"Dengan Florist Edelweiss. Ada yang bisa dibantu?" Nina yang sedang bersiap-siap pulang mengangkat telepon yang kebetulan berasal dari Lian.
"Bisa pesan rangkaian bunga, tolong dikirim ke Frederic Corp besok jam sepuluh ya. Sampaikan harus pemilik toko sendiri yang mengantar bunganya." Lian menyampaikan mandat utama Marvin.
"Harus pemilik toko sendiri? Tetapi yang bertanggung jawab atas pengantaran adalah saya," tawar Nina. Ia tahu Rea jarang mau melakukan pengantaran bunga.
"Kalau bukan pemilik toko yang mengantar akan saya batalkan." Nada bicara Lian terdengar sedikit mengancam.
Nina terdiam, serba salah harus bagaimana. Kalau sampai ada pembeli yang membatalkan pesanan ia takut dimarahi, tapi kalau ia menyetujui takut salah juga. Ingin bertanya kepada Rea langsung, tapi atasannya itu sedang pulang ke rumah.
"Baiklah." Akhirnya Nina berinisiatif menyetujuinya. "Rangakaian bunganya mau apa saja?"
Diseberang telepon Lian menggaruk rambutnya pelan, ia bingung harus memesan bunga apa. Marvin juga tidak akan peduli dengan itu.
"Terserah, boleh bunga apa saja yang penting diantar jam sepuluh oleh pemilik toko." Akhirnya jawaban asal itu yang keluar dari mulutnya. Ia langsung menutup sambungan teleponnya setelah mengucapkan terima kasih secara singkat.
Kening Nina mengernyit sambil menatap gagang telepon di tangannya. Baru kali ini ada pembeli yang bukannya request jenis rangkaian bunga malah request siapa yang harus mengantar. Apa-apaan ini. Menyesal ia menerima pesanan tersebut, sudah pasti Rea akan ngomel kalau tahu hal ini.
"Kenapa, Na, kok bengong gitu?" Rea yang baru saja kembali dan masuk ke dalam toko bunga bingung mendapati Nina bengong sambil memegang gagang telepon.
"Eh ini, Kak Rea. Anu… ."
"Apa?" Rea mulai mencium ada yang tidak beres dari gelagat Nina.
"Ituu…Ini … ."
"Yang benar itu apa ini?"
Nina meletakkan gagang telepon di tempatnya. Ia lalu mendekat ke Rea, mulai memasang wajah melas agar tidak dihadiahi omelan.
"Tadi ada pesanan bunga dari Frederic Corp minta diantar besok pagi jam sepuluh."
"Ya sudah besok dibikinin. Toh kita juga sudah beberapa kali kan bikinin rangkaian bunga buat perusahaan itu," sahut Rea santai.
"Belum selesai aku ngomongnya, Kak. Mereka minta bunganya harus diantar langsung Kak Rea."
"Kenapa?"
Nina mengangkat bahunya tanda tidak mengerti, "Mereka maunya gitu. Katanya kalau bukan Kak Ama yang nganter pesanannya dibatalkan. Jadi aku iyain aja."
Rea menarik nafas, ia ingin protes tetapi kasihan melihat Nina yang wajahnya sudah was-was.
"Ya sudah nggak apa-apa sesekali aku yang mengantar," putusnya.
"Beneran, Kak?" Nina bertanya setengah tidak percaya.
"Iya. Pesen bunga apa mereka?"
"Katanya terserah. Boleh bunga apa saja."
"Na, ini bukan telepon iseng ’kan? Jangan-jangan cuma orang iseng yang ngaku sebagai pegawai Frederic Corp." Rea mulai curiga.
"Enggak kok, Kak. Tadi dia memberi alamat pengantaran dan benar Frederic Corp."
"Ya sudah. Kupikirin besok, kamu pulang saja. Sudah lewat jam lima sekarang."
Nina mengangguk senang karena lolos pulang tanpa diomeli oleh Rea.
Sementara Rea yang kini tinggal sendiri tiba-tiba teringat dengan Marvin, satu-satunya pembeli yang tidak peduli dengan rangkaian bunga yang ia beli. Jangan-jangan pesanan itu juga untuk orang yang sama.
Keesokan harinya Rea membuat rangkaian bunga untuk diantar ke Frederic Corp persis seperti rangkaian bunga yang pernah ia buatkan untuk Marvin tempo hari. Sesuai janjinya pada Nina dan si pembeli, ia mengantar bunga itu sendiri ke Frederic Corp.
