“Bagaimana hubunganmu dengan Andrian?’ tanya tuan Antony pada Rosana ditengah sarapan mereka.Rosana yang sedang memakan salad-nya langsung terbatuk-batuk ketika kakeknya menanyakan hal itu. Segera dia langsung mengambil susunya dan meneguknya dengan cepat.“Kakek, kau bertanya seolah aku memiliki hubungan spesial!”Tuan Antony menyesap kopinya dengan senyum tipis, “kakek hanya bertanya, siapa tahu hubungan kalian berkembang setelah hampir dua minggu bersama.”Rosana menatap malas kakeknya, “aku berangkat kerja dulu, ada kunjungan ke pabrik bersama Andrian pagi ini.”Tuan Antony hanya mengangguk pelan, masih dengan senyum penuh arti di wajahnya. “Baiklah, hati-hati di jalan. Sampaikan salamku pada Andrian.”Rosana bangkit dari kursinya, lalu merapikan tasnya dengan cepat. “Kakek ini benar-benar… terlalu berharap,” gumamnya pelan, meski rona merah tipis kembali muncul di pipinya.Saat melangkah pergi, Tuan Antony menatap punggung cucunya dengan tatapan dalam. “Aku tidak asal berharap, R
“Apa ada masalah dengan tulangnya?” tanya Rosana setelah dokter keluar dari ruang pemeriksaan.Dokter itu tersenyum, “tuan Andrian hanya cidera kecil, namun tidak akan mempengaruhi pergerakannya. Tapi untuk tiga hari kedepan jangan biarkan tuan Andrian melakukan aktivitas fisik.”Rosana yang mendengar itu mengangguk, “Apa saya sudah bisa melihatnya?”Dokter itu mengangguk ramah. “Tentu, beliau sudah bisa menerima tamu. Tapi tetap jangan membiarkan dia terlalu banyak bergerak.”Rosana menghela napas lega, lalu berjalan menuju kamar perawatan tempat Andrian dirawat. Begitu membuka pintu, dia langsung menemukan pria itu duduk santai di ranjang rumah sakit, masih dengan senyum usilnya meski ada sedikit perban di bagian bahu.“Sudah puas membuat semua orang panik?” tanya Rosana dengan nada setengah kesal, setengah lega.Andrian menaikkan alis, lalu tersenyum tipis. “Belum, sepertinya aku akan benar-benar puas kalau kamu duduk di sini dan menyuapiku makan siang nanti.”Rosana memutar bola m
“Dimana Rosana?” tanya Naina saat mansion utama cukup sepi.Nyonya Sisca yang tengah menyeduh tehnya tersenyum, “sejak kemarin belum pulang, mungkin proyeknya berjalan mulus.”Tuan Antony yang mendengar itu tertawa, “awalnya saja yang pura-pura tak mau, sekarang malah tak mau pulang.”Naina yang mendengar itu menjadi penasaran, “Bibi, maksudnya Rosana sekarang bersama Andrian?”Nyonya Sisca hanya tersenyum makin lebar, sembari menuangkan teh ke dalam cangkirnya. “Kau tahu sendiri Rosana itu, makin dia menolak, makin penasaran. Dan Andrian cukup lihai memainkan ritme. Mereka sudah tiga kali kunjungan kerja bersama dalam seminggu.”Tuan Antony mengangguk sambil terkekeh, “Dulu waktu Rosana masih kecil, kalau dia bilang tidak suka sesuatu, pasti seminggu kemudian sudah jadi favoritnya. Sepertinya pola itu masih berlaku.”Naina ikut tertawa kecil, tapi matanya tetap berbinar penasaran. “Wah, aku jadi makin ingin tahu seperti apa kerjasama mereka sebenarnya. Jangan-jangan proyeknya sudah b
