Suro Joyo harus bisa mendapatkan Bunga Puspajingga. Kalau sampai tidak bisa memetik bunga itu, maka seumur hidupnya bakal merasa gagal berbakti kepada ibundanya. Juga merasa gagal berbakti kepada ayahanda. Sang ayahanda yang memerintahkan Suro Joyo untuk memetiknya.
“Aku akan memetik bunga itu walau harus menempuh resiko apa pun!” tekat membaja di dada sang pemuda sambil memandang puncak Gunung Sumbing. Gunung yang kokoh berdiri menantang para pendekar untuk menaklukkannya.
Sudah beredar kabar di kalangan pendekar bahwa Bunga Puspajingga yang ada di tebing Gunung Sumbing telah mekar. Bunga itu menjadi incaran para pendekar dari delapan penjuru mata angin karena memiliki banyak khasiat yang sangat hebat.
“Setelah kupetik, Bunga Puspajingga akan kubawa pulang ke Istana Kerajaan Krendobumi untuk menyembuhkan Ibunda Niken Sari,” gumam Suro Joyo.
Pendekar tampan berpakaian serba putih itu berdiri di kaki gunung yang segera didaki. Sebelum mendaki, dirinya teringat tentang kedua kaki ibundanya yang lumpuh sejak Suro Joyo masih bayi sampai sekarang.
Kelumpuhan kaki Niken Sari akibat pukulan maut dari ajian seorang pendekar pilih tanding dari golongan hitam bernama Jati Kawangwamg. Saat Suro Joyo masih bayi, Krendobumi diserang Jati Kawangwang yang memiliki kesaktian luar biasa. Penyerang yang sangat hebat dan kebal segala macam senjata itu punya julukan Dewa Naga Baja.
Raja Agung Paramarta, ayahanda Suro Joyo kalah dalam pertarungan melawan Dewa Naga Baja. Agung Paramarta diselamatkan Maeso Item. Sedangkan Niken Sari yang mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya diselamatkan Trinil Manis.
“Untung saja kedua orang tuaku diselamatkan para pendekar sakti itu,” kenang Suro Joyo pada Maeso Item dan Trinil Manis. Sepasang pendekar yang tidak akur, tapi sama-sama mewariskan segala macam ilmu yang mereka miliki kepada Suro Joyo. Sepasang pendekar yang sebenarnya tidak layak disebut ‘sepasang’ karena mereka tinggal di pesanggrahan yang berbeda.
Maeso Item, suka berpakaian compang-camping, suka bersikap nyleneh alias aneh, tinggal di Goa Setan, memiliki julukan Pengemis Gila Goa Setan. Trinil Manis suka bersyair, berpikiran agak miring, memiliki julukan Penyair Edan Pantai Selatan, tinggal di sebuah pesanggrahan yang berada di Pantai Selatan.
Atas didikan kedua gurunya yang aneh, tapi berilmu dahsyat, Suro Joyo berhasil merebut kembali tahta Krendobumi dari tangan Jati Kawangwang. Tahta kembali ke tangan Agung Paramarta. Sekilas terbayang di benak Suro Joyo saat dirinya bertarung hidup-mati melawan si Dewa Naga Baja.
Saat itu lawan Suro Joyo tidak mempan segala macam jenis senjata sakti. Jati Kawangwang juga kebal segala macam ajian. Untung saja Suro Joyo mengetahui titik lemah musuh bebuyutan Kerajaan Krendobumi. Trinil Manis yang memberitahu Suro Joyo tentang kelemahan ajian lawan. Kelemahan si Dewa Naga Baja terletak di kepala bagian belakang. Ada bagian seluas lobang mata uang yang bisa ditembus dengan senjata atau pun ajian.
Saat Jati Kawangwang sedikit lengah, Suro Joyo menggunakan ajian andalannya, ajian Rajah Cakra Geni. Ajian dari Maeso Item. Dari telapak tangan kanan memancar sinar berbentuk cakra. Pukulan dari telapak itu adl pukulan Cakra Geni. Benda apa saja yang kena hantaman, bakal lebur.
Hantaman dari ajian Suro Joyo menyambar bagia belakang kepala Jati Kawangwang. Tubuh Jati Kawangwang tumbang. Tergeletak di tanah. Suro Joyo ingin mendekat uti memastikan lawannya masih hidup ataukah sudah binasa.
Namun di luar dugaan Suro Joyo, ada sosok pendekar wanita berpakaian serba ungu bergerak sangat cepat. Pendekar wanita itu menyambar tubuh Jati Kawangwang. Tubuh Dewa Naga Baja lenyap dalam kelebatan kilat si pendekar misterius.