"Mohon maaf, Bu. Anda tidak bisa meninggalkan bunganya di sini, Pak Marvin tadi sudah menitip pesan agar bunganya anda langsung diantar ke ruangannya."
Rea mendengkus kesal. Padahal biasanya rangkaian bunga tinggal dititipkan di bawah dan selesai.
"Harus sekali ya?" Rea bertanya lagi, memastikan.
"Iya. Ruangan Pak Marvin ada di lantai 13. Liftnya dari sini tinggal belok kiri ya." Wanita cantik itu memberi arahan dengan ramah kepada Rea.
"Dari Florist Edelweiss?" Lian menyapa Rea yang sedang antri untuk masuk lift.
"Iya." Rea menjawab singkat.
"Jangan naik lift ini, antrinya akan lama sekali. Mari ikut saya?" ajak Lian. Ia menarik pelan tangan Rea menjauh dari antrian lalu mengajak masuk ke lift khusus yang biasanya hanya dinaiki oleh Marvin dan dirinya.
"Boleh naik lift ini?" Rea ragu setelah membaca notes di dekat pintu lift. Lift khusus CEO Frederic Corp.
"Boleh. Silahkan." Lian mempersilahkan Rea masuk lebih dulu segera setelah pintu terbuka.
"Anda saudaranya Pak Marvin?" Rea mengamati penampilan rapi Lian. Sudah jelas Lian bukan karyawan biasa di kantor ini. Ia bahkan mempunyai akses naik lift khusus ini.
"Kukira semua orang tahu kalau Marvin adalah putra sekaligus cucu tunggal di keluarga Frederic."
"Kalau begitu maafkan saya dan banyak orang lain di bumi ini yang tidak mengetahui detail tentang kehidupan pribadi seorang Marvin Frederic."
Lian terkekeh mendengar pertanyaan Rea. Sekarang ia sedikit paham kenapa Marvin menilai Wanita di sampingnya itu menarik.
"Saya sekretaris Marvin. Lian," Lian mengulurkan tangannya. Memperkenalkan dirinya secara resmi.
"Rea." Rea menjabat tangan Lian. Ia mengira sekretaris seorang Marvin Frederic adalah wanita cantik dan seksi seperti di film-film, tetapi ternyata sekretarisnya adalah seorang pria. Rea merasa Lian adalah spesies yang berbeda dari Marvin. Tidak seperti Marvin yang dingin dan kaku, pria di sampingnya ini terkesan jauh lebih hangat.
Sesampainya di lantai 13, Lian langsung mengantar Rea ke depan ruangan Marvin. Setelah memastikan Rea masuk ke dalam ruangan tersebut, ia lalu pergi ke ruangannya sendiri yang tepat berada di sebelah ruangan Marvin.
"Selamat pagi menjelang siang, Pak. Ini bunga pesanan bapak." Rea meletakkan rangakaian bunga di meja, tepat di depan Marvin yang terlibat tengah sibuk dengan komputernya, "Karena pembayaran sudah dilunasi semalam saya langsung permisi ya." lanjut Rea.
Tepat saat Rea berbalik badan, pria itu memanggilnya.
"Tunggu, jangan pergi dulu."
Rea berbalik lagi tanpa beranjak dari depan pintu yang memang nyaris akan ia buka tepat sebelum suara dingin itu memanggilnya lagi, "Ya, ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Kemari, duduklah. Ada yang ingin saya bicarakan." Marvin bicara dengan nada yang sedikit lebih lunak dari biasanya.
Meski ragu akhirnya Rea menurut, ia duduk di kursi di hadapan Marvin yang sedang tampak sibuk mengambil sesuatu dari dalam lacinya, ia mengeluarkan selembar kertas yang tidak terlalu besar tapi memanjang.
"Ini untuk apa?" Rea menatap kertas yang ternyata adalah cek kosong yang disodorkan oleh Marvin di depannya dengan bingung, "Tadi saya kan sudah bilang. Bunganya sudah dibayar kemarin, anda tidak perlu sampai membayarnya dengan cek."
"Bukan. Ini untuk permintaan tolong lain yang ingin kuajukan."
Rea menatap Marvin tidak mengerti. Bagaimana mungkin seorang Marvin Frederic membutuhkan pertolongan darinya. Rasanya konyol sekali.
