Mada yang murka langsung berujar "Kurang ajar, prajurit rendahan saja beraninya dia mengganggu Rangga." "Sabar dulu Gusti Patih, kita harus memastikan dulu apakah Rangga memang sudah mati dibunuh Hasta atau dia sebenarnya masih hidup. Jangan sampai anda balas dendam ke orang yang salah,"Wasis mengingatkan. "Tadi sewaktu acara selamatan di rumah Ra Kembar, saya menguping pembicaraan Hasta dan dua anak buah kepercayaannya Tunggul dan Gembong. Menurut informasi murid Mpu Waringin, Tunggul dan Gembong d
Tangisan bayi memecah ketenangan di Kasogatan Dharmasuci siang itu. Para bhiksuni di asrama bersuka cita menyambut kehadiran bayi laki-laki anak Siwi. Siwi tersenyum bahagia melihat anaknya terlahir selamat. Santini mendekatkan bayi yang sudah dibersihkan kepada Siwi. "Anaknya laki-laki, kamu sudah punya nama untuk dia?"tanya Santini Siwi menatap wajah anaknya lekat-lekat. Anak itu mirip dengan Hasta bapaknya. Kemudian dia berkata "Anak ini akan kunamai Shankara yang artinya pembawa keberuntungan. Semoga kelak hidupnya akan selalu beruntung." Senandung doa dari para bhiksuni menggema di seluruh relung Kasogatan Dharmasuci. Bersyukur atas kelahiran Shankara serta mendoakan Siwi dan Shankara. ***** Sementara itu Hasta sedang berada di kediaman keluarga Ra Kembar yang saat itu sedang dalam suasana duka. Sebuah acara selamatan sedang diselenggarakan oleh keluarga Ra Kembar. Saat itu rumah keluarga Ra Kembar dipenuhi oleh sanak saudara, teman dan rekan kerja Ra Kembar. Hast