Orang yang sejak tadi mengawasi Banawa, nangkring di dahan pohon yang tinggi. Dia adalah sosok pendekar yang berpakaian serba ungu. Dengan sekali gerakan meluncur dan menginjak tanah tepat di depan Banawa.
Gerakan pendekar wanita berparas cantik itu tentu saja mengejutkan Banawa. Lebih-lebih setelah Banawa tahu sosok gadis yang berdiri di depannya, maka lebih terkejutlah dia.
”Westi Ningtyas!” teriak Banawa.
”Banawa!” gadis itu balas teriak.
Kedua pendekar itu pun saling bergerak mendekat. Saling berpelukan dengan erat. Erat sekali. Seolah-olah tak mau lepas untuk selama-lamanya.
”Aku rindu sekali, Banawa..., rindu sekali,” kata Westi Ningtyas, masih memeluk Banawa.
”Aku pun juga demikian, Westi,” balas Banawa. ”Siang malam aku selalu memikirkan dirimu. Hampir tiap malam aku sulit tidur karena rindu padamu.”
”Selama ini kamu kemana, Banawa?”
”Memperdalam tenaga dalam bersama saudara kembarku.”
”Sudah berhasil?”
”Sudah. Tapi tentang janjiku padamu itu..., ehm... maafkan. Aku belum bisa memenuhi janji dalam waktu dekat ini.”
Banawa melanjutkan, “Aku akan mengumpulkan harta yang banyak dulu. Baru setelah itu kita kawin.”
”Tak apa-apa, Banawa. Aku akan tetap sabar menunggu. Lagi pula, aku sekarang juga ada tugas penting dari kakakku.”
Westi merenggangkan pelukannya, kemudian melepaskan pelukan dari pemuda yang sudah lama menjadi kekasihnya itu. Keduanya duduk di atas batu hitam.
Saling berhadapan untuk saling menatap wajah sang kekasih. Dalam benaknya Banawa merasa bangga mempunyai kekasih secantik Westi.
Gadis tinggi semampai, hidung bangir, bibir bulat kecil, kulit halus, dan rambutnya panjang tergerai. Ikat kepala yang juga berwarna ungu lebih mempercantik penampilannya.
”Kakakmu memberikan tugas apa, Westi?”
”Kakakku luka parah dalam suatu pertarungan. Dia memberiku tugas untuk mencari penyembuhnya.”
”Kamu disuruh mencari apa?”
”Bunga Puspajingga.”
Mata Banawa terbelalak. Ini berarti dirinya mesti bersaing dengan Westi. Bahkan bukan hanya sekedar bersaing, tapi mungkin malah harus bertarung dan saling bunuh demi mendapatkan bunga sakti itu!
Jika hal tersebut harus terjadi, sungguh-sungguh sesuatu yang menyedihkan. Banawa tak sanggup membayangkan dirinya bertarung melawan Westi.
”Kenapa, Banawa? Kelihatannya kok kaget?” tanya Westi penasaran.
”Ehm..., begini Westi,” Banawa mengambil napas dalam-dalam. ”Aku juga ingin memiliki Bunga Puspajingga.”
”Untuk apa?”
”Untuk menyempurnakan tenaga dalamku. Bila ini berhasil, kamu juga memetik hasilnya.”
”Maksudmu apa, Banawa?”
Banawa pun menceritakan rencana dirinya bersama Banawi untuk menguasai harta karun yang terdapat dalam Goa Barong. Westi mengangguk-angguk tanda mengerti atas keinginan kekasihnya.
”Tapi bagaimana dengan kakakku? Dia benar-benar sangat membutuhkan bunga sakti itu,” kata Westi.
”Begini saja, Westi, bunga itu kita cari bersama-sama. Kalau sudah kita petik, kelopaknya dibagi dua. Bagimana?” tanya Banawa.
“Setuju! Pemikiranmu benar-benar hebat, Banawa! Kamu punya pemikiran yang cemerlang.”
Banawa mendekati Westi. Tangannya membelai wajah kekasih hati yang halus. Lalu keduanya berpelukan mesra.
Hari menjelang malam. Alam sekitar sudah mulai gelap karena sang mentari sudah lama tenggelam di ufuk barat. Makin malam makin gulita.
