Tuan Xavier tidak pernah memilih wanita mana yang akan menemaninya, dia tidak punya tipe kesukaan. Dia tidak punya kekasih kesayangan, kedudukan dan posisi mereka sama tingginya. Dia merasa masih muda dan sehat, masih belum butuh penerus. Dia mengatur agar tidak ada satu pun yang akan hamil di antara puluhan wanita-wanita yang menemaninya itu.
Kalaupun nanti dia mati muda, dia tidak takut perusahaannya yang tidak punya penerus akan hancur sebab baginya Jabatan yang kini didudukinya tidaklah berharga, kalau jabatan ini hancur setelah kematiannya tidak masalah. Sejujurnya dia benci dengan perusahaan dan intrik licik dalam perusahaan ini. Perusahaan ini membuat ayahandanya manjadi jauh dengan keluarganya. Perusahaan ini membuat ibunya nyaris gila karena difitnah dan dijadikan seperti tahanan rumah. Perusahaan ini membuatnya tidak kenal mana teman mana musuh. Perusahaan ini menjauhkannya dari semua yang dicintainya. Perusahaan ini merenggut masa kecilnya, kebahagiaan bersama Ibunda. Perusahaan ini adalah yang paling dibencinya dalam hidup.Sekarang dia duduk di atas Kursi tertinggi di perusahaan ini, memperhatikan wajah para Kepala Divisi, Pejabat, dan pemimpin Wilayah yang semua terlihat keculasan di raut wajahnya, lidah manis yang selalu menekankan merekalah yang paling mencintai perusahaan, tetapi setiap kali ada masalah tidak ada satu pun di antara mereka yang menawarkan diri untuk ikut turun ke lapangan . Ya, mungkin mereka berharap ada Pimpinan baru yang bisa lebih lunak menangani masalah yang bisa diatur dan bisa membuat mereka semakin kaya. Jika harus memberi kekayaan, Tuan Xavier lebih memilih memberikannya pada para para buruh yang berjuang mempertaruhkan nyawanya. Semakin pemurah dirinya, semakin loyal mereka padanya. Rapat rutin yang tidak berguna ini hanya menghabiskan anggaran, ini berlangsung setiap harinya. Setiap Direktur Divisi atau Pejabat yang datang akan mendapat banyak bonus sebagai tambahan hadiah di luar gaji pokok mereka. Tuan Xavier duduk di sana, mendengarkan semua laporan dan keluhan mereka satu per satu, ada yang berdebat dan saling menyokong demi kesenangan mereka.Satu-satunya yang Tuan Xavier suka adalah mereka takut padanya hingga tidak berani berbohong dan memanipulasinya. Siapa yang berani melakukannya, kepalanya akan siap oleh tembakannya . Sebenarnya dia lelah, tetapi dia tidak mau ada yang tahu. Tuan Xavier lebih memilih duduk di sana dengan Bajunya yang masih terdapat bercak darah dibanding menuju ruang pribadi untuk beristirahat sejenak. Dia hanya perlu diam mendengarkan, lagi pula dia tidak punya kewajiban untuk melaporkan apa yang dilakukannya selama pergi membereskan semua masalah perusahaan, mereka akan mendapatkan laporan dari Asisten kepercayaannya. Pertemuan itu bubar lebih cepat dari biasanya, mungkin mereka melihat raut kesal dan bosan darinya. Dia beranjak dari kursinya, melewati mereka semua tanpa menatap satu orang pun, tatapannya lurus ke depan dengan dagu terangkat dan wajah dingin. Tuan Xavier berjalan diiringi beberapa pengawal menuju ruangan pribadi. Asisten pribadinya yang sudah tua bernama Hasim menyambut di depan Pintu besar kamarnya, ditemani beberapa orang pelayan lainnya yang terlihat lebih muda. Berita kepulangannya tentu sudah sampai ke setiap sudut rumah. Hasim tahu setiap kali pulang dari perjalanan di luar kota, dia paling suka berendam air hangat ditemani anggur dan aroma terapi jika tidak lelah, akan ditambah satu atau dua orang wanita penghibur."Panggil dua orang wanita." Tuan Xavier memerintah Asisten Hasim yang pasti berpikir dia tidak ingin ditemani saat ini melihat pakaiannya yang banyak dengan noda darah, kemungkinan Tuan Xavier lelah setelah membunuh sekian banyak orang. Hasim langsung memberi kode pada pelayan lainnya, yang sigap bergegas menuju ke arah tempat tinggal para wanita . Dia tinggal menunjuk apa yang dirasanya akan disukai Tuan Xavier, sebab Tuan Xavier sendiri tidak pernah mau jika disuruh memilih. Pria gagah seperti Tuan Xavier sungguh menarik, pikir si Asisten yang memang lebih suka tubuh berotot dibanding tubuh berlekuk sebelum dia dikebiri. "Katakan pada Pengawal Wiliam, aku memintanya datang makan malam bersamaku." Tuan Xavier kembali memberi