Lagi-lagi terjadi ledakan. Pisau Liman Kuring melesat kembali ke genggaman Kijar. Sedangkan tubuh Westi masih meluncur ke dasar jurang. Dalam keadaan terdesak, Westi tancapkan cundrik ke dinding tebing. Cundrik menancap pada batu, sehingga dapat digunakan Westi untuk bergelantungan.
Westi melihat di samping kanannya ada pohon cukup besar yang akarnya mencengkeram kuat pada batu dinding tebing. Dia lepas selendang yang melingkari di pinggang dengan tangan kiri. Selendang ungu dilemparkan ke batang ponon dengan gunakan tenaga dalam.
Ujung selendang mengikat erat pada batang pohon. Westi segera mencabut cundrik sekaligus menarik selendang dengan tangan kiri. Cepat sekali tubuh Westi melesat ke arah pohon. Dengan ringannya dia telah berdiri di atas batang pohon itu.
Wajah Westi menengadah ke atas. Pada jarak puluhan tombak di atasnya, terlihat Bunga Puspajingga. Sedangkan di puncak gunung sana masih terlihat sosok Kojar yang berdiri dengan congkaknya. Kojar merasa telah berada di atas angin.
”Hehehehe..., Westi Ningtyas yang cantik dan suka selingkuh, apa yang kamu lakukan di bawah sana?” tanya Kojar dengan nada mengejek. ” Bagaimana kalau kau naik ke sini saja dan bercinta denganku, manis, hehehe...! Kujamin kamu akan puas.”
”Kojar! Jangan tertawa-tawa kayak orang gila! Turunlah ke tebing ini untuk memperebutkan Bunga Puspajingga! Jangan hanya mau enaknya saja hendak merampas bunga ini dari orang lain!” Westi ganti mengejek.
”Heheheh..., untuk apa aku turun? Aku di sini saja lebih enak. Menunggumu di sini sampai kau memetik bunga itu. Setelah bunga kau petik, aku bunuh kau dengan pisauku ini. Nah, aku nanti tinggal mengambil bunga yang jatuh di dasar jurang bersama mayatmu.”
”Itu bukan cara ksatria, Kojar. Kalau kau berjiwa ksatria, harus berani menyabung nyawa untuk memperebutkan bunga ini. Kalau kau ksatria, mestinya berani turun untuk memetik bunga ini.”
”Untuk apa repot-repot pakai cara ksatria segala? Yang penting, aku nanti bisa mendapatkan bunga itu,” kata Kojar disertai tawa ajekannya. “Ramuan bunga itu nanti bisa meningkatkan tenaga dalamku.”
“Dasar licik, maunya kamu tidak banyak menggunakan tenaga, tetapi bisa mendapat hasil melimpah,” ejek Westi. “Heh, mana ada orang yang mau memetik bunga itu? Apalagi kalau mereka tahu bahwa kamu akan merampok Bunga Puspajingga.”
“Pasti ada yang memetik bunga itu,” kata Kojar dengan nada tenang. ”Nanti kalau berhasil mendapatkan Bunga Puspajingga, akan kugunakan untuk menajamkan pisauku. Sisanya untuk meningkatkan kejantananku, hehehehehe...!”
”Jantan? Dirimu laki-laki jantan? Heh, siapa yang percaya bahwa dirimu benar-benar laki-laki jantan?” tanya Westi sinis. “Sepanjang waktu yang kuketahui, kamu hanya mampu mengintip orang lain yang sedang bercinta.”
“Kau merasa puas kalau berhasil mengintip orang bercinta,” lanjut Westi. “Iya kan. Itu baru satu bukti bahwa kamu bukan laki-laki jantan.”
“Bukti yang lain, nyatanya sekarang kamu tak berani turun ke tebing ini untuk memperebutkan bunga yang kamu incar. Kalau kamu laki-laki jantan, kamu pasti berani menghadapi tantangan duel dari seorang wanita!”
Darah Kojar mendidih karena hinaan Westi yang terlalu tandas. Terlalu mendasar. Hal ini sudah sangat menyinggung harga diri sebagai sosok manusia yang berani mengaku sebagai laki-laki!
”Sundal iblis! Rupanya kau sudah ngebet untuk nyusul Banawa, hiaaat!” kata Kojar sambil mencabut dua pisau yang menyilang di dada. Dia segera melompat ke jurang.
Kojar menggunakan pisau di tangan kanan dan kiri untuk menempel di tebing. Kedua pisau ditancapkan di bebatuan dinding tebing. Lalu bergerak cepat ke sisi kanan Westi. Di sana ada batu besar menonjol untuk digunakan berpijak.
