”Kapan kamu bersedia kawin denganku?” tanya Garjitalung. Dia meletakkan sekelopak Bunga Puspajingga di tepi tempat tidur. Pemuda itu duduk dekat Riris Manik yang masih terlentang berselimutkan kain sutera. Tubuhnya tertutup kain lembut. Riris Manik masih malas untuk bangun.
”Kapan-kapan aku akan memberitahumu, Garjitalung, tetapi jangan dalam waktu dekat ini,” janji Riris Manik. Janji seorang gadis dewasa yang diucapkan dengan nada ringan. Diucapkan tanpa diikuti perasaan cinta penuh bara antara seorang gadis terhadap seorang pemuda.
“Kamu tentunya sudah tahu bahwa hatiku masih luka sejak kematian orang yang kucinta beberapa tahun lalu,” lanjut Riris Manik. “Maka, biarkan aku sementara waktu ini sendirian. Aku menyendiri di sanggar ini untuk menyembuhkan luka hati. Aku ingin benar-benar luka hati yang terdalam sembuh. Baru setelah itu, siap menjadi istrimu.”
”Baiklah, aku pergi dulu,” kata Garjitalung y
Lodra Dahana berkelit dengan melemparkan tubuhnya ke kanan. Tubuh pendekar berkumis melintang itu terjerembab di tanah, tetapi dapat terhindar dari pedang lawan. Pedang yang ditusukkan Riris Manik menancap sangat dalam pada pohon. Rupanya Riris Manik terdorong perasaan marah yang berlebihan, sehingga gerakan pedangnya tidak terkontrol. Gerakannya lurus ke depan dengan tenaga dalam penuh melambari tangannya. Akibatnya pedang menancap kuat di pohon besar. Riris Manik bersusah payah untuk mencabut pedangnya kembali. Begitu berhasil dicabut, pedang di tangan Riris Manik kembali berkelebat. Berkali-kali tusukan dan sabetan dia arahkan ke lawan. Untuk kesekian kalinya Lodra Dahana menghindar dengan berbagai cara. Kadang melenting ke atas sambil berusaha mendepak lawan. Namun sering bergeser menyamping atau bergulingan di tanah. Riris Manik nyaris tidak memberikan ruang bagi Lodra Dahana untuk bergerak dan bernapas secara bebas. Pendekar wanita yang penuh pesona itu
”Belum, Mbok,” jawab Malibeng jujur. Dirinya memang belum tahu tentang Sanggar Teratai Perak. Makanya dia di sepanjang perjalanan bertanya-tanya tentang letak sanggar itu.”Sanggar Teratai Perak adalah milik dan tempat tinggal Riris Manik,” Mbok Minul memberikan penjelasan secara singkat.”Ehm..., begitu,” Malibeng mengangguk-angguk senang, memang tempat itu yang akan didatanginya. Jauh-jauh dia menyeberang laut luas memang untuk melamar Riris Manik yang namanya kesohor hingga di delapan penjuru mata angin. Riris Manik kesohor karena kecantikannya. Riris Manik terkenal karena pesona wajahnya yang mampu menaklukkan banyak pria.”Ada apa Kisanak? Kelihatannya kok melamun?””Oh, tidak, Mbok. Saya tidak melamun kok. Ehm..., saya mau tanya kepada Mbok Minul. Untuk ke sana, ke Sanggar Teratai Perak itu, jalan mana yang mesti ditempuh?””Ke arah utara.”Buru-buru Malibeng seger
Tingkah laku Malibeng ini sejak tadi diamati Lengkoro dari balik bebatuan. Lengkoro merasa heran karena dirinya tidak tahu kemana pemuda yang bertarung melawan Malibeng tadi pergi. Tadi dia lihat ada debu beterbangan yang menutupi tubuh Malibeng dan Radipta. Lalu terlihat debu lenyap bersama lenyapnya tubuh Radipta. Kemana ya perginya pemuda itu? Begitu Lengkoro bertanya-tanya dalam hati. Apakah pemuda itu punya ajian sakti yang membuatnya bisa menghiang? Ataukah dia hanya lari sangat cepat, sehingga aku tidak melihatnya tadi? Karena asyiknya mengamati Malibeng, Lengkoro tak sadar ketika kakinya terpeleset. Batu-batu yang diinjaknya runtuh. Bebatuan yang runtuh menimbulkan suara gemerisik, suara berisik. Malibeng menoleh ke arah suara berisik. Dia menoleh ke arah tempat yang digunakan Lengkoro untuk bersembunyi sejak tadi. ”Hei, pemuda kencur atau siapa pun Kisanak! Keluarlah dari persembunyian Kisanak kalau Kisanak laki-laki!” tantang Malib
”Benar, saya tidak bohong! Dia itu sebenarnya benda mati yang ’mirip’ manusia,” Suro Joyo memberikan penjelasan. Malibeng memandangi Suro Joyo sambil berkata, “Kisanak ini kok malah membuat saya bingung.” ”Dia itu benda mati yang ’seolah-olah’ hidup seperti manusia.” ”O..., maksud Kisanak, dia itu kelihatannya manusia tetapi tingkah lakunya seperti benda mati?” ”Bukan begitu maksud saya. Itu terlalu mendalam maknanya.” ”Atau mungkin dia itu manusia tetapi pikirannya seperti benda mati?” ”Bukan. Itu juga terlalu tinggi pemaknaannya.” ”Atau mungkin dia manusia tetapi tidak punya hati nurani seperti manusia?” “Ya..., bisa juga seperti itu. Tapi..., bukan itu yang saya maksud.” “Mungkin dia itu manusia yang keberadaannya seperti benda mati.” “Ya, boleh saja dimaknakan begitu. Namun maksud saya bukan begitu. Yang jelas, Kisanak tadi tidak berperang melawan manusia tetapi melawan sesuatu yag seolah-olah