Samar-samar sinar bulan purnama menggantikan sang surya. Semakin malam, sinar bulan semakin terang benderang. Sinar terangnya menyinari jagat raya.
Banawa dan Westi berencana tidur di goa kecil yang ada di Bukit Tengkorak. Mereka berdua kelihatan sedang asyik duduk di depan perapian yang mereka buat.
Perapian kecil itu mereka buat dari ranting-ranting kering. Mereka membakar kelinci hutan yang baru saja mereka tangkap. Nyala api yang cukup besar mampu mematangkan binatang yang dibakar.
Dengan lezatnya sepasang kekasih itu menyantap daging kelinci yang sudah matang. Usai makan, mereka kembali duduk di luar goa kecil sambil menikmati keindahan malam bulan purnama.
”Westi. Apa yang kamu ketahui tentang Bunga Puspajingga?” tanya Banawa memecah kesunyian.
”Bunga Puspajingga wangi, kelopak tidak mudah layu atau runtuh dari tangkainya.”
Lanjut Westi, “Bunga sakti itu punya banyak kegunaan. Sayangnya, bunga itu tidak mudah hidup di sembarang tempat. Dia hanya bisa hidup di tempat yang tingginya ribuan tombak dari atas tanah.”
“Itu pun masih ada syarat lagi,” Westi menambahkan, “tanaman bunga itu tidak bisa tumbuh selain di tebing gunung. Sampai saat ini baru satu gunung yang diketahui telah tumbuh Bunga Puspajingga, yaitu Gunung Sumbing.”
”Bagaimana orang tahu kalau di gunung itu ditumbuhi Bunga Puspajingga?”
”Dari baunya akan ketahuan. Ketika Bunga Puspajingga mekar, dari seluruh areal gunung akan tercium bau yang harum. Mulai dari puncak gunung sampai kaki gunung akan tercium bau harumnya yang semerbak.”
”Selain itu, apakah ada bukti lain sehingga orang begitu yakin kalau di gunung itu ada Bunga Puspajingga?”
”Ada. Beberapa waktu yang lalu ada seorang pendekar dari timur berhasil memetik Bunga Puspajingga. Nama pendekar itu Garda Punjung. Waktu itu dia hanya memetik satu kumtum bunga sakti tersebut, walau sebenarnya ada dua kuntum bunga yang mekar.”
”Untuk apa Garda Punjung memetik bunga itu?”
”Tak ada yang tahu, hanya saja, kita perlu berterima kasih kepada Garda Punjung. Karena dia yang pertama mengetahui kalau ada Bunga Puspajingga di Gunung Sumbing.”
”Menurutmu, bagaimanakah bunga yang satu kuntum yang tidak dipetik Garda?”
”Kemungkinan sudah menjadi biji. Tapi ini tidak pasti, sebab bunga itu jarang menjadi biji. Oh ya, ada satu hal lagi, Puspajingga mekar hanya sekali dalam sewindu.”
”Masa?” Banawa terkejut. ”Selama delapan tahun, bunga itu hanya berbunga satu kali?”
”Benar,” jawab Westi tenang.
”Bangaimana kalau saat ini bunga itu tidak mekar?”
“Kata banyak orang, sekarang ini baunya masih semerbak, berarti masih mekar. Memangnya kenapa kalau sudah tidak mekar?”
“Bila sekarang bunga itu tidak mekar, maka sia-sialah perjalanan kita ini.”
”Jangan khawatir Banawa! Saya pernah lewat di kaki gunung itu belum lama ini. Saya mencium wangi Puspajingga.”
Makin larut malam, udara perbukitan semakin dingin. Banawa merapatkan diri pada sang kekasih. Begitu pula Westi semakin meringkuk dalam pelukan Banawa yang hangat.
”Banawa, selama setahun kita berpisah, apa kamu pernah berhubungan dengan wanita lain?” tanya Westi tiba-tiba.
”Tidak,” jawab Banawa jujur. “Memangnya ada apa?”
”Tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu saja. Aku juga begitu. Tak ada pemuda yang kucintai selain dirimu.”
“Sejak pertama kamu memerawani aku di tengah hutan itu,” lanjut Westi, “aku bersumpah tidak akan berhubungan dengan pemuda lain.”