perintah. Dia terus melangkah menuju ke ruang mandi, dibantu dua orang pelayan yang membantu menanggalkan bajunya yang tidak akan digunakan lagi. Baju yang terkena darah itu tidak akan dicuci, tetapi akan dibakar. Xavier masuk ke dalam bathup yang terbuat dari batu marmer terbaik, dia duduk bersandar meletakkan kedua lengannya di pinggir, memejamkan mata untuk mengendurkan ketegangan di ototnya. Kilas bayangan membuat mata Xavier terbuka. Dia memperhatikan sekeliling memastikan di mana dia berada. Xavier menarik napas panjang, kembali bersandar memejamkan matanya. Lagi-lagi kelebat bayangan gadis itu mengganggunya. Xavier membuka mata, keningnya berkerut mengingat bagaimana gadis muda itu bertahan tidak mau buka mulut, memilih mati daripada mengkhianati adiknya, Wilson. Setahunya, wanita adalah makhluk yang paling cepat berkhianat, saling menikam demi kesenangan masing-masing, apalagi perempuan yang sudah biasa ada di puncak kekuasaan. Semenjak penjadi pewaris satu satunya lima tahun yang lalu, dia telah menyingkirkan ratusan orang, menghancurkan perusahaan perusahaan yang bertentangan dengannya, dan memusnahkan apa yang tidak dia suka. Selama lima tahun ini dia tidak pernah merasa kalah. Gadis muda itu bukan orang pertama yang tidak tunduk di bawah kakinya, tetapi Gadis itu adalah yang pertama menebak jalan pikirannya, seperti membaca isi hatinya. Gadis itu bilang dia mencintai Wilson. Xavier meninju pinggir bathup. Mencintai Bajingan licik itu? Kenapa ada yang mencintai bangsat pengecut yang tidak punya perasaan itu? Pasti cinta gadis itu membuat Wilson bangga. Apa bajingan itu bahagia karena dicintai? Apa Wilson akan merasa kehilangan dan menderita jika gadis itu diambil darinya? Apa dengan membunuh gadis itu akan membuat Wilson menderita? Tidak. Bajingan pengecut itu pasti sudah tahu resikonya. Nyatanya dia lari meninggalkan gadis menyedihkan yang rela mati deminya. Bahkan dengan menggantung mayat gadis itu di depan matanya tidak akan membuat Wilson sedih. Dia justru akan merasa bangga karena ada yang rela mati untuknya. Xavier menoleh saat dua orang wanita muda cantik masuk, tersenyum berlenggak-lenggok gemulai terlihat lemah lembut. Dia bertanya-tanya adakah di antara mereka yang berani memegang pistol, siap untuk mati? "Tuan muda, kenapa Anda lama sekali? Saya tidak bisa makan dan tidur karena merindukanmu." "Tuan muda, izinkan malam ini saya menemani Anda. Biarkan saya melepas rindu, mengobati lelah Anda." Keduanya berebut menarik perhatiannya, berhias secantik mungkin dan harum. Apakah mereka mencintainya? Xavier marah pada dirinya yang memaksa gadis itu menjawab pertanyaannya. Sekarang jawaban gadis itu malah membuatnya kesal, menjadi beban di otaknya. Dia tahu tidak ada yang mencintainya. Satu- satunya orang yang mencintainya dengan tulus hanyalah Ibundanya yang telah tiada. Padahal dia berjuang untuk mereka semua yang ada di rumah ini, membuat mereka bisa bersenang-senang sepanjang hari, makan enak, tidur nyaman, dan memakai pakaian bagus. Lalu apakah pelayan yang dia lindungi mencintainya? "Tuan muda, kenapa Anda diam saja. Apa Anda lelah, biar saya pijat, ya?" "Tuan muda, apa Anda ingin minum? Saya akan menuangkannya untuk Anda." Xavier menatap kedua gadis muda itu, tiba-tiba merasa muak pada sikap mereka yang dibuat-buat. Terlalu mengikuti pendidikan yang mereka terima sebelum masuk ke rumah ini. Tidak bisa menjadi diri sendiri. "Keluar tinggalkan aku," hardiknya. "Tuan muda, mohon ampun. Maafkan kami, kami tidak bermaksud membuat Anda marah." "Tuan muda, tolong redakan kemarahan Anda. Maafkan kami yang gagal menyenangkan Anda." Xavier meraih pistol yang tidak pernah jauh dari jangkauannya. Dia mengarahkan pada kedua wanita itu yang jatuh bersujud ke lantai. "Keluar," hardiknya. Kedua wanita itu dalam posisi merangkak langsung meninggalkannya sendirian. "Tuan muda, ada apa?" Asisten Hasim terbungkuk-bungkuk masuk. "Apa mereka membuat Anda marah? Apa ada yang salah?" Hasim membungkuk merasa takut. "Saya akan meminta yang lain datang." "Tidak. Berhenti," hardik Xavier. "Jangan panggil siapa pun dari kamar para wanita itu." Asisten Hasim mundur kembali mendekati majikannya yang terlihat mulai tenang, memberanikan diri