4
“Eh! Berlebihan itu!” Uka terkekeh. “Ayo, Mbak Rindu. Masuk,” ujarnya lagi agar fokus Rindu teralihkan. Ada sejumput rasa penasaran di ruangan dalam dada. Namun, sekali lagi, Rindu tidak ingin mengungkapnya dengan sebuah pertanyaan. Ia merasa sudah menjadi beban bagi Uka. Tidak perlu menambahnya lagi. “Baik. Aku masuk dulu,” jawab Rindu. Ia tak seperti sebelumnya yang bebas menyebut nama lelaki itu. Saat masih bekerja, ia tidak merasa sungkan ketika hanya memanggil nama. Setelah dinikahi dan tahu kalau usianya lebih tua, ya walau sudah tahu sejak awal bertemu dari wajahnya, Rindu menjadi bingung. Untuk sementara, ia menghindari dan tidak memanggil lelaki yang kini sudah bergelar suaminya. “Panggil aku Uka. Jangan seperti tadi. Yang lain juga perintahkan seperti ini. Jangan bertanya atau menyapa kalau bertemu denganku. Mengerti?” Mengetahui Rindu telah duduk di sisi yang agak jauh, sebelum masuk, Uka berbisik pada sopir yang akan membawanya pergi. Raut wajahnya datar, menandakan ucapannya itu sungguhan dan harus dituruti. “Baik, mengerti.” Uka pun masuk dan duduk di dekat Rindu yang banyak diam tanpa mengeluarkan kata. Padahal menurutnya, gadis itu pasti punya banyak sekali pertanyaan. Pun tentang rasa di hatinya yang sedang berantakan. “Kalau capek, tidur saja. Aku bangunkan nanti kalau sudah sampai,” ucap Uka memecah keheningan. Mobil yang sedari tadi melintasi jalanan kota yang tidak terlalu ramai, suasana malam terasa tenang namun hidup. Lampu-lampu jalan berpendar lembut. Sorotan lampu mobil yang melintas sesekali menambah efek cahaya berkelip di kaca jendela. Suara mesin mobil terdengar halus, bersatu dengan gemerisik ringan ban yang menyentuh jalanan. Tak salah jika Uka menyuruh Rindu untuk merangkai mimpi dalam kesunyian ini. “Tapi aku tidak mengantuk,” jawab Rindu dengan suara yang parau. “Iya, tapi jangan menangis lagi. Kasihan matamu akan semakin kelelahan.” “Iya.” Jawaban singkat itu diiringi pergerakan kepala ke arah jendela. Rindu melihat bangunan-bangunan kota yang sebagian besar telah memadamkan lampunya, menyisakan hanya beberapa jendela yang masih bercahaya. Sesekali, ada kendaraan lain yang melintas, lampu belakang mereka tampak redup perlahan menjauh. Jalanan sepi ini memberi kesan damai, seakan dunia melambat dan memberi ruang bagi pikiran untuk meresapi ketenangan malam. Namun, bagi Rindu, ketenangan itu tak bisa seutuhnya direngkuh. Masih banyak pikiran liar yang bergulir tak karuan dalam kepala juga hatinya yang masih diselimuti gelisah. Tak berselang lama dari Uka menyuruh Rindu untuk tidur, lelaki itu tergelitik ketika melihat Rindu sudah sampai ke alam mimpi. Posisinya bersender ke kaca jendela. Tentu akan terbentur karena pergerakan mobil yang masih melintas di jalanan. Pelan-pelan, Uka menggerakkan kedua tangannya untuk memindah kepala Rindu ke posisi yang lebih nyaman untuk tidur. Dari kaca spion, sopir melirik aktivitas para penumpangnya di belakang. Segaris senyum terukir dan kembali fokus melihat jalan. “Mungkin ini garis takdir kita, Rindu,” gumam Uka sambil memperhatikan wajah Rindu yang begitu sendu. Kelopak matanya bahkan tampak bengkak dan menyisakan bulir kristal yang basah di sekitarnya. “Aku ingin kamu bahagia,” gumamnya lagi. Sedetik kemudian, Rindu bergerak memindahkan posisi. Namun, masih memejamkan mata. Uka seketika menoleh ke depan, takut ketahuan kalau dirinya sedang memperhatikan gadis itu. Embusan pelan keluar dari mulut. Sorot matanya tertuju pada spion dan mengetahui sopirnya sedang memperhatikan sambil mengulas senyum, walau kembali fokus ke depan ketika tatapan mereka beradu. *** Mobil melambatkan lajunya ketika memasuki kawasan perumahan yang masih asri, lingkungannya