Hasta bersama rombongan telik sandi dan tak lupa dua sahabat sekaligus abdi setianya Gembong dan Tunggul yang senantiasa bersamanya menyusuri jalanan di perbatasan wilayah Lamajang Tigang Juru dan Majapahit. Setelah beberapa saat berjalan tibalah mereka di benteng Renon yang dibangun semasa Aria Wiraraja berkuasa sebagai penguasa Lamajang Tigang Juru. Dari kejauhan benteng itu terlihat sepi, tidak ada prajurit bersenjata lengkap yang berjaga di atas tembok benteng. "Aneh, benteng itu kelihatannya kosong, aku tidak melihat satupun prajurit di atas sana,"ujar Tunggul.Hasta ikut memperhatikan benteng itu dengan seksama, benar kata Tunggul, benteng itu terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalamnya. Tapi sesuai prosedur perang, dia tidak boleh hanya mempercayai dari apa yang dilihatnya saja."Memang sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Tapi sesuai prosedur perang, kita harus tetap waspada,"Hasta berkomentar.Hasta menoleh pada Tunggul"Tunggul, kamu dan
Melihat sosok itu, Hasta langsung berlutut menyembah"Gusti Mahesasura yang maha sakti, hamba ingin minta bantuan anda. Turunkanlah wabah penyakit di desa Taladwaja ini."Mahesasura dengan suaranya yang berat dan besar bertanya"Untuk apa kamu memintaku menurunkan wabah penyakit pada orang-orang itu?""Orang-orang itu adalah musuh Majapahit yang harus hamba perangi. Hamba ingin memperoleh kemenangan dengan mudah. Jika hamba berhasil memperoleh kemenangan, hamba akan mendapatkan kenaikan jabatan.""Ha ha ha ha itu soal mudah bagiku. Tapi itu ada syaratnya,"ujar Mahesasura."Apa itu syaratnya?""Beri aku tumbal seorang gadis muda yang cantik untukku!"Hasta tersenyum jahat lalu berkata"Tentu saja hamba akan segera memenuhinya."Asap tebal kembali muncul, sosok Mahesasura makin lama makin tenggelam dalam asap. Ketika asap mulai menipis, Mahesasura sudah lenyap dari pandangan.******Saat Hasta keluar dari komplek pasetran, hari sudah subuh. Buru-buru Hasta berkemas lalu kembali ke desa.
Usai bercinta, Siwi segera mengemasi pakaiannya. Wajahnya masih tanpa ekspresi dengan tatapan mata yang kosong. Setelah berpakaian, Siwi meninggalkan Hasta."Siwi...mau kemana?"Siwi tak menjawab, dia pergi tanpa berkata-kata atau menoleh ke belakang. Hasta merasa aneh dengan sikap Siwi. Dia duduk termangu memikirkan peristiwa tadi.Siwi, mengapa dia bersikap aneh? Seorang gadis baik-baik bersedia tidur denganku tanpa harus kuajak atau kubujuk? Hmm... pasti ada sesuatu atau jangan-jangan, dia di bawah pengaruh Mahesasura?pikir Hasta.Ketika pagi menjelang, Siwi seperti biasa membagikan makanan pada para pengungsi. Kali ini Hasta menyapanya "Siwi...kamu baik-baik saja?"Siwi tampak heran dengan pertanyaan Hasta. Namun sikapnya pada Hasta masih tetap sama seperti kemarin-kemarin, tak ada yang berubah."Iya Kangmas Hasta, saya baik-baik saja, memangnya kenapa?""Oh, nggak...nggak apa-apa,"Hasta menggeleng lalu menerima semangkuk bubur dari Siwi.Siwi tersenyum kemudian berlalu. Hasta ha