berdiri di sebelah bathup, tahu akan ada perintah lanjutan yang harus dilaksanakannya. "Temui kepala pengawal William, katakan padanya aku memerintahkan agar gadis tahanan itu dibawa ke hadapanku sekarang juga." Kepala pelayan itu membungkuk dalam. "Baik, Tuan Muda." Dia segera berundur diri meninggalkan sang Majikan. Di luar dia berpesan pada pelayan pelayan lainnya untuk menjaga agar air mandi Tuan muda tetap hangat karena menjalankan perintah Tuan muda butuh waktu yang tidak sebentar. Tuan muda bisa sakit jika berendam terlalu lama di air dingin. Kepala Pengawal William bingung mendengar perintah Tuan Muda. Biasanya Tuan Muda tidak pernah mengurus atau bertemu dengan para tawanan, dia selalu menyerahkan sepenuhnya pada dirinya. Mereka baru sampai sehari di kediaman itu setelah melakukan perjalanan kembali selama lima jam, kali ini mereka tidak membawa tawanan selain Putri dari keluarga Thanus yang kondisinya mulai membaik karena langsung di tangani dan dirawat oleh dokter ahli yang bekerja pada mereka. William tidak mengatakan pada Tuan muda tentang gadis itu karena selama perjalanan Tuan muda tidak bertanya atau peduli pada wanita keras kepala yang terus mencoba melarikan diri setiap ada kesempatan sekecil apa pun padahal kondisinya masih lemah. "Baiklah, aku akan membawa gadis itu ke sana sekarang juga." Sang pengawal segera meninggalkan kepala pelayan yang bersiap untuk kembali ke Rumah utama begitu mendapatkan jawaban dari kepala pengawal kepercayaan sang Tuan muda. Terus terang keinginan Tuan muda bertemu gadis yang bernama Adeline Thanus cukup aneh. Apa Tuan muda ingin mendapatkan pengakuan langsung dari bibir gadis itu? Biasanya Tuan muda tidak mau repot-repot ikut menginterogasi, dia hanya menginginkan laporannya saja. Lagi pula aneh rasanya jika Tuan muda begitu mencari keberadaan sang adik. Biasanya Tuan muda memberi waktu dulu untuk sang adik tiri merasa aman dan santai sebelum kembali memulai perburuan. Tuan muda hanya ingin bersenang-senang mempermainkan sang adik yang menjadi anak kesayangan ayahnya dulu. William sebenarnya juga tidak paham kenapa Tuan Thanus membiarkan dirinya meninggal dan putrinya di biarkan tetap hidup, sebenarnya dia tidak benar-benar penting bagi Wilson. Buktinya pria itu lari begitu saja meninggalkan sang calon istri demi menyelamatkan dirinya sendiri. "Siapkan gadis itu, aku akan membawanya bertemu Tuan muda." William memberi instruksi pada pelayan wanita yang bertugas menjaga gadis itu yang statusnya belum jelas akan dibagaimanakan. Si pelayan masuk menuruni ruang bawah tanah di mana gadis itu dikurung sekaligus merawat lukanya. Cukup memerlukan waktu yang lama hingga akhirnya si pelayan terlihat setengah mendorong gadis yang masih pucat keluar dari ruang tersebut. Raihana menyipitkan mata, dia baru beberapa jam dikurung di ruang bawah tanah, tetapi sekarang cahaya matahari langsung membuat matanya sakit. Dia melihat pada pria kejam yang menyeretnya keluar dari ruangan itu, tahu orang-orang memanggil pria itu Pengawal William. "Nona Muda, mari ikut saya." William memberi instruksi pada Raihana, mempersilakan wanita yang memakai baju tahanan itu berjalan di sebelahnya. Si pelayan mendorong Raihana, memastikan Raihana mengikuti perintah sang pengawal. Raihana memperhatikan sekeliling, mencari tahu apakah ada jalan untuknya melarikan diri. Melihat sekilas seperti ini, dia tidak akan menemukan jawabannya. Masih terlalu awal, dia tidak tahu jalan dan wilayah sini. Seumur hidup Raihana belum pernah keluar dari wilayah tempat kelahirannya di Samara, inilah pertama kalinya. "Tidak ada gunanya Tuan Xavier ingin bertemu denganku. Aku sungguh tidak tahu ke mana Wilson bersembunyi."Dia bicara pada pengawal yang tatapan lurus ke depan, siap menyerang kapan saja. "Cepat atau lambat, kami pasti tahu keberadaan Tuan Wilson." Pengawal William menjawab datar. "Sekarang hidup Anda bergantung pada kemurahan hati Tuan Muda Xavier. Jadi, jaga sikap dan tutur kata Anda." "Aku memang ingin mati, kalian saja yang terus menahanku," ketus Raihana yang menerima dorongan kasar dari pelayan wanita yang mengikutinya, jelas pelayan itu tidak suka dengan sikapnya. Tidak peduli Raihana tetap melanjutkan omongannya, "Disiksa