Hati Suro Joyo terasa berantakan. Betapa tidak, gadis yang berdiri di depannya benar-benar gadis yang sempurna! Terutama dari segi penampilan, kecantikan, dan kemolekan bentuk tubuhnya. Dilihat dari penampilan luarnya, gadis di depannya ini benar-benar sempurna.Wajah cantik mempesona, rambut panjang terurai dipadu dengan ikat kepala berupa sutera warna putih. Bentuk tubuhnya tiada kekurangan sedikit pun, tinggi semampai, dan dibungkus pakaian yang paduan warnanya sangat serasi. Paduan warna hijau, kuning, dan warna keemasan. Sedangkan panjang warna biru melilit pinggang yang ramping menambah pesona tersendiri.Namun ada satu hal yang membuat semua orang mesti berhati-hati, di punggungnya ada dua pedang menyilang yang gagangnya berbentuk kepala harimau. Sungguh suatu paduan antara kecantikan sosok wanita dan kekekaran sosok pendekar. Cantik dan kuat. Berkesan cantik, tapi tidak mudah diperdaya. Atau cantik tapi tidak bisa diremehkan begitu saja.Suro Joyo menjad
”Terus terang, Riris Manik, kedatanganku kemari untuk mengenalmu. Mengenal watakmu. Mengenal kepribadianmu. Pada kelanjutannya nanti, aku ingin menyuntingmu,” kata Radipta terus terang. “Aku ingin kamu kelak menjadi pendamping hidupku. Pendamping hidup selama-lamanya. Aku rasanya tidak akan bahagia kalau tidak beristri wanita cantik bernama Riris Manik.”Radipta mengeluarkan segenap kata-kata rayuan. Semua kata-kata manis dikerahkan Radipta. Laki-laki muda itu tak akan tahan melihat kecantikan dan kemolekan Riris Manik. Apalagi pakaian yang dikenakan pendekar jelita itu serba tipis dan tembus pandang!”Ehm..., maaf Radipta. Kalau keunginanmu untuk berkenalan, aku terima dengan senang hati. Hanya saja..., untuk menjadi istrimu, aku butuh waktu untuk berpikir. Aku butuh waktu untuk mengenalmu. Aku butuh waktu untuk mengenal sifat-sifatmu. Jangan sampai aku nanti menjadi istrimu tanpa mengenal segala kelebihan dan kelemahanmu.”
Sejak kematian Pidaka, Riris Manik mengasingkan diri ke pantai utara dengan membuat Sanggar Teratai Perak. Dia tinggal seorang diri. Riris Manik ‘memelihara’ teman yang dia anggap setia. Teman yang dia anggap setia adalah balas dendam. Riris Manik ingin melakukan balas dendamnya pada setiap laki-laki yang dia anggap menyakiti dirinya. Dia mengumpankan setiap laki-laki yang dianggap mempermainkan dirinya pada buaya-buaya piaraan yang tinggal di danau bawah sanggar!”Kamu tentu tidak tahu apa yang terjadi pada ibuku sejak kematian ayahku,” kata Radipta sambil tetap melengos. Radipta tidak berani menatap Riris Manik yang mempunyai kekuatan gaib pada matanya itu. ”Ibuku bunuh diri karena putus asa! Untunglah aku diasuh oleh seorang penduduk desa yang dekat dengan rumahku. Kalau tidak ada yang mengasuh, aku pasti sudah tewas dimakan harimau hutan!””Itu semua sudah berlalu, Radipta,” Riris Manik merajuk. Merayu. Dia menggunaka
”Riris Manik! Kalau kamu menemui kesulitan, temui Keksi Anjani di tengah Alas Waru!” demikian pesan Keksi Anjani yang dilambari tenaga dalam. Walau Keksi Anjani sudah jauh dari Sanggar Teratai Perak, tetapi suaranya terdengar di telinga Riris Manik. Beberapa saat kemudian, suasana sanggar kembali sepi.Riris Manik berusaha mengejar Keksi Anjani sampai daratan, tetapi Keksi Anjani telah lenyap bagai siluman! Keksi Anjani tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Benar-benar Keksi Anjani melesat sangat cepat tanpa bisa diikuti pandangan mata Riris Manik. Benar-benar gerak Keksi Anjani laksana gerakan siluman. Riris Manik hendak berbalik ke Sanggar Teratai Perak dalam suasana hati kecewa. Namun langkahnya tertahan oleh kedatangan Malibeng.”Saya Malibeng,” kata pendekar dari tanah seberang itu. ”Apakah Kisanak yang bernama Riris Manik?””Benar,” jawab Riris Manik sambil mengamati laki-laki sepantaran dirinya itu dengan ce