6
“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.” Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari. Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa. Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini. “Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruku. Aku tidak ingin mengulang kesedihan yang sama. Itu terlalu sakit untukku,” gumam Raden. Ia mengatur napasnya untuk membuang kecamuk yang mendera diri. Ia masih berbaring, tetapi telinganya mendengar lantunan ayat suci dari masjid terdekat. Menandakan, orang-orang baru selesai berjamaah salat subuh dan mengaji bersama, setidaknya setengah jam. “Untuk sekarang, aku belum bisa menyayanginya seperti aku menyayangimu dulu. Dia merenggutmu dari duniaku. Bahkan, kemarin, aku melihat sendiri anak itu mendorong Dewi. Aku tak mau nasibnya sama sepertimu. Maafkan aku karena belum bisa mewujudkan keinginanmu, Ningrum.” Raden masih sangat mengingat jelas wajah Ningrum meski sudah menikahi Dewi dan mencintainya layaknya mencintai istri terdahulunya. Namun, Ningrum adalah seseorang yang selalu dirindukannya, seseorang yang pernah menjadi pusat dunianya. Pusat kebahagiaannya yang teramat sangat berharga. Dalam mimpi tadi, sebelum bicara seperti itu, sosok itu tersenyum, senyum yang begitu hangat, begitu familier, menyulut api rindu yang selama ini tak pernah benar-benar padam. Meski begitu, Raden masih sulit untuk menerima kehadiran Rindu yang merenggut pusat dunianya itu. Bahkan, tak akan mungkin menerimanya dengan lapang dada. Melihatnya menimbulkan luka yang menggores berulang kali. Sebelum bangun, Raden melihat Dewi yang masih terlelap tidur. Seseorang yang bisa sedikit menyembuhkan luka dari masa lalu hingga kebahagiaan itu kembali direngkuh. “Aku tidak mau kehilanganmu seperti aku kehilangan Ningrum,” gumamnya. Kalimat yang terlontar, bukan hanya ucapan belaka. Namun, kesungguhan itu terperangkap dalam setiap kata. *** “Hari-hariku pasti akan indah tanpa kehadiran Rindu si benalu itu di rumah ini.” Baru bangun tidur dan duduk di ranjang setelah mengumpulkan kesadaran, Dini mengingat tentang Rindu sambil tersenyum miring. Harapan itu akhirnya terkabul mulai detik ini. Jemarinya meraih ponsel. Ia mengingat lagi percakapannya bersama teman-teman yang dibuat dalam sebuah grup. Jadinya bagaimana, nih? Mau pergi ke mana? Sebelum pada kerja, loh. Itu tadi referensi dariku. Rumah Makan Saung Berkah. Bagus loh, tempatnya. Masih asri. Makanannya enak-enak. Kita bisa main air di sungai yang bersih. Buat foto-foto juga bagus. Kalau memang pada setuju, ya sudah, ke situ saja. “Tempatnya bagus sih, dilihat dari foto dan video yang dikirim,” gumam Dini. Dini mulai menggoyangkan jempolnya untuk menyampaikan pendapatnya. Dari foto sama video, sih, emang kelihatan bagus. Kalau makanannya enak-enak, aku setuju kalau pergi ke situ. Sudah terkirim. Namun, masih pagi penghuni grup belum ada yang membalas. Masih terbuai oleh mimpi yang indah. “Sebelum mulai kerja, wajib banget liburan dulu, kan? Pesta kemarin juga bikin happy banget. Hidupku benar-benar luar biasa, ditambah Rindu yang sudah enyah dari rumah ini.” Udara dihirup dalam-dalam sambil menyunggingkan senyuman. Dini sangat yakin tentang kehidupannya ke depan akan semakin cerah penuh kebahagiaan. Bagaimana