Sore hari yang sangat malas, Naina seharian ini tak ingin melakukan apapun selain tidur di sofa sambil bermain ponselnya.Marven yang baru kembali dari tempat Gym langsung tersenyum saat melihat istrinya tampak bosan.“Kamu sedang lihat apa? Apakah ada yang menarik dari suami mu yang baru pulang dari Gym?”Naina menoleh lalu tersenyum, “tidak, hanya melihat sosial media. Aku baru sempat memposting foto pernikahan kita dan banyak yang berkomentar di postinganku.”Marven berjalan santai ke arah sofa sambil melepas jaket gym-nya, memperlihatkan lengan yang berotot dan kaos yang sedikit basah oleh keringat. Ia lalu duduk di tepi sofa, menatap Naina dengan sorot mata menggoda.“Foto yang mana? Yang aku peluk kamu erat atau yang kamu hampir cium aku duluan?” godanya dengan nada rendah dan senyum menyebalkan.Naina langsung melempar bantal ke arah Marven, meski senyumnya tak bisa disembunyikan. “Jangan GR! Itu candid waktu kamu bisikin sesuatu, bukan aku yang mau nyium.”Marven menangkap ban
“Ini semuanya untukku?!” Rosana yang melihat semua oleh-oleh dalam satu koper besar langsung berbinar.Dia dengan tak sabar membukanya, dan semua barang kebanyakan adalah dress cantik, tas dan juga pernak pernik yang cantik dari jepang.Naina tersenyum senang melihat reaksi adiknya yang begitu antusias. “Tentu saja, itu semua untukmu. Kami sengaja pilih satu koper khusus biar kamu nggak protes nanti.”Rosana langsung mengeluarkan satu per satu barang dari dalam koper, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru. “Kak Naina, kamu memang kakak ipar terbaik sedunia!”Marven yang baru selesai makan hanya mengangkat alis, “Dan aku? Tak dianggap?”Rosana menoleh sambil memeluk sebuah dress berwarna pastel. “Kak Marven juga baik... kadang-kadang,” ucapnya cepat sambil tertawa geli.Naina ikut tertawa, “Aku merasa seperti punya adik yang berusia belasan tahun.”Rosana semakin tersenyum lebar, “aku kan memang awet muda,” katanya sambil mengibaskan rambutnya.Naina m
“Kau masih marah karena ciuman kemarin?”Rosana yang sebelumnya fokus pada tabletnya langsung menoleh tajam ketika Andrian membahas masalah ciuman yang tak disengaja kemarin.“Jangan mengajakku bicara,” ucapnya dengan dingin.Andrian tersenyum tipis, “padahal itu tidak sengaja, misal sengaja juga kita saling menikmati.”Pukulan keras langsung diterima oleh Andrian, Rosana langsung naik pitam karena pria itu berkata seolah dia juga menyukai ciuman itu.Andrian langsung meringis sambil menahan pipinya yang memerah. “Aduh! Rosana, kau benar-benar kuat juga kalau marah,” katanya masih berusaha tersenyum meskipun jelas-jelas kesakitan.Rosana berdiri dengan tangan masih mengepal, matanya menyala penuh amarah. “Jangan pernah bilang hal seperti itu lagi! Kau pikir aku semudah itu dibuat luluh hanya karena—karena insiden memalukan itu?!”Andrian mengangkat kedua tangannya menyerah, “Oke, oke… aku minta maaf. Mulutku memang terlalu lancang. Tapi aku serius minta maaf, Rosana.”Rosana menghela
