”Banawa! Banawa...! Di mana kau?” Westi memanggil-manggil sang kekasih sambil berjalan sempoyongan ke arah selatan.
Dia mendekati Garjitalung dengan pandangan penuh kebencian. Bahkan ada kesan dirinya jijik melihat Garjitalung.
”Di mana Banawa? Di Mana?” tanya Westi pada Garjitalung penuh kegeraman.
“Mana aku tahu?” jawab Garjitalung acuh tak acuh. “Aku tidak tahu-menahu tentang kekasihmu yang paling kau cintai itu.”
”Bangsat tengik! Kau kan tadi bertarung melawan dia! Masa kau tidak tahu?”
”Seharusnya kau tak perlu bertanya! Kalau dua pendekar bertempur di tepi jurang, sedangkan satu dari pendekar itu hidup, maka nasib pendekar yang satunya dapat kau tebak sendiri.”
”Jadi Banawa....” ucapan Westi belum selesai, keburu dia lari ke tepi jurang. Melihat ke arah bawah yang jaraknya ratusan tombak. Melihat ke arah bawah untuk mengetahui apa yang ada di bawah sana.
Di bawah sana tergeletak sosok orang yang sangat kecil bila terlihat dari puncak gunung. Sosok berpakaian serba merah itu sangat dikenal Westi walau dalam jarak ratusan tombak.
Banawa! Ya..., tak salah lagi, dia Banawa! Banawa yang selama ini menjadi kekasih Westi. Banawa tergeletak tak bergerak. Saudara kembar Banawi itu tewas karena jatuh dari puncak Gunung Sumbing.
”Jahanam..., kau telah membunuhnya!” geram Westi. ”Berarti kau juga harus bayar nyawamu, hiaaat!”
Westi menerjang Garjitalung yang sudah berdiri kokoh dengan tombak pendek tergenggam di tangannya. Sebuah keris pendek atau disbut juga cundrik tergenggam di tangan Westi.
Cundrik sangat tajam berkelok-kelok itu pancarkan sinar ungu siap membabat leher Garjitalung. Senjata andalan Westi itu siap digunakan untuk menghabisi Garjitalung.
Garjitalung menggerakkan tombaknya untuk menangkis. Mata tombak di tangannya beradu dengan cundrik di tangan Westi. Dua senjata sakti beradu. Yang satu pancarkan sinar merah membara, sedangkan yang satu pancarkan sinar ungu disertai panas menyengat.
Dhuarrr!
Ledakan keras memekakkan telinga terdengar. Tubuh Westi terlontar ke belakang dengan lesatan cepat. Terbanting di bumi secara keras. Jatuh di tanah keras membuat seluruh persendian terasa ngilu.
Terlihat Garjitalung masih tetap berdiri kokoh di tempatnya semula. Tak bergeser sedikit pun dari tanah yang dijadikan pijakan. Garjitalung siap bertarung untuk meladeni pendekar wanita yang gagah berani.
Westi berusaha bangun, tapi gagal. Tubuhnya terjerambab ke muka. Tubuhnya jatuh tertelungkup memeluk bumi. Dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu pelan-pelan duduk bersila di atas tanah.
Matanya terpejam untuk mengembalikan tenaga yang terkuras karena pertarungan. Matanya terpejam untuk meredam kemarahan yang sulit dikendalikan.
Dalam benaknya, Westi mengakui bahwa kalau dia beradu senjata secara langsung dengan lawan, nasibnya mungkin akan seperti Banawa. Gadis berpikir keras. Pendekar wanita yang perkasa itu berusaha mencari cara lain.
Garjitalung terbahak-bahak demi melihat lawannya berusaha bangun dengan tenaga yang tersisa.
”Sudahlah Westi..., kau lupakan saja Banawa yang sudah menghuni neraka!” kata Garjitalung. ”Mari kita jalin hubungan cinta denganku. Kau sudah tahu kan bahwa aku juga mampu memuaskanmu, hahahahaha...!”
Saking asyiknya tertawa-tawa membuat Garjitalung lupa bahwa Westi bukan pendekar kacangan. Dalam dunia persilatan Westi Ningtyas mendapat julukan Pendekar Candik Naga.