Ki Yasa Lurah Desa Dadapan sudah mulai membaik keadaannya. Sekarang dia sudah dapat beraktivitas seperti biasa. Para warga desa yang mengidap penyakit Cacar, sudah diungsikan di Bale Desa agar tidak menulari warga lainnya yang masih sehat. Sore itu di pendopo rumah Ki Yasa, Rangga bersama Ki Yasa dan Nyai Yasa sedang menikmati kudapan sore. Ada kue Wajik, Nagasari dan Jadah Blondo yang ditemani secawan Wedhang Uwuh. "Terimakasih Rangga, kamu telah menyembuhkan penyakitku dan penduduk desa Dadapan. Kami tidak mau wabah ini kembali berulang di desa kami,"ujar Ki Yasa. "Anda tidak perlu kuatir, jika sudah pernah terkena penyakit cacar, selanjutnya dia tidak akan terkena penyakit itu lagi karena tubuhnya sudah kebal terhadap kuman cacar,"jelas Rangga. Ki Yasa tampak gemɓira "Kalau begitu berarti aku tidak akan sakit seperti ini lagi?"tanya Ki Yasa. "Tidak Ki Yasa, tapi anda juga harus tahu bahwa wabah penyakit itu tidak hanya penyakit cacar saja. Ada wabah Lepra, Diare, Malari
Rangga tertegun, dia berusaha menenangkan gemuruh emosi di dalam dirinya. Lalu diapun berkata "Bapakku bernama Dipo, ibuku bernama Ayu Dewi. Aku berasal dari desa Pandakan." Awehpati menatap wajah Rangga dengan pandangan menyelidik lalu bertanya dengan nada tajam. "Hmm...desa Pandakan ya. Apa kamu tahu Gajah Pagon dan Macan Kuping?" Wajah Rangga tampak terkejut "Tentu saja saja aku tahu, Eyang Gajah Pagon adalah Kakekku sedangkan Eyang Macan Kuping Kakek Buyutku. Bagaimana Ki Sanak bisa tahu nama mereka? Apa Ki Sanak mengenal mereka?" Kali ini Awehpati yang tampak terkejut, matanya tampak berkaca-kaca. Telunjuk Awehpati menunjuk Rangga lalu berkata dengan suara gemetar. "Jadi...kamulah anak itu...kamulah Rangga anak Ra Tanca! Tidak salah lagi, anak Ra Tanca punya tanda merah di bahunya sama seperti kamu dan nama kalian juga sama Rangga." Rangga bagaikan disambar petir di siang bolong. Dia masih tak percaya jika ternyata dirinya adalah anak Ra Tanca seorang pengkhianat
"Orang-orang Majapahit itu pernah melihatku sedang bersama anda. Pastilah mereka sekarang juga mencariku karena aku anak Ra Tanca,"ujar Rangga.Awehpati menatap Rangga lalu berkata dengan nada serius"Mulai dari sekarang, kamu harus hati-hati. Mereka sekarang sudah mengincarmu."Awehpati mengambil pisau bedah itu, lalu diberikan pada Rangga."Pisau bedah ini pernah digunakan Ra Tanca untuk membunuh Prabu Jayanegara. Ambil pisau ini dan gunakan untuk membunuh Dipo orang yang selama ini kamu anggap bapakmu. Kamu harus membalaskan dendam kematian Bapak kandungmu."Tangan Rangga gemetar ketika menerima pisau bedah itu. Rangga menimang pisau bedah Ra Tanca, pisau bedah itu terbuat dari logam hitam dan terasa ringan ditangan. Walaupun sudah berusia 20 tahunan, namun pisau bedah itu masih tampak bagus dan tak berkarat. Di gagangnya ada ukiran yang tampaknya masih setengah jadi karena masih kasar."Ki Sanak, terbuat dari apa pisau bedah ini? Memang pisau ini tidak nampak berkarat, tapi bobotn
Rangga mengangkat pisau bedah itu lalu menunjukan gagang berukir ular naga yang belum selesai. "Ki Sanak, lihat di bagian mulut ular ini, tadi sewaktu memegang pisau ini, tanganku tak sengaja tergores ukiran gigi ular ini hingga berdarah. Darah itu menempel di gagang. Ketika akan kubersihkan, darahnya kulihat ditelan kepala ular ini. Pisau bedah ini ternyata hidup, dia makan darah,"kata Rangga mulai takut. Wajah Awehpati tampak berubah, namun sejurus kemudian dia memalingkan wajahnya dan berkata "Ah, aku selama menggunakan pisau bedah ini tidak pernah mengalami hal aneh. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Yaah...mungkin Ra Tanca menciptakan suatu mekanisme agar ketika membedah pasien, gagang pisaunya tidak licin karena darah,"Awehpati berusaha menenangkan Rangga. Awehpati lalu menepuk bahu Rangga sambil berkata. "Dengan memiliki pisau itu, kamu akan jadi seorang tabib yang ternama." Rangga menimang pisau itu, ada keraguan dalam dirinya. Tapi Rangga juga ingin membuktikan kat
