Setelah dari Frederic Corp Rea langsung pulang ke rumahnya, ia hanya menghubungi Nina mengabari bahwa ia tidak akan kembali ke toko bunga. Ia butuh menenangkan diri, amarah memenuhi rongga dadanya saat mengetahui Marvin diam-diam telah menyelidiki latar belakang keluarganya. Tentu saja ia merasa ranah privasi telah diterobos tanpa izin.
"Rea! Rea!"
Rea menoleh mendapati salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya.
"Ada apa, Bu?"
"Untung kamu sudah pulang, saya hampir saja nyusul ke toko bunga kamu."
Tetangga Rea menjeda kalimatnya, ia mengatur nafasnya yang masih tersenggal. Perasaaan tidak enak langsung melingkupi Rea.
"Ayah kamu jantungnya kambuh sepertinya, tadi ditemuin Pak Bahar sudah pingsan di halaman. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit."
Kaki Rea mendadak lemas mendengar penuturan tetangganya.
"Rumah sakit mana, Bu?" Rea bertanya tidak sabar. Orang tersebut menyebutkan nama rumah sakit yang berjarak dua puluh menit dari tempatnya. Rea bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih.
Rea menghentikan taksi yang kebetulan sedang lewat. Tidak peduli meski biasanya ia sangat menghindari moda transportasi ini karena merasa sayang dengan uang, yang ada di kepalanya saat ini hanyalah segera pergi ke rumah sakit dan melihat kondisi ayahnya.
Berselang hanya beberapa menit setelah Rea pergi, Marvin dan Lian juga datang ke tempat tersebut.
"Yang mana rumahnya?" tanya Marvin pada Lian. Ia sedikit tidak sabar karena mereka sudah dari toko bunga Rea, tapi ia tidak ada di sana. Nihil.
Lian menunjuk sebuah rumah tepat di samping ia menghentikan mobilnya. Marvin segera meloncat itu turun. Awalnya ia dengan tenang membunyikan bel yang ada di pagar. Berkali-kali tidak ada jawaban, ia akhirnya mulai memanggil manggil dengan suara kencang.
"Nyari Rea, Mas?" Seorang tetangga yang kebetulan melintas di situ mendekati Marvin yang masih berteriak memanggil-manggil Rea.
Kening Marvin sedikit mengernyit mendengar ada orang yang memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Penampilannya jelas tidak mengindikasikan bahwa ia adalah mas-mas, 'Pak Marvin' adalah panggilan yang biasa ia terima. Ia bisa melihat jelas dari jendela mobil yang terbuka bahwa Lian sedang menahan tawanya di balik kemudi. Sial. Sayangnya itu sangat tidak penting sekarang.
"Iya. Ini benar rumah Rea ’kan?" Marvin bertanya hati-hati. Sangat tidak lucu jika ternyata ia sejak tadi membuang tenaganya di rumah yang salah.
"Benar, tapi orangnya sedang tidak ada. Tadi penyakit ayahnya kambuh, sekarang mereka di rumah sakit."
Marvin langsung bertanya nama rumah sakitnya dan segera berlalu setelah berbasa-basi mengucapkan terima kasih.
"Jadi, kita ke rumah sakit sekarang, Mas?" goda Lian masih sambil menahan tawa.
Marvin mendelik menatapnya, ia sedang tidak ingin melayani candaan Lian saat ini. Ia hanya mengangguk ringan, lalu memilih membuka tabletnya. Ada beberapa laporan yang harus ia periksa hari ini. Demi Rea, ia rela membatalkan sejumlah rapat pentingnya hari ini.
Di rumah sakit Marvin dan Lian menemukan Rea tengah duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, di depan ICU. Bagaimana mereka bisa menemukan ruangan ayahnya Rea, jawabannya sederhana karena mereka telah mengetahui nama ayahnya dari hasil penyelidikan Lian sebelumnya sehingga dengan mudah bisa bertanya ke bagian informasi. Mereka memang hampir mengetahui semuanya. Hampir.
"Bagaimana kondisi ayahmu?" Marvin bertanya pelan.
Mendengar suara itu Rea langsung mengangkat wajahnya, menatap ke arah sumber suara. Raut mukanya mendadak semakin keruh, dua orang yang paling tidak ingin ia temui muncul di hadapannya.
"Apa yang kalian lakukan disini?" Rea bertanya lemah, ia sudah tidak punya sisa tenaga untuk marah-marah. Kondisi ayahnya mengkhawatirkan dan itu sudah menyerap seluruh energinya.
