Kojar cepat menancapkan pisau saktinya ke dinding tebing sehingga dirinya tidak jauh turun dari puncak gunung. Di dekatnya ada beberapa utas akar pohon yang menjalar.
Kojar segera mengikatkan satu utas akar ke tubuhnya. Dia biarkan tubuhnya bergelantungan untuk sementara waktu sambil beristirahat karena kelelahan.
Westi pun membiarkan dirinya tergeletak beberapa saat karena kelelahan setelah bertempur sekian lama. Dia tatap Bunga Puspajingga yang berdiri kokoh di tebing Gunung Sumbing.
Dalam keadaan sangat lelah, Westi melihat ke puncak gunung. Terihat dua sosok pendekar. Satu pendekar berusia tua membawa tongkat lusuh dari kayu jati. Sedangkan yang satunya adalah sosok pendekar muda berpakaian serba putih mengenakan ikat pinggang berbentuk kepala rajawali.
Westi Ningtyas tersentak kaget ketika dia ingat sosok pendekar berpakaian serba putih itu. Dia terbangun dari sikap terlentangnya. Dia mendongakkan ke atas. Bertatapan dalam jarak cukup jauh dengan
”Ilmu Cicak Merayap. Sudah kupelajari sejak puluhan tahun silam,” jawab Ki Panjong. ”Ayo kita ambil biji dan Bunga Puspajingga bersama-sama. Sebelum kedahuluan pendekar lain!” ”Bersama-sama? Mana mungkin, Ki? Saya tidak bisa merayapi tebing ini sepertimu,” tanya Suro disertai rasa heran yang tak bisa ditahan. ”Untuk itu, kau harus temukan akal.” ”Akal...? Akal bagaimana, Ki? Dalam keadaan seperti ini masih harus berpikir keras?” ”Hanya ada satu cara.” ”Apa, Ki?” ”Kau naik di punggungku!” Suro pun menurut pemikiran Ki Panjong. Seumur-umur baru kali ini dia digendong pada usia dewasa. Digendong oleh seorang kakek-kakek lagi! Akan terasa aneh dan di luar nalar. Mestinya yang menggendong itu yang muda. Yang muda menggendong kakek-kakek karena sudah renta dan lemah. Ini malah sebaliknya, yang kakek-kakek tua menggendong anak muda yang gagah perkasa. ”Tunggu! Kalian tak bisa memetik bunga itu begitu saja!” sentak West
”Hai, gadis muda! Jangan mencoba berbohong padaku! Dari ceritamu, aku menduga kamu tahu banyak tentang Garjitalung. Berarti kamu tahu di mana dia sekarang.””Aku tidak bohong. Aku berkata apa adanya! Kalau tidak percaya, tanya saja pada orang lain!””O..., agaknya kamu belum tahu siapa aku, gadis manis. Sehingga kamu berani membentak seperti itu. Dengar baik-baik, aku bernama Lodra Dahana,” pengakuan pendekar muda itu.“Aku anak Raja Taweng Dahana dari Kerajaan Garbaloka,” Lodra Dahana menyebutkan asal-usulnya. “Kuharap kamu jawab sekali lagi tentang keberadaan Garjitalung yang brengsek itu!””Lodra! Aku tak pandang siapa dirimu. Biar kamu anak raja atau hanya seorang pengemis, bagiku sama saja. Aku sudah menjawab apa yang kamu tanyakan secara jujur. Sekarang minggirlah! Aku akan lewat....””Tidak bisa! Kamu boleh lewat bila dapat menunjukkan jalan menuju Sanggar Teratai
”Oh..., ehm..., anu, tidak.aku..., tidak..., tidak sedang memikirkan apa-apa kok!” Westi bingung untuk menjawab pertanyaan Radipta.”Sebaiknya kamu istiharat dan tidur di sini saja! Besok kamu pulang setelah fajar menyingsing!””Tapi..., aku tak berani tidur di sini sendirian,” alasan Westi sebagai ‘undangan’ terselubung.“Aku akan menungguimu di sini. Tidurlah! Aku akan berjaga-jaga di sini.””Terima kasih, Radipta. Terima kasih atas pertolonganmu.”Westi memandang ke langit. Menatap bulan yang memancarkan sinar indahnya ke seantero jagat. Keindahan sinar rembulan menebarkan suasana terang yang membuat hati senang.Pagi hari yang cerah Westi terbangun dari tidur nyenyaknya. Radipta tidak berada di sampingnya lagi. Telah meneruskan perjalanan ke Sanggar Teratai Perak. Namun Westi tidak merasakan kesal atau marah.Dia menyadari bahwa Radipta tidak ada hubungan khus
Wandasa sebenarnya merasa keder juga menghadapi Suro. Tapi sebagai laki-laki yang sudah kondang karena kekejaman itu merasa malu kalau harus meninggalkan arena pertarungan. Apalagi ketiga anak buahnya sudah tewas di tangan lawan.Maju tatu, mundur ajur. Kalau maju, mungkin dirinya tidak akan mampu mengalahkan Suro. Tapi kalau mundur, apa kata orang nanti? Dirinya akan menjadi bahan olok-olokan di dunia persilatan.Mereka pasti akan menganggapnya sebagai pendekar laki-laki yang bermental seperti banci! Belum lagi kalau didengar anak buahnya. Wah, pasti mereka tidak akan lagi menghormatinya!”Hebat! Kamu memang hebat, Suro!” kata Wandasa. ”Tak kusangka, anak kemarin sore sepertimu sudah berilmu silat setinggi ini. Tapi jangan besar kepala dulu! Rejung hanyalah anak buahku. Dia masih jauh di bawahku dalam soal ilmu silat atau kesaktian.””Heheheha..., sejak tadi bisanya kamu ngomong melulu!” ejek Suro