"Siapa itu?"tanya Rangga."Ini aku Prawara, tolong kami, kami dalam bahaya.""Dia Ki Prawara,"Rangga beranjak hendak membuka pintu.Namun Awehpati mencegahnya"Sudah kubilang jangan dibuka.""Kenapa?"tanya Rangga."Itu bukan Prawara,"jawab Awehpati."Bukan Prawara bagaimana? Itu Prawara,"kata Rangga.Suara Prawara terdengar lagi"Rangga, Ki Awehpati tolong kami!"Rangga bergerak hendak membuka pintu namun Awehpati masih terus berusaha mencegah dan membentak Rangga."Sudah kubilang jangan!"Rangga menepis tangan Awehpati lalu berkata"Paman, dimana hati nuranimu? Ki Prawara memerlukan pertolongan tapi kita hanya mendiamkan saja!""Baiklah akan kubuktikan dia bukan Prawara, coba kamu intip dia dari tempat yang aman,"ujar Awehpati.Suara ketukan itu kemudian berpindah ke jendela di samping rumah. Jendela rumah digedor dengan keras dan terdengar suara Prawara memanggil nama mereka. "Rangga.. Ki Awehpati buka pintunya tolong kami!"Merasa penasaran Rangga menghampiri jendela. Namun Awehp
Sementara Rangga langsung menyabetkan pedang menyambut serangan lawan. Kembali terdengar bunyi senjata beradu. "Traang traaang traaang....sreeet!" Musuh mencoba menggaet pedang Rangga, namun Rangga segera menarik pedangnya. Percikan api meletik kala pedang dan clurit beradu. Rangga mundur beberapa langkah, kali ini Rangga menyadari, kemampuan lawannya tidak bisa disepelekan, dia harus berhati-hati jika masih ingin hidup. Musuh kembali mengayunkan clurit menebas ke arah wajah Rangga. Rangga berkelit menjauhi serangan sambil menangkis dengan pedangnya. Kali ini musuh menyabetkan clurit lebih cepat dari serangan awal. Makin lama serangan itu makin cepat. Clurit musuh seolah berada di mana-mana sehingga Rangga sulit membedakan mana clurit yang asli mana yang bayangan. Merasa kesal Rangga juga menambah kecepatan dua kali lebih besar daripada tadi. Kali ini musuh mulai terlihat kewalahan. Rangga yang ingin segera menyelesaikan pertarungan melihat ada celah di serangan lawan. Pedangny
Rangga sesekali melirik ke arah dua orang tadi. Keduanya masih ada di sana sibuk dengan hidangan di depannya. "Kamu dan aku sama-sama pendatang baru di dunia persilatan. Tapi kalau ada kejadian seperti ini, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mengincarku atau mengincarmu terkait dengan Bapakmu di masa lalu,"ucap Rangga."Entahlah, Bapak tidak pernah terbuka dengan masa lalunya.""Kami tidak pernah bertemu atau berseteru dengan sekte Bulan Sabit Emas. Aku curiga, setelah kejadian Nyai Wijil, bisa jadi mereka sedang mengincar pusaka yang kalian miliki. Pedang Inti Air dan Kapak Setan,"tambah Blandhong."Ya tapi kami kan bukan pendekar terkenal. Masa berita tentang pusaka ini sudah tersebar?"tanya Rangga.Blandhong terbahak mendengar pertanyaan Rangga.kalian"Ha ha ha ha kaliang ini lugu sekali. Rangga, berapa kali pedangmu kamu gunakan di depan banyak orang? Ketua, Kapak Setan dalam gembolanmu itu juga menarik perhatian para pemburu pusaka. Apalagi saat berada di pengina