"Anda ingin meminta tolong pada saya?" Rea menunjuk dirinya sendiri. Marvin mengangguk mantap.
Rea terkekeh pelan, "Memangnya pertolongan seperti apa yang bisa saya berikan untuk anda, Pak?"
"Menikahlah denganku." Marvin berkata tegas dan jelas.
"APA?"
"Menikahlah denganku."
"Anda jangan bercanda!"Rea terkejut setengah mati mendengar ucapan Marvin. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan ia tidak bermimpi apapun semalam, tiba-tiba makhkuk yang baru ditemuinya kemarin itu mengajak menikah dengan menawarkan selembar cek kosong yang entah untuk apa maksudnya."Apakah wajahku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?"Rea mengamati lebih dalam wajah Marvin yang memang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda. Lalu apa motivasi pria di hadapannya ini tiba-tiba mengajaknya menikah. Ia pasti sudah mengalami kegilaan karena kesibukannya."Tulis saja berapapun yang kamu mau di cek ini." Marvin menyodorkan cek tersebut lebih dekat ke Rea. "Aku akan menyanggupi berapapun yang kamu tulis dengan satu syarat, menikahlah denganku."Rea menatap tajam Marvin yang nampak dingin dan angkuh duduk di kursinya. Ia adalah ti
Setelah dari Frederic Corp Rea langsung pulang ke rumahnya, ia hanya menghubungi Nina mengabari bahwa ia tidak akan kembali ke toko bunga. Ia butuh menenangkan diri, amarah memenuhi rongga dadanya saat mengetahui Marvin diam-diam telah menyelidiki latar belakang keluarganya. Tentu saja ia merasa ranah privasi telah diterobos tanpa izin."Rea! Rea!"Rea menoleh mendapati salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya."Ada apa, Bu?""Untung kamu sudah pulang, saya hampir saja nyusul ke toko bunga kamu."Tetangga Rea menjeda kalimatnya, ia mengatur nafasnya yang masih tersenggal. Perasaaan tidak enak langsung melingkupi Rea."Ayah kamu jantungnya kambuh sepertinya, tadi ditemuin Pak Bahar sudah pingsan di halaman. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit."Kaki Rea mendadak lemas mendengar penutu
"Siapkan kontraknya, Lian," perintah Marvin. Ia menyandarkan punggungnya santai pada kursi. "Kamu yakin sekali akan berhasil mendapatkan kerja sama itu, Vin?" tanya Lian dengan nada mengejek. "Kamu dengar sendiri 'kan separah apa kondisi ayahnya tadi. Percaya padaku, begitu keluar dari ruangan itu ia akan langsung tanda tangan kontraknya.""Tenang saja aku sudah menyiapkan kontraknya sejak bulan lalu, sekedar berjaga-jaga." Lian membuka tabletnya, membuka sebuah surat yang beserta materai yang telah di-scannya lalu menyerahkannya pada Marvin. "Periksa dulu, kalau ada yang kurang akan kuperbaiki."Marvin membaca dengan cepat kontrak tersebut. Ia menambahkan beberapa catatan. Senyum puas mengembang di wajah tampannya, "Bagus. Tidak salah aku mengandalkanmu."Tepat saat itu Rea keluar dari ruangan dengan mata yang jauh lebih sembab dari sebelumnya, tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya tetap menatap tajam. Marvin menegakkan punggung ta
"Wanita ini? Di--dia bukannya Deolinda Maura, istrimu?""Iya, ini istriku," jawab Marvin tanpa ragu. Ia melangkah lebih dekat ke tempat tidur lalu membungkuk, mencium lembut kening dan bibir wanita yang masih tertidur lelap itu di depan Rea. Membuat Rea langsung membuang pandangan ke arah lain. Apa-apaan pria di depannya itu. Bisa-bisanya melakukan tindakan seperti itu di depan matanya, kenapa tidak sekalian saja ia masuk ke kamar ini sendiri tadi dan tidak perlu menyuguhkan pemandangan seperti ini kepadanya. "Kita keluar dulu dari sini. Lanjutkan pembicaraan di tempat lain. Jangan mengganggu istirahat istriku," ajak Marvin yang langsung melangkah keluar, menarik paksa Rea agar mengikuti langkahnya. Rea mengibaskan keras tangan itu setelah mereka keluar dari kamar. Marvin membawanya ke sebuah ruangan yang disinyalir Rea sebagai ruang kerja pria itu karena terdapat banyak tumpukan dokumen di atas meja dan juga komputer pribad