tidak, sumber kebenciannya sudah tidak terlihat lagi oleh matanya. *** Meski di kepala banyak tanda tanya, Rindu tidak sedikit pun menyampaikannya pada Uka. Mereka hanya berbincang tentang apa yang sedang dilihat. Uka juga tidak mengatakan apa pun. Padahal, Rindu cukup mengharapkannya. Rindu menyimpan mukena di kamar. Lalu, melangkah ke dapur untuk mengolah bahan makanan. Itu pun kalau sudah ada bahan-bahannya di sana. “Rindu, boleh kita mengobrol sebentar?” Rindu tertahan langkahnya oleh permintaan dari Uka. Kepala mengangguk. Mereka duduk di ruang tengah yang tidak begitu luas. “Boleh aku ngomong sekarang?” ujar Uka mengawali percakapan. “Iya, silakan.” “Ini tentang keluargaku. Kita sudah menikah walau entah nantinya akan bertahan sampai kapan, tapi bukankah kamu ingin tahu keluargaku, Rindu?” Rindu tidak langsung menjawab. Ia merasa membeku untuk sesaat. “Iya, boleh, kalau kamu tidak keberatan,” jawab Rindu mencari jalan tengah. “Walau aku tidak sekaya keluargamu, Rindu? Atau kamu mau berpisah tanpa harus mengenal keluargaku. Aku tidak ingin memaksa. Sebisa mungkin, semua keputusan ada di tanganmu.” “Bolehkah aku bertanya padamu?” Rindu tidak bisa menahannya selagi pembahasan mereka seperti ini. “Iya, katakan saja.” “Apa kamu tidak keberatan dengan pernikahan kita yang terjadi secara tiba-tiba? Kenapa kamu bertanya seperti tadi seolah aku yang punya kendali penuh. Kamu juga punya kebebasan untuk memilih kalau kamu merasa terbebani olehku. Hanya saja, memang aku agak takut kalau sendirian di tempat asing tanpa siapa pun. Aku sudah terbiasa hidup di bawah perintah ayahku, bukan seperti sekarang yang sendirian. Sebenarnya, aku juga agak takut denganmu karena hubungan kita sebelumnya tidak sedekat itu. Maaf, aku banyak bicara.” “Luahkan saja semuanya. Aku tidak mempermasalahkannya, Rindu.” “Itu saja, aku ingin mendengarkan jawaban darimu. Aku mohon, jangan jahat kepadaku.” Kepedihan perlahan menyusup masuk ke celah-celah ruangan dalam dada. Deretan masalah yang menderanya kemarin, bahkan sebelum-sebelumnya bergumul sulit dihindarkan. Ia takut kalau akan ada masalah baru yang makin rumit membelenggu hidupnya. Mata yang belum seutuhnya normal, tidak bengkak karena menetesnya air mata terus-menerus, malah kembali mengulangnya. Bulir kristal menerobos keluar dan merembes ke pipi. “Aku mohon, jangan menangis, Rindu. Aku tidak pernah bermaksud jahat padamu. Sedikit pun aku tidak pernah memikirkannya. Tolong, jangan menangis.” Rindu mengangguk, lalu mengusap air matanya. Ada sedikit rasa lega ketika Uka mengatakannya. Lelaki itu rajin beribadah, ucapannya seharusnya dapat dipercaya. “Aku akan menjawabnya, Rindu. Aku ....” Belum sempat melanjutkan perkataannya, ada seseorang mengetuk pintu depan. Seketika, mereka menoleh ke arah pintu. Lalu, saling tatap. “Maaf, Rindu. Kita lihat dulu siapa yang datang mengetuk pintu,” ujar Uka agak tidak enak mengingat Rindu pasti sangat ingin mendengar jawabannya. Namun, pintu lagi-lagi diketuk dari luar. “Iya, tidak usah minta maaf. Mungkin penting. Jadi bertamu sepagi ini. Apalagi aku pendatang baru di sini.” Uka mengangguk, lalu bangkit dan berjalan mendekati pintu. Disusul oleh Rindu. Ia juga penasaran siapa yang ada di luar sana.7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set