Hasta sedang minum tuak di kapalnya berdama Tunggul dan Gembong saat Rama datang melapor."Kangmas Hasta, sepertinya kali ini lawanmu berat. Rangga ternyata bersahabat dengan Gerombolan Kapak Setan, gerombolan perampok yang paling ditakuti di Pajang.Hasta mengerutkan keningnya, dia baru saja mendengar nama gerombolan Kapak Setan."Ah, masa sih aku belum pernah mendengar kehebatan mereka di Timur,"ucap Hasta dengan nada meremehkan.Rama tersenyum melihat sikap Hasta yang memang suka merendahkan orang."Tapi kalau kamu tahu ilmu andalan mereka, pasti kamu juga menginginkan pusaka Kapak Setan itu. Dulu Liman adalah pemimpin mereka dengan senjata andalannya kapak setan. Di tangan Liman, kapak itu menjadi sebuah kapak yang bahkan mampu membelah bumi,"ungkap Rama."Ah, itu pasti cuma dongeng saja. Memangnya kamu pernah melihat sendiri kehebatan kapak itu?"tanya Hasta sambil menenggak tuaknya.Rama menggeleng"Belum pernah, aku mendengarnya dari Bapakku. Saat itu Liman ketua mereka masih ma
Sebuah kapal besar dan mewah tampak bersandar di dermaga. Pemilik kapal itu pastilah seorang bangsawan atau pedagang kaya. Terlihat Hasta yang berdiri di geladak kapal, sedang melihat kesibukan di pelabuhan Pajang. Di sebelahnya kirinya berdiri Tunggul sahabat sekaligus pengikutnya. Sedangkan di sebelah Tunggul seseorang yang berpakaian seperti pendekar ikut berbincang bersama Hasta. Saat mereka sedang asyik berbincang, Gembong naik ke kapal dengan tergesa-gesa, sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan."Gembong, kamu ini kenapa?"tanya Hasta heran."Huuh, aku melihat bocah itu berada di sini juga. Kukira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih hidup."Hasta mengerutkan keningnya dan bertanya"Siapa bocah yang kamu maksud?""Rangga, dia ada di sini!""Lho, mau apa dia kemari?"tanya Hasta terkejut."Sudahlah Kangmas Hasta, kedatangan kita ke Pajang ini kan untuk menemui Bhre Pajang lalu menyampaikan surat perintah dari Gusti Ratu Tribuana agar Bhre Pajang mewakili Gusti Ratu T
Rangga belum melihat sosok Nyai Wijil namun suaranya seolah-olah begitu dekat dengan mereka. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara berkelebat di udara. Dari arah belakang perahu muncul Nyai Wijil. Kali ini Rangga terkagum-kagum dengan ilmu meringankan tubuhnya. Nyai Wijil melompat ke sungai. Saat akan mendarat di air, kakinya menutul air sungai laku melompat lagi, bagai berjalan di atas air.Setelah dengan perahu, wanita itu langsung melompat ke dalam perahu."Wijil, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengganggu hidupku?"Nyai Wijil melihat ke arah Dhesta yang sedang terbaring di perahu dengan tatapan penuh kebencian."Itu anakmu dengan penari murahan itu kan?"Tapi Liman pura-pura tak mendengar, dia menghadang Nyai Wijil."Dia terkena racun Lali Jiwo milikmu, berikan obat penawarnya!""Aku mau memberikan penawarnya tapi dengan satu syarat!"Liman tertegun, matanya menatap curiga pada Nyai Wijil."Apa yang kamu inginkan dariku?""Tinggalkan penari murahan itu dan ikutlah dengank
"Dhesta!"seru Rangga cemas."Rangga, Dhesta keracunan, aku sudah berusaha mengeluarkan racunnya dari paru-parunya.Tapi hanya sedikit yang berhasil keluarkan."Mendengar suara yang yang sangat dikenalnya, Rangga segera menghampiri orang itu menyapanya."Ki Liman, anda di sini?"Liman tersenyum dan mengangguk, lalu dengan nada cemas dia berkata."Anakku satu-satunya yang selama bertahun-tahun tidak pernah keluar kampung. Tiba-tiba saja meninggalkan rumah pergi merantau. Tentu saja aku sangat mencemaskannya. Jadi aku memutuskan untuk menyusulnya kemari. Ternyata firasatku benar, pantas saja hatiku tidak tenang. Racun ini hanya orang-orang dari sekte ular hijau yang punya obatnya.""Ya, biar saya coba mengobatinya semoga saja berhasil. Tadi dia terkena asap beracun yang ditiupkan dari lubang di jendela itu. Saya tidak tahu racun jenis apa itu."Rangga segera mengeluarkan peralatannya dan mulai memeriksa Dhesta. Pemuda itu masih pingsan, wajahnya sudah mulai membiru.Celaka, racun itu tel