bagaimanapun, aku tidak akan buka mulut." Pengawal William tidak merespons, dia mengarahkan Raihana naik ke dalam mobil hitam yang lebih mirip mobil tahanan yang di desain dengan jeruji besi di dalamnya dan kaca jendela yang gelap sehingga tidak bisa melihat keluar. Begitu Raihana naik dan duduk di dalamnya, pintu mobil langsung ditutup dengan keras. " Orang-orang ini pasti tidak mau dia hafal jalan lalu melarikan diri." Perjalanan ternyata lumayan lama. Ketika mobil berhenti pintu mobil hitam itu tidak langsung dibuka. Seseorang pelayan wanita menutup mata Raihana dengan kain hitam dan membawanya berjalan menuju satu tempat. Tuan Muda Xavier menatap tajam pada kepala pelayan Hasim yang sedang menuangkan air panas untuk menjaga air tetap hangat. Tuan Muda mulai bosan menunggu, emosinya hampir meledak. "Berapa lama lagi William akan datang?" desisnya mencengkeram kerah baju sang pelayan.. Saat itu salah satu seorang pelayan muda masuk memberi kabar yang membuat pelayan tua itu merasa lega. "Kepala pengawal William datang membawa Nona Muda. Dia meminta izin pada Tuan Muda untuk membawa sang Nona Muda masuk." Tuan Xavier melepaskan sang pelayan yang hampir pingsan saking takutnya. "Bawa dia masuk," geram Xavier kembali bersandar seketika merasa santai. Empat orang masing-masing memegang tubuh sang Nona Muda dengan mata yang ditutupi kain hitam, di belakangnya sang kepala pengawal dengan segera menyingkirkan kain hitam begitu sampai di depan Tuan Muda agar bisa melihatnya dengan jelas. Tuan Muda menatap sosok Nona Muda yang duduk bersimpuh di lantai, tidak langsung menyadari sosok Tuan Muda karena dia malah menoleh ke semua arah melihat di mana dia, hingga akhirnya dia terpaku pada Tuan Muda yang duduk dalam bak mandinya. Rambut sang Tuan Muda terurai basah, wajah Tuan Muda Xavier sedikit memerah mungkin karena air yang mengepulkan uap atau mungkin karena Tuan Muda mabuk, dilihat dari gelas anggur yang ada di tangannya. Meski menjadi pelayan pribadi Nona Adeline, terkadang dia melayani Tuan Wilson juga, tidak terkecuali saat Tuan Wilson berendam dan butuh bantuannya. Tubuh telanjang pria dewasa tidak mengagetkannya yang terlahir sebagai pelayan dan nyaris dijual ke rumah bordil. "Buka," titah Tuan Muda tidak melepaskan pandangan dari Raihana. Wanita itu kini tanpa riasan dan perhiasan, baju tahanan yang dipakainya membuatnya seperti rakyat jelata. Rambut hitamnya sangat panjang terurai lantai. Begitu tali yang mengikat tangannya dibuka, Raihana didorong maju oleh sang pengawal. Apa ini hobi pria itu? pikir Raihana. Alis Tuan Muda menyatu melihat sikap gadis itu yang begitu tenang tidak panik melihat ada pria berendam tanpa pakaian di depannya. Sebagai seorang gadis yang terlahir dari golongan terpelajar yang belum menikah, harusnya wanita ini punya rasa malu, menjerit menutup wajah atau reaksi apa pun yang menunjukkan bahwa dia punya harga diri dan martabat yang tinggi. Satu pikiran muncul di benak Xavier. Gadis itu pasti sudah menjadi milik adiknya Wilson. Meski pernikahan belum dilaksanakan, tetapi Wilson dan gadis itu pasti sudah menjadi suami istri. Apa karena itu gadis itu begitu setia pada adiknya Hanya karena tubuhnya diserahkan pada pria itu, maka dia menjadi mencintai sang adik dan rela mati untuknya? Lalu bagaimana dengan gadis simpanannya dan para pelayan, apakah mereka juga akan rela mati untuknya? Xavier akan melakukan segala cara demi menjadi yang terbaik. Dia akan berbuat apa saja untuk membuktikan dirinya tidak akan kalah dari saudara- saudaranya yang pecundang. Dia akan membuat Nona Muda ini patuh padanya dan melupakan Wilson. Pengabdian Nona Muda ini kemudian akan ditujukan padanya. Bahkan cinta sang gadis untuk Wilson harus beralih padanya.Tidak ada satu pun yang tersisa untuk sang adik tercinta. Tidak ada apa pun yang bisa membuat sang adik bangga. Dia Tuan Muda Xavier akan menuntut balasan untuk setiap air mata yang dikeluarkan oleh sang Ibunda tercinta yang telah tiada diakibatkan oleh adik tirinya,Wilson. Dia bersumpah akan menjadikan sang adik gila sebelum menjemput ajalnya sama seperti yang terjadi pada Ibundanya."Kalian semua keluar, pergi sekarang juga." Tuan Xavier membenarkan posisi tubuhnya dan duduk