7
“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu. Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu. “Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung. “Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum. Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa. “Maaf, pagi-pagi mengganggu.” “Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.” “Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.” “Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.” Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada sehari tinggal di sini sudah diantar makanan oleh tetangga. Walau tak tahu rumah tetangganya itu di mana. “Tidak apa-apa, Mbak. Jangan sungkan, karena sudah menjadi tugas saya, eh maksudnya saya memang ingin memberikan pada kalian.” Rindu mengernyitkan kening. Ada beberapa bagian yang dirasa rancu saat orang yang di hadapannya bicara sejak awal. “Kalau boleh tahu, nama Ibu siapa. Kita saja belum saling kenal, Ibu malah sudah memberikan makanan begini. Kalau saya, namanya Rindu, Bu.” “Saya Bu Fatimah, Mbak Rindu. Tidak apa-apa, Mbak. Ini diterima buat sarapan, ya.” Pada akhirnya, Rindu menerima rantang susun yang diulurkan oleh Fatimah di depannya. “Baik, Bu. Terima kasih malah merepotkan Ibu begini. Kalau boleh tahu, rumah Ibu di sebelah mana? Biar nanti gampang mengembalikan rantangnya.” Kali ini, Rindu melihat pergerakan mata wanita paruh baya itu tertuju pada Uka. Namun, hanya sebentar dan fokus lagi pada Rindu. “Rumah saya di dekat rumah makan dekat sungai dan sawah yang ada di sana, Mbak.” “Loh, lumayan jauh, Bu? Tadi saja saya jalan-jalan sampai sana setelah dari masjid. Lumayan capek.” “Iya, Mbak. Ya sudah, Mbak. Saya pamit pulang dulu. Semoga suka dengan masakan saya. Permisi, Mbak. Assalamualaikum.” “Iya, Bu. Terima kasih banget. Waalaikumsalam.” Fatimah tersenyum santun, lalu bergegas melangkahkan kaki ke arah motor yang terparkir di tepi jalan. Rumahnya agak jauh kenapa repot-repot mengantar sampai sini? Biasanya, tetangga terdekat yang akan memberi makanan sebagai salam perkenalan. Ini malah tetangga jauh. Tentu ada yang aneh menurut Rindu. “Alhamdulillah. Kita mau sarapan dulu, atau melanjutkan perbincangan kita tadi, Rindu?” Lamunan buyar ketika Uka melontarkan pertanyaan. “Iya, alhamdulillah. Aku tidak jadi masak. Tapi, untuk sarapannya nanti saja, boleh? Aku mau mendengar kelanjutannya tadi.” “Tentu saja boleh. Kita lanjutkan obrolan kita tadi. Biar aku bawa rantang itu ke dapur. Kamu duduk saja.” Rindu menahan rantang yang hendak diambil. “Kamu yang duduk. Biar aku yang meletakkannya di dapur.” Uka mengulas senyum. “Baiklah.” Rindu melangkahkan kakinya menuju dapur. “Bu Fatimah sepertinya ada sesuatu. Awal bicara, dia mau memanggilku apa, ya? Aku dengarnya, nyo. Kok, nyo, sih? Terus, dia juga kelihatan sungkan sama Uka. Anehnya lagi, jarak rumahnya jauh. Kenapa setelah menikah dengan Uka hidupku seperti dalam teka-teki?” gumam Rindu setelah jauh dari Uka. *** Rindu sudah duduk di hadapan Uka. Ia siap mendengar jawaban yang sempat terjeda. “Jadi, Rindu, soal pertanyaanmu tadi, aku sama sekali tidak terbebani. Dan keputusan seutuhnya memang ada di tanganmu. Aku tidak mempermasalahkannya. Hanya kamu bagaimana denganku. Aku dan keluargaku tidak sekaya orang tuamu. Apakah kamu bersedia? Aku