Julukan itu menggambarkan bahwa Westi suka berpakaian serba ungu. Westi juga punya senjata cundrik atau cundik yang memancarkan sinar ungu. Kesktian senjata maut ini yang akan digunakan Westi untuk menghabisi Garjitalung.
Westi mengambil butiran-butiran bulat sebesar kelereng dari balik bajunya. Butiran-butiran berwarna ungu itu dia lemparkan ke arah lawan. Tentu saja Garjitalung menangkisnya.
Dhuarr! Dhuarrr! Dhuarrrr!
Butir-butiran pun meledak begitu ditangkis dengan mata tombak. Asap mengepul memenuhi arena pertarungan. Menghalangi pandangan Garjitalung sekaligus membuat napasnya sesak, bahkan serasa sulit bernapas.
Ketika Garjitalung disibukkan dengan asap yang mengelilingi tubuhnya, Westi melemparkan cundrik ke arah Garjitalung. Cundrik berputar-putar dengan suara berdesing. Cundrik melesat cepat ke arah lawan untuk memenggal lehernya!
Dalam kegelapan asap, Gajitalung masih sempat melihat sekilas senjata tajam pendek berputar sesar. Berdesing nyaring memekakkan telinga. Melesat mengincar lehernya!
Garjitalung merunduk untuk menghindari tebasan cundrik yang berputar sesar. Cundrik melesat di atas kepalanya, kemudian terus melesat jauh. Dia menoleh ke belakang, dan tak lama kemudian cundrik itu kembali melesat ke arahnya untuk menjebol jantung.
Cepat sekali Garjitalung menjatuhkan diri ke kanan, sehingga cundrik tajam berkilat-kilat itu melesat di arah kiri tubuhnya. Terus meluncur ke arah Westi bergerak, cundrik sakti telah tergenggam di tangannya!
Westi memandang tajam ke arah Garjitalung dengan pandangan penuh ancaman. Sedangkan Garjitalung terbengong-bengong setelah menyadari bahwa Westi merupakan pendekar berilmu silat tinggi. Westi memiliki senjata sakti yang akan kembali ke pemiliknya bila gagal membunuh lawan.
Sungguh paduan yang membahayakan bagi lawan, siapa pun nama lawan itu. Lebih-lebih Westi juga memiliki senjata ledak berupa butiran ungu sebesar kelereng. Maka lengkaplah kehebatan Westi. Kehebatan Westi merupakan ancaman besar bagi keselamatan nyawa Garjitalung.
”Kau sungguh laki-laki busuk yang tidak tahu malu!” ejek Westi dengan suara bergetar menahan kemarahan. ”Kau juga tidak tahu mengucapkan terima kasih. Apa kau tak ingat sewaktu kutolong dari amukan segerombolan srigala di sungai Napuna itu?”
“Seharusnya kau berterima kasih padaku,” lanjut Westi. “Jika kau tidak bisa mengucapkan ‘terima kasih’, paling tidak kau seharusnya menutupi aib yang terjadi di antara kita.”
”Maksudku begini Westi....”
”Jangan omong dulu! Dasar laki-laki tengik, buaya murahan, tak punya harga diri lagi! Mengapa kau buka aib kita kepada Banawa? Apa kau tidak malu, ha? Baiklah, kalau kau tidak punya malu, itu urusanmu. Tapi apa kau tidak menjaga nama baikku?”
Garjitalung hanya diam membisu. Sambil berpikir dalam hati untuk melarikan diri dari pertempuran ini. Karena dirinya sudah yakin, dia tak mampu mengalahkan Westi. Kalau dia lolos tanpa luka saja sudah termasuk keberuntungan.
Sebenarnya Garjitalung juga punya senjata sakti yang dapat diandalkan. Namun dia belum tahu apa kehebatan tombak pendek itu secara keseluruhan. Senjata itu hanyalah senjata curian. Dia tidak mengetahui kehebatan tombak pendek tersebut.
”Karena kau sudah tidak punya rasa malu lagi, maka sudah sepantasnya kau mampus!”