tegak, tidak mengulang perintahnya karena dalam beberapa kelipan mata, semua orang sudah pergi membawa rantai besi yang sempat melingkar di kedua lengan sang Nona Muda, meninggalkannya dengan Nona Muda berdua saja. "Bagaimana kabarmu, Nona Muda?" Tuan Xavier mengamati Raihana, setiap inci tubuh wanita itu yang tidak menghiraukannya sama sekali. "Apa yang kamu lihat?" Tuan Xavier bertanya lagi. "Apa kamu ingin membunuhku dengan pistolku sendiri atau kamu ingin bunuh diri dengan pistol yang sudah membunuh ayahmu?" Raihana jelas masih sangat lemah, wajahnya pucat dan tampak sayu, berdirinya sedikit membungkuk sepertinya luka di bahu masih sakit. Kedua telapak tangan Raihana dibalut kain menutupi lukanya yang dalam akibat tembakan pistol dari tangan Tuan Xavier. Raihana terkejut karena Tuan Xavier tahu apa yang dipikirkannya. "Kedua-duanya," jawab Raihana dengan mengangkat dagu. "B
Raihana membuka matanya, tidak berani bernapas dan bergerak, hanya matanya yang mengamati sekeliling ruangan itu. Merasa aman dan sendirian, perlahan dia duduk, langsung menahan selimut yang melorot, tubuh telanjangnya yang penuh bercak ungu di sana sini. Raihana tidak tahu di mana dia sekarang, tetapi dia ingat semua yang terjadi padanya. Matanya menangkap lipatan pakaian di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur. Mendekap selimut erat ke dadanya, tertatih Raihana turun dari tempat tidur meraih pakaian lalu memakainya tergesa-gesa secepat yang dibisa oleh lengannya yang sakit dab tidak bertenaga. Raihana tidak peduli apakah dia memakai pakaian tersebut dengan benar dan rapi, dia menjatuhkan selimut, niatnya berlari ke arah pintu, tetapi lututnya langsung menekuk, Raihana berlutut memegang pinggir meja, kewanitaannya yang panas perih, ia menahan sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya menetes menahan benci dan luka.Terseok-seok Raihana berjalan menuju pintu
"Kamu manusia yang sangat kejam." Raihana menunjukkan ekspresi jijik. Tuan Xavier berjalan mendekat, sebelum Raihana menghindar dia mencengkeram bahu Raihana yang terluka, menahan tubuh sang nona muda yang ringkih. "Kamu adalah piala kemenanganku jika kamu mati, aku tidak akan sempat menunjukkan pada Wilson keberhasilanku ini. Sampai aku menemukan Wilson atau sampai kamu memberitahuku di mana bajingan itu bersembunyi, kamu tidak boleh mati." Jemari Tuan Xavier menekan kuat. Raihana meringis sambil membungkuk untuk menahan sakit di bahunya. Kini dia punya tanggungjawab tambahan, bukan hanya memastikan Nona Adeline dan Tuan Wilson tetap hidup, tetapi kini dia juga harus menjaga agar Rona atau siapa pun tidak akan mati olehnya. Tuan Xavier terlalu kejam, menekan Raihana dengan nyawa orang yang tidak bersalah. "Kalau aku tetap memilih mati, tidak ada gunanya kamu menghukum orang lain." "Itulah tugas para pelayan itu dan para penjaga. Jika mereka tidak bisa mengawasi dan menjagamu
Bohong saat suatu malam Tuan Xavier bilang tidak ada yang mencintainya karena Raihana melihat bagaimana para wanita wanita itu menatap Tuan Xavier, beberapa dari mereka mencintai Tuan Xavier sampai rela mati. Mereka cemburu dan marah pada Raihana yang membuat kehadiran mereka menjadi tidak berguna lagi, jasa mereka seperti tidak dibutuhkan oleh Tuan Xavier yang terus berkurung diri memadu kasih dengan si tawanan yang sebenarnya adalah pelayan dari calon istri Tuan Wilson. Angin segar datang bagi para wanita penghibur saat Tuan Xavier tiba dan jelas sebagai tawanan Tuan Xavier tidak mungkin membawa Raihana keluar dari rumah, masih takut Raihana akan mencari jalan melarikan diri. Tuan Xavier tidak pernah benar-benar percaya pada Raihana. Padahal setelah tiga puluh hari pertama tidak lagi terlintas di benak Raihana untuk melarikan diri atau menyakiti dirinya. Raihana terima kenyataan kalau dia harus melayani Tuan Muda Xavier agar pria itu tidak lagi mencari tahu keberadaan Tuan Wil
