“Hati-hati, jika sudah sampai jepang kabari.” Kata Nyonya Sisca yang ikut mengantar mereka ke bandara.“Jangan lupa oleh-olehnya!” Rosana melambaikan tangannya dengan penuh semangat.Naina tertawa pelan sambil melambaikan tangannya dan berjalan masuk ke pemeriksaan tiket pesawat.“Akhirnya tak akan ada yang menganggu kita lagi nanti,” bisik Marven saat mereka sudah duduk nyaman di dalam pesawat.Naina menoleh ke arahnya dengan senyum tipis, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Marven. “Kau yakin? Jangan-jangan nanti di Jepang pun kau akan sibuk urusan kerja.”Marven menggeleng pelan, matanya menatap jendela pesawat yang mulai bergerak menuju landasan. “Sudah kuatur semuanya. Tak ada email, tak ada rapat, tak ada telepon. Dua minggu penuh hanya untuk kita berdua.”Naina menghela napas lega. “Akhirnya… liburan yang benar-benar liburan. Bukan cuma pindah tempat tidur dan tetap dikejar deadline.”Marven tersenyum kecil, jarang tapi selalu berarti. Tangannya menggenggam tangan Naina erat. “
Angin jepang terasa sangat menyegarkan ditambah sekarang adalah musim semi, dimana bunga sakura mekar dengan sangat cantik.Naina menghirup udara dalam-dalam, membiarkan aroma bunga dan semilir angin musim semi menyapa wajahnya. Matanya menatap kagum pada hamparan pohon sakura yang mekar di sepanjang jalan taman. Kelopak-kelopak merah muda beterbangan tertiup angin, menciptakan suasana yang nyaris seperti mimpi.“Indah sekali…” gumamnya pelan.Di sampingnya, Marven berjalan tenang, matanya tak lepas dari sosok istrinya yang terlihat begitu mempesona dalam balutan coat tipis berwarna pastel. “Kau lebih indah dari semua bunga di sini,” katanya dengan datar, tapi nada suaranya mengandung ketulusan yang tak terbantahkan.Naina melirik, tersenyum geli. “Kamu mulai terdengar seperti pria romantis.”“Bukan. Aku hanya jujur,” jawab Marven sambil menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Naina, menggenggamnya erat.Naina terkekeh, lalu menunjuk ke arah stand makanan yang tampaknya sangat enak.
Ruang temaram yang dihiasi oleh pakaian yang berserakan di lantai dengan dua orang yang tengah berbaring kelelahan di ranjang. Naina bersandar pada dada Marven, napasnya masih belum sepenuhnya stabil. Jari-jarinya memainkan garis tipis di atas kulit suaminya, membuat Marven menggeliat kecil dan tersenyum tanpa membuka mata. “Kalau setiap hari liburan begini, aku tak keberatan untuk terus tinggal di hotel,” gumam Naina pelan, suaranya masih serak namun hangat. Marven tertawa pelan, lengan kuatnya menarik Naina lebih dekat. “Siapa bilang liburan ini sudah selesai? Bagiku, ini baru dimulai.” Ia mencium pelipis Naina, lembut namun menyiratkan gairah yang belum padam sepenuhnya. Mata mereka bertemu dalam cahaya redup, berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. “Kamu tidak lelah?” tanya Naina sambil mencubit lembut perut Marven. “Denganmu? Lelahnya justru jadi candu,” jawabnya dengan seringai yang membuat jantung Naina berdetak lagi, kali ini bukan karena kelelahan
Naina menatap takjub ke arah hamparan bunga sakura yang bermekaran, angin musim semi menyapu pelan rambutnya. Matanya berbinar penuh semangat. “Jadi… tempat mana yang bagus di Jepang?” tanyanya sambil menoleh ke arah Marven.Marven, yang sejak tadi berjalan di sampingnya dengan satu tangan di kantong celana, hanya melirik sekilas ke arah orang-orang di sekitarnya sebelum menatap kembali wajah istrinya. Tatapannya melunak.“Kyoto,” katanya akhirnya, suaranya lebih hangat dibanding biasanya, “Kalau kamu ingin lihat kuil-kuil tua, pakai kimono, dan berjalan di jalan berbatu seperti di film-film lama.”Naina mengangguk antusias. “Terus?”“Tokyo kalau kamu mau lihat teknologi, belanja, dan makanan modern. Hakone untuk berendam di onsen dan lihat Gunung Fuji dari kejauhan. Tapi, kalau kamu mau lihat sakura seperti sekarang, Kyoto dan Nara tempat terbaik.”Naina tersenyum lebar, lalu menggenggam lengan Marven dengan gemas. “Aku mau Kyoto! Aku ingin coba pakai kimono dan jalan-jalan makan dan