”Jangan pura-pura bloon, Suro! Aku sudah mengenal nama lengkapmu..., Suro Sinting. Pendekar yang benar-benar berotak miring, huahahahaha...,” ejek Garjitalung yang disambut tawa sepuluh anak buahnya. “Miring sama dengan sinting. Sinting sama dengan gila, huahahahahaha...!”Makin riuh tawa anak buah Garjitalung. Sebenarnya yang diungkapkan Garjitalung tidak lucu. Tapi karena lama tidak tertawa, mereka lampiaskan tawa saat ini juga. Sekeras-kerasnya. Tertawa sekeras-kerasnya.”Baiklah, aku bersyukur karena ada orang lain yang mengenalku. Terima kasih kamu mau mengenalku. Walau demikian, aku tak perlu mengenalmu karena kamu congkak, sok jagoan, dan sok menang-menangan,” kata Suro dengan lagak semau sendiri.“Sejujurnya, aku tidak mengenal kalian,” kata Suro sambil memandangi mereka dengan pandangan menyepelekan. “Kalian sepertinya memang tidak pantas kukenal. Juga tak pantas dikenal oleh siapa pun. Mengena
Pagi-pagi benar Suro Sinting telah sampai di Istana Kerajaan Krendobumi. Istana yang megah dan mewah penuh hiasan antik yang sangat unik. Raja Agung Paramarta, Permaisuri Niken Sari, dan beberapa punggawa kerajaan menyambutnya dengan gembira. Mereka menyambut kedatangan Suro laksana menyambut datangnya seorang pahlawan. Pahlawan bagi Kerajaan Krendobumi. Memang dalam kenyataannya, Suro saat ini pahlawan Krendobumi. Bukan hanya karena berhasil mendapatkan Bunga Puspajingga, tetapi juga berhasil menumpas pendekar dari golongan hitam yang mengacau di berbagai tempat. Raja Agung segera memanggil tabib istana. Sang Raja memerintahkan tabib istana untuk menggunakan Bunga Puspajingga sebagaiahan utama ramuan obat. Obat yang hasil ramuan itu, nantinya digunakan untuk penyembuhan pada kaki permaisuri yang lumpuh. Kelumpuhan kaki ibunda Suro itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Kaki Niken Sari lumpuh akibat pukulan telapak naga dari Jati Kawangwang yang punya ju
Suro Joyo berdiri tegak di puncak Bukit Tengkorak. Tangannya mengepal keras, pandangannya tajam lurus ke arah utara. Tubuh Suro Joyo kokoh laksana menancap di bumi. Siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi di luar perhitungan.Rambutnya yang cukup panjang diikat kain putih berkelebat-kelebat ditiup angin pegunungan. Semilir angin sedikit mendinginkan pikirannya. Namun rasa penasaran dalam hati tak bisa dihilangkan sejak mula pertama mendapat tantangan dari seorang pendekar. Pendekar itu tidak menyebutkan jati dirinya.Dalam hati Pendekar Kembara Semesta yang terdalam dipenuhi tanda tanya tentang siapa yang menantangnya duel di bukit ini. Mengapa orang itu menantang dirinya bertarung? Apakah dia punya dendam kesumat yang ingin segera dilampiaskan? Ataukah pendekar itu hanya iseng atau main-main saja?Kalau hanya iseng atau main-main, rasanya tidak mungkin. Begitu kata hati Suro Joyo. Orang yang main-main, tentu tidak sampai membunuh praju
Pada saat bersamaan ajian Rajah Cakra Geni meluncur ke arah Jati Kawangwang dari jarak jauh. Dua pukulan jarak jauh berhantaman. Terdengar suara gelegar menggetar yang terdengar ke seantero perbukitan.Tenaga yang berhantaman berbalik ke arah mereka. Dengan sigap keduanya menggeser tubuh ke kanan, sehingga lolos dari hantaman ajian mereka. Suro Joyo dan Jati Kawangwang tidak mau celaka akibat lontaran balik ajian mereka.Jati Kawangwang ingin segera menuntaskan dendamnya pada Suro Joyo. Dia meloloskan senjata andalan dari sarungnya. Senjata itu dia curi dari gurunya. Senjata merupa martil bergerigi yang diberi rantai besi. Dia putar-putar di atas kepala untuk mengambil ancang-ancang penyerangan. Lalu dengan sekali sentakan, martil bergerigi tajam melesat ke arah kepala lawan!Sontak Suro Joyo kelimpungan karena tak menduga ada serangan mendadak dari lawan. Dia tak mungkin menghindar. Martil bergerigi melesat sangat cepat menuju dirinya. Jalan satu-satunya adalah