32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
1“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?”Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya.Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa.“Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu.Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini set
2Dewi menatap kehadiran pembantunya dengan alis terangkat. Tubuhnya sedikit menegang. Wajahnya pun agak cemas mengetahui lelaki itu berucap dengan berani walau takut-takut. Pandangan mereka saling bertemu, ingin memberi isyarat untuk enyah, tetapi tidak bisa. Ia hanya berusaha untuk menangkan diri agar Raden tak curiga padanya.“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Raden yang terlanjur ingin tahu.Begitu pula dengan Rindu, seakan ada harapan yang diembuskan padanya. Walau memang, rasa sakit masih mendera lubuk hati terdalam. Setidaknya, ada seseorang yang masih berpihak padanya. Itu harapannya.Uka menatap ragu pada lelaki yang merupakan orang yang memberinya upah untuk hidupnya sehari-hari. Ia belum lama bekerja, baru sekitar dua minggu. Karena itu, agak ragu untuk mengungkapkan apa yang diketahui.Namun, ketika melihat Rindu yang setiap harinya harus memeluk luka, hingga detik ini pun masih diperlakukan semena-mena, bisikan dalam hati terpanggil untuk memberikan pertolongan walau han
3“Ma, di rumah, baru ada acara, ya? Terus, aku juga tidak melihat keberadaan Rindu. Ke mana dia?”Wajar jika Dini tidak mengetahui kejadian di rumah. Perempuan berambut panjang itu baru pulang dari acara pesta yang diselenggarakan dari pagi hingga malam pukul sepuluh.Dini merupakan anak Dewi dan Raden. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rindu. Namun, ia enggan memanggil kakaknya dengan sebutan lebih sopan. Tak diajarkan pula oleh Dewi.Raden berkabung selama dua tahun setelah istrinya melahirkan Rindu. Lalu, bertemu dengan Dewi yang begitu baik dan manis padanya. Tidak lama kemudian, Raden yakin untuk menikahi Dewi dan langsung hamil Dini.Tentang Rindu, ia diasuh oleh baby sitter. Jarang sekali Raden menimangnya atau mengajak bermain. Ia memilih sibuk bekerja dan hanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dengan kasih sayang.Beda ketika Dini lahir. Ia disayang dan mendapat perhatian lebih dari Raden. Ya, karena Raden juga teramat mencintai Dewi yang bisa menyembuhkan luka masa lalun
4“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan.Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi.“Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu.Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya.“Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?”Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucap
5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,