7
“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu. Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu. “Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung. “Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum. Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa. “Maaf, pagi-pagi mengganggu.” “Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.” “Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.” “Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.” Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada sehari tinggal di sini sudah diantar makanan oleh tetangga. Walau tak tahu rumah tetangganya itu di mana. “Tidak apa-apa, Mbak. Jangan sungkan, karena sudah menjadi tugas saya, eh maksudnya saya memang ingin memberikan pada kalian.” Rindu mengernyitkan kening. Ada beberapa bagian yang dirasa rancu saat orang yang di hadapannya bicara sejak awal. “Kalau boleh tahu, nama Ibu siapa. Kita saja belum saling kenal, Ibu malah sudah memberikan makanan begini. Kalau saya, namanya Rindu, Bu.” “Saya Bu Fatimah, Mbak Rindu. Tidak apa-apa, Mbak. Ini diterima buat sarapan, ya.” Pada akhirnya, Rindu menerima rantang susun yang diulurkan oleh Fatimah di depannya. “Baik, Bu. Terima kasih malah merepotkan Ibu begini. Kalau boleh tahu, rumah Ibu di sebelah mana? Biar nanti gampang mengembalikan rantangnya.” Kali ini, Rindu melihat pergerakan mata wanita paruh baya itu tertuju pada Uka. Namun, hanya sebentar dan fokus lagi pada Rindu. “Rumah saya di dekat rumah makan dekat sungai dan sawah yang ada di sana, Mbak.” “Loh, lumayan jauh, Bu? Tadi saja saya jalan-jalan sampai sana setelah dari masjid. Lumayan capek.” “Iya, Mbak. Ya sudah, Mbak. Saya pamit pulang dulu. Semoga suka dengan masakan saya. Permisi, Mbak. Assalamualaikum.” “Iya, Bu. Terima kasih banget. Waalaikumsalam.” Fatimah tersenyum santun, lalu bergegas melangkahkan kaki ke arah motor yang terparkir di tepi jalan. Rumahnya agak jauh kenapa repot-repot mengantar sampai sini? Biasanya, tetangga terdekat yang akan memberi makanan sebagai salam perkenalan. Ini malah tetangga jauh. Tentu ada yang aneh menurut Rindu. “Alhamdulillah. Kita mau sarapan dulu, atau melanjutkan perbincangan kita tadi, Rindu?” Lamunan buyar ketika Uka melontarkan pertanyaan. “Iya, alhamdulillah. Aku tidak jadi masak. Tapi, untuk sarapannya nanti saja, boleh? Aku mau mendengar kelanjutannya tadi.” “Tentu saja boleh. Kita lanjutkan obrolan kita tadi. Biar aku bawa rantang itu ke dapur. Kamu duduk saja.” Rindu menahan rantang yang hendak diambil. “Kamu yang duduk. Biar aku yang meletakkannya di dapur.” Uka mengulas senyum. “Baiklah.” Rindu melangkahkan kakinya menuju dapur. “Bu Fatimah sepertinya ada sesuatu. Awal bicara, dia mau memanggilku apa, ya? Aku dengarnya, nyo. Kok, nyo, sih? Terus, dia juga kelihatan sungkan sama Uka. Anehnya lagi, jarak rumahnya jauh. Kenapa setelah menikah dengan Uka hidupku seperti dalam teka-teki?” gumam Rindu setelah jauh dari Uka. *** Rindu sudah duduk di hadapan Uka. Ia siap mendengar jawaban yang sempat terjeda. “Jadi, Rindu, soal pertanyaanmu tadi, aku sama sekali tidak terbebani. Dan keputusan