"Tuan Muda, cukup jangan minum lagi." Raihana memperhatikan Tuan Xavier yang terus menuang anggur dari botol ke mulutnya, meluber keluar dari sudut bibir pria itu, mengalir dari dagu hingga ke dada tercampur dengan air mandi. Tuan Xavier berhenti saat isi botol ketiga habis dia memberikan botol kosong itu pada Raihana, segera menarik Raihana begitu Raihana selesai meletakkan botol. "Kenapa kamu hanya meletakkan tiga botol? Apa kamu tidak tahu selama perjalananku di luar kota aku tidak pernah minum sekali pun, aku ingin minum sepuas-puasnya ditemani olehmu." Tuan Xavier mengelus wajah Raihana dengan jari jarinya. "Aku takut jika aku mabuk aku akan melepaskan hasratku pada wanita lain yang aku anggap sebagai dirimu. Ini semua karena dirimu. Lalu sekarang kamu melarangku untuk minum lagi. Apa kamu tidak tahu aku menderita karenamu?" Raihana meraih jemari Tuan Xavier, menekan ke pipinya. Tuan Xavier menarik lepas, memilih meremas dada yang bulat milik Raihana. "Kamu belum menjaw
Tuan Xavier mengusap tulang punggung Raihana yang masih bergetar, basah oleh keringat. Meskipun masih menginginkan Adeline, Tuan Xavier mulai belajar mengendalikan hasrat, sadar bahwa fisik Raihana kini berbeda dari sebelumnya. Padahal beberapa hari ini dia dihantui kegelisahan, mimpi yang membuatnya takut untuk tidur. Jika saja dia bisa bercinta sampai kehabisan tenaga lalu tertidur tanpa takut didatangi mimpi mengerikan itu. Namun, Dokter Jimmy sudah memberi peringatan di awal kehamilan Raihana. Dia bahkan sempat melarang Tuan Xavier menyentuh Raihana, mengusulkan agar Tuan Xavier memindahkan Raihana keluar dari kamar pribadinya agar waktu istirahatnya lebih maksimal. Disarankan juga agar Tuan Xavier memilih para wanita simpanannya untuk menyalurkan gairahnya saat dia membutuhkan perempuan. Bagaimana dia bisa menyentuh wanita lain kalau yang membuatnya bergairah dan tempat yang diinginkan untuk menyalurkan hasrat adalah Raihana itu sendiri. Akhirnya setelah ujung pistol Tuan Xav
Upacara memperingati kematian wanita yang telah melahirkan sang Tuan Muda diadakan secara besar-besaran. Ratusan karangan bunga berdatangan. Doa dan dan ucapan duka di berikan diberikan. Para pelayan dan semua orang yang bekerja dengannya bisa makan dan minum sepuasnya , mendapatkan bingkisan dan hadiah yang tentu saja dibalas dengan doa dari mereka untuk ketenangan arwah mendiang Ibunda Tuan Muda. Di atas tembok kediamannya yang diberi kain putih sebagai tanda berkabung, untuk pertama kalinya Tuan Xavier membawa Raihana, ditunjukkan pada pegawainya yang bersorak gembira menyambutnya, bagi mereka adalah calon istri masa depan karena mengandung anak sulung dari Tuan Muda Xavier. Raihana dikelilingi para pelayannya, duduk di tempat terbaik, di sebelah Tuan Xavier. Menonton berbagai atraksi, mulai dari seni tarian dan nyanyian sedih. Para wanita wanita lainnya berada di belakangnya, berbisik satu sama lain menggunjingkan sikap Raihana yang menurut mereka terlalu berlebihan, saat Raiha
"Karena saya takut mengecewakan Anda." Raihana langsung menjawab, tidak ingin membuang waktu, dia tidak bisa membiarkan Tuan Xavier tetap pada rencananya. "Penolakanmu membuatku lebih kecewa." Tuan Xavier mendengus. Raihana bangkit, membiarkan kompres di tangannya jatuh ke lantai. Dia berjinjit melingkar lengan ke leher Tuan Xavier, bergantung di sana. Mencium Tuan Xavier dengan lapar. Raihana jarang bersikap agresif, dia selalu hati-hati dan terkendali. Ini pertama kalinya dia duluan mencium Tuan Xavier. Tentu saja Tuan Xavier langsung menyambutnya mengambil alih ciuman, menaklukan Raihana seketika. "Saya mencintai Anda, Tuan Muda. Sangat mencintai Anda." Raihana terengah menyatakan cintanya pada sang Tuan Muda begitu bibirnya dilepaskan. "Tunggu dulu dengarkan saya dulu, Tuan Muda." Raihana menahan tangan Tuan Xavier yang akan menarik selimut yang masih melilit badannya, dia tahu apa yang Tuan Xavier inginkan. "Lagi-lagi kamu menolakku. Kamu semakin berani, apa karena k
Sambil membuka (Gambar Plum Merah Salju Musim Dingin), Tuan Xavier menatap lukisan itu tanpa ekspresi. Sedetik kemudian, dia tersenyum dingin: "David menjadi malas dan emosional sekarang karena dia tidak menghadiri pengadilan." Dia pernah mendengar bahwa Tuan Max sangat pandai menggambar pemandangan. Namun lukisannya yang menampilkan orang-orang ini, juga sangat menyentuh. Asisten Hasim melihat ekspresi Tuan Xavier yang tidak baik. la teringat bahwa David telah mengirimkan lukisan ini, dan menduga bahwa Tuan Xavier masih memiliki perasaan buruk terhadap David sehingga ia tidak berani berbicara. la dengan patuh berdiri di satu sisi dan menunggu perintah Tuan Xavier."Kembalikan lukisan itu." Tuan Xavier mengerutkan bibirnya, sedikit rasa jijik terlihat. "Meskipun Nona Muda tidak suka melihat lukisan dan telah melupakan semua benda ini, para pelayan tetap harus menyimpannya dengan baik."Asisten Hasim menuju ke ruang belakang. Ketika dia melangkah masuk ke ruang tengah, dia bertemu deng