”Westi...,” panggil Banawa lirih sambil mempererat pelukannya pada bahu sang kekasih.
”Ada apa, Banawa?”
”Ehm..., aku....”
Agaknya Westi tahu yang dikehendaki Banawa. Dia segera memulai. Mencium bibir laki-laki idamannya dengan lembut. Lembut sekali. Membuat Banawa merasa terombang-ambing antara percaya dan tidak. Mimpi atau kenyataan?
Bukan mimpi. Ternyata kenyataan. Sebuah kenyataan yang membuat kedua sejoli itu kelelahan. Tidur pulas karena kelelahan. Tidur pulas sampai pagi.
Keesokam harinya Westi bangun terlebih dahulu. Dia segera meraih pakaiannya, berjalan menuju pancuran.
Gadis itu mandi di pancuran yang sangat dingin airnya. Membersihkan seluruh tubuh, hingga tak menyadari ketika sinar matahari menyentuh wajahnya.
Bergegas dia mengenakan pakaian yang berwarna serba ungu. Senjata andalannya berupa keris kecil diselipkan di pinggang. Keris kecil ini juga disebut cundrik.
Westi berjalan cepat ke depan goa kecil untuk membangunkan Banawa. Namun Banawa sudah tidak berada di tempat! Kemana dia? Westi mencari-cari di areal Bukit Tengkorak. Tapi tak menemukan yang dia cari.
***
Ketika Westi menebarkan pandangan ke segala penjuru, tiba-tiba Banawa telah memeluknya dari belakang sambil tertawa-tawa ceria. Westi melepaskan diri dengan perasaan agak kesal.“Maaf, Westi kalau membuatmu kaget,” kata Banawa yang sudah rapi penampilannya. “Aku tadi mandi di pancuran yang ada di sana. Sekalian aku mencari buah jambu. Ayo kita makan buah ini untuk sarapan!”“Baiklah, tapi lain kali jangan berbuat seperti ini!”Westi menerima beberapa buah jambu. Kemudian mereka memakannya. Ketika matahari mulai meninggi, mereka meneruskan perjalanan ke arah selatan.Lepas tengah hari Banawa dan Westi telah sampai di kaki Gunung Sumbing. Ada tiga jalan menuju ke puncak Gunung Sumbing. Jalan kiri lewat utara, jalan tengah, dan jalan kanan lewat selatan. Banawa dan Westi berhenti untuk menentukan pilihan.”Kita lewat utara,” Banawa mengajukan pemikirannya.”Setuju,” sahut Westi. &rdquo
”Semua jalan sama saja, akan sampai ke puncak,” jawab Ki Panjong. “Hanya saja, menurut jejak-jejak ini, jalan selatan dan utara telah dilalui para pendekar. Maka dari itu, kita lewat jalan tengah saja.”Kedua pendekar yang beda usia itu berjalan menyusuri jalan tengah. Jalan semakin lama semakin menanjak. Membuat kedua kaki terasa berat untuk melangkah.Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak dan sempit. Suro dan Ki Panjong tidak bisa beriringan. Ki Panjong yang berjalan di depan, sedangkan Suro di belakangnya.Walau sudah tua Ki Panjong masih mampu berjalan cepat mendaki batu-batu terjal. Jalan yang menuju puncak ternyata berkelok-kelok. Semakin tinggi, semakin sulit didaki.Banyak semak belukar yang membuat kaki-kaki mereka kadang terhambat. Semak yang lebat membuat perjalanan lebih lambat.Matahari telah tenggelam ketika mereka baru mendaki seperempat dari tinggi gunung. Suro dan Ki panjong masih terus mendaki.