"Hentikan, Marvin! Kamu sudah gila atau bagaimana?" teriak Rea ketika tangan pria yang berdiri agak jauh di depannya itu mulai menarik bersiap pelatuk pistol yang dipegangnya. Marvin tidak menghiraukan teriakan calon istri keduanya itu. Matanya terfokus pada pria yang sudah tidak berdaya di depannya. "Kesempatan terakhir untukmu. Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Pria itu hanya melirik Marvin tajam tanpa membuka mulutnya sama sekali, mempertahankan sikap bungkamnya. Ia serupa pasukan terlatih yang tidak pernah membocorkan apapun yang menjadi misinya walaupun nyawanya sudah di kerongkongan. Marvin mengangkat sebelah tangannya, melihat jam di pergelangan tangannya. "Tiga...dua…" Ia menghitung bersamaan dengan detikan jam tangannya. Pria yang ditodong pistol itu hanya memejamkan matanya erat. Seringaian muncul di wajah Marvin, "Sa..tu."Dorr! Suara tembaka
Mata Rea membola, "Apa maksudmu ayahku meninggal?" Wanita menarik kasar lengan Marvin agar pria yang sudah mulai berjalan mendahuluinya berhenti melangkahkan kakinya. Marvin berbalik dengan kesal. Dilihatnya mata wanita yang masih mencengkeram kemejanya itu sudah mulai berembun. "Jangan jatuhkan air matamu di sini. Tidak akan ada gunanya," ucapnya ketus. Ia malas menghadapi drama air mata dari seorang wanita. "Katakan dulu apa yang terjadi pada ayahku?" Rea bersikeras. Bulir air mata mulai menggelincirkan dari sudut matanya. Marvin melepaskan tangan Rea darinya dengan kasar, "Kita ke rumah sakit dan kamu tanya sendiri pada dokter. Sekarang hapus air matamu atau kita tidak akan pergi ke rumah sakit.""Aku bisa pergi sendiri," seru Rea kesal. Ia menjejakkan kakinya lantas berjalan mendahului Marvin. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Calon suami yang dianggapnya brengsek itu dengan seenak hati menyuruhnya menghapus air mat
Brak!!!Sebuah gebrakan keras di meja mengejutkan semua orang termasuk orang yang sedang tidak berada di dalam ruangan tersebut.“Bagaimana bisa perusahaan itu mencuri desain kita dan malah lebih dulu memproduksi serta mendistribusikan produk ini, Lian?” CEO muda itu tampak memarahi sekretaris pribadinya.PLian yang sejak tadi menjadi sasaran kemarahan bosnya hanya bisa diam menunggu kemarahan atasannya yang terkenal keras kepala itu sedikit mereda sebelum ia menjelaskan sesuatu.Pria beraut wajah dingin yang sudah menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya itu merenggangkan ikatan dasinya dengan kasar. Ia menghempaskan dirinya ke kursi. Amarahnya hari ini meledak karena desain suku cadang mesin yang rencananya baru akan di
Menjelang pukul sembilan malam Rea baru menutup toko bunganya. Ia hanya memperkerjakan Nina hingga jam empat sore, sisanya ia melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum menatap tulisan "Florist Edelweiss" yang terpasang di depan tokonya. Toko bunga ini adalah warisan dari mamanya. Dulu saat dikelola oleh mamanya, florist Edelweiss jauh lebih besar dari sekarang. Wanita yang bernama lengkap Amaya Reanita itu dulu bukan seorang florist dan tidak pernah berpikir akan menjadi florist seperti mamanya. Namun, tiga tahun lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan mamanya meninggal. Hidupnya jungkir balik sejak saat itu. Ia harus rela menjadi florist dan merintis kembali toko bunga peninggalan mamanya demi bertahan hidup. Sejak dari toko bunga Rea berjalan pulang dengan pikiran yang berlari ke sana ke mari. Namun, begitu sampai di depan pagar rumahnya ia menarik nafas panjang memasang kembali senyum di wajahnya sebelum masu