mengatakan begini, karena katamu tadi, kamu agak takut kalau hanya sendiri di lingkungan asing. Aku bersedia menemanimu, tapi kalau kamu mau menerima kondisiku.” “Kenapa begitu? Apa memang benar, kamu sering melihatku diam-diam seperti yang diucapkan oleh Mama Dewi?” “Kalau melihatmu diam-diam, aku tidak melakukannya. Tapi, saat pertama melihatmu, memang hatiku bergetar dan ingin membuatmu bahagia setelah tahu bagaimana keluargamu memperlakukanmu, Rindu.” Rindu kehabisan kata-kata karenanya. Hatinya mendadak mendesir. Ia menundukkan pandangan sambil mengulas senyum tipis. “Kalau kamu sudah siap, keluargaku akan datang menemuimu. Aku sudah memberikan kabar tentang hubungan kita. Mereka ikut bahagia walau pernikahan kita mendadak seperti ini,” ujar Uka lagi. Rindu fokus lagi pada Uka sambil mangut-mangut. “Apa benar mereka menerima pernikahan kita?” “Buktinya, mereka ikut bahagia. Kalau kamu belum ingin bertemu, jangan dipaksakan.” “Iya.” Kembali, bulir kristal merembes ke pipi. Namun, seketika dihapus karena tahu kalau Uka pasti akan menyinggungnya. “Aku terharu, aku bersyukur karena bisa menikah denganmu yang sebaik ini. Andai bukan kamu dan orang itu jahat, setelah menikah, mungkin aku hanya akan dijadikan budak pemuas nafsu semata. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu di saat seperti ini.” Rindu terus-terusan mengusap air mata yang tidak mau berhenti. Kamu akan tahu semua kebenarannya di waktu yang tepat, Rindu. Tapi, bukan sekarang. Sambil mengambil tisu, Uka berbisik di dalam dada. Lalu, memberikan tisu itu. “Hapus dengan ini,” ujarnya mengulurkan tisu itu pada Rindu. *** “Mau ikut? Aku dapat kerjaan di rumah makan dekat rumahnya Bu Fatimah.” Setelah sarapan, kemudian mandi, Uka memakai baju yang rapi. Ia semakin tampan saat dibalut baju berwarna hitam dan celana chinos warna abu tua. “Sudah dapat kerja? Kapan carinya? Terus, pakai baju bebas begitu?” “Iya, tadi malam aku pergi mencari info. Kebetulan pemiliknya lagi di tempat usahanya. Aku langsung diterima. Soal baju, katanya, yang penting asal rapi dan sopan.” Uka nyengir. Rindu teringat ketika dirinya melihat Uka dari balik jendela yang pergi malam-malam. Ia jadi percaya, meski tetap ada yang mengganjal di dalam hati. Agak anehnya lagi, mengingat seorang pelayan rumah makan, biasanya diberi baju seragam agar terlihat lebih rapi. “Mau ikut?” ajak Uka lagi. “Memang boleh? Kamu mau kerja, loh. Baru pertama masuk juga. Masa aku ikut?” “Boleh. Bosnya baik banget, kok. Mumpung dia tidak datang hari ini karena tadi malam sudah datang. Ikut saja sambil main-main di sungai atau taman yang ada di sana. Daripada di rumah, bosan.” “Oke, kalau memang tidak jadi masalah. Aku akan ikut.” “Ayo, tapi naik motor biar cepat sampai. Kamu tidak masalah?” tanya Uka lagi. “Iya, tidak masalah, kok. Lagian, kita sudah suami-istri, bersentuhan tentu boleh. Tapi, aku saja yang tidak tahu diri.” “Ayo, berangkat. Tidak usah membahas itu.” Mereka berangkat menyusuri jalanan yang mulai ramai meski tidak seramai perkotaan. Banyak anak sekolah yang berangkat memakai sepeda. Para orang tua berangkat untuk mengais rezeki. “Rumah Makan Saung Berkah.” Rindu membaca lirih gapura untuk menyambut para tamu yang hendak masuk ke kawasan itu.8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set