Pucat wajah begundal demi dilihatnya kepalan tangan Suro. ”Ka-kami disuruh... Garjitalung....” lalu begundal itu pun pingsan. Saking takutnya melihat kepalan tangan Suro!”Dasar cecurut..., tampang sangar, nyali ciut!” gumam Suro. ”Mari kita teruskan perjalanan, Ki!””Mari,” jawab Ki Panjong.Keduanya meneruskan perjalanan mendaki gunung dengan langkah cepat. Ketika waktu menjelang tengah hari keduanya hampir sampai di puncak gunung. Mereka sepakat duduk di bawah pohon maja untuk istirahat.Sementara itu pada waktu yang sama Westi Ningtyas dan Banawa telah sampai di puncak Gunung Sumbing. Mereka bernapas lega setelah sampai di tempat yang dituju.”Jangan merasa lega sobat..., aku sampai di sini sejak tadi,” kata seseorang yang keluar dari balik bebatuan. Dia ternyata Garjitalung.Banawa dan Westi terkejut karena tak menduga ada orang lain yang terlebih dahulu sampai di puncak ini. N
”Banawa! Banawa...! Di mana kau?” Westi memanggil-manggil sang kekasih sambil berjalan sempoyongan ke arah selatan.Dia mendekati Garjitalung dengan pandangan penuh kebencian. Bahkan ada kesan dirinya jijik melihat Garjitalung.”Di mana Banawa? Di Mana?” tanya Westi pada Garjitalung penuh kegeraman.“Mana aku tahu?” jawab Garjitalung acuh tak acuh. “Aku tidak tahu-menahu tentang kekasihmu yang paling kau cintai itu.””Bangsat tengik! Kau kan tadi bertarung melawan dia! Masa kau tidak tahu?””Seharusnya kau tak perlu bertanya! Kalau dua pendekar bertempur di tepi jurang, sedangkan satu dari pendekar itu hidup, maka nasib pendekar yang satunya dapat kau tebak sendiri.””Jadi Banawa....” ucapan Westi belum selesai, keburu dia lari ke tepi jurang. Melihat ke arah bawah yang jaraknya ratusan tombak. Melihat ke arah bawah untuk mengetahui apa yang ada di bawa
Pendekar muda itu merasakan nyeri pada lambung kiri, sedangkan darah menetes dari luka goresan. Secara naluri tangan kirinya memegangi luka, agar darah berhenti mengalir. Dia berdiri dengan susah payah sambil bersiul keras sekali.Dari arah bawah berjumpalitan sepuluh anak buah Garjitalung yang berpakaian serba hitam. Di tangan mereka tergenggam golok tajam berkilat-kilat kena sinar matahari.”Habisi sundal ini, cepat!” perintah Garjitalung sambil matanya memandang segala penjuru. ”Jangan sampai gagal memusnahkan perempuan itu!”Anak buah Garjitalung yang berjumlah sepuluh orang maju serentak. Golok mereka mengarah satu tujuan, yakni tubuh pendekar yang berpakaian serba ungu. Namun para pengeroyok agaknya tak menyadari siapa lawan mereka.Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka lawan pendekar pilih tanding. Dengan sekali lontaran dari tangan kiri, empat butiran peledak melesat ke arah mereka. Empat butir menghantam dada empat peng
Lagi-lagi terjadi ledakan. Pisau Liman Kuring melesat kembali ke genggaman Kijar. Sedangkan tubuh Westi masih meluncur ke dasar jurang. Dalam keadaan terdesak, Westi tancapkan cundrik ke dinding tebing. Cundrik menancap pada batu, sehingga dapat digunakan Westi untuk bergelantungan.Westi melihat di samping kanannya ada pohon cukup besar yang akarnya mencengkeram kuat pada batu dinding tebing. Dia lepas selendang yang melingkari di pinggang dengan tangan kiri. Selendang ungu dilemparkan ke batang ponon dengan gunakan tenaga dalam.Ujung selendang mengikat erat pada batang pohon. Westi segera mencabut cundrik sekaligus menarik selendang dengan tangan kiri. Cepat sekali tubuh Westi melesat ke arah pohon. Dengan ringannya dia telah berdiri di atas batang pohon itu.Wajah Westi menengadah ke atas. Pada jarak puluhan tombak di atasnya, terlihat Bunga Puspajingga. Sedangkan di puncak gunung sana masih terlihat sosok Kojar yang berdiri dengan congkaknya. Kojar merasa t
