Raihana berlari, suara nafasnya semakin pendek, ia mengangkat bagian bawah roknya agar bisa lebih cepat lagi, di saat orang-orang berlari keluar, dia justru masuk semakin jauh ke dalam.
"Nona muda," panggil Raihana setelah mendorong pintu dengan semua sisa tenaganya. "Mereka sudah masuk ke halaman, bersiap mendobrak pintu rumah. Kita kalah, kita tidak bisa bertahan disini,Nona." Terlihat gadis cantik dengan raut wajah sedih hanya terdiam, berbalik ke arah bawah jendela yang terbuka, melihat kekacauan di halaman rumahnya. "Apakah ini akhir dari hidupku?" lirihnya yang selalu lemah lembut. "Tidak. Tidak Nona.Mereka tidak akan menyakiti para pelayan. Mereka hanya akan menyakiti para keluarga Nona. Mereka memusnahkan keturunan dan keluarga Nona saja." Raihana menutup jendela, memaksa Nona muda yang bermata sayu itu melihat matanya. "Anda tidak akan mati. Saya tidak akan membiarkan Nona mati di tangan mereka." Raihana tidak akan pernah membiarkan majikannya itu mati meski nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya. "Apa yang akan kamu lakukan?" Adeline menatap bingung pada sang pelayan yang lebih muda tiga tahun darinya, pelayan yang sudah seperti adik baginya. Mereka tumbuh bersama, tidak terpisahkan. Raihana selalu menjaganya apa pun kondisinya dan dimanapun ia berada. "Pergilah, Nona Adeline." Raihana membuka bajunya dan menelanjangi dirinya, mengumpulkan pakaiannya, lalu menyerahkan pada Adeline. "Pakai ini, mereka tidak akan menangkap Nona." Raihana melihat lurus ke arah pintu kamar. "Para pelayan sudah menyelamatkan diri. Keluarga yang lain sudah berangsur pergi, tapi saya tidak yakin mereka bisa keluar dengan mudah mengingat mobil dan pakaian serta barang yang mereka pakai." "Ayah ibu semuanya? Bagaimana dengan mereka?" Adeline mulai menangis. "Apa mereka meninggalkanku?" Raihana menggeleng. "Jangan takut, Nona. Saya masih di sini, Nona pasti akan aman dan selamat." Raihana mulai membuka kancing baju yang dikenakan Adeline. "Apa yang kamu lakukan,Hana?" Sang Nona bertanya meski dia tidak melarang Raihana membuka pakaiannya. "Nona bisa keluar dari rumah ini pergi ke luar kota bersama Tuan Wilson, hiduplah bahagia bersamanya." Raihana mulai memakaikan bajunya untuk sang Nona muda. Adeline melihat baju yang Raihana kenakan padanya, hidungnya mengernyit. "Kainnya kasar sekali, kulitku terasa perih." Raihana menepuk-nepuk rok yang dipakai Adeline,membersihkan debu debu yang menempel di baju usang itu. "Sebentar saja, Nona. Tahan sebentar, Sampai di Stasiun. Saya sudah mempersiapkan agar Anda bisa hidup tenang setelah ini selama Anda tidak mengatakan pada siapa pun nama Anda yang sebenarnya. Jangan pernah memperkenalkan diri Nona sebagai Adeline Thanus. Jadilah Raihana Lukito. "Lalu bagaimana denganmu?" Mata Adeline memancarkan kebingungan. "Saya tetap di sini, Nona. Tuan Xavier bukan orang bodoh. Kita tahu tujuannya menghancurkan perusahaan dan keluarga Nona untuk apa. Jika dia menemukan Nona dan Tuan Wilison, dia akan membunuh kalian berdua." Raihana mulai melepas kalung berlian yang menghiasi leher Nona Muda itu. "Harganya sangat mahal, tapi ini tidak bisa Anda bawa. Ini akan membuat identitas Anda ketahuan. Saya akan tetap di sini, memastikan semuanya lancar bagi Anda." Adeline menggeleng. "Tidak. Kamu tidak boleh tinggal. Bagaimana dengan aku, siapa yang akan melayaniku?" "Saya sudah menyiapkan