Marvin dan Lian duduk di sebelah Rea tanpa diminta.
"Untuk menjenguk ayahmu tentu saja," sahut Marvin.
"Sejak kapan kita memiliki hubungan yang cukup memberi anda alasan untuk menjenguk ayah saya, Pak Marvin? Pergilah!" usir Rea.
"Kau mengusirku?"
Lian menepuk pelan pundak Marvin, memintanya yang sudah mulai terpancing emosi agar lebih tenang.
"Ini rumah sakit, Vin, dan ingat apa tujuanmu ke sini," bisik Lian.
Marvin menarik nafas dan menghembuskannya pelan, mengelola emosinya. Sementara Rea tidak peduli, matanya fokus menatap pintu ruang ICU berharap ada dokter yang segera keluar dari ruangan itu.
Selama lima belas menit ketiganya hanya duduk dalam keheningan. Hingga seorang dokter dan dua perawat keluar dari ICU, Rea langsung berdiri menghampiri. Lian juga langsung menyenggol lengan Marvin, menyuruhnya ikut menghampiri dokter tersebut.
"Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?" Rea memburu tidak sabar.
Dokter itu menunjukkan raut wajah yang prihatin, Marvin bisa langsung menduga bahwa kondisi ayah Rea sedang tidak baik-baik saja.
"Kondisinya sekarang masih kritis. Ada penyumbatan yang parah di jantungnya, satu-satunya solusi adalah operasi bypass jantung."
"Operasi bypass, Dok?" Rea pernah mendengar tentang operasi itu. Dulu ibu dari rekan kerjanya pernah melakukannya. Ia tahu dengan pasti biayanya sangat tidak sedikit.
Dokter itu mengangguk, "Hanya itu satu-satunya opsi terbaik saat ini. Usia Pak Dama juga belum enam puluh tahun, masih relatif aman untuk melakukan operasi tersebut."
Rea terdiam.
"Mohon membuat keputusan sendiri secepatnya. Nanti kalau sudah anda bisa langsung berbicara dengan perawat yang bertugas di sini. Saya permisi." Dokter itu mengangguk kecil lalu berlalu.
"Terima kasih, Dok." Rea berucap lirih, entah dokter itu mendengar atau tidak.
"Pasien boleh dijenguk, tapi hanya satu orang ya. Dan tidak boleh lebih dari lima belas menit." Salah seorang perawat menjelaskan sebelum ikut berlalu.
Dengan langkah gamang Rea masuk ke ruangan tersebut. Hatinya hancur mendapati ayahnya tergeletak lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat bantu pernafasan. Padahal dulu ayahnya adalah seorang perwira TNI Angkatan Darat yang sangat sehat, yang kemudian terpaksa pensiun dini karena kecelakaan itu. Semua kekacauan hidupnya berawal dari kecelakaan itu.
Rea mengepal erat kedua tangannya. Ada perasaan marah yang masih tersisa dalam dirinya. Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa mamanya dan membuat kaki ayahnya tidak pernah bisa pulih, tetapi juga merenggut kesehatan ayahnya. Setelah kecelakaan itu ayahnya menjadi sakit-sakitan, jantungnya yang dulu sehat bahkan ikut bermasalah. Rea tidak masalah melepaskan karirnya demi bisa menjaga satu-satunya orang tua yang masih tersisa, ia hanya ingin ayahnya selalu sehat dan baik-baik saja.
"Jangan ke mana-mana ya, Ayah. Di sini saja sama Rea."
Rea mengenggam erat tangan ayahnya dengan kedua tangannya.
"Rea akan melakukan apapun untuk mendapatkan biaya agar ayah bisa dioperasi. Ayah bertahan ya." Rea berkata lirih. Meski ia sebenarnya juga buntu, tidak tahu bagaimana caranya mendapat uang ratusan juta dalam waktu singkat.
Sudah tidak tersisa satupun aset yang bisa ia jual, semuanya sudah ludes untuk pengobatan sebelumnya. Selama ini mereka membiayai hidup dengan hasil dari toko bunga dan uang pensiun Dama. Uang tabungannya juga sangat jauh dari nominal yang dibutuhkan.
Rea menenggelamkan kepalanya di tangan ayahnya. Ia membiarkan air matanya jatuh di sana. Lalu sebuah ide gila melintas di kepalanya.