Para pengeroyoknya terperangah melihat Rangga yang dengan santainya berdiri di atas dahan pohon Hujan yang lemah. Rangga tampak anteng dan tenang di atas dahan pohon. Tak sekalipun dia terlihat kerepotan menjaga keseimbangan. Sesekali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan dahan yang terkena angin. Orang-orang itu tersadar, kali ini lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan sembarangan. Kini mereka semakin waspada terhadap lawannya. "Hei, jangan cari aman sendiri di atas pohon. Kalau kamu memang pemberani, turunlah lawan kami di bawah!" Rangga berkelebat turun dari pohon lalu berseru. "Ayo majulah, lawan aku!" Para pengeroyoknya langsung menyerang Rangga. Pedang Inti Air berkelebat menangkis serangan mereka. Tenaga dalam sudah dikerahkan ke tangan Rangga, lalu pedangnya membuat gerakan memotong. "Traang traang traang!" "Klontrang klontraang!" Terdengar bunyi besi jatuh disusul bunyi teriakan kematian. "Aaaarrrrghh....aaarrgh....aaargh!" "Bruuuk...bruuuk...bruuuk!" Tubuh para p
Dhesta tampak kecewa, hidangan itu lezat tapi dia tidak bisa memakannya karena beracun. Dia meihat ke sekelilingnya, para tamu sedang makan dengan lahapnya, namun tidak terlihat tanda-tanda keracunan. Dhesta akhirnya duduk memeluk lutut sambil bersandar di tembok mencoba meredakan rasa laparnya.Rangga mengalihkan pandangan ke arah lain. Terlihat Nyai Wijil sudah kembali lagi menghampiri laki-laki lain, lalu duduk dipangkuannya. Sedangkan pria brewok yang tadi bersamanya sudah tak tampak lagi."Melihat tamunya hanya melihat situasi di sekitarnya dan tidak segera menyantap hidangannya, seorang pelayan mendatangi Rangga dan Dhesta lalu bertanya"Ki Sanak, kok makanannya tidak segera dimakan? Apa makanan ini tidak enak? Jika tidak berkenan kami akan menggantinya dengan yang lain.""Ooh, tidak bukan itu. Kami hanya kecapekan dan mengantuk. Bagaimana jika makanan ini kami bawa ke kamar saja."Wajah pelayan itu tampak berubah, senyum ramahnya lenyap seketika. Namun sejurus kemudian wajahnya
"Gruuudug gruudug gruudug!"bunyi tanah terbelah.Para penonton bubar ketakutan, sedangkan teman-teman si Kumis yang menonton pertarungan itu tertegun. Pria genderuwo pemimpin gerombolan itu langsung berseru"Itu jurus 'Kapak Pembelah Bumi'! Tidak salah lagi, hanya Liman yang bisa melakukannya. Bocah itu anaknya Liman!"Sementara itu si Kumis kelabakan melihat bumi merekah di bawahnya. Sontak dia menghentikan serangannya, melompat menghindar ke tempat yang aman. Rekahan tanah berhenti, pria genderuwo maju ke hadapan Dhesta sambil menunjuk"Tidak salah lagi, kamulah anaknya Liman!"Pria genderuwo memberi tanda pada anak buahnya untuk maju ke hadapan Dhesta."Kalian kemarilah, beri hormat pada ketua Kapak Setan yang baru!"Para perampok itu serta merta langsung mendatangi Dhesta lalu menundukan kepala memberi hormat di hadapannya."Terimalah hormat kami Ketua!"Dhesta hanya bisa bengong melihat para perampok itu memberi hormat kepadanya. Beberapa menit yang lalu mereka berlaku kasar kep