“Kalau saja waktu itu aku tidak kelelahan, pasti kukejar,” gumam Suro Joyo. “Aku masih penasaran. Jati Kawangwang sudah mati atau hanya terluka.”
Suro Joyo sampai sekarang masih memikirkan tentang bagaimana keadaan Jati Kawangwang. Kalau dia Jati Kawangwang masih hidup, tentu masih merasa gusar. Jati Kawangwang tentu akan kembali ke Krendobumi untuk menguasai kerajaan itu kembali. Dia telah merasakan enaknya menjadi raja dengan cara merebut paksa tahta dari yang berhak. Rasa nikmat itu tentu ingin dirasakannya lagi.
“Seandainya Jati Kawangwang masih hidup dan ingin merebut kembali Krendobumi, aku sudah siap menghadapinya,” kata Suro Joyo lirih, yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Aku tidak akan membiarkan Krendobumi lepas dari tangan Ayahanda.”
Sejenak Suro Joyo melupakan tentang Jati Kawangwang. Dia kembali memikirkan cara tercepat untuk memetik Bunga Puspajingga. Kedua kaki ibundanya yang lumpuh harus disembuhkan secepatnya. Suro Joyo merasa sangat kasihan kepada sang ibu. Niken Sari tidak bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan selama belasan tahun. Ingin secepatnya Suro Joyo melihat ibunya bisa berjalan dan melakukan apa saja dengan kedua kakinya.
Masalahnya aku tidak tahu jalan paling dekat menuju puncak gunung. Suro Joyo berkata dalam hati. Ini ada jalan bercabang. Satu menuju ke arah tenggara. Satunya menuju arah timur laut. Di antara dua jalan ini, mana yang paling cepat menuju puncak Gunung Sumbing?
Di puncak kebingungannya untuk memilih satu dari dua jalan yang mesti dilalui, ada seorang pendekar berjalan dari arah barat berhenti di pertigaan. Tidak jauh dari tempat Suro Joyo berdiri. Pendekar yang juga muda usia itu bernama Garjitalung. Dia sosok pendekar muda berwajah tampan, tidak kalah rupawan dibandingkan Suro Joyo.
Garjitalung mengenakan pakaian warna coklat muda yang cerah. Kecerahan warna pakaian itu menambah penampilannya semakin menawan. Di pinggangnya terselip tombak pendek yang terbungkus sarung kulit binatang warna hitam. Di dunia persilatan, Garjitalung termasuk pendekar hebat yang diperhitungkan oleh sesama pendekar.
Ketika melihat Suro Joyo, Garjitalung terlihat kaget. Dia tidak menyangka ada orang yang telah lebih dulu sampai di pertigaan ini. Dahi Garjitalung berkerut, merasa asing dengan sosok pendekar muda berpakaian serba putih. Dia cermati sosok pemuda yang berdiri di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Keduanya bertatapan sejenak. Suro Joyo ingin bertanya, tapi Garjitalung mendahului.
”Hei, apa kamu tahu jalan terdekat menuju Gunung Sumbing?” tanya Garjitalung. Nada suaranya kasar. Sikapnya kurang menyenangkan bagi orang lain yang belum mengenalnya.
”Hei, kamu ini mau Tanya, apa mau ngejek?” Suro Joyo balik bertanya. Rasa kesal terdengar dari nada suara.
”Monyet! Beraninya kamu balik bertanya! Apa kamu belum tahu siapa aku?”
”Lho, memangnya kamu ini siapa? Kamu merasa lebih hebat ya?”
”Brengsek! Jangan bersikap sembarangan! Bisa-bisa nyawamu melayang dengan sia-sia!”
”Kamu juga jangan bersikap sembarangan pada orang yang belum kamu kenal. Bisa-bisa kamu kehilangan muka!”
Gemeretak gigi Garjitalung. Sikap dan kata-kata Suro Joyo membuatnya naik pitam. Dia yang selama ini dihargai sesama pendekar, kini serasa diremehkan oleh orang yang menurutnya bukan orang yang terkenal di belantara persilatan.
”Bangsat! Diam atau kurobek mulutmu!” gertak Garjitalung untuk menekan mental lawan bicara.
”Lho..., apa hakmu kok pakai nyuruh-nyuruh diam!” Suro Joyo menjawab dengan enteng. Sikapnya tenang, tidak terbawa arus kemarahan lawan bicara yang sikapnya menjengkelkan.
”Agaknya mulutmu perlu dibungkam secara paksa, hiaaat!”