“Jika anda menghabiskan sushi hingga tumpukan piringnya mencapai satu meter lebih anda akan diberikan diskon,”Ucap pelayan saat mereka menyajikan sushi di meja Andrian dan Rohana.“Berapa persen?” tanya Andrian yang tampak tertarik.Rosana langsung menendang pelan kaki Andrian karena pria itu seperti orang yang mencari diskonan besar untuk makan.Pelayan itu tersenyum ramah, “Diskonnya lima puluh persen, Tuan. Tapi harus benar-benar satu meter penuh, ya.”Andrian langsung bersinar matanya, “Tantangan diterima.”Rosana mendesah dan menatapnya tajam, lalu menendang pelan kaki Andrian di bawah meja. “Kau serius mau makan sebanyak itu hanya demi diskon?”Andrian menoleh padanya dengan ekspresi polos, “Ini bukan soal diskon, ini soal kehormatan pria sejati dalam menaklukkan tantangan sushi.”Rosana memutar matanya, “Kau ini seperti anak kecil.”Andrian menyeringai, “Dan kau yang akan aku buat bangga saat tumpukan piringku mencapai puncaknya.”“Yang ada kau muntah di tengah jalan.”“Tapi j
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N
“Sudah habis kek?” tanya Naina saat melihat tuan ANtony turun dari lantai dua.Pria tua itu terkekeh, “apa suamimu memang manja seperti itu?”Naina tersenyum malu, sudah dia duga pasti Marven akan membuat dirinya malu sendiri. “Tidak, hanya kadang-kadang saja. Apa dia menyusahkan kakek?” tanyanya dengan khawatir.Tuan Antony menggeleng pelan, senyum hangat masih tergantung di wajahnya. “Tidak, tidak. Dia hanya… sulit menerima kalau dirinya juga butuh dimanja sesekali. Tapi ekspresinya saat tahu aku yang menyuapi, speechless,” katanya sambil tertawa pelan.Naina ikut tertawa, membayangkan wajah kaget suaminya. “Pasti dia langsung sok cool setelahnya, ya kek?”“Awalnya iya,” jawab tuan Antony sambil menuruni anak tangga perlahan, “tapi akhirnya dia pasrah juga. Kupikir, dia hanya butuh alasan untuk bersikap lembut tanpa merasa malu.”Naina tersenyum, matanya hangat. “Dia memang begitu. Di balik keras kepalanya, dia lembut… tapi tidak semua orang bisa lihat sisi itu.”Tuan Antony menepuk
“Marven sakit?” tuan Antony bertanya pada Naina yang menemaninya sarapan bersama hari ini.Naina yang tadi akan menyendokkan sup ayam ke dalam mulutnya berhenti dan meletakkannya dengan pelan. “Iya kek, tadi setelah bangun dia mual dan sekarang merasa pusing. Setelah sarapan aku akan menyuapi bubur agar dia mau sarapan.”Tuan Antony mengangguk, “anak itu memang terlalu banyak bekerja.” Gumamnya, “biar aku yang menyuapinya, kau sedang hamil jangan terlalu lelah.”Naina langsung terbatuk-batuk kala mendengar ucapan tuan Antony, “A-apa?”Tuan Antony menatap Naina sambil tersenyum tipis, “Kenapa? Apa ada masalah?”Naina buru-buru menegakkan punggungnya, masih berdehem pelan, lalu menatap kakek dengan wajah bingung sekaligus canggung. “B-bukan begitu, Kek… Tapi… Kakek mau nyuapin Marven? M-maksudku, aku bisa menyuapinya tanpa perlu kakek yang turun tangan.”Tuan Antony terkekeh, melihat wajah canggung sekaligus panik dari cucu menantunya itu. “Tak masalah, kakek juga ingin memanjakan cucu