semuanya, Nona. Anda ikuti jalan ini. Di sana Tuan Wilson sudah menunggu anda. Ada banyak harta dan simpanan yang sudah disiapkan oleh Tuan Wilson. Anda tidak akan kesusahan sampai kapan pun. Kelak akan ada banyak pelayan lain yang menggantikan saya." Raihana menyerahkan kertas yang diambil dari balik baju dalamnya. "Pergilah. Pergilah. Kita tidak punya banyak waktu lagi." Raihana memeluk Gadis cantik itu, untuk pertama dan terakhir kalinya. "Jangan tinggalkan jejak apapun. Hiduplah, berbahagialah bersama Tuan Wilson." Air mata Raihana jatuh ke bawah pipinya. Adeline kebingungan melihat kertas di tangannya, saat itu juga Raihana memasangkan masker berwarna hitam menutupi wajahnya. "Jangan biarkan ada yang mengenali atau melihat wajah Nona sampai Nona mendengar semuanya telah usai. Jangan pernah mengungkapkan identitas asli Anda pada siapa pun. Anda dan Tuan Wilson harus hidup dan bahagia di tempat lain. Pergilah, pergilah yang jauh." Raihana menarik lengan sang Nona keluar kamar. Dia meraih bungkusan yang ada di dekat pintu, meletakkan dalam dekapan sang majikannya. "Bawa ini, ada makanan dan pakaian sampai Anda menemukan tempat baru." Air mata Raihana semakin deras. "Selamat tinggal, Nona Adeline," bisiknya menutup pintu mengurung dirinya di dalam kamar. "Raihana, berjanjilah kamu akan mencariku jika semuanya telah usai. Aku akan terus menunggumu. Hanya kamu yang paling bisa kupercaya. Aku mau selamanya dilayani olehmu." Adeline bicara dari balik pintu yang tertutup. "Nona Muda, cepat pergilah," tekannya menutup telinga mendengar suara tembakan di luar sana. Raihana tidak bisa berjanji, dia sudah tahu bagaimana akhir hidupnya. Hingga beberapa detik kemudian akhirnya Raihana mendengar suara derap kaki Adeline yang meninggalkannya. Dan dia baru berani bernapas lega. Dari jendela dia melihat majikannya itu berlari kencang menembus taman belakang. Di ujung sana suara benda benda terjatuh semakin mendekat, Raihana mulai mempersiapkan diri dengan apa yang akan terjadi . Para kaki tangan Tuan Xavier sudah masuk ke dalam rumah. Raihana membersihkan air mata dari wajahnya. Dia mulai memakai pakaian yang ditinggalkan Nona Adeline, memakai make up dan memakai kalung berlian sebagai lambang identitas sang Nona Muda dalam keluarga Thanus yang sebelumnya penuh dengan kedamaian dan suka cita. Dia membuka jendela, duduk bersimpuh menatap keluar dalam hening. Raihana mempertanyakan keadaan saat ini. Jika Tuan Wilson tidak melamar Nona Muda yang terkenal akan kecantikannya, mungkin hidup mereka sekarang tetap akan berjalan baik seperti biasa. Namun, rasanya tidak adil jika menyalahkan Tuan Wilson yang malang. Tuan Wilson dengan lugunya mungkin berpikir Keluarga Thanus yang terkenal akan keberhasilan dan kejayaan perusahaannya bisa melindunginya selamanya dari sang kakak tiri Tuan Xavier Logan. Mungkin juga Tuan Wilson berpikir jika dia menikahi Nona Kedua, maka otomatis dia akan menjadi Pimpinan di perusahaan mengingat Ayah Nona muda tidak punya putra yang akan mewarisi perusahaannya sedangkan putri pertama telah meninggal, semenjak dilahirkan. Tuan Wilson hanya ingin membantu Nona muda, di mana salahnya? Dia tidak melakukan cara yang salah, kan? Apa pun tujuan awal Tuan Wilson tidak penting selama Tuan Xavier bukanlah orang yang kejam dan pendendam. Harusnya Tuan Xavier melepaskan dan membiarkan adiknya menjadi pemimpin di tempat