Garjitalung langsung melancarkan pukulan-pukulan mautnya untuk menghantam wajah Suro Joyo. Pukulan-pukulannya gencar dan cepat untuk membungkam orang yang menyinggung perasannya.
***
Beberapa jurus berlalu, tak satu pun pukulan berhasil menyentuh Suro Joyo. Pendekar berpakaian serba putih itu terus berkelit. Tak ada kemauan untuk menangkis atau balas menyerang.Perilaku Suro Joyo membuat Garjitalung semakin murka. Dia secara cepat mencabut tombak pendek yang terselip di pinggangnya.Mata tombak menyala merah membara, menimbulkan hawa panas di sekitarnya. Garjitalung menusukkan tombak pendek ke dada lawan.Sontak Suro Joyo berjumpalitan di udara. Tombak hanya mengena angin, terus meluncur sehingga menghantam batu sebesar gajah.Bhral!Batu hancur berkeping-keping disertai ledakan yang memekakkan gendang telinga. Batu-batu berhamburan ke segala penjuru. Mencelat bersama tubuh Suro Joyo yang ramping.Garjitalung celingukan ke segala arah mencari-cari lawannya. Sosok yang berpakaian serba putih itu lenyap seperti siluman. Ke mana dia? Apakah telah hancur bersama batu-batu itu?“Ah, paling dia kabur kare
Orang yang sejak tadi mengawasi Banawa, nangkring di dahan pohon yang tinggi. Dia adalah sosok pendekar yang berpakaian serba ungu. Dengan sekali gerakan meluncur dan menginjak tanah tepat di depan Banawa.Gerakan pendekar wanita berparas cantik itu tentu saja mengejutkan Banawa. Lebih-lebih setelah Banawa tahu sosok gadis yang berdiri di depannya, maka lebih terkejutlah dia.”Westi Ningtyas!” teriak Banawa.”Banawa!” gadis itu balas teriak.Kedua pendekar itu pun saling bergerak mendekat. Saling berpelukan dengan erat. Erat sekali. Seolah-olah tak mau lepas untuk selama-lamanya.”Aku rindu sekali, Banawa..., rindu sekali,” kata Westi Ningtyas, masih memeluk Banawa.”Aku pun juga demikian, Westi,” balas Banawa. ”Siang malam aku selalu memikirkan dirimu. Hampir tiap malam aku sulit tidur karena rindu padamu.””Selama ini kamu kemana, Banawa?””Memperda
Ketika Westi menebarkan pandangan ke segala penjuru, tiba-tiba Banawa telah memeluknya dari belakang sambil tertawa-tawa ceria. Westi melepaskan diri dengan perasaan agak kesal.“Maaf, Westi kalau membuatmu kaget,” kata Banawa yang sudah rapi penampilannya. “Aku tadi mandi di pancuran yang ada di sana. Sekalian aku mencari buah jambu. Ayo kita makan buah ini untuk sarapan!”“Baiklah, tapi lain kali jangan berbuat seperti ini!”Westi menerima beberapa buah jambu. Kemudian mereka memakannya. Ketika matahari mulai meninggi, mereka meneruskan perjalanan ke arah selatan.Lepas tengah hari Banawa dan Westi telah sampai di kaki Gunung Sumbing. Ada tiga jalan menuju ke puncak Gunung Sumbing. Jalan kiri lewat utara, jalan tengah, dan jalan kanan lewat selatan. Banawa dan Westi berhenti untuk menentukan pilihan.”Kita lewat utara,” Banawa mengajukan pemikirannya.”Setuju,” sahut Westi. &rdquo
”Semua jalan sama saja, akan sampai ke puncak,” jawab Ki Panjong. “Hanya saja, menurut jejak-jejak ini, jalan selatan dan utara telah dilalui para pendekar. Maka dari itu, kita lewat jalan tengah saja.”Kedua pendekar yang beda usia itu berjalan menyusuri jalan tengah. Jalan semakin lama semakin menanjak. Membuat kedua kaki terasa berat untuk melangkah.Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak dan sempit. Suro dan Ki Panjong tidak bisa beriringan. Ki Panjong yang berjalan di depan, sedangkan Suro di belakangnya.Walau sudah tua Ki Panjong masih mampu berjalan cepat mendaki batu-batu terjal. Jalan yang menuju puncak ternyata berkelok-kelok. Semakin tinggi, semakin sulit didaki.Banyak semak belukar yang membuat kaki-kaki mereka kadang terhambat. Semak yang lebat membuat perjalanan lebih lambat.Matahari telah tenggelam ketika mereka baru mendaki seperempat dari tinggi gunung. Suro dan Ki panjong masih terus mendaki.