Kojar cepat menancapkan pisau saktinya ke dinding tebing sehingga dirinya tidak jauh turun dari puncak gunung. Di dekatnya ada beberapa utas akar pohon yang menjalar. Kojar segera mengikatkan satu utas akar ke tubuhnya. Dia biarkan tubuhnya bergelantungan untuk sementara waktu sambil beristirahat karena kelelahan. Westi pun membiarkan dirinya tergeletak beberapa saat karena kelelahan setelah bertempur sekian lama. Dia tatap Bunga Puspajingga yang berdiri kokoh di tebing Gunung Sumbing. Dalam keadaan sangat lelah, Westi melihat ke puncak gunung. Terihat dua sosok pendekar. Satu pendekar berusia tua membawa tongkat lusuh dari kayu jati. Sedangkan yang satunya adalah sosok pendekar muda berpakaian serba putih mengenakan ikat pinggang berbentuk kepala rajawali. Westi Ningtyas tersentak kaget ketika dia ingat sosok pendekar berpakaian serba putih itu. Dia terbangun dari sikap terlentangnya. Dia mendongakkan ke atas. Bertatapan dalam jarak cukup jauh dengan
”Ilmu Cicak Merayap. Sudah kupelajari sejak puluhan tahun silam,” jawab Ki Panjong. ”Ayo kita ambil biji dan Bunga Puspajingga bersama-sama. Sebelum kedahuluan pendekar lain!” ”Bersama-sama? Mana mungkin, Ki? Saya tidak bisa merayapi tebing ini sepertimu,” tanya Suro disertai rasa heran yang tak bisa ditahan. ”Untuk itu, kau harus temukan akal.” ”Akal...? Akal bagaimana, Ki? Dalam keadaan seperti ini masih harus berpikir keras?” ”Hanya ada satu cara.” ”Apa, Ki?” ”Kau naik di punggungku!” Suro pun menurut pemikiran Ki Panjong. Seumur-umur baru kali ini dia digendong pada usia dewasa. Digendong oleh seorang kakek-kakek lagi! Akan terasa aneh dan di luar nalar. Mestinya yang menggendong itu yang muda. Yang muda menggendong kakek-kakek karena sudah renta dan lemah. Ini malah sebaliknya, yang kakek-kakek tua menggendong anak muda yang gagah perkasa. ”Tunggu! Kalian tak bisa memetik bunga itu begitu saja!” sentak West
CataAkibat kena hantaman Ajian Maruta Seketi, tubuh melesat tinggi ke langit dengan tubuh berputar. Namun kali ini Suro Joyo bisa menguasai angin puting beliung. Dia bersalto beberapa kali sehingga lepas dari kisaran angin puting beliung Ajian Maruta Seketi. Malah dengan gesitnya dia menghantamkan pukulan Rajah Cakra Geni ke arah lawan saat dirinya melayang ke bumi! Sinar merah melesat ke arah Keksi Anjani yang sudah berada pada keadaan luka. Dia berusaha menghantamkan ajiannya dengan menggunakan tangan kiri. Paniratpati tidak tega mengetahui keadaan Keksi Anjani. Dia menyambar tubuh Keksi Anjani. Dia bawa lari ke tempat yang aman, lalu meletakkannya di bawah pohon besar. Leretan ajian dari Suro Joyo menghantam batu besar. Batu itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Bahan ada yang menjadi debu. Debu melayang ke udara bebas. ”Paniratpati..., kalau kamu ingin mempersuntung diriku, habisi Suro Joyo terlebih dahulu!” rayu Keksi Anjani dekat telinga Paniratpati. Laki-laki muda berwa
Godar mundur beberapa langkah untuk menghindari tendangan yang lebih keras dan mematikan. Setelah berjarak beberapa tombak, Godar berhasil menguasai diri. Dia pasang kuda-kuda lagi sambil mengarahkan pedang yang ujungnya telah patah, ke arah lawan.“Wooo, kamu bisa selamat dari serangan pertamaku,” kata Rumpang. “Hanya pedangmu yang patah, bukan lehermu! Kalau orang lain, mungkin ada anggota tubuh yang kutung.”“Aku berbeda dengan siapa pun, termasuk denganmu,” sahut Godar untuk mencari celah-celah kelemahan supaya bisa menundukkan lawan. “Kalau orang lain mati akibat serangan pedang bajamu, tetapi aku tidak. Aku masih bisa menandingi serangan pedang baja.”“Baiklah, kalau pada serangan pertama kamu bisa lolos dari maut, sekarang kamu tidak bisa lolos lagi, hiaaat!” kata Rumpang sambil menyabetkan pedang bajanya. Rumpang pmengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan yang menggenggam pedang baja warna hitam.