lain. Perusahaan ini terlalu kecil, pemasukannya tidak banyak di banding dengan bisnis kakak tirinya, sekali tebas juga habis seperti yang terjadi sekarang, tidak mungkin Tuan Xavier akan melakukan penyerangan dengan begitu kejam ke dalam kediaman Keluarga Thanus. Tuan Xavier yang bersalah. Seharusnya dia sudah puas dengan mengusir Tuan Wilson. Akan tetapi, hanya karena mendengar sang adik akan menikahi sang Nona kedua lalu menjadi pewaris perusahaannya kebenciannya jadi tidak terbendung.Namun, apakah ayah dan ibu dan keluarga Nona Adeline ikut bersalah? Andai saja mereka memutuskan pertunangan antara Tuan Wilson dan Nona Adeline, tidak bertahan dengan kekeraskepalaan hanya karena mereka yakin perusahaan mitra mereka akan membantu jika Tuan Xavier bertindak. Mereka lupa betapa ganas dan mengerikan Tuan Xavier yang mendengar namanya saja sudah membuat gentar para perusahaan perusahaan kecil. Sudah berapa kali Tuan Xavier mengirim utusan meminta agar adiknya Tuan Wilson diusir dari tempat ini, tetapi malah Tuan Thanus mengabaikan dan terkesan menantang. Raihana tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh Ayah sang Nona muda. Kalau sudah begini apa lagi yang bisa mereka lakukan untuk mencegahnya. Percuma saja mereka mencoba lari atau bersembunyi meminta bantuan pada perusahaan sahabat, mereka semua menutup pintu, memutuskan kontak begitu tahu orang orang Tuan Xavier menyerang dengan dipimpin langsung oleh Tuan mereka. Raihana tahu besok pagi Perusahaan Thanus hanya tinggal nama, Rumah ini hanya akan menjadi puing hitam dan abu belaka. Barang barang akan berserakan, dibakar dan semuanya tidak akan tersisa lagi. Lima puluh tahun kemudian mungkin tidak akan ada yang mengingat bahwa pernah ada Perusahaan jasa yang bernama Thanus Insurance. Raihana tidak ingin berdoa untuk keselamatannya. Dia berdoa untuk keselamatan Tuan Thanus dan Nyonya Melisa meski itu terasa mustahil. Dia berdoa untuk keselamatan Nona Muda Adeline dan Tuan Wilson semoga mereka bisa menjalani hidup bahagia di luar sana. Raihana yakin semua yang sudah diatur dan direncanakannya dengan baik bersama Tuan Wilson tidak akan sia-sia. Kemarin malam saat bertemu dengan Tuan Wilson untuk terakhir kalinya, Raihana terus menolak ajakan Tuan Wilson yang memintanya ikut melarikan diri bersamanya. Raihana menolak karena dia tahu jika Nona Adeline tidak ditemukan, Tuan Xavier pasti akan mengobrak-abrik semuanya sebab dia pasti tahu kedua orang itu melarikan diri, tetapi kalau Raihana tinggal dan menggantikan sang Nona, kemungkinan Tuan Xavier tidak akan terganggu sebab sang adik terlunta-lunta dan sendirian tanpa teman dan tujuan. Setelah membaca, mendengar, dan melihat semuanya. Raihana menyimpulkan Tuan Xavier tidak pernah berniat membunuh adik tirinya itu, Tuan Xavier ingin terus melihat sang adik menderita. Selagi nama Tuan Wilson Logan tidak terdengar, selagi itu pula Tuan Xavier tidak akan menggila. Suara tembakan semakin terdengar dekat, semakin jelas. suaranya terasa menakutkan apalagi sekarang Raihana mulai mendengar suara jeritan dan bentakan amarah. Apakah dia akan tetap bersembunyi di kamar ini, lalu mati kehabisan udara, lebih baik daripada ditemukan lalu disiksa dan di bunuh? Kalau dia tidak ditemukan, meskipun hanya mayat itu akan membahayakan posisi Nona Muda yang pasti akan mati jika ditemukan. Tuan Xavier ingin mempermainkan perasaan