Pagi-pagi benar Suro Sinting telah sampai di Istana Kerajaan Krendobumi. Istana yang megah dan mewah penuh hiasan antik yang sangat unik. Raja Agung Paramarta, Permaisuri Niken Sari, dan beberapa punggawa kerajaan menyambutnya dengan gembira. Mereka menyambut kedatangan Suro laksana menyambut datangnya seorang pahlawan. Pahlawan bagi Kerajaan Krendobumi.
Memang dalam kenyataannya, Suro saat ini pahlawan Krendobumi. Bukan hanya karena berhasil mendapatkan Bunga Puspajingga, tetapi juga berhasil menumpas pendekar dari golongan hitam yang mengacau di berbagai tempat.
Raja Agung segera memanggil tabib istana. Sang Raja memerintahkan tabib istana untuk menggunakan Bunga Puspajingga sebagaiahan utama ramuan obat. Obat yang hasil ramuan itu, nantinya digunakan untuk penyembuhan pada kaki permaisuri yang lumpuh.
Kelumpuhan kaki ibunda Suro itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Kaki Niken Sari lumpuh akibat pukulan telapak naga dari Jati Kawangwang yang punya ju
Suro Joyo berdiri tegak di puncak Bukit Tengkorak. Tangannya mengepal keras, pandangannya tajam lurus ke arah utara. Tubuh Suro Joyo kokoh laksana menancap di bumi. Siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi di luar perhitungan.Rambutnya yang cukup panjang diikat kain putih berkelebat-kelebat ditiup angin pegunungan. Semilir angin sedikit mendinginkan pikirannya. Namun rasa penasaran dalam hati tak bisa dihilangkan sejak mula pertama mendapat tantangan dari seorang pendekar. Pendekar itu tidak menyebutkan jati dirinya.Dalam hati Pendekar Kembara Semesta yang terdalam dipenuhi tanda tanya tentang siapa yang menantangnya duel di bukit ini. Mengapa orang itu menantang dirinya bertarung? Apakah dia punya dendam kesumat yang ingin segera dilampiaskan? Ataukah pendekar itu hanya iseng atau main-main saja?Kalau hanya iseng atau main-main, rasanya tidak mungkin. Begitu kata hati Suro Joyo. Orang yang main-main, tentu tidak sampai membunuh praju
Pada saat bersamaan ajian Rajah Cakra Geni meluncur ke arah Jati Kawangwang dari jarak jauh. Dua pukulan jarak jauh berhantaman. Terdengar suara gelegar menggetar yang terdengar ke seantero perbukitan.Tenaga yang berhantaman berbalik ke arah mereka. Dengan sigap keduanya menggeser tubuh ke kanan, sehingga lolos dari hantaman ajian mereka. Suro Joyo dan Jati Kawangwang tidak mau celaka akibat lontaran balik ajian mereka.Jati Kawangwang ingin segera menuntaskan dendamnya pada Suro Joyo. Dia meloloskan senjata andalan dari sarungnya. Senjata itu dia curi dari gurunya. Senjata merupa martil bergerigi yang diberi rantai besi. Dia putar-putar di atas kepala untuk mengambil ancang-ancang penyerangan. Lalu dengan sekali sentakan, martil bergerigi tajam melesat ke arah kepala lawan!Sontak Suro Joyo kelimpungan karena tak menduga ada serangan mendadak dari lawan. Dia tak mungkin menghindar. Martil bergerigi melesat sangat cepat menuju dirinya. Jalan satu-satunya adalah
”Tentang keinginan Riris Manik untuk menguasai dunia persilatan dengan cara memperalat setiap laki-laki yang mendekatinya,” jawab Danawarih. “Tapi harus hati-hati ketika kita menyelidiki Riris Manik. Dia punya teman dan kekasih di banyak tempat. Mereka sangat mencintai Riris Manik. Mereka ada yang mencintai sebagai seorang kekasih, ada juga yang mencintai sebagai seorang sahabat.” “Selain itu,” lanjut Danawarih, “Riris Manik mempunyai ilmu silat tinggi, kesaktian yang sulit diukur kehebatannya, dan juga mempunyai sinar mata berkekuatan gaib. Sinar mata ini mampu memikat siapa saja yang menatapnya.” “Masih ada lagi kabar yang perlu kita selidiki,” Danawarih menambahkan. “Beberapa pemuda yang masuk ke Sanggar Teratai Perak milik Riris Manik, tidak keluar lagi. Karena sanggar Riris Manik itu terletak dekat pantai utara yang termasuk wilayah Krendobumi, maka kita harus menyelidiki!” “Raja Agung Paramarta tidak ingin ketentraman rakyat Krendobumi terusik,” kata Da
