9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
10“Rindu! Kamu baik-baik saja, kan?” ujar Ukasya lagi sebab tidak ada jawaban.Raut wajah lelaki itu menjadi tegang. Kekhawatiran menyusup masuk karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Rindu, mengingat banyak masalah yang didera gadis itu akhir-akhir ini.Gejolak di dalam hati juga terasa lebih besar. Ukasya hanya ingin Rindu baik-baik saja.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Rindu pada akhirnya.Embusan rasa lega keluar dari mulut ketika mendengarnya. Ketegangan yang tadi mencengkeram perlahan jauh menghilang.“Apa kamu masih lama? Ini sudah semakin sore, bahkan hampir magrib. Aku pikir, kamu kenapa-kenapa di dalam.”Bagaimanapun, Ukasya harus mendapatkan jawaban pasti. Jawaban yang benar-benar melegakan seisi hati.“Emm ... itu. Aku, emm ....” Rindu masih sangat ragu meski rasa dingin semakin menusuk kulit.“Kamu yakin, kamu baik-baik saja di dalam?”Kembali, Ukasya didera rasa cemas ketika Rindu tidak jelas bicaranya. Rasa lega itu semakin enggan pergi.Kalau aku
11“Ayo, masuk dulu. Tidak enak dilihat orang, dikira kita lagi berantem,” ujar Ukasya sambil mengulas senyum.Rindu menghela napas kasar. Lalu, mengikuti langkah lelakinya sambil membawa rantang.“Sebenarnya, ada apa, sih, Mas? Kenapa Bu Fatimah kasih kita sarapan lagi?”Setelah masuk rumah dan pintu ditutup, Rindu langsung menagih jawaban.“Jadi, Bu Fatimah salah satu tukang masak di tempat kerja kita. Aku dengar, kalau pegawainya selalu diberi sarapan begini setiap hari.”“Ha? Memang ada yang begitu? Lalu, kemarin kan, kamu belum mulai kerja. Kenapa sudah dikasih?” Normal saja Rindu menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya.Rasa tidak enak hati sebab merasa menjadi beban sedikit luntur, itu pun karena pernyataan dari Ukasya sendiri. Jadi, Rindu bisa menanyakan rasa penasarannya seperti sekarang.“Aku kan, mendaftarnya malam-malam. Mungkin sudah dapat jatah. Aku juga tidak tahu, sih.”Rindu bingung mau bertanya apa lagi meski masih banyak yang menjadi tanda tanya di benak
12“Maaf, permisi,” ujar Rindu sambil menunduk dan melangkahkan kaki.“Heh! Tunggu, dong! Jadi pelayan itu yang sopan! Diajak pelanggan ngomong, malah lancang pergi!”Dini meraih tangan Rindu. Ia mencengkeram sengaja menahan agar saudara satu ayahnya itu tetap berada di dekatnya.“Saya harus kembali bekerja. Tolong lepaskan tangan saya.” Rindu berusaha sopan.Dini tertawa mengejek.“Din, aku sepertinya pernah melihat dia. Tapi, lupa di mana. Kalau kamu kenal, pantas sih, kalau aku sepertinya tahu. Memangnya, dia siapamu, sih, Din? Beneran deh, aku lupa.” Orang yang tadi memanggil Dini untuk melihat makanan yang tersaji di meja, kembali bicara.“Dia ini mantan benalu di rumahku. Ingat kan, kalian?” ujar Dini masih menjegal tangan Rindu.“Mohon maaf, saya harus kerja lagi,” ujar Rindu berusaha menghindari Dini.“Tunggu! Pelayan saja, belagu!” bentak Dini.“Dengerin ya, semuanya! Ini itu, si Rindu. Taulah ya, dia anaknya ayahku yang tidak diinginkan. Makanya, dia jadi pelayan d