Jarak batu besar yang menyatu dengan dinding dari pohon yang digunakan Westi untuk berpijak cukup jauh. Lebih dari sepuluh tombak. Kini antara Kojar dan Westi sudah berhadapan dengan jarak sepuluh tombak.
Kaki Kojar berpijak di batu besar yang menonjol dari dinding tebing, sedangkan kaki Westi menapak di batang pohon yang mencengkeram kuat pada batu dinding tebing juga.
Di atas mereka berkelebat-kelebat sekuntum Bunga Puspajingga karena tiupan semilir angin. Bunga sakti itulah yang sama-sama mereka inginkan. Sedangkan di bawah mereka ada dasar jurang menganga yang siap memangsa siapa pun yang jatuh dari puncak gunung!
Dalam benak Kojar berkembang pemikiran untuk menumbangkan pohon yang digunakan Westi untuk berpijak. Dia akan gunakan pisau-pisaunya untuk menumbangkannya.
Pada saat yang sama, Westi juga berkeinginan menghancurkan batu besar yang digunakan Kojar untuk berpijak. Westi akan gunakan butiran peledak dan cundrik saktinya untuk menghancurkan batu besar itu.
Kojar melemparkan pisau sakti andalannya ke batang pohon tempat Westi berpijak. Pisau Liman Kuring yang pancarkan sinar merah membara melesat menuju sasaran.
Westi juga melemparkan cundrik ke arah batu besar tempat Kojar berpijak. Cundriknya melesat cepat dalam keadaan berputar sesar.
Dhuarrr!
Dua senjata sakti beradu lagi. Keduanya sama-sama kembali ke genggaman pemiliknya. Kojar gusar, dia lemparkan pisau yang dicabut dari deretan pisau yang menyilang di dada.
Dia melemparkan ke arah pohon yang diinjak lawannya. Westi mengeluarkan sebutir peledak dari balik baju dan langsung dilemparkan ke arah batu yang dipijak Kojar.
Kembali terjadi ledakan dahsyat karena bertabrakannya dua senjata yang dilemparkan. Pisau Kojar patah menjadi beberapa bagian dan meluncur jatuh ke dasar jurang.
Kedua pendekar bertempur jarak jauh dengan saling melempar senjata masing-masing ke arah lawan. Namun mereka sama-sama tangguh, sehingga belum pernah ada satu pun senjata lawan yang mengena sasaran.
Sampai suatu saat Westi maupun Kojar menyadari bahwa senjata mereka semakin berkurang. Westi tinggal memiliki tiga butir peledak, sedangkan pisau di dadanya tinggal dua bilah.
Westi menemukan cara untuk mendekati Kojar. Dia ikat dua selendang panjangnya. Lalu ujung selendang diikatkan pada batang pohon, sedangkan ujung yang lain diikatkan pada pinggangnya. Dengan gerakan tak terduga, dia melompat ke arah Kojar sambil menusukkan cundrik ke dahi lawannya itu.
Tentu saja Kojar sangat kaget dengan kenekadan Westi. Maka dia tangkis dengan Pisau Liman Kuring. Ledakan terjadi mengakibatkan tubuh Westi terlontar ke belakang. Menapak kembali di atas pohon tempatnya berpijak tadi.
Kaki Westi menggenjot batang pohon untuk melesat lagi ke arah lawan sambil lemparkan sebutir peledak ke dada Kojar. Kali ini Kojar tak mau menangkis, karena ledakannya bisa membuatnya terlontar ke belakang. Sehingga tubuhnya bisa jatuh ke jurang. Kojar melentingkan tubuhnya ke atas, dengan tetap tegak di atas batu pijakan.
Sebutir peledak tadi melesat di bawah kaki Kojar. Menghantam dinding batu hingga meledak. Menimbulkan beberapa batu hancur menjadi serpihan. Serpihan-serpihan batu berjatuhan ke dasar jurang.
Westi berhasil menapakkan kakinya di batu besar tempat Kojar tadi berpijak. Sedangkan Kojar yang berada di atas Westi melesat ke bawah sambil menusukkan pisau saktinya ke kepala Westi. Untungnya Westi waspada. Dia ayunkan cendriknya ke atas untuk menangkis pisau Kojar.
Dhuarrr!
Tubuh Kojar terdorong ke belakang beberapa tombak. Punggungnya menghantan dinding tebing. Lalu tubuhnya meluncur ke jurang!
Westi tergeletak di batu besar yang tadi digunakan Kojar untuk berpijak. Tubuhnya masih diikat selendang yang terikat pada batang pohon.