Kembali Westi melontarkan butiran bulat sebesar kelereng ke arah Garjitalung. Disusul lemparan cundrik maut yang berputar sesar mengarah lawan. Serangan paduan antara butiran peledak dan cundrik sakti membuat Garjitalung semakin kerepotan.
Beberapa kali dia menangkis butiran peledak yang ledakannya memekakkan gendang telinga. Kerap kali pula Garjitalung berhasil menangkis cundrik dengan tombaknya.
Namun setiap kali ditangkis, cundrik kembali ke tangan Westi. Lalu senjata sakti itu dilemparkan lagi ke arah lawan.
Garjitalung melentingkan tubuh tinggi-tinggi menghindari cundrik yang terbang ke arahnya. Cundrik menghantam batu di belakang Garjitalung hingga terjadi ledakan keras sekali.
Batu pecah berkeping-keping ke segala penjuru. Sebagian pecahan menghantam punggung Garjitalung hingga membuatnya terjungkal ke depan.
Ketika tubuh itu terjungkal, cundrik melesat dengan sangat cepat dari belakang. Menggores cukup dalam lambung kiri Garjitalung.
Cundrik sakti melesat kembali ke genggaman Westi. Senjata mematikan itu siap digunakan untuk menghabisi lawan.
***
Pendekar muda itu merasakan nyeri pada lambung kiri, sedangkan darah menetes dari luka goresan. Secara naluri tangan kirinya memegangi luka, agar darah berhenti mengalir. Dia berdiri dengan susah payah sambil bersiul keras sekali.Dari arah bawah berjumpalitan sepuluh anak buah Garjitalung yang berpakaian serba hitam. Di tangan mereka tergenggam golok tajam berkilat-kilat kena sinar matahari.”Habisi sundal ini, cepat!” perintah Garjitalung sambil matanya memandang segala penjuru. ”Jangan sampai gagal memusnahkan perempuan itu!”Anak buah Garjitalung yang berjumlah sepuluh orang maju serentak. Golok mereka mengarah satu tujuan, yakni tubuh pendekar yang berpakaian serba ungu. Namun para pengeroyok agaknya tak menyadari siapa lawan mereka.Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lawan pendekar pilih tanding. Dengan sekali lontaran dari tangan kiri, empat butiran peledak melesat ke arah mereka. Empat butir menghantam dada empat peng
Lagi-lagi terjadi ledakan. Pisau Liman Kuring melesat kembali ke genggaman Kijar. Sedangkan tubuh Westi masih meluncur ke dasar jurang. Dalam keadaan terdesak, Westi tancapkan cundrik ke dinding tebing. Cundrik menancap pada batu, sehingga dapat digunakan Westi untuk bergelantungan.Westi melihat di samping kanannya ada pohon cukup besar yang akarnya mencengkeram kuat pada batu dinding tebing. Dia lepas selendang yang melingkari di pinggang dengan tangan kiri. Selendang ungu dilemparkan ke batang ponon dengan gunakan tenaga dalam.Ujung selendang mengikat erat pada batang pohon. Westi segera mencabut cundrik sekaligus menarik selendang dengan tangan kiri. Cepat sekali tubuh Westi melesat ke arah pohon. Dengan ringannya dia telah berdiri di atas batang pohon itu.Wajah Westi menengadah ke atas. Pada jarak puluhan tombak di atasnya, terlihat Bunga Puspajingga. Sedangkan di puncak gunung sana masih terlihat sosok Kojar yang berdiri dengan congkaknya. Kojar merasa t