Pucat wajah begundal demi dilihatnya kepalan tangan Suro. ”Ka-kami disuruh... Garjitalung....” lalu begundal itu pun pingsan. Saking takutnya melihat kepalan tangan Suro!”Dasar cecurut..., tampang sangar, nyali ciut!” gumam Suro. ”Mari kita teruskan perjalanan, Ki!””Mari,” jawab Ki Panjong.Keduanya meneruskan perjalanan mendaki gunung dengan langkah cepat. Ketika waktu menjelang tengah hari keduanya hampir sampai di puncak gunung. Mereka sepakat duduk di bawah pohon maja untuk istirahat.Sementara itu pada waktu yang sama Westi Ningtyas dan Banawa telah sampai di puncak Gunung Sumbing. Mereka bernapas lega setelah sampai di tempat yang dituju.”Jangan merasa lega sobat..., aku sampai di sini sejak tadi,” kata seseorang yang keluar dari balik bebatuan. Dia ternyata Garjitalung.Banawa dan Westi terkejut karena tak menduga ada orang lain yang terlebih dahulu sampai di puncak ini. N
”Banawa! Banawa...! Di mana kau?” Westi memanggil-manggil sang kekasih sambil berjalan sempoyongan ke arah selatan.Dia mendekati Garjitalung dengan pandangan penuh kebencian. Bahkan ada kesan dirinya jijik melihat Garjitalung.”Di mana Banawa? Di Mana?” tanya Westi pada Garjitalung penuh kegeraman.“Mana aku tahu?” jawab Garjitalung acuh tak acuh. “Aku tidak tahu-menahu tentang kekasihmu yang paling kau cintai itu.””Bangsat tengik! Kau kan tadi bertarung melawan dia! Masa kau tidak tahu?””Seharusnya kau tak perlu bertanya! Kalau dua pendekar bertempur di tepi jurang, sedangkan satu dari pendekar itu hidup, maka nasib pendekar yang satunya dapat kau tebak sendiri.””Jadi Banawa....” ucapan Westi belum selesai, keburu dia lari ke tepi jurang. Melihat ke arah bawah yang jaraknya ratusan tombak. Melihat ke arah bawah untuk mengetahui apa yang ada di bawa
Pendekar muda itu merasakan nyeri pada lambung kiri, sedangkan darah menetes dari luka goresan. Secara naluri tangan kirinya memegangi luka, agar darah berhenti mengalir. Dia berdiri dengan susah payah sambil bersiul keras sekali.Dari arah bawah berjumpalitan sepuluh anak buah Garjitalung yang berpakaian serba hitam. Di tangan mereka tergenggam golok tajam berkilat-kilat kena sinar matahari.”Habisi sundal ini, cepat!” perintah Garjitalung sambil matanya memandang segala penjuru. ”Jangan sampai gagal memusnahkan perempuan itu!”Anak buah Garjitalung yang berjumlah sepuluh orang maju serentak. Golok mereka mengarah satu tujuan, yakni tubuh pendekar yang berpakaian serba ungu. Namun para pengeroyok agaknya tak menyadari siapa lawan mereka.Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lawan pendekar pilih tanding. Dengan sekali lontaran dari tangan kiri, empat butiran peledak melesat ke arah mereka. Empat butir menghantam dada empat peng
Lagi-lagi terjadi ledakan. Pisau Liman Kuring melesat kembali ke genggaman Kijar. Sedangkan tubuh Westi masih meluncur ke dasar jurang. Dalam keadaan terdesak, Westi tancapkan cundrik ke dinding tebing. Cundrik menancap pada batu, sehingga dapat digunakan Westi untuk bergelantungan.Westi melihat di samping kanannya ada pohon cukup besar yang akarnya mencengkeram kuat pada batu dinding tebing. Dia lepas selendang yang melingkari di pinggang dengan tangan kiri. Selendang ungu dilemparkan ke batang ponon dengan gunakan tenaga dalam.Ujung selendang mengikat erat pada batang pohon. Westi segera mencabut cundrik sekaligus menarik selendang dengan tangan kiri. Cepat sekali tubuh Westi melesat ke arah pohon. Dengan ringannya dia telah berdiri di atas batang pohon itu.Wajah Westi menengadah ke atas. Pada jarak puluhan tombak di atasnya, terlihat Bunga Puspajingga. Sedangkan di puncak gunung sana masih terlihat sosok Kojar yang berdiri dengan congkaknya. Kojar merasa t