Haruskah ia menjual dirinya kepada Marvin Frederic?
"Siapkan kontraknya, Lian," perintah Marvin. Ia menyandarkan punggungnya santai pada kursi. "Kamu yakin sekali akan berhasil mendapatkan kerja sama itu, Vin?" tanya Lian dengan nada mengejek. "Kamu dengar sendiri 'kan separah apa kondisi ayahnya tadi. Percaya padaku, begitu keluar dari ruangan itu ia akan langsung tanda tangan kontraknya.""Tenang saja aku sudah menyiapkan kontraknya sejak bulan lalu, sekedar berjaga-jaga." Lian membuka tabletnya, membuka sebuah surat yang beserta materai yang telah di-scannya lalu menyerahkannya pada Marvin. "Periksa dulu, kalau ada yang kurang akan kuperbaiki."Marvin membaca dengan cepat kontrak tersebut. Ia menambahkan beberapa catatan. Senyum puas mengembang di wajah tampannya, "Bagus. Tidak salah aku mengandalkanmu."Tepat saat itu Rea keluar dari ruangan dengan mata yang jauh lebih sembab dari sebelumnya, tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya tetap menatap tajam. Marvin menegakkan punggung ta
"Wanita ini? Di--dia bukannya Deolinda Maura, istrimu?""Iya, ini istriku," jawab Marvin tanpa ragu. Ia melangkah lebih dekat ke tempat tidur lalu membungkuk, mencium lembut kening dan bibir wanita yang masih tertidur lelap itu di depan Rea. Membuat Rea langsung membuang pandangan ke arah lain. Apa-apaan pria di depannya itu. Bisa-bisanya melakukan tindakan seperti itu di depan matanya, kenapa tidak sekalian saja ia masuk ke kamar ini sendiri tadi dan tidak perlu menyuguhkan pemandangan seperti ini kepadanya. "Kita keluar dulu dari sini. Lanjutkan pembicaraan di tempat lain. Jangan mengganggu istirahat istriku," ajak Marvin yang langsung melangkah keluar, menarik paksa Rea agar mengikuti langkahnya. Rea mengibaskan keras tangan itu setelah mereka keluar dari kamar. Marvin membawanya ke sebuah ruangan yang disinyalir Rea sebagai ruang kerja pria itu karena terdapat banyak tumpukan dokumen di atas meja dan juga komputer pribad
"Hentikan, Marvin! Kamu sudah gila atau bagaimana?" teriak Rea ketika tangan pria yang berdiri agak jauh di depannya itu mulai menarik bersiap pelatuk pistol yang dipegangnya. Marvin tidak menghiraukan teriakan calon istri keduanya itu. Matanya terfokus pada pria yang sudah tidak berdaya di depannya. "Kesempatan terakhir untukmu. Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Pria itu hanya melirik Marvin tajam tanpa membuka mulutnya sama sekali, mempertahankan sikap bungkamnya. Ia serupa pasukan terlatih yang tidak pernah membocorkan apapun yang menjadi misinya walaupun nyawanya sudah di kerongkongan. Marvin mengangkat sebelah tangannya, melihat jam di pergelangan tangannya. "Tiga...dua…" Ia menghitung bersamaan dengan detikan jam tangannya. Pria yang ditodong pistol itu hanya memejamkan matanya erat. Seringaian muncul di wajah Marvin, "Sa..tu."Dorr! Suara tembaka
Mata Rea membola, "Apa maksudmu ayahku meninggal?" Wanita menarik kasar lengan Marvin agar pria yang sudah mulai berjalan mendahuluinya berhenti melangkahkan kakinya. Marvin berbalik dengan kesal. Dilihatnya mata wanita yang masih mencengkeram kemejanya itu sudah mulai berembun. "Jangan jatuhkan air matamu di sini. Tidak akan ada gunanya," ucapnya ketus. Ia malas menghadapi drama air mata dari seorang wanita. "Katakan dulu apa yang terjadi pada ayahku?" Rea bersikeras. Bulir air mata mulai menggelincirkan dari sudut matanya. Marvin melepaskan tangan Rea darinya dengan kasar, "Kita ke rumah sakit dan kamu tanya sendiri pada dokter. Sekarang hapus air matamu atau kita tidak akan pergi ke rumah sakit.""Aku bisa pergi sendiri," seru Rea kesal. Ia menjejakkan kakinya lantas berjalan mendahului Marvin. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Calon suami yang dianggapnya brengsek itu dengan seenak hati menyuruhnya menghapus air mat