Tujuh tahun telah berlalu Xevo, Putra pertama Tuan Xavier, sudah tahu apa yang dimaksud dengan calon istri meskipun dia baru berusia tujuh tahun. Dia melihat adik perempuannya di belakangnya, dan ekspresi yang mendalam muncul di wajahnya: "Xava, bukankah kamu baru saja belajar membaca? Mengapa kita tidak bertanya pada pelayan? pelayan pernah mengajariku di masa lalu ketika aku belajar menulis." Raihana, yang berdiri di belakang mereka, mendengar perkataan putra sulungnya, dan tak kuasa menahan tawa. Dulu, bukankah baru dua tahun yang lalu? la melihat ekspresi serius di wajah putra sulungnya dan memanggil kedua anaknya kepadanya: "Xevo, Xava, kemarilah!" Xevo tidak menyangka bahwa ibunya mendengar perkataannya. Dia menuntun Xava dengan patuh ke depan Raihana dan berkata dengan suara kecil:" Ibu, mengapa kamu datang ke sini?" "Ibu hanya jalan-jalan saja," Raihana berjongkok untuk memeluk kedua anaknya dan tersenyum, "Aku akan pergi ke ruang kerja ayahmu untuk mengurus beberapa urus
Linda sekarang merasa sangat menyesal. Setelah meneguk teh dingin untuk menekan rasa takut di hatinya, saat cangkir teh meninggalkan bibirnya, Linda melihat pembantunya mendorong pintu hingga terbuka dan masuk dengan wajah penuh kepanikan untuk melapor: "Nona, Tuan Xavier memanggil Anda dan Tuan Median." Cangkir teh di tangannya jatuh ke lantai. Linda berdiri ketakutan. Melalui pintu, dia bisa melihat seorang penjaga berdiri di luar. Dia terhuyung dan memaksakan senyum: "Tunggu aku berganti pakaian..." "Nona, jangan buang-buang waktu. Tuan Muda dan Nona Muda sama-sama sangat sibuk. Nona harus segera menemui mereka." Asisten Hasim melangkah masuk, wajahnya tanpa ekspresi saat dia mengibaskan kain lap di tangannya, "Nona, kumohon." Linda mengenalinya sebagai pelayan pribadi Tuan Xavier dan tidak berani menyinggung perasaannya. Dia memaksakan senyum dan mengikuti Asisten Hasim keluar ruangan. Ketika dia keluar, dia melihat kakaknya juga mengenakan pakaiannya yang biasa, ekspresin
Perkataan Linda mengejutkan banyak orang. Terutama Tami. la merasa kakinya lemas. Jika ia tahu bahwa gadis ini begitu berani, hari ini, ia tidak akan melakukan ini. Jika Nona Raihana mengira bahwa ia sengaja mempermainkan orang di depannya, apakah ia akan memiliki hari-hari baik lagi untuk hidup?Raihana sedikit terkejut dengan tindakan Linda yang merekomendasikan dirinya sendiri ke ranjang suaminya, tetapi dia segera tenang. Dia pernah mendengar sebelumnya tentang sifat liberal gadis gadis masa kini. Meskipun dia tidak mengira bahwa Linda ini akan berbicara begitu datar tentang masalah ini, tetapi dia tidak akan kehilangan ketenangannya karena itu. Dengan elegan meletakkan cangkir teh di tangannya, dia menggunakan sapu tangan yang disulam dengan desain yang indah untuk menyeka bibirnya: "Dari mana kata-kata anda berasal? Jika kamu jatuh cinta dengan Tuan Muda, mengapa tidak mengatakannya kepadanya, daripada mengatakan kepada saya?""Saya mendengar bahwa Nona memiliki kekuasaan untuk
Peristiwa Linda yang menari di pesta ulang tahun dengan cepat menyebar ke seluruh mitra bisnis. Banyak orang yang suka bergosip mulai berspekulasi tentang bagaimana tarian wanita itu, betapa cantiknya dia. Bahkan ada orang yang mulai mengatakan bahwa Tuan Xavier akan membawa gadis itu ke kediamannya.Orang-orang telah melihat banyak hal dan tentu saja menduga bahwa gadis itu tidak hanya menawarkan tarian, melainkan, dia ingin memamerkan dirinya di hadapan Tuan Xavier. Seorang wanita berusaha keras untuk memamerkan atributnya di hadapan pria lain, jika dia tidak memiliki motif lain, itu agak mencurigakan.Pada suatu ketika, rumor tentang Linda semakin merebak. Ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Linda membeli perhiasan di toko tertentu, lalu membeli pakaian di toko lain. Semua rumor itu memiliki satu kesamaan, Linda sangat cantik dan dapat mencuri hati orang hanya dengan sekali pandang.Rumor-rumor itu semakin kuat dan kuat. Secara bertahap diketahui betapa cantiknya Linda dari pe