seutuhnya memang ada di tanganmu. Aku tidak mempermasalahkannya. Hanya kamu bagaimana denganku. Aku dan keluargaku tidak sekaya orang tuamu. Apakah kamu bersedia? Aku mengatakan begini, karena katamu tadi, kamu agak takut kalau hanya sendiri di lingkungan asing. Aku bersedia menemanimu, tapi kalau kamu mau menerima kondisiku.” “Kenapa begitu? Apa memang benar, kamu sering melihatku diam-diam seperti yang diucapkan oleh Mama Dewi?” “Kalau melihatmu diam-diam, aku tidak melakukannya. Tapi, saat pertama melihatmu, memang hatiku bergetar dan ingin membuatmu bahagia setelah tahu bagaimana keluargamu memperlakukanmu, Rindu.” Rindu kehabisan kata-kata karenanya. Hatinya mendadak mendesir. Ia menundukkan pandangan sambil mengulas senyum tipis. “Kalau kamu sudah siap, keluargaku akan datang menemuimu. Aku sudah memberikan kabar tentang hubungan kita. Mereka ikut bahagia walau pernikahan kita mendadak seperti ini,” ujar Uka lagi. Rindu fokus lagi pada Uka sambil mangut-mangut. “Apa benar mereka menerima pernikahan kita?” “Buktinya, mereka ikut bahagia. Kalau kamu belum ingin bertemu, jangan dipaksakan.” “Iya.” Kembali, bulir kristal merembes ke pipi. Namun, seketika dihapus karena tahu kalau Uka pasti akan menyinggungnya. “Aku terharu, aku bersyukur karena bisa menikah denganmu yang sebaik ini. Andai bukan kamu dan orang itu jahat, setelah menikah, mungkin aku hanya akan dijadikan budak pemuas nafsu semata. Aku bersyukur bisa bertemu denganmu di saat seperti ini.” Rindu terus-terusan mengusap air mata yang tidak mau berhenti. Kamu akan tahu semua kebenarannya di waktu yang tepat, Rindu. Tapi, bukan sekarang. Sambil mengambil tisu, Uka berbisik di dalam dada. Lalu, memberikan tisu itu. “Hapus dengan ini,” ujarnya mengulurkan tisu itu pada Rindu. *** “Mau ikut? Aku dapat kerjaan di rumah makan dekat rumahnya Bu Fatimah.” Setelah sarapan, kemudian mandi, Uka memakai baju yang rapi. Ia semakin tampan saat dibalut baju berwarna hitam dan celana chinos warna abu tua. “Sudah dapat kerja? Kapan carinya? Terus, pakai baju bebas begitu?” “Iya, tadi malam aku pergi mencari info. Kebetulan pemiliknya lagi di tempat usahanya. Aku langsung diterima. Soal baju, katanya, yang penting asal rapi dan sopan.” Uka nyengir. Rindu teringat ketika dirinya melihat Uka dari balik jendela yang pergi malam-malam. Ia jadi percaya, meski tetap ada yang mengganjal di dalam hati. Agak anehnya lagi, mengingat seorang pelayan rumah makan, biasanya diberi baju seragam agar terlihat lebih rapi. “Mau ikut?” ajak Uka lagi. “Memang boleh? Kamu mau kerja, loh. Baru pertama masuk juga. Masa aku ikut?” “Boleh. Bosnya baik banget, kok. Mumpung dia tidak datang hari ini karena tadi malam sudah datang. Ikut saja sambil main-main di sungai atau taman yang ada di sana. Daripada di rumah, bosan.” “Oke, kalau memang tidak jadi masalah. Aku akan ikut.” “Ayo, tapi naik motor biar cepat sampai. Kamu tidak masalah?” tanya Uka lagi. “Iya, tidak masalah, kok. Lagian, kita sudah suami-istri, bersentuhan tentu boleh. Tapi, aku saja yang tidak tahu diri.” “Ayo, berangkat. Tidak usah membahas itu.” Mereka berangkat menyusuri jalanan yang mulai ramai meski tidak seramai perkotaan. Banyak anak sekolah yang berangkat memakai sepeda. Para orang tua berangkat untuk mengais rezeki. “Rumah Makan Saung Berkah.” Rindu membaca lirih gapura untuk menyambut para tamu yang hendak masuk ke kawasan itu.8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