banyak ditumbuhi oleh pohon yang rindang. Juga semak yang dirawat tidak tumbuh sembarangan. Perumahan ini lebih tepatnya seperti desa yang makmur. Mobil juga sempat menyusuri jalan yang kanan-kirinya adalah sawah. Ada sungai yang mengalir pula. Rumah-rumahnya masih sederhana meski sudah bangunan yang disusun oleh batu bata dan semacamnya. Kali ini, mobil benar-benar berhenti di salah satu rumah yang tampilannya sederhana seperti yang lain. “Tolong bawa barang-barang kami ke dalam rumah, Pak Tirto,” perintah Uka kepada sopirnya sebelum membangunkan Rindu. Suaranya lirih. “Baik, Tuan.” “Ingat, ya! Jangan panggil aku seperti itu saat Rindu ada di dekatku dalam posisi sadar. Katakan juga pada yang lain. Atau nanti aku yang akan mengumpulkan warga di balai perkumpulan.” “Baik, saya mengerti.” “Iya, terima kasih.” Sopir yang bernama Tirto itu turun dari mobil untuk menuntaskan perintah dari Uka. “Mbak Rindu,” ujar Uka pada Rindu yang masih terlelap. Tidak ada tanggapan. Uka kembali memanggil nama Rindu dengan lembut, tetapi tangannya sambil menepuk-nepuk pelan lengan gadis itu. Mata mengerjap merasa ada yang memanggil namanya. “Kita sudah sampai. Bangun, yuk,” ujar Uka lagi makin menambah kesadaran Rindu. “Oh, iya, Mas,” jawab Rindu lumayan kaget. Ia seketika membenarkan posisi duduknya sambil mengulas senyum untuk melunturkan rasa canggung yang mendera. Eh, Mas? Dalam diam, Uka malah salah fokus dengan kata-kata itu. Baru ini dirinya dipanggil seperti itu oleh Rindu. “Sudah sampai, ya?” tanya Rindu yang membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Kali ini, ia tak berhijab. Ia belum Istiqomah. Berhijab ketika hendak ada acara tertentu saja. “Iya, ayo, turun. Biar bisa tidur nyenyak di kamar.” Kalimat itu terdengar ambigu bagi Rindu yang kesadarannya sudah terkumpul sepenuhnya. Ia ingat betul tentang statusnya sekarang ini. Untuk sesaat, Rindu membeku. Pikirannya melesat jauh membayangkan aktivitas malam pertama seorang pengantin. Kepala tiba-tiba menggeleng. Uka yang masih memperhatikan Rindu, mengernyitkan kening. Ajakannya seakan ditolak dengan tanggapan yang Rindu lakukan. “Kamu tidak mau turun? Capek kalau tidur di sini, kan?” “Iya, aku mau turun, tapi ....” Ragu untuk berucap, Rindu sengaja menggantungnya membuat Uka makin penasaran. “Tapi apa? Kita sudah sampai di rumah kontrakan yang sudah kupesan walau sederhana. Satu rumah ini bisa kita tempati tanpa ada orang lain. Aku sengaja menyewanya begitu. Biar kamu leluasa saat mau melakukan apa pun.” Rindu mengangguk paham, tetapi tujuan yang tersimpan di dalam hati sulit diungkapkan. “Yuk, turun. Biar kamu bisa melanjutkan tidurmu,” ajak Uka lagi. Ia berbalik, hendak turun dari mobil. “Tunggu! Aku mau bicara sebelum turun dan masuk ke rumah!” Perkataan itu menghentikan Uka. Ia kembali berbalik dan menatap Rindu. “Iya? Katakan saja.” Rindu membuang napas sebelum merangkai kata. “Aku mau tidur di rumah itu, tapi aku mohon ... aku mohon, jangan menyentuhku. Aku tau, kita sudah menikah. Tapi ... tapi aku belum siap. A-aku takut. Sungguh. Kita menikah tiba-tiba dan kita dipaksa. Maaf ... maafkan aku.” Rindu tertunduk karena rasa tidak enak hatinya makin tak terbendung. Lagi dan lagi selalu membuat beban di pundak Uka. Seseorang yang bukan siapa-siapa, tetapi sekarang terseret dalam masalahnya hingga entah sampai kapan.5“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.”Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali.Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan.“Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.”Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya.“Iya, tidak masalah.”Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu.*** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke h