adiknya, siapa pun yang berani menyambut dan berteman dengan sang adik tirinya akan dibunuh, apalagi sampai bertunangan dan menikah, hanya tiga hari lagi, pernikahan akan terlaksana dan Tuan Xavier tidak menemukan alasan untuk memberi adiknya kesempatan untuk berbahagia. Raihana terperanjat, hampir tergolek saat pintu kamar tersebut ditendang dan di robohkan, didobrak dengan kasar hingga hancur berantakan. Beberapa orang pria berpakaian Formal berwarna hitam masuk, mendekatinya. Dan salah satunya maju mendekati dirinya. "Kamu Adeline?" Dia tidak bertanya, tetapi menegaskan saja saat melihat kalung berlian yang Raihana pakai. Raihana mengangguk. "Ya, saya adalah Adeline." Raihana terpekik saat pria itu merenggut lengannya, menyeret Raihana keluar dari kamar tanpa menunggu kaki Raihana memijak lantai. Dia terus diseret ke ruang utama di mana biasanya pelayan perempuan tidak diizinkan bahkan untuk melewatinya, ruangan itu khusus untuk acara yang hanya dihadiri para pria dari kaum keluarga besar Tuan Thanus. Terlalu banyak darah yang tersapu bajunya, terlalu banyak benda pecah belah yang berhamburan dilantai yang Raihana lewati. Dengan bertelanjang kaki ia tidak memperdulikan lagi kakinya yang terluka menginjak beberapa serpihan kaca. Dalam posisi masih diseret, Raihana terperangah melihat seluruh anggota keluarga Thanus sudah berlutut di sana, dengan tangan terikat ke belakang menyambung ke leher. Tatapan Raihana fokus pada Tuan Thanus dan Nyonya Melisa yang sudah compang camping dengan luka di sana sini. Tidakkah sedikit saja orang-orang ini punya hormat? rasa belas kasihan? Mereka terlihat kaget melihat tampilan Raihana, memperhatikan tampilan Raihana, tidak perlu dijelaskan lagi mereka semua tahu apa yang Raihana lakukan. Wajah sedih dan terima kasih terpancar dari wajah Tuan Thanus dan Nyonya Melisa, mereka senang Raihana menggantikan putri mereka untuk mati. Yang lain bingung, tetapi memilih diam, setidaknya ada satu di antara mereka yang selamat. Raihana dihempaskan ke lantai marmer yang keras, memakai lengan dan sikunya sebagai tumpuan. Dia mengerang kesakitan dalam usahanya melindungi diri. "Semuanya sudah berkumpul." Pria yang menyeret Raihana memperhatikan semua orang yang sudah dikumpulkan di ruangan tersebut. Dia memberi kode, Raihana terperangah melihat di seberang sana ada puluhan pria berbadan kekar yang mengarahkan pistol pada mereka. Apa mereka yang jumlahnya belasan ini akan dihabisi dengan cara di tembaki? Ada beberapa keluarga dan sepupu Nona Adeline dan wanita wanita muda yang menjerit memohon ampunan? Sayangnya meski sudah menjatuhkan harga diri, mereka tidak diperlakukan dengan baik, mereka menerima tendangan dan hantaman yang menyakitkan. Si pria kejam tidak punya belas kasihan sedikitpun. Nyonya Melisa mencari kesempatan saat itu untuk mendekati Raihana. Meski tangannya terikat, dia tetap menempelkan tubuh mendekatkan bibirnya ke telinga Raihana. "Apa Adeline ku selamat, di mana dia?" bisiknya di telinga Raihana. "Dia pergi bersama Tuan Wilson. Aku berharap dia selamat sampai ke tujuan," bisik Raihana tidak mau ada yang mendengar takut ada yang akan langsung membuka rahasianya demi menyelamatkan diri mereka. Kepala pengawal memberi tanda, pasukan penembak langsung melepaskan tembakan, menancap menghujani mereka yang tidak bisa pergi ke mana-mana. "Terima kasih. Aku akan membalas kebaikanmu di kehidupan