Pada hari ulang tahun Tuan Xavier, semua pelayan membuat diri mereka seratus dua puluh persen waspada. Tidak ada yang berani melakukan kesalahan. Jika mereka berhasil mengacau di depan atasan mereka, bahkan jika mereka tidak mati, mereka akan dicabik-cabik hingga setengah tubuh. Para pelayan dan penjaga menata segala sesuatunya dengan sempurna, mulai dari pakaian hingga makanan. Bahkan Aula yang akan di pakai sendiri dicuci berulang kali. Tangga batu giok putih di luar dibersihkan sedemikian rupa sehingga setitik kotoran pun tidak dapat ditemukan. "Cuaca hari ini sangat bagus," Seorang penjaga berpakaian biru mengangkat kepalanya untuk melihat matahari yang tergantung di langit, dan dengan suara pelan, berkata kepada rekannya di sampingnya, "Hei, apakah kau sudah mendengar betapa cantiknya nona dari perusahaan Maxim? Dia berencana untuk mempersembahkan tarian di pesta." "Tidak ada yang aneh," rekannya menggunakan kain di tangannya untuk membersihkan pilar-pilar koridor dengan hati-
Lampu di aula barat tiba-tiba padam. Hanya mutiara bercahaya malam di panggung dan lentera bunga yang mengapung di atas air yang memberikan penerangan, seolah-olah di dunia ini, hanya ada wanita di atas panggung.Musik mulai berdenting pelan, dan orang di panggung bunga itu bergerak. Lengan baju merah itu seakan membelah malam yang gelap, terbang di udara seperti ríak-riak air. Panggung bunga itu sedikit bergetar dan wanita berpakaian merah itu ikut bergerak, tiba-tiba mulai berputar seolah-olah yang ada di bawah kakinya bukanlah panggung bunga yang goyah yang mengapung di atas air, melainkan tanah yang kokoh.Lonceng di pergelangan kakinya berdentang dalam kegelapan, menusuk jauh ke dalam jiwa, berulang kali menyampaikan rasa terima kasih Tuan Xavier,Raihana berpakaian serba merah. Warnanya merah tua murni. Tidak ada perhiasan, tidak ada batu giok, selain untaian lonceng di pergelangan kakinya, dia tidak mengenakan hiasan apa pun di tubuhnya. Angin malam bertiup masuk melalui jendela
Hari-hari Raihana akhir-akhir ini sangat riang. Setiap hari, ia bermain dengan putra putrinya dan menyantap makanan lezat. Hari-harinya terasa mudah dan nyaman.Hari ini, ketika Tuan Xavier datang ke aula belakang, dia melihat putranya mengenakan pakaian dalam sambil berusaha keras menggerakkan anggota tubuhnya di tempat tidur, lehernya berusaha keras untuk sedikit terangkat sebelum akhirnya jatuh dengan keras. Hal itu membuat ibunya tertawa terbahak-bahak."Apa ini?" Tuan Xavier duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan putranya menggerakkan anggota tubuhnya seperti kura-kura. Hasilnya, dia tidak bergerak sedikit pun. Namun, dia tidak mengamuk, hanya mendorong kakinya dengan tegas."Tidak apa-apa, biarkan saja dia melatih kaki dan lehernya," Raihana dengan cekatan membalikkan badan putranya, menepuk pantatnya. Melihat putranya tersenyum lebar padanya, dia membungkuk untuk mencium pipinya. Mengambil kotak bedak dari tangan Salsa, dia mulai menaburkan bedak itu untuk mencegah ruam."Pa
"Karena David ingin kau hadir, maka kau harus tampil dengan baik," Dinda mengutak-atik kukunya yang baru saja dicat kemarin. la melirik Evie yang berdiri di depannya, "Kudengar bakat musikmu luar biasa. Jika ada kesempatan nanti, kau akan tampil di depan semua orang."Tangan Evie yang tersembunyi di balik lengan bajunya mengencang. Dia tahu bahwa Dinda sedang menghinanya, tetapi dia tidak punya pilihan selain bertahan, jadi dia menundukkan kepalanya. Dia membungkuk:" Saya akan mengingatnya.""Bagus," Dinda mengangguk dan mengangkat dagunya, "Hari ini, banyak tamu terhormat akan datang. Perhatikan perilakumu dan jangan mempermalukanku. Dia tidak melihat ke arah Evie saat dia memegang tangan seorang pelayan dan meninggalkan ruangan."Nyonya," seorang pelayan melihat ekspresi Evie yang tidak tepat dan bergegas maju untuk mendukungnya. Dia menghiburnya, "Jangan marah, nona Dinda hanya iri dengan betapa baiknya dirimu."Evie tersenyum pahit saat dia duduk di kursi. Dia menoleh untuk meliha