10“Rindu! Kamu baik-baik saja, kan?” ujar Ukasya lagi sebab tidak ada jawaban.Raut wajah lelaki itu menjadi tegang. Kekhawatiran menyusup masuk karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Rindu, mengingat banyak masalah yang didera gadis itu akhir-akhir ini.Gejolak di dalam hati juga terasa lebih besar. Ukasya hanya ingin Rindu baik-baik saja.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Rindu pada akhirnya.Embusan rasa lega keluar dari mulut ketika mendengarnya. Ketegangan yang tadi mencengkeram perlahan jauh menghilang.“Apa kamu masih lama? Ini sudah semakin sore, bahkan hampir magrib. Aku pikir, kamu kenapa-kenapa di dalam.”Bagaimanapun, Ukasya harus mendapatkan jawaban pasti. Jawaban yang benar-benar melegakan seisi hati.“Emm ... itu. Aku, emm ....” Rindu masih sangat ragu meski rasa dingin semakin menusuk kulit.“Kamu yakin, kamu baik-baik saja di dalam?”Kembali, Ukasya didera rasa cemas ketika Rindu tidak jelas bicaranya. Rasa lega itu semakin enggan pergi.Kalau aku
11“Ayo, masuk dulu. Tidak enak dilihat orang, dikira kita lagi berantem,” ujar Ukasya sambil mengulas senyum.Rindu menghela napas kasar. Lalu, mengikuti langkah lelakinya sambil membawa rantang.“Sebenarnya, ada apa, sih, Mas? Kenapa Bu Fatimah kasih kita sarapan lagi?”Setelah masuk rumah dan pintu ditutup, Rindu langsung menagih jawaban.“Jadi, Bu Fatimah salah satu tukang masak di tempat kerja kita. Aku dengar, kalau pegawainya selalu diberi sarapan begini setiap hari.”“Ha? Memang ada yang begitu? Lalu, kemarin kan, kamu belum mulai kerja. Kenapa sudah dikasih?” Normal saja Rindu menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya.Rasa tidak enak hati sebab merasa menjadi beban sedikit luntur, itu pun karena pernyataan dari Ukasya sendiri. Jadi, Rindu bisa menanyakan rasa penasarannya seperti sekarang.“Aku kan, mendaftarnya malam-malam. Mungkin sudah dapat jatah. Aku juga tidak tahu, sih.”Rindu bingung mau bertanya apa lagi meski masih banyak yang menjadi tanda tanya di benak
12“Maaf, permisi,” ujar Rindu sambil menunduk dan melangkahkan kaki.“Heh! Tunggu, dong! Jadi pelayan itu yang sopan! Diajak pelanggan ngomong, malah lancang pergi!”Dini meraih tangan Rindu. Ia mencengkeram sengaja menahan agar saudara satu ayahnya itu tetap berada di dekatnya.“Saya harus kembali bekerja. Tolong lepaskan tangan saya.” Rindu berusaha sopan.Dini tertawa mengejek.“Din, aku sepertinya pernah melihat dia. Tapi, lupa di mana. Kalau kamu kenal, pantas sih, kalau aku sepertinya tahu. Memangnya, dia siapamu, sih, Din? Beneran deh, aku lupa.” Orang yang tadi memanggil Dini untuk melihat makanan yang tersaji di meja, kembali bicara.“Dia ini mantan benalu di rumahku. Ingat kan, kalian?” ujar Dini masih menjegal tangan Rindu.“Mohon maaf, saya harus kerja lagi,” ujar Rindu berusaha menghindari Dini.“Tunggu! Pelayan saja, belagu!” bentak Dini.“Dengerin ya, semuanya! Ini itu, si Rindu. Taulah ya, dia anaknya ayahku yang tidak diinginkan. Makanya, dia jadi pelayan d