Benturan keras dua pedang tak terhindarkan. Saat menangkis tadi, gerakan Sengkalis agak terlambat. Pedang Sengkalis melencong. Melenceng. Menyerempet bahu kiri lawan. Palarum terperanjat setelah menyadari bahwa dirinya merasakan sengatan panas akibat goresan kecil pedang di tangan Sengkalis.Palarum mundur beberapa langkah untuk melihat luka di bahu kirinya. Dia lihat hanya goresan kecil akibat terserempet ujung pedang Sengkalis.“Ternyata tidak parah,” gumam Palarum. “Aku bisa menyerang lagi untuk menghabisinya. Seperti yang pernah dikatakan Gusti Putri Keksi Anjani, dengan cara apa pun, lawan harus dilenyapkan!”Sengkalis yang lolos dari sabetan pedang lawan yang mengarah kepala, juga mundur beberapa langkah. Meskipun ujung pedangnya tadi telah menggores bahu kecil Palarum, tapi Sengkalis tetap pasang kuda-kuda untuk menyongsong serangan lawan. Dia lihat Palarum telah siap melakukan serangan lagi dengan ujung pedang mengarah ke depan. M
Setiap ingat kematian Riris Manik dan Mayang Kencana, Keksi Anjani jadi naik pitam. Kemarahannya meledak-ledak tak terkendali. Dua saudara seperguruan telah tewas oleh Suro Joyo. Hanya satu cara dendam Keksi Anjani terlampiaskan, bunuh Suro Joyo. Tak ada hal lain yang bisa menuntaskan kemarahan dan dendam Keksi Anjani kecuali kematian Suro Joyo.Keksi Anjani mengumpulkan segenap tenaga dalamnya pada kedua telapak tangan. Dia ingin melancarkan serangan tangan kosong. Satu jurus dia siapkan untuk menyerang, tapi Suro Joyo tiba-tiba menahan Keksi Anjani supaya tidak menyerang terlebih dulu.”Tunggu! Aku perlu memberi penjelasan padamu dulu,” kata Suro Joyo dengan tenangnya. ”Bukannya aku sombong, memang beginilah pembawaanku. Sifatku seperti ini. Aku kadang-kadang suka bercanda. Mungkin karena kata-kataku kadang-kadang ada yang kasar, mungkin orang-orang menyebutku sombong.”Keksi Anjani menahan gerakannya untuk lawan sedang berbicara untuk
Suro Joyo menghela napas sejenak sambil mengingat-ingat mimpi yang dialaminya saat dirinya tidur. Tepatnya pingsan, lalu dilanjutkan tidur. Waktu pingsan dan tidur itu selama sehari semalam. Berapa lama dirinya pingsan dan berapa waktu pingsan, Suro Joyo tidak tahu. Pingsan dan tidur dialami manusia dalam keadaan tidak sadar. Suro Joyo mimpi saat dirinya tidur.“Tadi aku mimpi didatangi seorang pendekar muda yang umurnya sebaya denganku,” Suro Joyo memulai cerita mimpinya. “Wajah orang itu persis dengan wajahku. Hanya bedanya pakaian yang dikenakannya berwarna kuning. Mulai baju, celana, dan ikat kepala, semua berwarna kuning.”Banaswarih, Bandem, dan Lunjak mendengarkan cerita Suro Joyo sambil mengamati pakaian Suro Joyo yang serba putih. Pakaian yang dikenakan Suro Joyo robek-robek di sana-sini karena kena Ajian Maruta Seketi kemarin.“Pendekar muda yang mirip aku itu membentak-bentakku dengan suara keras,” lanjut Suro Joyo.