Kojar cepat menancapkan pisau saktinya ke dinding tebing sehingga dirinya tidak jauh turun dari puncak gunung. Di dekatnya ada beberapa utas akar pohon yang menjalar. Kojar segera mengikatkan satu utas akar ke tubuhnya. Dia biarkan tubuhnya bergelantungan untuk sementara waktu sambil beristirahat karena kelelahan. Westi pun membiarkan dirinya tergeletak beberapa saat karena kelelahan setelah bertempur sekian lama. Dia tatap Bunga Puspajingga yang berdiri kokoh di tebing Gunung Sumbing. Dalam keadaan sangat lelah, Westi melihat ke puncak gunung. Terihat dua sosok pendekar. Satu pendekar berusia tua membawa tongkat lusuh dari kayu jati. Sedangkan yang satunya adalah sosok pendekar muda berpakaian serba putih mengenakan ikat pinggang berbentuk kepala rajawali. Westi Ningtyas tersentak kaget ketika dia ingat sosok pendekar berpakaian serba putih itu. Dia terbangun dari sikap terlentangnya. Dia mendongakkan ke atas. Bertatapan dalam jarak cukup jauh dengan
”Ilmu Cicak Merayap. Sudah kupelajari sejak puluhan tahun silam,” jawab Ki Panjong. ”Ayo kita ambil biji dan Bunga Puspajingga bersama-sama. Sebelum kedahuluan pendekar lain!” ”Bersama-sama? Mana mungkin, Ki? Saya tidak bisa merayapi tebing ini sepertimu,” tanya Suro disertai rasa heran yang tak bisa ditahan. ”Untuk itu, kau harus temukan akal.” ”Akal...? Akal bagaimana, Ki? Dalam keadaan seperti ini masih harus berpikir keras?” ”Hanya ada satu cara.” ”Apa, Ki?” ”Kau naik di punggungku!” Suro pun menurut pemikiran Ki Panjong. Seumur-umur baru kali ini dia digendong pada usia dewasa. Digendong oleh seorang kakek-kakek lagi! Akan terasa aneh dan di luar nalar. Mestinya yang menggendong itu yang muda. Yang muda menggendong kakek-kakek karena sudah renta dan lemah. Ini malah sebaliknya, yang kakek-kakek tua menggendong anak muda yang gagah perkasa. ”Tunggu! Kalian tak bisa memetik bunga itu begitu saja!” sentak West
”Hai, gadis muda! Jangan mencoba berbohong padaku! Dari ceritamu, aku menduga kamu tahu banyak tentang Garjitalung. Berarti kamu tahu di mana dia sekarang.””Aku tidak bohong. Aku berkata apa adanya! Kalau tidak percaya, tanya saja pada orang lain!””O..., agaknya kamu belum tahu siapa aku, gadis manis. Sehingga kamu berani membentak seperti itu. Dengar baik-baik, aku bernama Lodra Dahana,” pengakuan pendekar muda itu.“Aku anak Raja Taweng Dahana dari Kerajaan Garbaloka,” Lodra Dahana menyebutkan asal-usulnya. “Kuharap kamu jawab sekali lagi tentang keberadaan Garjitalung yang brengsek itu!””Lodra! Aku tak pandang siapa dirimu. Biar kamu anak raja atau hanya seorang pengemis, bagiku sama saja. Aku sudah menjawab apa yang kamu tanyakan secara jujur. Sekarang minggirlah! Aku akan lewat....””Tidak bisa! Kamu boleh lewat bila dapat menunjukkan jalan menuju Sanggar Teratai
”Oh..., ehm..., anu, tidak.aku..., tidak..., tidak sedang memikirkan apa-apa kok!” Westi bingung untuk menjawab pertanyaan Radipta.”Sebaiknya kamu istiharat dan tidur di sini saja! Besok kamu pulang setelah fajar menyingsing!””Tapi..., aku tak berani tidur di sini sendirian,” alasan Westi sebagai ‘undangan’ terselubung.“Aku akan menungguimu di sini. Tidurlah! Aku akan berjaga-jaga di sini.””Terima kasih, Radipta. Terima kasih atas pertolonganmu.”Westi memandang ke langit. Menatap bulan yang memancarkan sinar indahnya ke seantero jagat. Keindahan sinar rembulan menebarkan suasana terang yang membuat hati senang.Pagi hari yang cerah Westi terbangun dari tidur nyenyaknya. Radipta tidak berada di sampingnya lagi. Telah meneruskan perjalanan ke Sanggar Teratai Perak. Namun Westi tidak merasakan kesal atau marah.Dia menyadari bahwa Radipta tidak ada hubungan khus