akan datang." Nyonya Melisa terus menghalangi Raihana dari peluru yang turun seperti hujan. Raihana membelalak saat beberapa peluru menembus bagian belakang tubuh Nyonya Melisa, darah tersembur dari mulut wanita paling berkuasa itu saat satu peluru menancap di punggung belakangnya. Nyonya Melisa tergolek di atas pangkuan Raihana di saat yang sama ia melihat satu tembakan peluru meluncur menancap di bahunya. Raihana menjerit rebah, dengan tangan yang bebas Raihana memegang bahunya yang dibakar rasa sakit. Gelombang kedua tembakan peluru siap ditembakkan, saat itu suara pintu terbuka terdengar. Pengumuman kedatangan Tuan Xavier, menghentikan semua tangis dan permohonan menyedihkan juga hujan tembakan peluru. "Tuan besar." Pria kejam tanpa perasaan itu maju segera berlutut. "Sesuai perintah Anda, saya tidak akan menyisakan satu pun di antara mereka." Raihana menyentuh Nyonya Melisa, terisak tangis sedih untuk wanita yang tidak pernah menganggapnya selama ini, kini mati untuk melindunginya. "Bawa putri mereka padaku." Suara itu menghentikan tangis Raihana yang langsung mengangkat kepala melihat ke asal suara dingin itu. Xavier Logan, sebelum kematiannya, Raihana akhirnya bisa melihat laki-laki yang terkenal kejam tanpa ampun dan ditakuti ataupun lawan. Tuan Xavier dari wajah dan tampilannya orang tidak akan percaya betapa kejam dan dingin hatinya. Wajah itu biasanya hanya dimiliki oleh para pangeran, seperti yang dikatakan para penyair, dalamnya lautan bisa diukur, tetapi dalamnya hati siapa yang bisa menebak. Rambut sama hitam, tetapi pikiran jelas berbeda. Raihana kembali terpekik saat ditarik diseret secara paksa, melewati tumpukkan tubuh tidak bernyawa serta pecahan pecahan kaca di lantai yang terus menggores kulitnya. Dia dihempaskan ke bawah kaki sang Penguasa yang menunduk menatapnya dengan sorot mata dingin mengerikan. Raihana bukan prajurit gagah berani, dia ketakutan dan itu wajar. Apalagi jika Tuan Xavier tahu dia hanya pengganti, pasti siksaannya akan sangat menyakitkan, dia berdoa semoga sekuat apa pun siksaan yang akan diterimanya nanti, dia tidak akan pernah mengkhianati Nona Adeline dan Tuan Wilson. "Jadi, ini calon adik iparku."Punggung Raihana terasa perih mendengar Suara yang dingin menusuk jantungnya itu, dan ia tidak mempunyai keberanian untuk mengangkat wajahnya. "Aku dengar pernikahannya tinggal beberapa hari lagi, tetapi kenapa undangan belum sampai padaku?" Raihana gemetar, terlalu tegang hingga semua indranya tidak bekerja hanya bau amis darah yang tercium membuat perutnya bergolak. Dia membekap mulutnya, menelan kembali muntahnya yang asam dan menjijikkan. "Apa adikku tersayang melarikan diri dan meninggalkanmu sendirian, dia tidak menceritakan padamu ke mana dia akan pergi setelah membuat rumahmu hancur?" Ujung sepatu Tuan Xavier mengungkit dagu Raihana yang basah dengan airmata dan keringat. Raihana memilih patuh mendongak menatapnya yang terlalu sempurna dalam rupa yang seperti pangeran, tetapi punya hati bagaikan iblis yang sangat jahat. "Apa kamu memilih tutup mulut dan membiarkan pengecut itu kabur sedangkan kamu dan keluargamu harus mati karenanya?" "Anda tidak harus membunuh ratu