Ketika bangun dari pingsannya, Suro Joyo merasa dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Dia kini juga bertatapan dengan tiga orang yang asing. Padahal, baru saja dirinya mimpi ditemui sosok yang membuatnya terbangun. Terbangun dari pingsan, juga tidur selama sehari semalam.Suro Joyo duduk sambil mengucek-ngucek mata beberapa kali. Dia ingin memastikan bahwa dirinya sedang sadar. Sudah bangun dari mimpinya. Mimpi yang membuatnya merasa ngeri karena bentakan orang dalam mimpi yang tidak pernah dikenalnya!“Eh…, maaf, kalian ini siapa?” tanya Suro Joyo kepada tiga orang yang menungguinya selama Pendekar Kembara Semesta itu tak sadar diri. “Dan…, aku ini di mana sekarang?”“Namaku Banaswarih,” jawab kesatria tampan itu. “Ini anak buahku, Bandem dan Lunjak.”Banaswarih melanjutkan perkataannya, “Coba Kisanak Suro Joyo ingat kembali peristiwa kemarin. Kemarin Kisanak bertarung melawan Keks
Keksi Anjani tahu bahwa Palasih ingin mengincar nyawanya. Pedang di tangan Palasih yang sekarang berada di ketinggian, siap membabat leher Keksi Anjani. Keksi Anjani menyadari bahwa Palasih tak kan ragu sedikit pun untuk menghabisi dirinya. Palasih sangat bernafsu untuk membunuh bekas pemimpinnya. Perasaan dendam Palasih terhadap Keksi Anjani membuatnya tega melakukan perbuatan keji. Perbuatan keji yang dilakukan Palasih ada dua. Pertama Palasih mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Perbuatan keji kedua, yang sekarang akan dia lakukan. Palasih sangat yakin dirinya bakal bisa memenggal Keksi Anjani! Saat Palasih berada berada di atasku, ini kesempatan yang baik. Kata hati Keksi Anjani. Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap lawanku melesat ke udara, maka itu kesempatan nyata yang tidak boleh disia-siakan. Aku bisa melakukan sesuatu yang menguntungkan diriku. Benar, kesempatan tersebut tidak disia-siakan Keksi Anjani. Dia menghantamkan ajian
Mereka berdua keluar dari goa. Mereka berdua terbelalak kaget demi dilihatnya sosok pendekar wanita yang berdiri membelakangi mereka. Sosok itu memandang lurus ke timur. Tempat ke arah matahari terbit. Janurwasis dan Palasih tahu siapa wanita yang berdiri tegak dalam posisi membelakangi. Wanita pendekar. Wanita cantik yang menjadi pendiri Pesanggrahan Alas Waru! Ya…, dia Keksi Anjani! Janurwasis sebagai orang selama ini naksir, menginginkan Keksi Anjani untuk dijadikan istri, tentu sangat mengenal Keksi Anjani. Baik dari segi fisik, tubuh, kecantikan, Janurwasis sangat hafal. Begitu juga dengan Palasih. Palasih anak buah sejak lama. Tentu saja Palasih sangat mengenali bentuk tubuh tuan putrinya itu. Keksi Anjani sengaja memunggungi kedua orang yang sama-sama dia anggap pengkhianat dan jahat. Palasih dia anggap pengkhianat karena telah mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Janurwasis dia anggap jahat karena telah memperdaya Palasih, sehingga mencuri kitab rahasia
Godar sejak tadi sudah merasa bahwa posisi pasukan Parangbawana mulai terdesak. Banyak prajurit berguguran di tangan lawan. Lebih-lebih sekarang Suro Joyo yang secara langsung atau tidak langsung membantu Parangbawana dalam keadaan terluka dan dibawa kabur oleh Banaswarih. Kalau keadaan seperti ini terus berlangsung, maka lama kelamaan pasukan Parangbawana bisa tumpas. Kata Godar dalam hati. Pasukan Parangbawana bisa habis tak tersisa. Sehebat apa pun pasukan Parangbawana, mereka sebagian kalah mengenali medan pertempuran, sehingga mudah ditundukkan lawan. Pasukan Parangbawana banyak yang gugur karena kalah mengenal areal pertempuran. Ketika Sengkalis memberi isyarat kepada dirinya, Godar sudah tanggap. Dia memberikan isyarat balik pada Sengkalis bahwa dirinya sudah paham akan isyarat yang diberikan Sengkalis. ”Mundur...!” teriak Sengkalis lantang. Suaranya menggema membelah angkasa. Dia berharap seluruh pasukan Parangbawana yang tersisa bis