Air mata menetes pelan di sudut mata Tuan Antony, tapi ia tersenyum lebar, tangannya gemetar saat menggenggam erat jemari Naina. “Astaga… Tuhan benar-benar memberiku hadiah terakhir yang luar biasa sebelum aku pergi…”“Sayang, padahal aku ingin mengatakan ini pada kakek saat merayakan ulang tahun mu nanti.Naina tertawa pelan, “aku tak sabar memberitahu kakek kabar bahagia ini. Lihat, kakek tampak terkejut karena bahagia.” ucap Naina sambil melihat tuan Antony yang masih terkejut dengan kabar kehamilannya itu.Tuan Antony menghela napas pelan, lalu tertawa kecil sambil mengusap sudut matanya yang masih basah, “Terkejut sekali, tentu saja. Tapi ini kejutan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku.”Marven merangkul istrinya dari samping, lalu menoleh ke arah kakeknya. “Kami ingin membuat kakek bangga. Jadi nanti waktu ulang tahun kakek tahun depan, kita rayakan bersama dengan buyut kecil sebagai anggota baru kita.”“Benar,” sahut Naina, tersenyum manis sambil menepuk lembut perutn
Suasana di mansion terasa sangat hangat, hari ini Naina tengah membuat kue untuk suaminya yang sedang lembut meskipun hari ini adalah hari weekend.“Nyonya, anda akan membuat apa hari ini?” tanya salah satu pelayan yang ikut penasaran dan juga antusias karena mereka pasti juga akan mencicipi makanan nyonyanya yang sangat lezat itu.Naina tersenyum manis sambil menggulung lengan bajunya, terlihat santai namun penuh semangat. “Hari ini aku ingin membuat cheese cake stroberi. Marven bilang ingin sesuatu yang manis-manis… jadi aku akan berikan yang paling manis,” ujarnya sambil tertawa kecil.Para pelayan langsung bersorak kecil, ikut senang dan tak sabar mencicipinya.“Wah, pasti Tuan Marven tambah sayang!”Naina mengedipkan mata sambil menunjuk spatula ke arah mereka, “Makanya, bantu aku angkut bahan-bahannya dari kulkas, nanti kalian dapat satu loyang sendiri.”Tak butuh waktu lama, dapur mansion pun berubah menjadi tempat penuh tawa dan aroma manis dari adonan yang mulai dipanggang. S
“Ayah sudah memutuskan tinggal di Jerman?” suara Nyonya Sisca terdengar lebih serius.Tuan Antony menatap putri angkatnya itu dengan lembut, “Ibumu ada disana, ayah juga ingin di makamkan disana jika ayah sudah meninggal.”Nyonya Sisca menghela nafasnya pelan, “Ayah seperti benar-benar akan pergi jauh. Ayah sehat kan?” tanyanya dengan khawatir, “disana Sisca maupun Marven tak ada yang bisa menjaga ayah, kenapa tidak tinggal disini saja agar Sisca bisa memantau dan menjaga kesehatan ayah?”Tuan Antony tersenyum kecil, namun ada kesedihan lembut di balik tatapan matanya. Ia menggenggam tangan Nyonya Sisca perlahan, seperti ingin menenangkan sekaligus menegaskan sesuatu yang berat.“Ayah sehat, nak. Tapi yang namanya usia… tak ada yang benar-benar bisa menjamin. Dan di sini… ayah sudah melihat cukup. Marven bahagia. Kamu pun hidup dengan tenang. Apa lagi yang perlu ayah khawatirkan?”“Tapi, ayah...”“Ayah hanya ingin kembali ke tempat di mana semuanya dimulai, dan mungkin, akan diakhiri.