13“Apa yang dia katakan semuanya benar, Rindu?” tanya Ukasya agar semua terang.“Bu-bukan begitu. Aku hanya tersandung,” ujar Rindu belum mau mengaku.“Saya akan menunjukkan di mana pengunjung yang tadi melakukannya. Saya bersumpah, sudah melihat dari jauh. Saya hendak mendekat sesudah menyelesaikan tugas, Mbak Rindu malah keburu pergi dan saya menyusul ke sini.”Rindu makin terpojok oleh pengakuan teman kerjanya itu yang begitu tegas.Ukasya menatap penuh selidik. Ada harapan besar yang digambarkan oleh wajahnya agar Rindu mengatakan kejujurannya.“Rindu, tolong katakan yang sejujurnya,” pinta Ukasya.Berat untuk mengakui menimbang tentang dirinya dan Ukasya baru bekerja di tempat itu. Rindu hanya takut mereka dipecat.“Aku mau jujur, tapi tolong, turuti keinginanku, Mas.” Kali ini, Rindu yang meminta dengan serius.“Iya, katakan saja.”Udara diambil dalam-dalam lewat hidung, lalu membuangnya perlahan sebelum mengungkap kebenarannya.“Aku memang disuruh mengguyur minuman
14“Kenapa kamu menarikku, Rindu? Aku mau ngomong sama dia!” ujar Ukasya tetap berjalan sebab ditarik Rindu.Namun, terpaksa berhenti dan Rindu melihat mata lelaki itu dengan serius.“Mas, tolonglah, tepati janjimu. Aku tidak mau ada keributan dan membuat kita dipecat, Mas. Kita butuh kerjaan. Terutama aku, Mas. Biar aku tidak merepotkanmu terus.”Ukasya mendesah kasar. Lalu, ia mengingat sesuatu.Benar, sih. Hampir saja aku ngomong yang sebenarnya.“Baiklah, Rindu. Aku menurutimu walau kekesalanku pada Dini masih sangat besar. Suatu saat nanti, aku akan membalas perbuatannya biar dia tahu rasa dan bisa berpikir.”“Iya, Mas. Suatu saat nanti, ya.”Rindu merasa mustahil. Ia hanya mengiyakan agar tidak semakin melebar.“Ayo, kita pulang. Kamu harus mandi dan ganti baju biar tidak lengket,” ajak Ukasya.“Iya, Mas. Kita minta izin dulu sama manajer, ya.”Ukasya berdecap, tetapi menyetujuinya.*** “Sya, kapan Mama bisa ke situ? Atau Rindu kamu bawa ke sini, Sya.”Saat Rindu
15“Iya, nanti aku bicarakan sama keluargaku dulu. Lalu, apa kita akan berangkat kerja lagi?”“Iyalah, Mas. Kerja baru seminggu, tadi izin sebentar sama Pak Manajer, masa bolos. Aku mau digaji, Mas.”Ukasya nyengir.“Ya sudah, kamu siap-siap. Aku tunggu di depan.”“Iya, Mas.”Rindu berangsur masuk ke kamar.Kami sudah saling mengungkapkan rasa masing-masing. Kami sama-sama ingin mempertahankan pernikahan ini. Hatiku bahagia dan senyumku sulit aku hentikan. Apakah benar, inilah takdirku dan Mas Uka adalah jodohku?Di dalam kamar, di depan cermin sambil melihat pantulan diri, Rindu berbisik di dalam hati. Tangannya bergerak mengeringkan rambut dengan handuk.“Selama aku bersamanya, aku dijaga dengan baik. Aku bismillah saja, Ya Allah,” ucapnya lirih sambil mengangguk memantapkan hati.*** Setelah Rindu masuk kamar, Ukasya bergegas keluar dan mengingat lagi tentang Hilda yang tadi menelepon. Layar ponsel dibuat terang kembali.“Benar, Mama masih tersambung,” gumam Ukasya sam
16Semenjak Rindu diusir dari rumah, Raden sering tiba-tiba memikirkan gadis itu. Selintas, wajahnya terbayang. Namun, Raden coba tepis.“Keputusanku sudah bulat. Rindu sendiri yang membuat keadaan semakin kacau,” gumamnya.Mimpi mendiang istrinya, nyatanya tidak menggoyahkan hatinya yang sudah membatu. Rasa benci telah menguncinya rapat, meski Tuhan telah memberi sinyal-sinyal padanya.“Lebih baik mengurus Dini yang sebentar lagi akan menyusulku kerja di sini. Rindu hanya seorang anak pembawa sial.”*** Setiap pagi, Rindu sudah memaklumi kehadiran Bu Fatimah yang mengantarkan sarapan. Saat ditanya, wanita paruh baya itu mengatakan hal yang sama dengan penjelasan Ukasya.“Mas Uka, aku tambah penasaran sama bos kita. Kapan kira-kira beliau datang ke tempat kerja kita, ya? Aku tanya teman-teman, mereka hanya bilang nggak tau sambil tersenyum aneh menurutku. Bos kita baik banget orangnya, ya? Sarapan saja sampai di antar sama Bu Fatimah,” ujar Rindu ketika mereka duduk di ruangan
32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,