”Kapan kamu bersedia kawin denganku?” tanya Garjitalung. Dia meletakkan sekelopak Bunga Puspajingga di tepi tempat tidur. Pemuda itu duduk dekat Riris Manik yang masih terlentang berselimutkan kain sutera. Tubuhnya tertutup kain lembut. Riris Manik masih malas untuk bangun.”Kapan-kapan aku akan memberitahumu, Garjitalung, tetapi jangan dalam waktu dekat ini,” janji Riris Manik. Janji seorang gadis dewasa yang diucapkan dengan nada ringan. Diucapkan tanpa diikuti perasaan cinta penuh bara antara seorang gadis terhadap seorang pemuda.“Kamu tentunya sudah tahu bahwa hatiku masih luka sejak kematian orang yang kucinta beberapa tahun lalu,” lanjut Riris Manik. “Maka, biarkan aku sementara waktu ini sendirian. Aku menyendiri di sanggar ini untuk menyembuhkan luka hati. Aku ingin benar-benar luka hati yang terdalam sembuh. Baru setelah itu, siap menjadi istrimu.””Baiklah, aku pergi dulu,” kata Garjitalung y
Lodra Dahana berkelit dengan melemparkan tubuhnya ke kanan. Tubuh pendekar berkumis melintang itu terjerembab di tanah, tetapi dapat terhindar dari pedang lawan. Pedang yang ditusukkan Riris Manik menancap sangat dalam pada pohon. Rupanya Riris Manik terdorong perasaan marah yang berlebihan, sehingga gerakan pedangnya tidak terkontrol. Gerakannya lurus ke depan dengan tenaga dalam penuh melambari tangannya. Akibatnya pedang menancap kuat di pohon besar. Riris Manik bersusah payah untuk mencabut pedangnya kembali. Begitu berhasil dicabut, pedang di tangan Riris Manik kembali berkelebat. Berkali-kali tusukan dan sabetan dia arahkan ke lawan. Untuk kesekian kalinya Lodra Dahana menghindar dengan berbagai cara. Kadang melenting ke atas sambil berusaha mendepak lawan. Namun sering bergeser menyamping atau bergulingan di tanah. Riris Manik nyaris tidak memberikan ruang bagi Lodra Dahana untuk bergerak dan bernapas secara bebas. Pendekar wanita yang penuh pesona itu
”Belum, Mbok,” jawab Malibeng jujur. Dirinya memang belum tahu tentang Sanggar Teratai Perak. Makanya dia di sepanjang perjalanan bertanya-tanya tentang letak sanggar itu.”Sanggar Teratai Perak adalah milik dan tempat tinggal Riris Manik,” Mbok Minul memberikan penjelasan secara singkat.”Ehm..., begitu,” Malibeng mengangguk-angguk senang, memang tempat itu yang akan didatanginya. Jauh-jauh dia menyeberang laut luas memang untuk melamar Riris Manik yang namanya kesohor hingga di delapan penjuru mata angin. Riris Manik kesohor karena kecantikannya. Riris Manik terkenal karena pesona wajahnya yang mampu menaklukkan banyak pria.”Ada apa Kisanak? Kelihatannya kok melamun?””Oh, tidak, Mbok. Saya tidak melamun kok. Ehm..., saya mau tanya kepada Mbok Minul. Untuk ke sana, ke Sanggar Teratai Perak itu, jalan mana yang mesti ditempuh?””Ke arah utara.”Buru-buru Malibeng seger
Tingkah laku Malibeng ini sejak tadi diamati Lengkoro dari balik bebatuan. Lengkoro merasa heran karena dirinya tidak tahu kemana pemuda yang bertarung melawan Malibeng tadi pergi. Tadi dia lihat ada debu beterbangan yang menutupi tubuh Malibeng dan Radipta. Lalu terlihat debu lenyap bersama lenyapnya tubuh Radipta. Kemana ya perginya pemuda itu? Begitu Lengkoro bertanya-tanya dalam hati. Apakah pemuda itu punya ajian sakti yang membuatnya bisa menghiang? Ataukah dia hanya lari sangat cepat, sehingga aku tidak melihatnya tadi? Karena asyiknya mengamati Malibeng, Lengkoro tak sadar ketika kakinya terpeleset. Batu-batu yang diinjaknya runtuh. Bebatuan yang runtuh menimbulkan suara gemerisik, suara berisik. Malibeng menoleh ke arah suara berisik. Dia menoleh ke arah tempat yang digunakan Lengkoro untuk bersembunyi sejak tadi. ”Hei, pemuda kencur atau siapa pun Kisanak! Keluarlah dari persembunyian Kisanak kalau Kisanak laki-laki!” tantang Malib
”Benar, saya tidak bohong! Dia itu sebenarnya benda mati yang ’mirip’ manusia,” Suro Joyo memberikan penjelasan. Malibeng memandangi Suro Joyo sambil berkata, “Kisanak ini kok malah membuat saya bingung.” ”Dia itu benda mati yang ’seolah-olah’ hidup seperti manusia.” ”O..., maksud Kisanak, dia itu kelihatannya manusia tetapi tingkah lakunya seperti benda mati?” ”Bukan begitu maksud saya. Itu terlalu mendalam maknanya.” ”Atau mungkin dia itu manusia tetapi pikirannya seperti benda mati?” ”Bukan. Itu juga terlalu tinggi pemaknaannya.” ”Atau mungkin dia manusia tetapi tidak punya hati nurani seperti manusia?” “Ya..., bisa juga seperti itu. Tapi..., bukan itu yang saya maksud.” “Mungkin dia itu manusia yang keberadaannya seperti benda mati.” “Ya, boleh saja dimaknakan begitu. Namun maksud saya bukan begitu. Yang jelas, Kisanak tadi tidak berperang melawan manusia tetapi melawan sesuatu yag seolah-olah