Tuan Xavier tidak pernah memilih wanita mana yang akan menemaninya, dia tidak punya tipe kesukaan. Dia tidak punya kekasih kesayangan, kedudukan dan posisi mereka sama tingginya. Dia merasa masih muda dan sehat, masih belum butuh penerus. Dia mengatur agar tidak ada satu pun yang akan hamil di antara puluhan wanita-wanita yang menemaninya itu. Kalaupun nanti dia mati muda, dia tidak takut perusahaannya yang tidak punya penerus akan hancur sebab baginya Jabatan yang kini didudukinya tidaklah berharga, kalau jabatan ini hancur setelah kematiannya tidak masalah. Sejujurnya dia benci dengan perusahaan dan intrik licik dalam perusahaan ini. Perusahaan ini membuat ayahandanya manjadi jauh dengan keluarganya. Perusahaan ini membuat ibunya nyaris gila karena difitnah dan dijadikan seperti tahanan rumah. Perusahaan ini membuatnya tidak kenal mana teman mana musuh. Perusahaan ini menjauhkannya dari semua yang dicintainya. Perusahaan ini merenggut masa kecilnya, kebahagiaan bersama Ibunda. P
"Kalian semua keluar, pergi sekarang juga." Tuan Xavier membenarkan posisi tubuhnya dan duduk tegak, tidak mengulang perintahnya karena dalam beberapa kelipan mata, semua orang sudah pergi membawa rantai besi yang sempat melingkar di kedua lengan sang Nona Muda, meninggalkannya dengan Nona Muda berdua saja. "Bagaimana kabarmu, Nona Muda?" Tuan Xavier mengamati Raihana, setiap inci tubuh wanita itu yang tidak menghiraukannya sama sekali. "Apa yang kamu lihat?" Tuan Xavier bertanya lagi. "Apa kamu ingin membunuhku dengan pistolku sendiri atau kamu ingin bunuh diri dengan pistol yang sudah membunuh ayahmu?" Raihana jelas masih sangat lemah, wajahnya pucat dan tampak sayu, berdirinya sedikit membungkuk sepertinya luka di bahu masih sakit. Kedua telapak tangan Raihana dibalut kain menutupi lukanya yang dalam akibat tembakan pistol dari tangan Tuan Xavier. Raihana terkejut karena Tuan Xavier tahu apa yang dipikirkannya. "Kedua-duanya," jawab Raihana dengan mengangkat dagu. "B
Raihana membuka matanya, tidak berani bernapas dan bergerak, hanya matanya yang mengamati sekeliling ruangan itu. Merasa aman dan sendirian, perlahan dia duduk, langsung menahan selimut yang melorot, tubuh telanjangnya yang penuh bercak ungu di sana sini. Raihana tidak tahu di mana dia sekarang, tetapi dia ingat semua yang terjadi padanya. Matanya menangkap lipatan pakaian di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur. Mendekap selimut erat ke dadanya, tertatih Raihana turun dari tempat tidur meraih pakaian lalu memakainya tergesa-gesa secepat yang dibisa oleh lengannya yang sakit dab tidak bertenaga. Raihana tidak peduli apakah dia memakai pakaian tersebut dengan benar dan rapi, dia menjatuhkan selimut, niatnya berlari ke arah pintu, tetapi lututnya langsung menekuk, Raihana berlutut memegang pinggir meja, kewanitaannya yang panas perih, ia menahan sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya menetes menahan benci dan luka.Terseok-seok Raihana berjalan menuju pintu
"Kamu manusia yang sangat kejam." Raihana menunjukkan ekspresi jijik. Tuan Xavier berjalan mendekat, sebelum Raihana menghindar dia mencengkeram bahu Raihana yang terluka, menahan tubuh sang nona muda yang ringkih. "Kamu adalah piala kemenanganku jika kamu mati, aku tidak akan sempat menunjukkan pada Wilson keberhasilanku ini. Sampai aku menemukan Wilson atau sampai kamu memberitahuku di mana bajingan itu bersembunyi, kamu tidak boleh mati." Jemari Tuan Xavier menekan kuat. Raihana meringis sambil membungkuk untuk menahan sakit di bahunya. Kini dia punya tanggungjawab tambahan, bukan hanya memastikan Nona Adeline dan Tuan Wilson tetap hidup, tetapi kini dia juga harus menjaga agar Rona atau siapa pun tidak akan mati olehnya. Tuan Xavier terlalu kejam, menekan Raihana dengan nyawa orang yang tidak bersalah. "Kalau aku tetap memilih mati, tidak ada gunanya kamu menghukum orang lain." "Itulah tugas para pelayan itu dan para penjaga. Jika mereka tidak bisa mengawasi dan menjagamu