13“Apa yang dia katakan semuanya benar, Rindu?” tanya Ukasya agar semua terang.“Bu-bukan begitu. Aku hanya tersandung,” ujar Rindu belum mau mengaku.“Saya akan menunjukkan di mana pengunjung yang tadi melakukannya. Saya bersumpah, sudah melihat dari jauh. Saya hendak mendekat sesudah menyelesaikan tugas, Mbak Rindu malah keburu pergi dan saya menyusul ke sini.”Rindu makin terpojok oleh pengakuan teman kerjanya itu yang begitu tegas.Ukasya menatap penuh selidik. Ada harapan besar yang digambarkan oleh wajahnya agar Rindu mengatakan kejujurannya.“Rindu, tolong katakan yang sejujurnya,” pinta Ukasya.Berat untuk mengakui menimbang tentang dirinya dan Ukasya baru bekerja di tempat itu. Rindu hanya takut mereka dipecat.“Aku mau jujur, tapi tolong, turuti keinginanku, Mas.” Kali ini, Rindu yang meminta dengan serius.“Iya, katakan saja.”Udara diambil dalam-dalam lewat hidung, lalu membuangnya perlahan sebelum mengungkap kebenarannya.“Aku memang disuruh mengguyur minuman
14“Kenapa kamu menarikku, Rindu? Aku mau ngomong sama dia!” ujar Ukasya tetap berjalan sebab ditarik Rindu.Namun, terpaksa berhenti dan Rindu melihat mata lelaki itu dengan serius.“Mas, tolonglah, tepati janjimu. Aku tidak mau ada keributan dan membuat kita dipecat, Mas. Kita butuh kerjaan. Terutama aku, Mas. Biar aku tidak merepotkanmu terus.”Ukasya mendesah kasar. Lalu, ia mengingat sesuatu.Benar, sih. Hampir saja aku ngomong yang sebenarnya.“Baiklah, Rindu. Aku menurutimu walau kekesalanku pada Dini masih sangat besar. Suatu saat nanti, aku akan membalas perbuatannya biar dia tahu rasa dan bisa berpikir.”“Iya, Mas. Suatu saat nanti, ya.”Rindu merasa mustahil. Ia hanya mengiyakan agar tidak semakin melebar.“Ayo, kita pulang. Kamu harus mandi dan ganti baju biar tidak lengket,” ajak Ukasya.“Iya, Mas. Kita minta izin dulu sama manajer, ya.”Ukasya berdecap, tetapi menyetujuinya.*** “Sya, kapan Mama bisa ke situ? Atau Rindu kamu bawa ke sini, Sya.”Saat Rindu
15“Iya, nanti aku bicarakan sama keluargaku dulu. Lalu, apa kita akan berangkat kerja lagi?”“Iyalah, Mas. Kerja baru seminggu, tadi izin sebentar sama Pak Manajer, masa bolos. Aku mau digaji, Mas.”Ukasya nyengir.“Ya sudah, kamu siap-siap. Aku tunggu di depan.”“Iya, Mas.”Rindu berangsur masuk ke kamar.Kami sudah saling mengungkapkan rasa masing-masing. Kami sama-sama ingin mempertahankan pernikahan ini. Hatiku bahagia dan senyumku sulit aku hentikan. Apakah benar, inilah takdirku dan Mas Uka adalah jodohku?Di dalam kamar, di depan cermin sambil melihat pantulan diri, Rindu berbisik di dalam hati. Tangannya bergerak mengeringkan rambut dengan handuk.“Selama aku bersamanya, aku dijaga dengan baik. Aku bismillah saja, Ya Allah,” ucapnya lirih sambil mengangguk memantapkan hati.*** Setelah Rindu masuk kamar, Ukasya bergegas keluar dan mengingat lagi tentang Hilda yang tadi menelepon. Layar ponsel dibuat terang kembali.“Benar, Mama masih tersambung,” gumam Ukasya sam
32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,