“Wahh..” Rosana menatap tak percaya panggilannya ditolak oleh Marven.“Benar-benar pengantin baru ini, apa mereka tak bisa mengangkat telepon?!”Ben hanya tersenyum tipis, “Nona, sudah saya katakan jika tuan tak akan mau diganggu selama dua minggu ini. Jadi, lebih baik anda kerjakan proyek ini dan temui tuan Andrian untuk membahasnya lebih lanjut,” ucap Ben dengan sopan namun masih terlihat tenang.Rosana memutar bola matanya dengan kesal, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan dramatis. “Dua minggu? Dia pikir aku ini robot yang bisa langsung kerja tanpa pelatihan? Aku bahkan belum membaca seluruh isi proyeknya!”Ben hanya mengangguk kecil, tetap tenang menghadapi amukan kecil nona muda itu. “Semua berkas telah dikirimkan ke email anda, termasuk ringkasan kerjasama dan latar belakang perusahaan keluarga Laurentz. Tuan Andrian juga sudah menyesuaikan jadwalnya agar bisa mendampingi anda.”“Wah, betapa murah hatinya…” Rosana menyeringai sinis sambil memainkan ponselnya. “Pria itu pasti
“Baik, ayo kita mulai…” Suara Andrian yang tenang namun tegas membuat Rosana mengangguk.Rosana mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap layar tablet di depannya dengan serius. Alisnya yang terangkat dan bibir yang sedikit mengerucut menunjukkan betapa fokusnya dia menyimak penjelasan Andrian. Tak ada tawa atau candaan darinya kali ini. Gadis itu benar-benar ingin membuktikan bahwa ia bisa bersikap profesional meskipun lawan bicaranya adalah pria yang sempat mengusik perasaannya dengan godaan di pesta lalu.Andrian, yang tengah menjelaskan alur proyek kerja sama mereka dengan keluarga Laurentz, sesekali mencuri pandang ke arah Rosana. Cara gadis itu mengetuk-ngetukkan jarinya di meja saat berpikir, atau mengernyitkan dahi saat mencoba mencerna detail teknis, membuat sudut bibirnya sedikit terangkat. Senyum tipis yang tak pernah dia tunjukkan dalam rapat biasa.“Jadi,” ucap Andrian, tetap menjaga nada suaranya tenang. “Kita akan memulai tahap pertama dengan riset pasar lokal. Targ
“Bagaimana hubunganmu dengan Andrian?’ tanya tuan Antony pada Rosana ditengah sarapan mereka.Rosana yang sedang memakan salad-nya langsung terbatuk-batuk ketika kakeknya menanyakan hal itu. Segera dia langsung mengambil susunya dan meneguknya dengan cepat.“Kakek, kau bertanya seolah aku memiliki hubungan spesial!”Tuan Antony menyesap kopinya dengan senyum tipis, “kakek hanya bertanya, siapa tahu hubungan kalian berkembang setelah hampir dua minggu bersama.”Rosana menatap malas kakeknya, “aku berangkat kerja dulu, ada kunjungan ke pabrik bersama Andrian pagi ini.”Tuan Antony hanya mengangguk pelan, masih dengan senyum penuh arti di wajahnya. “Baiklah, hati-hati di jalan. Sampaikan salamku pada Andrian.”Rosana bangkit dari kursinya, lalu merapikan tasnya dengan cepat. “Kakek ini benar-benar… terlalu berharap,” gumamnya pelan, meski rona merah tipis kembali muncul di pipinya.Saat melangkah pergi, Tuan Antony menatap punggung cucunya dengan tatapan dalam. “Aku tidak asal berharap, R
“Apa ada masalah dengan tulangnya?” tanya Rosana setelah dokter keluar dari ruang pemeriksaan.Dokter itu tersenyum, “tuan Andrian hanya cidera kecil, namun tidak akan mempengaruhi pergerakannya. Tapi untuk tiga hari kedepan jangan biarkan tuan Andrian melakukan aktivitas fisik.”Rosana yang mendengar itu mengangguk, “Apa saya sudah bisa melihatnya?”Dokter itu mengangguk ramah. “Tentu, beliau sudah bisa menerima tamu. Tapi tetap jangan membiarkan dia terlalu banyak bergerak.”Rosana menghela napas lega, lalu berjalan menuju kamar perawatan tempat Andrian dirawat. Begitu membuka pintu, dia langsung menemukan pria itu duduk santai di ranjang rumah sakit, masih dengan senyum usilnya meski ada sedikit perban di bagian bahu.“Sudah puas membuat semua orang panik?” tanya Rosana dengan nada setengah kesal, setengah lega.Andrian menaikkan alis, lalu tersenyum tipis. “Belum, sepertinya aku akan benar-benar puas kalau kamu duduk di sini dan menyuapiku makan siang nanti.”Rosana memutar bola m
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N