6“Mas Raden, benarkah kau masih mencintaiku? Hem? Lantas, kenapa kau tega mengusir anak kita? Dia gadis mungil yang kukandung selama sembilan bulan. Kau elus perutku penuh cinta dan menciuminya dengan lembut. Kau juga mengatakan, anak kita akan cantik sepertiku. Tapi, kenapa sekarang kau seperti ini? Sayangilah Rindu seperti kau menyayangi dan mencintaiku, Mas.”Air mata mulai menggenang, mengalir pelan di pipi, membasahi kulit tanpa Raden sadari.Raden mengerjapkan mata perlahan. Kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, wanita yang begitu dicintainya itu begitu nyata mengucapkan kata demi kata yang menggetarkan jiwa.Tangan bergerak menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh, bukti dari mimpi yang terlalu nyata, terlalu penuh dengan rindu yang tak berkesudahan. Ingin merengkuhnya lagi seperti dulu. Bukan siksa yang dirasa hingga detik ini.“Bukan maksudku begitu, Ningrum. Rindu adalah sebab kematianmu. Aku belum bisa menerimanya. Aku takut dia mengulang hal yang sama pada istri baruk
7“Assalamualaikum, selamat pagi. Mohon maaf kalau mengganggu karena datang sepagi ini, Tuan,” ujar seorang perempuan paruh baya yang muncul dari balik pintu yang dibuka oleh Uka. Yang pertama kali dilihat memang lelaki itu.Uka menjawab salamnya lirih sambil melebarkan mata sebab di belakangnya ada Rindu.“Oh, ada Nyo, eh, maksud saya Mbak juga. Selamat pagi,” ujar orang itu lagi ketika menyadari kehadiran Rindu. Ia semakin canggung.“Iya, Ibu, selamat pagi,” jawab Rindu dengan ramah sambil tersenyum.Uka agak mundur agar Rindu lebih leluasa.“Maaf, pagi-pagi mengganggu.”“Tidak apa-apa, Bu. Memang lagi santai tadi belum sempat ke dapur buat masak.”“Lebih baik tidak usah memasak, Mbak. Ini, saya membawa sarapan buat kalian.”“Loh, Bu. Malah merepotkan. Kami, terutama saya pendatang baru di sini. Seharusnya kami yang menjamu Ibu sebagai tanda perkenalan kami karena baru tinggal di sini. Bukan malah begini, Bu.”Tentu saja, Rindu cukup keberatan. Tidak enak hati karena belum ada seha
8Mereka sampai. Motor diparkir di tempat parkir khusus untuk para pegawai.“Sebelum kamu mulai bekerja, boleh aku tanya lagi?”Rasa penasaran itu sulit dibendung oleh Rindu. Merongrong dan harusnya mendapatkan jawaban dengan cepat.Uka menoleh setelah menstandar motornya dengan benar.“Iya, katakan saja.” Kepala mengangguk.“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa dapat rumah kontrakan di desa ini? Apakah sebelumnya kamu sudah pernah tinggal di sini? Aku rasa, orang-orang di sini seperti sudah mengenalmu. Lalu, apakah kamu mengenal sopir taksi online yang tadi malam mengantar kita ke sini?”Kata-kata yang keluar dari lisan Rindu seperti hujan yang turun begitu deras menghunjam Uka yang mendengarnya.Sebenarnya masih banyak tanda tanya yang bersemayam di lubuk hati. Namun, Rindu mencoba meringkasnya hanya untuk menepiskan sedikit rasa penasaran yang terasa meronta.“Kalau aku jawab semua di sini, sepertinya tidak mungkin agar kamu tidak salah paham kepadaku. Yang jelas, aku memang
9“Bukan begitu, Ma. Aku tidak bermaksud mempersulit pertemuan Mama sama Rindu. Hanya saja, aku masih bingung, Ma. Kami belum lama kenal dan tiba-tiba menikah.”“Kan, memang itu tujuanmu sampai jadi pembantu di rumahnya Raden, Sya.”“Iya, Ma. Tapi, bukan begini kan, harusnya? Rencana awal kan, aku pelan-pelan mendekatinya biar dia mencintaiku, baru aku menikahinya mengingat kata Mama, Rindu diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Karena itu, orang tuanya pasti setuju saja kalau menikah denganku walau seorang pembantu.”“Tapi, takdir yang menuntunmu sampai di titik ini, Ukasya. Artinya, Rindu mungkin memang ditakdirkan untukmu. Dia tercipta dari tulang rusukmu, Sya. Makanya, rencana awal kita gagal, tapi malah dipermudah begini. Kamu langsung dinikahkan sepihak oleh Raden. Mama lucu juga senang waktu kamu menceritakannya.”Wanita berhijab itu tertawa renyah. Tampak sangat bahagia ketika membahas Rindu bersama anak lelakinya.“Iya, mungkin saja, Ma. Tapi, Mama sabar dulu, ya. Nanti