Brak!!!Sebuah gebrakan keras di meja mengejutkan semua orang termasuk orang yang sedang tidak berada di dalam ruangan tersebut.“Bagaimana bisa perusahaan itu mencuri desain kita dan malah lebih dulu memproduksi serta mendistribusikan produk ini, Lian?” CEO muda itu tampak memarahi sekretaris pribadinya.PLian yang sejak tadi menjadi sasaran kemarahan bosnya hanya bisa diam menunggu kemarahan atasannya yang terkenal keras kepala itu sedikit mereda sebelum ia menjelaskan sesuatu.Pria beraut wajah dingin yang sudah menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya itu merenggangkan ikatan dasinya dengan kasar. Ia menghempaskan dirinya ke kursi. Amarahnya hari ini meledak karena desain suku cadang mesin yang rencananya baru akan di
Menjelang pukul sembilan malam Rea baru menutup toko bunganya. Ia hanya memperkerjakan Nina hingga jam empat sore, sisanya ia melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum menatap tulisan "Florist Edelweiss" yang terpasang di depan tokonya. Toko bunga ini adalah warisan dari mamanya. Dulu saat dikelola oleh mamanya, florist Edelweiss jauh lebih besar dari sekarang. Wanita yang bernama lengkap Amaya Reanita itu dulu bukan seorang florist dan tidak pernah berpikir akan menjadi florist seperti mamanya. Namun, tiga tahun lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan mamanya meninggal. Hidupnya jungkir balik sejak saat itu. Ia harus rela menjadi florist dan merintis kembali toko bunga peninggalan mamanya demi bertahan hidup. Sejak dari toko bunga Rea berjalan pulang dengan pikiran yang berlari ke sana ke mari. Namun, begitu sampai di depan pagar rumahnya ia menarik nafas panjang memasang kembali senyum di wajahnya sebelum masu
"Dengan Florist Edelweiss. Ada yang bisa dibantu?" Nina yang sedang bersiap-siap pulang mengangkat telepon yang kebetulan berasal dari Lian."Bisa pesan rangkaian bunga, tolong dikirim ke Frederic Corp besok jam sepuluh ya. Sampaikan harus pemilik toko sendiri yang mengantar bunganya." Lian menyampaikan mandat utama Marvin."Harus pemilik toko sendiri? Tetapi yang bertanggung jawab atas pengantaran adalah saya," tawar Nina. Ia tahu Rea jarang mau melakukan pengantaran bunga."Kalau bukan pemilik toko yang mengantar akan saya batalkan." Nada bicara Lian terdengar sedikit mengancam.Nina terdiam, serba salah harus bagaimana. Kalau sampai ada pembeli yang membatalkan pesanan ia takut dimarahi, tapi kalau ia menyetujui takut salah juga. Ingin bertanya kepada Rea langsung, tapi atasannya itu sedang pulang ke rumah."Baiklah." Akhirnya Nina berinisiatif menyetuj
"Anda jangan bercanda!"Rea terkejut setengah mati mendengar ucapan Marvin. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan ia tidak bermimpi apapun semalam, tiba-tiba makhkuk yang baru ditemuinya kemarin itu mengajak menikah dengan menawarkan selembar cek kosong yang entah untuk apa maksudnya."Apakah wajahku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?"Rea mengamati lebih dalam wajah Marvin yang memang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda. Lalu apa motivasi pria di hadapannya ini tiba-tiba mengajaknya menikah. Ia pasti sudah mengalami kegilaan karena kesibukannya."Tulis saja berapapun yang kamu mau di cek ini." Marvin menyodorkan cek tersebut lebih dekat ke Rea. "Aku akan menyanggupi berapapun yang kamu tulis dengan satu syarat, menikahlah denganku."Rea menatap tajam Marvin yang nampak dingin dan angkuh duduk di kursinya. Ia adalah ti