Mata Rea membola, "Apa maksudmu ayahku meninggal?" Wanita menarik kasar lengan Marvin agar pria yang sudah mulai berjalan mendahuluinya berhenti melangkahkan kakinya. Marvin berbalik dengan kesal. Dilihatnya mata wanita yang masih mencengkeram kemejanya itu sudah mulai berembun. "Jangan jatuhkan air matamu di sini. Tidak akan ada gunanya," ucapnya ketus. Ia malas menghadapi drama air mata dari seorang wanita. "Katakan dulu apa yang terjadi pada ayahku?" Rea bersikeras. Bulir air mata mulai menggelincirkan dari sudut matanya. Marvin melepaskan tangan Rea darinya dengan kasar, "Kita ke rumah sakit dan kamu tanya sendiri pada dokter. Sekarang hapus air matamu atau kita tidak akan pergi ke rumah sakit.""Aku bisa pergi sendiri," seru Rea kesal. Ia menjejakkan kakinya lantas berjalan mendahului Marvin. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Calon suami yang dianggapnya brengsek itu dengan seenak hati menyuruhnya menghapus air mat
"Hentikan, Marvin! Kamu sudah gila atau bagaimana?" teriak Rea ketika tangan pria yang berdiri agak jauh di depannya itu mulai menarik bersiap pelatuk pistol yang dipegangnya. Marvin tidak menghiraukan teriakan calon istri keduanya itu. Matanya terfokus pada pria yang sudah tidak berdaya di depannya. "Kesempatan terakhir untukmu. Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Pria itu hanya melirik Marvin tajam tanpa membuka mulutnya sama sekali, mempertahankan sikap bungkamnya. Ia serupa pasukan terlatih yang tidak pernah membocorkan apapun yang menjadi misinya walaupun nyawanya sudah di kerongkongan. Marvin mengangkat sebelah tangannya, melihat jam di pergelangan tangannya. "Tiga...dua…" Ia menghitung bersamaan dengan detikan jam tangannya. Pria yang ditodong pistol itu hanya memejamkan matanya erat. Seringaian muncul di wajah Marvin, "Sa..tu."Dorr! Suara tembaka
"Wanita ini? Di--dia bukannya Deolinda Maura, istrimu?""Iya, ini istriku," jawab Marvin tanpa ragu. Ia melangkah lebih dekat ke tempat tidur lalu membungkuk, mencium lembut kening dan bibir wanita yang masih tertidur lelap itu di depan Rea. Membuat Rea langsung membuang pandangan ke arah lain. Apa-apaan pria di depannya itu. Bisa-bisanya melakukan tindakan seperti itu di depan matanya, kenapa tidak sekalian saja ia masuk ke kamar ini sendiri tadi dan tidak perlu menyuguhkan pemandangan seperti ini kepadanya. "Kita keluar dulu dari sini. Lanjutkan pembicaraan di tempat lain. Jangan mengganggu istirahat istriku," ajak Marvin yang langsung melangkah keluar, menarik paksa Rea agar mengikuti langkahnya. Rea mengibaskan keras tangan itu setelah mereka keluar dari kamar. Marvin membawanya ke sebuah ruangan yang disinyalir Rea sebagai ruang kerja pria itu karena terdapat banyak tumpukan dokumen di atas meja dan juga komputer pribad
"Siapkan kontraknya, Lian," perintah Marvin. Ia menyandarkan punggungnya santai pada kursi. "Kamu yakin sekali akan berhasil mendapatkan kerja sama itu, Vin?" tanya Lian dengan nada mengejek. "Kamu dengar sendiri 'kan separah apa kondisi ayahnya tadi. Percaya padaku, begitu keluar dari ruangan itu ia akan langsung tanda tangan kontraknya.""Tenang saja aku sudah menyiapkan kontraknya sejak bulan lalu, sekedar berjaga-jaga." Lian membuka tabletnya, membuka sebuah surat yang beserta materai yang telah di-scannya lalu menyerahkannya pada Marvin. "Periksa dulu, kalau ada yang kurang akan kuperbaiki."Marvin membaca dengan cepat kontrak tersebut. Ia menambahkan beberapa catatan. Senyum puas mengembang di wajah tampannya, "Bagus. Tidak salah aku mengandalkanmu."Tepat saat itu Rea keluar dari ruangan dengan mata yang jauh lebih sembab dari sebelumnya, tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya tetap menatap tajam. Marvin menegakkan punggung ta
Setelah dari Frederic Corp Rea langsung pulang ke rumahnya, ia hanya menghubungi Nina mengabari bahwa ia tidak akan kembali ke toko bunga. Ia butuh menenangkan diri, amarah memenuhi rongga dadanya saat mengetahui Marvin diam-diam telah menyelidiki latar belakang keluarganya. Tentu saja ia merasa ranah privasi telah diterobos tanpa izin."Rea! Rea!"Rea menoleh mendapati salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya."Ada apa, Bu?""Untung kamu sudah pulang, saya hampir saja nyusul ke toko bunga kamu."Tetangga Rea menjeda kalimatnya, ia mengatur nafasnya yang masih tersenggal. Perasaaan tidak enak langsung melingkupi Rea."Ayah kamu jantungnya kambuh sepertinya, tadi ditemuin Pak Bahar sudah pingsan di halaman. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit."Kaki Rea mendadak lemas mendengar penutu