*
Kojar cepat menancapkan pisau saktinya ke dinding tebing sehingga dirinya tidak jauh turun dari puncak gunung. Di dekatnya ada beberapa utas akar pohon yang menjalar. Kojar segera mengikatkan satu utas akar ke tubuhnya. Dia biarkan tubuhnya bergelantungan untuk sementara waktu sambil beristirahat karena kelelahan. Westi pun membiarkan dirinya tergeletak beberapa saat karena kelelahan setelah bertempur sekian lama. Dia tatap Bunga Puspajingga yang berdiri kokoh di tebing Gunung Sumbing. Dalam keadaan sangat lelah, Westi melihat ke puncak gunung. Terihat dua sosok pendekar. Satu pendekar berusia tua membawa tongkat lusuh dari kayu jati. Sedangkan yang satunya adalah sosok pendekar muda berpakaian serba putih mengenakan ikat pinggang berbentuk kepala rajawali. Westi Ningtyas tersentak kaget ketika dia ingat sosok pendekar berpakaian serba putih itu. Dia terbangun dari sikap terlentangnya. Dia mendongakkan ke atas. Bertatapan dalam jarak cukup jauh dengan
”Ilmu Cicak Merayap. Sudah kupelajari sejak puluhan tahun silam,” jawab Ki Panjong. ”Ayo kita ambil biji dan Bunga Puspajingga bersama-sama. Sebelum kedahuluan pendekar lain!” ”Bersama-sama? Mana mungkin, Ki? Saya tidak bisa merayapi tebing ini sepertimu,” tanya Suro disertai rasa heran yang tak bisa ditahan. ”Untuk itu, kau harus temukan akal.” ”Akal...? Akal bagaimana, Ki? Dalam keadaan seperti ini masih harus berpikir keras?” ”Hanya ada satu cara.” ”Apa, Ki?” ”Kau naik di punggungku!” Suro pun menurut pemikiran Ki Panjong. Seumur-umur baru kali ini dia digendong pada usia dewasa. Digendong oleh seorang kakek-kakek lagi! Akan terasa aneh dan di luar nalar. Mestinya yang menggendong itu yang muda. Yang muda menggendong kakek-kakek karena sudah renta dan lemah. Ini malah sebaliknya, yang kakek-kakek tua menggendong anak muda yang gagah perkasa. ”Tunggu! Kalian tak bisa memetik bunga itu begitu saja!” sentak West
”Hai, gadis muda! Jangan mencoba berbohong padaku! Dari ceritamu, aku menduga kamu tahu banyak tentang Garjitalung. Berarti kamu tahu di mana dia sekarang.””Aku tidak bohong. Aku berkata apa adanya! Kalau tidak percaya, tanya saja pada orang lain!””O..., agaknya kamu belum tahu siapa aku, gadis manis. Sehingga kamu berani membentak seperti itu. Dengar baik-baik, aku bernama Lodra Dahana,” pengakuan pendekar muda itu.“Aku anak Raja Taweng Dahana dari Kerajaan Garbaloka,” Lodra Dahana menyebutkan asal-usulnya. “Kuharap kamu jawab sekali lagi tentang keberadaan Garjitalung yang brengsek itu!””Lodra! Aku tak pandang siapa dirimu. Biar kamu anak raja atau hanya seorang pengemis, bagiku sama saja. Aku sudah menjawab apa yang kamu tanyakan secara jujur. Sekarang minggirlah! Aku akan lewat....””Tidak bisa! Kamu boleh lewat bila dapat menunjukkan jalan menuju Sanggar Teratai
”Oh..., ehm..., anu, tidak.aku..., tidak..., tidak sedang memikirkan apa-apa kok!” Westi bingung untuk menjawab pertanyaan Radipta.”Sebaiknya kamu istiharat dan tidur di sini saja! Besok kamu pulang setelah fajar menyingsing!””Tapi..., aku tak berani tidur di sini sendirian,” alasan Westi sebagai ‘undangan’ terselubung.“Aku akan menungguimu di sini. Tidurlah! Aku akan berjaga-jaga di sini.””Terima kasih, Radipta. Terima kasih atas pertolonganmu.”Westi memandang ke langit. Menatap bulan yang memancarkan sinar indahnya ke seantero jagat. Keindahan sinar rembulan menebarkan suasana terang yang membuat hati senang.Pagi hari yang cerah Westi terbangun dari tidur nyenyaknya. Radipta tidak berada di sampingnya lagi. Telah meneruskan perjalanan ke Sanggar Teratai Perak. Namun Westi tidak merasakan kesal atau marah.Dia menyadari bahwa Radipta tidak ada hubungan khus