Mata Rea membola, "Apa maksudmu ayahku meninggal?" Wanita menarik kasar lengan Marvin agar pria yang sudah mulai berjalan mendahuluinya berhenti melangkahkan kakinya. Marvin berbalik dengan kesal. Dilihatnya mata wanita yang masih mencengkeram kemejanya itu sudah mulai berembun. "Jangan jatuhkan air matamu di sini. Tidak akan ada gunanya," ucapnya ketus. Ia malas menghadapi drama air mata dari seorang wanita. "Katakan dulu apa yang terjadi pada ayahku?" Rea bersikeras. Bulir air mata mulai menggelincirkan dari sudut matanya. Marvin melepaskan tangan Rea darinya dengan kasar, "Kita ke rumah sakit dan kamu tanya sendiri pada dokter. Sekarang hapus air matamu atau kita tidak akan pergi ke rumah sakit.""Aku bisa pergi sendiri," seru Rea kesal. Ia menjejakkan kakinya lantas berjalan mendahului Marvin. Tangannya sibuk menghapus air matanya. Calon suami yang dianggapnya brengsek itu dengan seenak hati menyuruhnya menghapus air mat
"Hentikan, Marvin! Kamu sudah gila atau bagaimana?" teriak Rea ketika tangan pria yang berdiri agak jauh di depannya itu mulai menarik bersiap pelatuk pistol yang dipegangnya. Marvin tidak menghiraukan teriakan calon istri keduanya itu. Matanya terfokus pada pria yang sudah tidak berdaya di depannya. "Kesempatan terakhir untukmu. Siapa yang menyuruhmu ke sini?" Pria itu hanya melirik Marvin tajam tanpa membuka mulutnya sama sekali, mempertahankan sikap bungkamnya. Ia serupa pasukan terlatih yang tidak pernah membocorkan apapun yang menjadi misinya walaupun nyawanya sudah di kerongkongan. Marvin mengangkat sebelah tangannya, melihat jam di pergelangan tangannya. "Tiga...dua…" Ia menghitung bersamaan dengan detikan jam tangannya. Pria yang ditodong pistol itu hanya memejamkan matanya erat. Seringaian muncul di wajah Marvin, "Sa..tu."Dorr! Suara tembaka
"Wanita ini? Di--dia bukannya Deolinda Maura, istrimu?""Iya, ini istriku," jawab Marvin tanpa ragu. Ia melangkah lebih dekat ke tempat tidur lalu membungkuk, mencium lembut kening dan bibir wanita yang masih tertidur lelap itu di depan Rea. Membuat Rea langsung membuang pandangan ke arah lain. Apa-apaan pria di depannya itu. Bisa-bisanya melakukan tindakan seperti itu di depan matanya, kenapa tidak sekalian saja ia masuk ke kamar ini sendiri tadi dan tidak perlu menyuguhkan pemandangan seperti ini kepadanya. "Kita keluar dulu dari sini. Lanjutkan pembicaraan di tempat lain. Jangan mengganggu istirahat istriku," ajak Marvin yang langsung melangkah keluar, menarik paksa Rea agar mengikuti langkahnya. Rea mengibaskan keras tangan itu setelah mereka keluar dari kamar. Marvin membawanya ke sebuah ruangan yang disinyalir Rea sebagai ruang kerja pria itu karena terdapat banyak tumpukan dokumen di atas meja dan juga komputer pribad
"Siapkan kontraknya, Lian," perintah Marvin. Ia menyandarkan punggungnya santai pada kursi. "Kamu yakin sekali akan berhasil mendapatkan kerja sama itu, Vin?" tanya Lian dengan nada mengejek. "Kamu dengar sendiri 'kan separah apa kondisi ayahnya tadi. Percaya padaku, begitu keluar dari ruangan itu ia akan langsung tanda tangan kontraknya.""Tenang saja aku sudah menyiapkan kontraknya sejak bulan lalu, sekedar berjaga-jaga." Lian membuka tabletnya, membuka sebuah surat yang beserta materai yang telah di-scannya lalu menyerahkannya pada Marvin. "Periksa dulu, kalau ada yang kurang akan kuperbaiki."Marvin membaca dengan cepat kontrak tersebut. Ia menambahkan beberapa catatan. Senyum puas mengembang di wajah tampannya, "Bagus. Tidak salah aku mengandalkanmu."Tepat saat itu Rea keluar dari ruangan dengan mata yang jauh lebih sembab dari sebelumnya, tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya tetap menatap tajam. Marvin menegakkan punggung ta
Setelah dari Frederic Corp Rea langsung pulang ke rumahnya, ia hanya menghubungi Nina mengabari bahwa ia tidak akan kembali ke toko bunga. Ia butuh menenangkan diri, amarah memenuhi rongga dadanya saat mengetahui Marvin diam-diam telah menyelidiki latar belakang keluarganya. Tentu saja ia merasa ranah privasi telah diterobos tanpa izin."Rea! Rea!"Rea menoleh mendapati salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya."Ada apa, Bu?""Untung kamu sudah pulang, saya hampir saja nyusul ke toko bunga kamu."Tetangga Rea menjeda kalimatnya, ia mengatur nafasnya yang masih tersenggal. Perasaaan tidak enak langsung melingkupi Rea."Ayah kamu jantungnya kambuh sepertinya, tadi ditemuin Pak Bahar sudah pingsan di halaman. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit."Kaki Rea mendadak lemas mendengar penutu