“Selamat Ros, akhirnya kamu bisa menyelesaikan proyekmu dengan baik.” Ucap Naina begitu mendekati Rosana yang baru saja turun dari panggung.Marven juga ikut tersenyum bangga, “mobil tesla mu sudah menunggu di rumah.”Mata Rosana langsung berbinar mendengar ucapan itu, “Serius?! Kalian nggak bercanda, kan?”Naina tertawa kecil melihat reaksi adik iparnya yang kembali seperti anak kecil, “Tentu saja tidak. Itu bagian dari kesepakatanmu dengan Marven, kan?”Rosana langsung memeluk Naina dengan semangat. “Aku sayang banget sama kakak ipar yang satu ini!” katanya dengan gaya manja yang khas.Marven menepuk pelan kepala Rosana, meski ekspresinya tetap dingin seperti biasa, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. “Jangan sampai Tesla itu jadi dekorasi garasi, buktikan kalau kamu memang pantas memilikinya.”Rosana langsung berdiri tegap, wajahnya penuh percaya diri. “Tenang saja! Setelah ini aku akan bikin proyek lebih besar lagi! Andrian harus siap-siap diajak lembur setiap hari!”Marven d
“Selamat datang tuan dan nyonya Tuner, meja anda sudah disiapkan, silahkan masuk.” Salah satu panitia acara ini menyambut Naina dan juga Marven dengan sopan.Malam ini adalah acara perilisan produk yang dibuat oleh Rosana dan Andrian sebagai mitra kerja.Seluruh ruangan menjadi hening sejenak saat pasangan Tuner memasuki area acara. Semua mata tertuju pada Naina yang mengenakan gaun hijau sage yang menambah pesona kecantikannya, sementara Marven dengan setelan jas hitam tampak gagah di sampingnya. Senyum Naina yang memikat dan kehadiran Marven yang karismatik membuat suasana semakin elegan.Panitia yang menyambut mereka langsung memberikan isyarat untuk menuju ke meja VIP yang sudah disiapkan di depan. Ketika mereka berjalan menuju meja, beberapa tamu tak bisa menahan tatapan kagum, terutama pada penampilan Naina yang begitu mempesona malam itu.Setelah duduk, Marven melepaskan tangannya dari tangan Naina dan meraih gelas anggur yang sudah disediakan di meja. “Apa kamu merasa nyaman?”
“Hari ini perilisan resmi produk yang Rosana dan Andrian kerjakan?” tanya Naina pada suaminya itu yang tengah mengangkat barbel di balkon kamar mereka.“Iya, kamu tak ingin datang? Jika tidak ya tak usah datang. Aku bisa membuat alasan.” Ucap Marven dengan enteng.Naina langsung mendengus, suaminya selalu saja menyimpulkan apapun sendiri, “Aku hanya ingin memastikan. Pantas saja pelayan tadi sibuk memilihkan gaun untukku.”Marven menurunkan barbel perlahan, ototnya masih tegang tapi senyumnya mulai mengembang. Ia menatap Naina yang berdiri dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Hm, pelayan membuat istriku terlihat tertekan. Sudah aku bilang jika tak ingin tak usah datang, toh ini bukan acara yang wajib kita datangi.”“E-eh, bukan begitu. Kenapa sih kamu, selalu saja seperti ini.”Marven langsung mendekati istrinya dan langsung membopongnya hingga dia duduk di pangkuannya.“Karena aku ingin istriku hidup bebas,”Naina memegang bahu pria itu dengan senyum tipis, “bagaiman
“Iya, apakah tidak ada tanda-tanda kehamilan?” tanya Marven dengan penuh harapan.Mereka melakukannya tanpa libur, seharusnya harapannya bisa tercapai karena dia sudah bekerja sangat keras.Naina terbatuk-batuk sampai Marven segera mengambilkan minum untuknya.“Kamu gila? kita baru menikah jalan tiga minggu ini.”Marven menyodorkan gelas air ke Naina sambil mengelus punggungnya pelan. “Tiga minggu yang produktif,” jawabnya dengan nada serius tapi ekspresi wajah yang terlalu berharap membuat Naina hampir menyemburkan air yang baru ia teguk.“Produktif dari mana?” katanya geli sambil meletakkan gelasnya. “Aku bahkan belum telat datang bulan.”Marven menghela napas dramatis dan bersandar di sofa. “Setiap malam itu perjuangan, sayang. Aku merasa seperti sedang ikut olimpiade.”Naina langsung memukul bantal ke wajah Marven sambil tertawa, “Olimpiade dari mana, dasar lebay!”Marven menarik bantal itu dan menatap istrinya dengan penuh tekad. “Kalau ini gagal, aku akan mengalami paceklik.” N