Wandasa sebenarnya merasa keder juga menghadapi Suro. Tapi sebagai laki-laki yang sudah kondang karena kekejaman itu merasa malu kalau harus meninggalkan arena pertarungan. Apalagi ketiga anak buahnya sudah tewas di tangan lawan.Maju tatu, mundur ajur. Kalau maju, mungkin dirinya tidak akan mampu mengalahkan Suro. Tapi kalau mundur, apa kata orang nanti? Dirinya akan menjadi bahan olok-olokan di dunia persilatan.Mereka pasti akan menganggapnya sebagai pendekar laki-laki yang bermental seperti banci! Belum lagi kalau didengar anak buahnya. Wah, pasti mereka tidak akan lagi menghormatinya!”Hebat! Kamu memang hebat, Suro!” kata Wandasa. ”Tak kusangka, anak kemarin sore sepertimu sudah berilmu silat setinggi ini. Tapi jangan besar kepala dulu! Rejung hanyalah anak buahku. Dia masih jauh di bawahku dalam soal ilmu silat atau kesaktian.””Heheheha..., sejak tadi bisanya kamu ngomong melulu!” ejek Suro
”Jangan pura-pura bloon, Suro! Aku sudah mengenal nama lengkapmu..., Suro Sinting. Pendekar yang benar-benar berotak miring, huahahahaha...,” ejek Garjitalung yang disambut tawa sepuluh anak buahnya. “Miring sama dengan sinting. Sinting sama dengan gila, huahahahahaha...!”Makin riuh tawa anak buah Garjitalung. Sebenarnya yang diungkapkan Garjitalung tidak lucu. Tapi karena lama tidak tertawa, mereka lampiaskan tawa saat ini juga. Sekeras-kerasnya. Tertawa sekeras-kerasnya.”Baiklah, aku bersyukur karena ada orang lain yang mengenalku. Terima kasih kamu mau mengenalku. Walau demikian, aku tak perlu mengenalmu karena kamu congkak, sok jagoan, dan sok menang-menangan,” kata Suro dengan lagak semau sendiri.“Sejujurnya, aku tidak mengenal kalian,” kata Suro sambil memandangi mereka dengan pandangan menyepelekan. “Kalian sepertinya memang tidak pantas kukenal. Juga tak pantas dikenal oleh siapa pun. Mengena
Pagi-pagi benar Suro Sinting telah sampai di Istana Kerajaan Krendobumi. Istana yang megah dan mewah penuh hiasan antik yang sangat unik. Raja Agung Paramarta, Permaisuri Niken Sari, dan beberapa punggawa kerajaan menyambutnya dengan gembira. Mereka menyambut kedatangan Suro laksana menyambut datangnya seorang pahlawan. Pahlawan bagi Kerajaan Krendobumi. Memang dalam kenyataannya, Suro saat ini pahlawan Krendobumi. Bukan hanya karena berhasil mendapatkan Bunga Puspajingga, tetapi juga berhasil menumpas pendekar dari golongan hitam yang mengacau di berbagai tempat. Raja Agung segera memanggil tabib istana. Sang Raja memerintahkan tabib istana untuk menggunakan Bunga Puspajingga sebagaiahan utama ramuan obat. Obat yang hasil ramuan itu, nantinya digunakan untuk penyembuhan pada kaki permaisuri yang lumpuh. Kelumpuhan kaki ibunda Suro itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Kaki Niken Sari lumpuh akibat pukulan telapak naga dari Jati Kawangwang yang punya ju
Suro Joyo berdiri tegak di puncak Bukit Tengkorak. Tangannya mengepal keras, pandangannya tajam lurus ke arah utara. Tubuh Suro Joyo kokoh laksana menancap di bumi. Siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi di luar perhitungan.Rambutnya yang cukup panjang diikat kain putih berkelebat-kelebat ditiup angin pegunungan. Semilir angin sedikit mendinginkan pikirannya. Namun rasa penasaran dalam hati tak bisa dihilangkan sejak mula pertama mendapat tantangan dari seorang pendekar. Pendekar itu tidak menyebutkan jati dirinya.Dalam hati Pendekar Kembara Semesta yang terdalam dipenuhi tanda tanya tentang siapa yang menantangnya duel di bukit ini. Mengapa orang itu menantang dirinya bertarung? Apakah dia punya dendam kesumat yang ingin segera dilampiaskan? Ataukah pendekar itu hanya iseng atau main-main saja?Kalau hanya iseng atau main-main, rasanya tidak mungkin. Begitu kata hati Suro Joyo. Orang yang main-main, tentu tidak sampai membunuh praju