"Anda jangan bercanda!"Rea terkejut setengah mati mendengar ucapan Marvin. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan ia tidak bermimpi apapun semalam, tiba-tiba makhkuk yang baru ditemuinya kemarin itu mengajak menikah dengan menawarkan selembar cek kosong yang entah untuk apa maksudnya."Apakah wajahku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?"Rea mengamati lebih dalam wajah Marvin yang memang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda. Lalu apa motivasi pria di hadapannya ini tiba-tiba mengajaknya menikah. Ia pasti sudah mengalami kegilaan karena kesibukannya."Tulis saja berapapun yang kamu mau di cek ini." Marvin menyodorkan cek tersebut lebih dekat ke Rea. "Aku akan menyanggupi berapapun yang kamu tulis dengan satu syarat, menikahlah denganku."Rea menatap tajam Marvin yang nampak dingin dan angkuh duduk di kursinya. Ia adalah ti
"Dengan Florist Edelweiss. Ada yang bisa dibantu?" Nina yang sedang bersiap-siap pulang mengangkat telepon yang kebetulan berasal dari Lian."Bisa pesan rangkaian bunga, tolong dikirim ke Frederic Corp besok jam sepuluh ya. Sampaikan harus pemilik toko sendiri yang mengantar bunganya." Lian menyampaikan mandat utama Marvin."Harus pemilik toko sendiri? Tetapi yang bertanggung jawab atas pengantaran adalah saya," tawar Nina. Ia tahu Rea jarang mau melakukan pengantaran bunga."Kalau bukan pemilik toko yang mengantar akan saya batalkan." Nada bicara Lian terdengar sedikit mengancam.Nina terdiam, serba salah harus bagaimana. Kalau sampai ada pembeli yang membatalkan pesanan ia takut dimarahi, tapi kalau ia menyetujui takut salah juga. Ingin bertanya kepada Rea langsung, tapi atasannya itu sedang pulang ke rumah."Baiklah." Akhirnya Nina berinisiatif menyetuj
Menjelang pukul sembilan malam Rea baru menutup toko bunganya. Ia hanya memperkerjakan Nina hingga jam empat sore, sisanya ia melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum menatap tulisan "Florist Edelweiss" yang terpasang di depan tokonya. Toko bunga ini adalah warisan dari mamanya. Dulu saat dikelola oleh mamanya, florist Edelweiss jauh lebih besar dari sekarang. Wanita yang bernama lengkap Amaya Reanita itu dulu bukan seorang florist dan tidak pernah berpikir akan menjadi florist seperti mamanya. Namun, tiga tahun lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan mamanya meninggal. Hidupnya jungkir balik sejak saat itu. Ia harus rela menjadi florist dan merintis kembali toko bunga peninggalan mamanya demi bertahan hidup. Sejak dari toko bunga Rea berjalan pulang dengan pikiran yang berlari ke sana ke mari. Namun, begitu sampai di depan pagar rumahnya ia menarik nafas panjang memasang kembali senyum di wajahnya sebelum masu
Brak!!!Sebuah gebrakan keras di meja mengejutkan semua orang termasuk orang yang sedang tidak berada di dalam ruangan tersebut.“Bagaimana bisa perusahaan itu mencuri desain kita dan malah lebih dulu memproduksi serta mendistribusikan produk ini, Lian?” CEO muda itu tampak memarahi sekretaris pribadinya.PLian yang sejak tadi menjadi sasaran kemarahan bosnya hanya bisa diam menunggu kemarahan atasannya yang terkenal keras kepala itu sedikit mereda sebelum ia menjelaskan sesuatu.Pria beraut wajah dingin yang sudah menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya itu merenggangkan ikatan dasinya dengan kasar. Ia menghempaskan dirinya ke kursi. Amarahnya hari ini meledak karena desain suku cadang mesin yang rencananya baru akan di