Wandasa sebenarnya merasa keder juga menghadapi Suro. Tapi sebagai laki-laki yang sudah kondang karena kekejaman itu merasa malu kalau harus meninggalkan arena pertarungan. Apalagi ketiga anak buahnya sudah tewas di tangan lawan.Maju tatu, mundur ajur. Kalau maju, mungkin dirinya tidak akan mampu mengalahkan Suro. Tapi kalau mundur, apa kata orang nanti? Dirinya akan menjadi bahan olok-olokan di dunia persilatan.Mereka pasti akan menganggapnya sebagai pendekar laki-laki yang bermental seperti banci! Belum lagi kalau didengar anak buahnya. Wah, pasti mereka tidak akan lagi menghormatinya!”Hebat! Kamu memang hebat, Suro!” kata Wandasa. ”Tak kusangka, anak kemarin sore sepertimu sudah berilmu silat setinggi ini. Tapi jangan besar kepala dulu! Rejung hanyalah anak buahku. Dia masih jauh di bawahku dalam soal ilmu silat atau kesaktian.””Heheheha..., sejak tadi bisanya kamu ngomong melulu!” ejek Suro
”Jangan pura-pura bloon, Suro! Aku sudah mengenal nama lengkapmu..., Suro Sinting. Pendekar yang benar-benar berotak miring, huahahahaha...,” ejek Garjitalung yang disambut tawa sepuluh anak buahnya. “Miring sama dengan sinting. Sinting sama dengan gila, huahahahahaha...!”Makin riuh tawa anak buah Garjitalung. Sebenarnya yang diungkapkan Garjitalung tidak lucu. Tapi karena lama tidak tertawa, mereka lampiaskan tawa saat ini juga. Sekeras-kerasnya. Tertawa sekeras-kerasnya.”Baiklah, aku bersyukur karena ada orang lain yang mengenalku. Terima kasih kamu mau mengenalku. Walau demikian, aku tak perlu mengenalmu karena kamu congkak, sok jagoan, dan sok menang-menangan,” kata Suro dengan lagak semau sendiri.“Sejujurnya, aku tidak mengenal kalian,” kata Suro sambil memandangi mereka dengan pandangan menyepelekan. “Kalian sepertinya memang tidak pantas kukenal. Juga tak pantas dikenal oleh siapa pun. Mengena
CataAkibat kena hantaman Ajian Maruta Seketi, tubuh melesat tinggi ke langit dengan tubuh berputar. Namun kali ini Suro Joyo bisa menguasai angin puting beliung. Dia bersalto beberapa kali sehingga lepas dari kisaran angin puting beliung Ajian Maruta Seketi. Malah dengan gesitnya dia menghantamkan pukulan Rajah Cakra Geni ke arah lawan saat dirinya melayang ke bumi! Sinar merah melesat ke arah Keksi Anjani yang sudah berada pada keadaan luka. Dia berusaha menghantamkan ajiannya dengan menggunakan tangan kiri. Paniratpati tidak tega mengetahui keadaan Keksi Anjani. Dia menyambar tubuh Keksi Anjani. Dia bawa lari ke tempat yang aman, lalu meletakkannya di bawah pohon besar. Leretan ajian dari Suro Joyo menghantam batu besar. Batu itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Bahan ada yang menjadi debu. Debu melayang ke udara bebas. ”Paniratpati..., kalau kamu ingin mempersuntung diriku, habisi Suro Joyo terlebih dahulu!” rayu Keksi Anjani dekat telinga Paniratpati. Laki-laki muda berwa
Godar mundur beberapa langkah untuk menghindari tendangan yang lebih keras dan mematikan. Setelah berjarak beberapa tombak, Godar berhasil menguasai diri. Dia pasang kuda-kuda lagi sambil mengarahkan pedang yang ujungnya telah patah, ke arah lawan.“Wooo, kamu bisa selamat dari serangan pertamaku,” kata Rumpang. “Hanya pedangmu yang patah, bukan lehermu! Kalau orang lain, mungkin ada anggota tubuh yang kutung.”“Aku berbeda dengan siapa pun, termasuk denganmu,” sahut Godar untuk mencari celah-celah kelemahan supaya bisa menundukkan lawan. “Kalau orang lain mati akibat serangan pedang bajamu, tetapi aku tidak. Aku masih bisa menandingi serangan pedang baja.”“Baiklah, kalau pada serangan pertama kamu bisa lolos dari maut, sekarang kamu tidak bisa lolos lagi, hiaaat!” kata Rumpang sambil menyabetkan pedang bajanya. Rumpang pmengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan yang menggenggam pedang baja warna hitam.