10“Rindu! Kamu baik-baik saja, kan?” ujar Ukasya lagi sebab tidak ada jawaban.Raut wajah lelaki itu menjadi tegang. Kekhawatiran menyusup masuk karena tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Rindu, mengingat banyak masalah yang didera gadis itu akhir-akhir ini.Gejolak di dalam hati juga terasa lebih besar. Ukasya hanya ingin Rindu baik-baik saja.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Rindu pada akhirnya.Embusan rasa lega keluar dari mulut ketika mendengarnya. Ketegangan yang tadi mencengkeram perlahan jauh menghilang.“Apa kamu masih lama? Ini sudah semakin sore, bahkan hampir magrib. Aku pikir, kamu kenapa-kenapa di dalam.”Bagaimanapun, Ukasya harus mendapatkan jawaban pasti. Jawaban yang benar-benar melegakan seisi hati.“Emm ... itu. Aku, emm ....” Rindu masih sangat ragu meski rasa dingin semakin menusuk kulit.“Kamu yakin, kamu baik-baik saja di dalam?”Kembali, Ukasya didera rasa cemas ketika Rindu tidak jelas bicaranya. Rasa lega itu semakin enggan pergi.Kalau aku
11“Ayo, masuk dulu. Tidak enak dilihat orang, dikira kita lagi berantem,” ujar Ukasya sambil mengulas senyum.Rindu menghela napas kasar. Lalu, mengikuti langkah lelakinya sambil membawa rantang.“Sebenarnya, ada apa, sih, Mas? Kenapa Bu Fatimah kasih kita sarapan lagi?”Setelah masuk rumah dan pintu ditutup, Rindu langsung menagih jawaban.“Jadi, Bu Fatimah salah satu tukang masak di tempat kerja kita. Aku dengar, kalau pegawainya selalu diberi sarapan begini setiap hari.”“Ha? Memang ada yang begitu? Lalu, kemarin kan, kamu belum mulai kerja. Kenapa sudah dikasih?” Normal saja Rindu menanyakan sesuatu yang mengganjal hatinya.Rasa tidak enak hati sebab merasa menjadi beban sedikit luntur, itu pun karena pernyataan dari Ukasya sendiri. Jadi, Rindu bisa menanyakan rasa penasarannya seperti sekarang.“Aku kan, mendaftarnya malam-malam. Mungkin sudah dapat jatah. Aku juga tidak tahu, sih.”Rindu bingung mau bertanya apa lagi meski masih banyak yang menjadi tanda tanya di benak
12“Maaf, permisi,” ujar Rindu sambil menunduk dan melangkahkan kaki.“Heh! Tunggu, dong! Jadi pelayan itu yang sopan! Diajak pelanggan ngomong, malah lancang pergi!”Dini meraih tangan Rindu. Ia mencengkeram sengaja menahan agar saudara satu ayahnya itu tetap berada di dekatnya.“Saya harus kembali bekerja. Tolong lepaskan tangan saya.” Rindu berusaha sopan.Dini tertawa mengejek.“Din, aku sepertinya pernah melihat dia. Tapi, lupa di mana. Kalau kamu kenal, pantas sih, kalau aku sepertinya tahu. Memangnya, dia siapamu, sih, Din? Beneran deh, aku lupa.” Orang yang tadi memanggil Dini untuk melihat makanan yang tersaji di meja, kembali bicara.“Dia ini mantan benalu di rumahku. Ingat kan, kalian?” ujar Dini masih menjegal tangan Rindu.“Mohon maaf, saya harus kerja lagi,” ujar Rindu berusaha menghindari Dini.“Tunggu! Pelayan saja, belagu!” bentak Dini.“Dengerin ya, semuanya! Ini itu, si Rindu. Taulah ya, dia anaknya ayahku yang tidak diinginkan. Makanya, dia jadi pelayan d
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,
