1
“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?” Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya. Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa. “Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu. Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini setidaknya dapat dimengerti, meski hanya sebentar saja. “Apalagi, Rindu! Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kau tega mendorong Dewi! Sekarang dia mamamu, Rindu! Bukan orang lain! Pengganti ibu kandungmu yang telah meninggal gara-gara melahirkanmu! Harusnya kau bakti pada Dewi! Tapi, kau ....” Ucapannya tertahan oleh rasa kecewa. Tangannya mengepal. Setiap tarikan napasnya terdengar pelan tapi berat, seperti seseorang yang berusaha menahan diri dari sesuatu yang tak tertahankan. Ia tidak ingin meledak lagi, bahkan lebih parah dari tadi. Tapi jelas terlihat, amuk di dalam dirinya sedang mendidih, menekan dari segala arah. Dadanya naik turun dalam irama yang tidak beraturan, dan matanya melirik tajam ke arah anak gadisnya yang ada di hadapannya. Mata Rindu memerah, bibirnya bergetar, dan menggelengkan kepala menandakan dirinya tidak setuju dengan ucapan sang ayah. Air mata menetes tanpa sadar dari wajahnya yang terlihat begitu rapuh. Tubuhnya sedikit gemetar, oleh perasaan takut dan frustasi yang tak terbendung. Ya, sudah sering dikatakan kalau Rindu anak pembawa sial sebab kehadirannya membawa luka mendalam di hati Raden. Karena melahirkan Rindu, istri tercintanya meregang nyawa. Raden tak bisa menerima walau Rindu buah cinta mereka. “Bukan begitu, Ayah. Aku tidak bermaksud mendorongnya. Aku menghormati Mama Dewi sebagai mamaku, Yah! Aku hanya mempertahankan gelang peninggalan Ibu, Yah. Aku tidak bermaksud mendorong, apalagi melukai Mama Dewi.” Rindu mengusap wajahnya yang basah, berusaha menghentikan tangisnya. Ia mencoba menahan rasa sakit yang meremas hatinya. “Bohong, Yah! Dia bohong! Aku hanya ingin menasihatinya dengan lembut. Aku ingin mengusap tangannya penuh kasih, tapi dia malah menepisnya dengan kasar. Untung hanya tanganku yang terasa sakit. Bukan kepalaku yang menghantam lantai.” Dewi yang sudah duduk di sofa, menyuarakan apa yang sedang terjadi menurut sudut padangnya. Wanita itu cemberut, menahan kesal. Ia ingin pendapatnya yang didengar oleh suami yang selama ini begitu mencintainya. “Kenapa Mama berbohong di depan Ayah, Ma! Mama sendiri yang tadi meminta gelang ini, Ma! Karena aku tidak setuju, Mama menariknya dengan paksa agar gelang ini terlepas dari tanganku. Kenapa Mama tidak jujur, Ma! Aku hanya menepis untuk menjaga gelangku, bukan sengaja untuk mendorong apalagi melukaimu, Ma!” Sekali lagi gadis itu memberikan alasan di depan ayahnya. Hanya demi mendapat kepercayaan atas apa yang sedang terjadi. Kata demi kata yang terlontar penuh penekanan. Penuh keyakinan agar sang ayah kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya untuknya. Hati yang dipenuhi rasa iba. “Lihat, Yah. Dia pandai berbicara, padahal jelas tadi Ayah melihat sendiri betapa kuatnya Rindu mendorongku.” Dewi membisikkan terus pendapat dari sisinya yang menurutnya paling benar. Skenarionya harus sesuai maunya. Namun, yang dikatakan memang tampak demikian. Saking emosinya, Rindu menepis begitu kuat dan terlihat di mata Raden yang berjalan menuju ruang keluarga. Karena itu, dengan mata kepala sendiri, sang ayah melihat tindakan yang menyulut emosinya. Wajah Raden menegang. Tangannya mengusap wajahnya dengan kasar, seolah berharap mendapat solusi yang tepat. Matanya berkedip cepat, seakan berusaha mencerna setiap kata yang dilemparkan ke arahnya, namun semakin ia mendengarkan, semakin ia merasa tenggelam dalam kebingungan. Kedua pendapat itu sama kuatnya, sama meyakinkannya, tapi juga bertolak belakang. “Aku jujur, Yah! Aku hanya mempertahankan gelang peninggalan Ibu yang hendak diambil paksa oleh Mama Dewi. Percayalah padaku, Yah.” Rindu kembali menitikkan air mata. Masih berharap begitu kuat agar dirinya yang dipercaya. Ia berbicara jujur dari lubuk hati terdalam. Tidak ada niatan untuk membual di depan sang ayah. “Buat apa aku ingin mengambil gelang itu, Yah. Tidak masuk akal! Kalaupun aku ingin gelang, aku bisa langsung meminta padamu, Yah. Tanganku sakit. Aku takut ada hal buruk yang terjadi pada tanganku sebab ulah anak itu, Yah.” Dewi sama saja. Wajahnya sendu sambil sesekali menahan sakit. Ia berani berujar mengingat Raden begitu cinta padanya. Berkat dia, Raden kembali punya gairah hidup yang sebelumnya direnggut oleh kehadiran Rindu di dunia ini. Di dalam hati tentu bergejolak. Kesal menghadapi Rindu yang terus saja banyak bicara. Yang diinginkan, Rindu diam dan menerima segala konsekuensi sesuai alur cerita yang telah dibuat oleh Dewi. “Tapi, aku tidak bohong, Yah.” Dengan langkah yang berat, Raden mendekati anak gadisnya dengan tatapan sengit. Plak! “Jangan banyak beralasan, Rindu. Kalau kau menggunakan gelang peninggalan ibumu sebagai alasan, lebih baik berikan padaku. Kamu tidak pantas memakainya.” Rindu memegang pipi yang terasa panas. Tidak menyangka, tangan ayahnya sampai mendarat di pipinya cukup kuat. Air mata yang hendak jatuh, coba dihadang. Percuma, tidak akan menyembuhkan luka yang sudah terlanjur ditorehkan oleh Raden selama ini. “Kalau kau tetap ingin tinggal di rumah ini, serahkan gelang itu kepadaku agar tidak kau gunakan lagi sebagai alasan untuk menyelakai Dewi. Kalau tidak, lebih baik, pergi dari rumah ini. Kau pasti akan berulah lagi selama gelang itu ada padamu.” Mendengar itu, kemarahan makin bertakhta di dalam hati. Rindu memegang gelangnya yang begitu disayang. Gelang yang begitu berharga dalam hidupnya. Sisa dari ibunya yang masih bisa direngkuh dengan nyata. “Lebih baik aku pergi, Yah! Ucapanku benar dan aku tidak akan pernah memberikan gelang ini kepada siapa pun. Termasuk Ayah!” Ucapan lantang keluar dari lisan Rindu. Tatapannya tajam. Ia tak ingin menangis lagi di hadapan ayahnya yang selalu tak menganggap dirinya sebagai anak. Hanya kesialan yang disematkan padanya oleh orang yang harusnya memberi kasih. “Permisi, Tuan. Maaf saya menyela. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang telah saya lihat dan saya ketahui mengenai kejadian ini. Bolehkah saya menyampaikannya?” ujar seorang laki-laki dari arah dapur. Dia adalah salah satu pembantu di rumah itu. Lelaki yang usianya sekitar 30 tahunan bernama Uka.2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set