Benturan keras dua pedang tak terhindarkan. Saat menangkis tadi, gerakan Sengkalis agak terlambat. Pedang Sengkalis melencong. Melenceng. Menyerempet bahu kiri lawan. Palarum terperanjat setelah menyadari bahwa dirinya merasakan sengatan panas akibat goresan kecil pedang di tangan Sengkalis.Palarum mundur beberapa langkah untuk melihat luka di bahu kirinya. Dia lihat hanya goresan kecil akibat terserempet ujung pedang Sengkalis.“Ternyata tidak parah,” gumam Palarum. “Aku bisa menyerang lagi untuk menghabisinya. Seperti yang pernah dikatakan Gusti Putri Keksi Anjani, dengan cara apa pun, lawan harus dilenyapkan!”Sengkalis yang lolos dari sabetan pedang lawan yang mengarah kepala, juga mundur beberapa langkah. Meskipun ujung pedangnya tadi telah menggores bahu kecil Palarum, tapi Sengkalis tetap pasang kuda-kuda untuk menyongsong serangan lawan. Dia lihat Palarum telah siap melakukan serangan lagi dengan ujung pedang mengarah ke depan. M
Setiap ingat kematian Riris Manik dan Mayang Kencana, Keksi Anjani jadi naik pitam. Kemarahannya meledak-ledak tak terkendali. Dua saudara seperguruan telah tewas oleh Suro Joyo. Hanya satu cara dendam Keksi Anjani terlampiaskan, bunuh Suro Joyo. Tak ada hal lain yang bisa menuntaskan kemarahan dan dendam Keksi Anjani kecuali kematian Suro Joyo.Keksi Anjani mengumpulkan segenap tenaga dalamnya pada kedua telapak tangan. Dia ingin melancarkan serangan tangan kosong. Satu jurus dia siapkan untuk menyerang, tapi Suro Joyo tiba-tiba menahan Keksi Anjani supaya tidak menyerang terlebih dulu.”Tunggu! Aku perlu memberi penjelasan padamu dulu,” kata Suro Joyo dengan tenangnya. ”Bukannya aku sombong, memang beginilah pembawaanku. Sifatku seperti ini. Aku kadang-kadang suka bercanda. Mungkin karena kata-kataku kadang-kadang ada yang kasar, mungkin orang-orang menyebutku sombong.”Keksi Anjani menahan gerakannya untuk lawan sedang berbicara untuk
Suro Joyo menghela napas sejenak sambil mengingat-ingat mimpi yang dialaminya saat dirinya tidur. Tepatnya pingsan, lalu dilanjutkan tidur. Waktu pingsan dan tidur itu selama sehari semalam. Berapa lama dirinya pingsan dan berapa waktu pingsan, Suro Joyo tidak tahu. Pingsan dan tidur dialami manusia dalam keadaan tidak sadar. Suro Joyo mimpi saat dirinya tidur.“Tadi aku mimpi didatangi seorang pendekar muda yang umurnya sebaya denganku,” Suro Joyo memulai cerita mimpinya. “Wajah orang itu persis dengan wajahku. Hanya bedanya pakaian yang dikenakannya berwarna kuning. Mulai baju, celana, dan ikat kepala, semua berwarna kuning.”Banaswarih, Bandem, dan Lunjak mendengarkan cerita Suro Joyo sambil mengamati pakaian Suro Joyo yang serba putih. Pakaian yang dikenakan Suro Joyo robek-robek di sana-sini karena kena Ajian Maruta Seketi kemarin.“Pendekar muda yang mirip aku itu membentak-bentakku dengan suara keras,” lanjut Suro Joyo.