Rindu membeku seketika. Antara percaya dan tidak. Namun, degupan di dalam dadanya kian terpacu. Meski tidak ada kenangan baik bersama Raden, wajah ayahnya itu terbayang di dalam kepala.“Rindu, Mama mohon, donorkan darahmu, ya? Bagaimanapun, Pak Raden adalah ayah kandungmu, Rindu. Mama khawatir terjadi hal yang lebih buruk kalau sampai kamu terlalu lama datang ke rumah sakit.” Hilda mengiba.Riko merangkul pundak istrinya sebagai isyarat untuk memberikan ruang terlebih dulu kepada Rindu. Ya, hanya Rindu yang bisa merasakan luka batinnya selama ini.Ukasya menyadari wajah Rindu memucat. Dengan sigap, ia merengkuh pundak wanita itu agar bisa tetap berdiri dengan tegap.“Mama hanya bercanda, kan?” ucap Rindu dengan lirih. Kepedihan dan kegundahan menerobos masuk ke ruangan-ruangan di dalam hati.Hilda menggeleng sambil menunjukkan wajah sedih.“Tapi, aku hanya anak pembawa sial, Ma. Ayahku selalu ngomong begitu. Aku anak terkutuk yang bisanya bikin masalah, bahkan membuat ibuku sendiri m
“Bagaiamana, Bu? Kami harus segera mendapatkannya agar Pak Raden bisa melewati masa kritis sesegera mungkin.”Beberapa waktu, Dewi hanya diam. Ia punya solusi, tetapi kemarahan pada Rindu yang membuatnya berpikir dua kali.Tapi, kalau aku tidak memberikan informasi yang aku tahu, Mas Raden bisa dalam bahaya. Aku tidak ingin hidupku semakin tak karuan.Dewi menghela napas pelan. Kenyataan yang terjadi bertolak belakang dengan keinginan yang besar di dalam hati. Demi Raden, Dewi harus menepis kebencian dan rasa gengsi yang besar pada Rindu. Ia harus meminta tolong pada anak tirinya itu.“Ada salah satu keluarga yang punya golongan darah yang sama dengan Mas Raden. Dalam HP-nya Mas Raden ada kontak bernama Rindu. Silakan hubungi dia,” ujar Dewi pada akhirnya karena tidak mau suaminya kenapa-kenapa.“Kami sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Apakah ada nomor lain yang bisa memberikan informasi penting ini kepada Saudari Rindu, Bu?”Kesal tentu dirasakan oleh Dewi. Ia seng
Jantungku pengen meledak rasanya. Tapi, keputusanku sudah bulat. Aku ingin jadi istri yang baik buat Mas Ukasya.Dalam hati, Rindu coba meyakinkan diri dengan apa yang sudah menjadi keputusannya. Ia memfokuskan lagi kedua matanya untuk melihat suaminya yang makin mendekatinya sambil tersenyum.Walau deg-degan banget, aku harus bisa jadi suami yang bisa mengayomi istri. Aku harus memahami keinginan Rindu meski dia tidak mengatakan apa pun.Sama juga dengan Rindu, Ukasya yang baru pertama kali berurusan dengan masalah ranjang begini harus menguatkan hati agar lebih berani bertindak.Ukasya duduk di dekat Rindu. Kedua mata mereka saling beradu. Namun, Rindu yang merasa malu, sesekali tertunduk.“Sayang, aku tidak mau memaksamu,” ujar Ukasya seraya mengusap punggung tangan Rindu.Sorot mata yang tertunduk, kembali melihat Ukasya meski tampak malu-malu.Kepala menggeleng.“Aku tidak merasa dipaksa, Mas. Aku hanya ingin menunaikan tugasku sebagai istri yang baik untukmu. Bolehkan aku melaku
“Apa kabar, Om? Eh, Ayah maksudku,” sapa Ukasya seraya mengulas senyuman manis.“Ba-baik,” jawab Raden sangat kaku dan berusaha membalas senyuman.“Anda pasti kaget dengan situasi saat ini. Yang jelas, namaku yang sebenarnya adalah Ukasya Adanu anak dari Ayah Riko yang merupakan CEO di tempat kerja Anda. Identitas waktu itu, bukan identitas asliku. Jadi, mohon doa restunya untuk pernikahan kali ini.”Raden yang tidak bisa banyak bicara hanya mengangguk. Ia memikirkan segalanya. Meski merasa ditipu, ia tak mungkin menggagalkan penikahan ini atau membawa pergi Rindu yang sudah diusir. Ia tak mau pula dipecat dari pekerjaannya yang sudah mapan serta nyaman kalau berulah.“Terima kasih untuk restunya, Yah,” ujar Ukasya lagi.“Iya. Sama-sama.”Para tamu undangan tentu berbisik. Seharusnya, wali nikah sudah siap bersama keluarga mempelai. Tidak malah menjadi tamu undangan. Namun, mereka tidak bisa mengutarakannya pula secara lantang mengingat yang punya hajat adalah atasan mereka. Semua yan