"Anda jangan bercanda!"Rea terkejut setengah mati mendengar ucapan Marvin. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan ia tidak bermimpi apapun semalam, tiba-tiba makhkuk yang baru ditemuinya kemarin itu mengajak menikah dengan menawarkan selembar cek kosong yang entah untuk apa maksudnya."Apakah wajahku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?"Rea mengamati lebih dalam wajah Marvin yang memang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda. Lalu apa motivasi pria di hadapannya ini tiba-tiba mengajaknya menikah. Ia pasti sudah mengalami kegilaan karena kesibukannya."Tulis saja berapapun yang kamu mau di cek ini." Marvin menyodorkan cek tersebut lebih dekat ke Rea. "Aku akan menyanggupi berapapun yang kamu tulis dengan satu syarat, menikahlah denganku."Rea menatap tajam Marvin yang nampak dingin dan angkuh duduk di kursinya. Ia adalah ti
"Dengan Florist Edelweiss. Ada yang bisa dibantu?" Nina yang sedang bersiap-siap pulang mengangkat telepon yang kebetulan berasal dari Lian."Bisa pesan rangkaian bunga, tolong dikirim ke Frederic Corp besok jam sepuluh ya. Sampaikan harus pemilik toko sendiri yang mengantar bunganya." Lian menyampaikan mandat utama Marvin."Harus pemilik toko sendiri? Tetapi yang bertanggung jawab atas pengantaran adalah saya," tawar Nina. Ia tahu Rea jarang mau melakukan pengantaran bunga."Kalau bukan pemilik toko yang mengantar akan saya batalkan." Nada bicara Lian terdengar sedikit mengancam.Nina terdiam, serba salah harus bagaimana. Kalau sampai ada pembeli yang membatalkan pesanan ia takut dimarahi, tapi kalau ia menyetujui takut salah juga. Ingin bertanya kepada Rea langsung, tapi atasannya itu sedang pulang ke rumah."Baiklah." Akhirnya Nina berinisiatif menyetuj
Menjelang pukul sembilan malam Rea baru menutup toko bunganya. Ia hanya memperkerjakan Nina hingga jam empat sore, sisanya ia melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum menatap tulisan "Florist Edelweiss" yang terpasang di depan tokonya. Toko bunga ini adalah warisan dari mamanya. Dulu saat dikelola oleh mamanya, florist Edelweiss jauh lebih besar dari sekarang. Wanita yang bernama lengkap Amaya Reanita itu dulu bukan seorang florist dan tidak pernah berpikir akan menjadi florist seperti mamanya. Namun, tiga tahun lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan mamanya meninggal. Hidupnya jungkir balik sejak saat itu. Ia harus rela menjadi florist dan merintis kembali toko bunga peninggalan mamanya demi bertahan hidup. Sejak dari toko bunga Rea berjalan pulang dengan pikiran yang berlari ke sana ke mari. Namun, begitu sampai di depan pagar rumahnya ia menarik nafas panjang memasang kembali senyum di wajahnya sebelum masu
Brak!!!Sebuah gebrakan keras di meja mengejutkan semua orang termasuk orang yang sedang tidak berada di dalam ruangan tersebut.“Bagaimana bisa perusahaan itu mencuri desain kita dan malah lebih dulu memproduksi serta mendistribusikan produk ini, Lian?” CEO muda itu tampak memarahi sekretaris pribadinya.PLian yang sejak tadi menjadi sasaran kemarahan bosnya hanya bisa diam menunggu kemarahan atasannya yang terkenal keras kepala itu sedikit mereda sebelum ia menjelaskan sesuatu.Pria beraut wajah dingin yang sudah menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya itu merenggangkan ikatan dasinya dengan kasar. Ia menghempaskan dirinya ke kursi. Amarahnya hari ini meledak karena desain suku cadang mesin yang rencananya baru akan di