Bohong saat suatu malam Tuan Xavier bilang tidak ada yang mencintainya karena Raihana melihat bagaimana para wanita wanita itu menatap Tuan Xavier, beberapa dari mereka mencintai Tuan Xavier sampai rela mati. Mereka cemburu dan marah pada Raihana yang membuat kehadiran mereka menjadi tidak berguna lagi, jasa mereka seperti tidak dibutuhkan oleh Tuan Xavier yang terus berkurung diri memadu kasih dengan si tawanan yang sebenarnya adalah pelayan dari calon istri Tuan Wilson. Angin segar datang bagi para wanita penghibur saat Tuan Xavier tiba dan jelas sebagai tawanan Tuan Xavier tidak mungkin membawa Raihana keluar dari rumah, masih takut Raihana akan mencari jalan melarikan diri. Tuan Xavier tidak pernah benar-benar percaya pada Raihana. Padahal setelah tiga puluh hari pertama tidak lagi terlintas di benak Raihana untuk melarikan diri atau menyakiti dirinya. Raihana terima kenyataan kalau dia harus melayani Tuan Muda Xavier agar pria itu tidak lagi mencari tahu keberadaan Tuan Wil
"Tuan Muda, cukup jangan minum lagi." Raihana memperhatikan Tuan Xavier yang terus menuang anggur dari botol ke mulutnya, meluber keluar dari sudut bibir pria itu, mengalir dari dagu hingga ke dada tercampur dengan air mandi. Tuan Xavier berhenti saat isi botol ketiga habis dia memberikan botol kosong itu pada Raihana, segera menarik Raihana begitu Raihana selesai meletakkan botol. "Kenapa kamu hanya meletakkan tiga botol? Apa kamu tidak tahu selama perjalananku di luar kota aku tidak pernah minum sekali pun, aku ingin minum sepuas-puasnya ditemani olehmu." Tuan Xavier mengelus wajah Raihana dengan jari jarinya. "Aku takut jika aku mabuk aku akan melepaskan hasratku pada wanita lain yang aku anggap sebagai dirimu. Ini semua karena dirimu. Lalu sekarang kamu melarangku untuk minum lagi. Apa kamu tidak tahu aku menderita karenamu?" Raihana meraih jemari Tuan Xavier, menekan ke pipinya. Tuan Xavier menarik lepas, memilih meremas dada yang bulat milik Raihana. "Kamu belum menjaw
Tuan Xavier mengusap tulang punggung Raihana yang masih bergetar, basah oleh keringat. Meskipun masih menginginkan Adeline, Tuan Xavier mulai belajar mengendalikan hasrat, sadar bahwa fisik Raihana kini berbeda dari sebelumnya. Padahal beberapa hari ini dia dihantui kegelisahan, mimpi yang membuatnya takut untuk tidur. Jika saja dia bisa bercinta sampai kehabisan tenaga lalu tertidur tanpa takut didatangi mimpi mengerikan itu. Namun, Dokter Jimmy sudah memberi peringatan di awal kehamilan Raihana. Dia bahkan sempat melarang Tuan Xavier menyentuh Raihana, mengusulkan agar Tuan Xavier memindahkan Raihana keluar dari kamar pribadinya agar waktu istirahatnya lebih maksimal. Disarankan juga agar Tuan Xavier memilih para wanita simpanannya untuk menyalurkan gairahnya saat dia membutuhkan perempuan. Bagaimana dia bisa menyentuh wanita lain kalau yang membuatnya bergairah dan tempat yang diinginkan untuk menyalurkan hasrat adalah Raihana itu sendiri. Akhirnya setelah ujung pistol Tuan Xav