Ketika bangun dari pingsannya, Suro Joyo merasa dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Dia kini juga bertatapan dengan tiga orang yang asing. Padahal, baru saja dirinya mimpi ditemui sosok yang membuatnya terbangun. Terbangun dari pingsan, juga tidur selama sehari semalam.Suro Joyo duduk sambil mengucek-ngucek mata beberapa kali. Dia ingin memastikan bahwa dirinya sedang sadar. Sudah bangun dari mimpinya. Mimpi yang membuatnya merasa ngeri karena bentakan orang dalam mimpi yang tidak pernah dikenalnya!“Eh…, maaf, kalian ini siapa?” tanya Suro Joyo kepada tiga orang yang menungguinya selama Pendekar Kembara Semesta itu tak sadar diri. “Dan…, aku ini di mana sekarang?”“Namaku Banaswarih,” jawab kesatria tampan itu. “Ini anak buahku, Bandem dan Lunjak.”Banaswarih melanjutkan perkataannya, “Coba Kisanak Suro Joyo ingat kembali peristiwa kemarin. Kemarin Kisanak bertarung melawan Keks
Keksi Anjani tahu bahwa Palasih ingin mengincar nyawanya. Pedang di tangan Palasih yang sekarang berada di ketinggian, siap membabat leher Keksi Anjani. Keksi Anjani menyadari bahwa Palasih tak kan ragu sedikit pun untuk menghabisi dirinya. Palasih sangat bernafsu untuk membunuh bekas pemimpinnya. Perasaan dendam Palasih terhadap Keksi Anjani membuatnya tega melakukan perbuatan keji. Perbuatan keji yang dilakukan Palasih ada dua. Pertama Palasih mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Perbuatan keji kedua, yang sekarang akan dia lakukan. Palasih sangat yakin dirinya bakal bisa memenggal Keksi Anjani! Saat Palasih berada berada di atasku, ini kesempatan yang baik. Kata hati Keksi Anjani. Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap lawanku melesat ke udara, maka itu kesempatan nyata yang tidak boleh disia-siakan. Aku bisa melakukan sesuatu yang menguntungkan diriku. Benar, kesempatan tersebut tidak disia-siakan Keksi Anjani. Dia menghantamkan ajian
Mereka berdua keluar dari goa. Mereka berdua terbelalak kaget demi dilihatnya sosok pendekar wanita yang berdiri membelakangi mereka. Sosok itu memandang lurus ke timur. Tempat ke arah matahari terbit. Janurwasis dan Palasih tahu siapa wanita yang berdiri tegak dalam posisi membelakangi. Wanita pendekar. Wanita cantik yang menjadi pendiri Pesanggrahan Alas Waru! Ya…, dia Keksi Anjani! Janurwasis sebagai orang selama ini naksir, menginginkan Keksi Anjani untuk dijadikan istri, tentu sangat mengenal Keksi Anjani. Baik dari segi fisik, tubuh, kecantikan, Janurwasis sangat hafal. Begitu juga dengan Palasih. Palasih anak buah sejak lama. Tentu saja Palasih sangat mengenali bentuk tubuh tuan putrinya itu. Keksi Anjani sengaja memunggungi kedua orang yang sama-sama dia anggap pengkhianat dan jahat. Palasih dia anggap pengkhianat karena telah mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Janurwasis dia anggap jahat karena telah memperdaya Palasih, sehingga mencuri kitab rahasia
Godar sejak tadi sudah merasa bahwa posisi pasukan Parangbawana mulai terdesak. Banyak prajurit berguguran di tangan lawan. Lebih-lebih sekarang Suro Joyo yang secara langsung atau tidak langsung membantu Parangbawana dalam keadaan terluka dan dibawa kabur oleh Banaswarih. Kalau keadaan seperti ini terus berlangsung, maka lama kelamaan pasukan Parangbawana bisa tumpas. Kata Godar dalam hati. Pasukan Parangbawana bisa habis tak tersisa. Sehebat apa pun pasukan Parangbawana, mereka sebagian kalah mengenali medan pertempuran, sehingga mudah ditundukkan lawan. Pasukan Parangbawana banyak yang gugur karena kalah mengenal areal pertempuran. Ketika Sengkalis memberi isyarat kepada dirinya, Godar sudah tanggap. Dia memberikan isyarat balik pada Sengkalis bahwa dirinya sudah paham akan isyarat yang diberikan Sengkalis. ”Mundur...!” teriak Sengkalis lantang. Suaranya menggema membelah angkasa. Dia berharap seluruh pasukan Parangbawana yang tersisa bis