"Kalian semua keluar, pergi sekarang juga."
Tuan Xavier membenarkan posisi tubuhnya dan duduk tegak, tidak mengulang perintahnya karena dalam beberapa kelipan mata, semua orang sudah pergi membawa rantai besi yang sempat melingkar di kedua lengan sang Nona Muda, meninggalkannya dengan Nona Muda berdua saja. "Bagaimana kabarmu, Nona Muda?" Tuan Xavier mengamati Raihana, setiap inci tubuh wanita itu yang tidak menghiraukannya sama sekali. "Apa yang kamu lihat?" Tuan Xavier bertanya lagi. "Apa kamu ingin membunuhku dengan pistolku sendiri atau kamu ingin bunuh diri dengan pistol yang sudah membunuh ayahmu?" Raihana jelas masih sangat lemah, wajahnya pucat dan tampak sayu, berdirinya sedikit membungkuk sepertinya luka di bahu masih sakit. Kedua telapak tangan Raihana dibalut kain menutupi lukanya yang dalam akibat tembakan pistol dari tangan Tuan Xavier. Raihana terkejut karena Tuan Xavier tahu apa yang dipikirkannya. "Kedua-duanya," jawab Raihana dengan mengangkat dagu. "Balas dendam lalu bunuh diri." "Jadi kamu tidak berniat melaksanakan pesan terakhir ayahmu, hidup dan meneruskan garis keturunan Thanus?" Tuan Xavier meneguk habis anggur di gelasnya. Mengarahkan gelas tersebut pada Raihana yang berjarak sangat dekat dari bak mandinya. "Isi gelasku," perintahnya saat Raihana memilih tidak menjawab pertanyaannya. Raihana bergeming, dagunya makin terangkat tinggi tidak sudi menerima perintah. Aslinya dia memang hanya pelayan, tetapi saat ini dia adalah seorang Nona Muda. "Aku ulangi, isi gelasku," geram Tuan Xavier yang duduk tegak dalam bak mandi super besar berisi air beraroma harum. "Bunuh saja saya. Keinginan Anda bukan perintah bagi saya." Raihana melihat pada pistol yang ada dalam jangkauannya."Sudah berapa banyak nyawa yang diambil pistol itu?" Wajah Tuan Xavier tidak berubah, dingin tanpa rasa menyesal. "Puluhan atau mungkin ratusan. Aku tidak ingat, tapi aku ingat siapa orang terakhir yang mati di ujung pistolku." Wajah Raihana berubah merah dan ekspresi jelas terlihat marah, napasnya naik turun. "Bukan," desisnya, "Orang terakhir yang akan mati di ujung pistol itu adalah Anda sendiri." "Dan kamu orang yang akan menembakkan pistol itu ke jantungku?" Tuan Xavier begitu meremehkan Raihana. "Untuk siapa?" tantang Tuan Xavier. "Demi membalas kematian ayah dan ibumu, demi membantu Wilson yang kamu cintai atau demi membebaskan dirimu?" "Demi semua orang yang sudah Anda sakiti." Raihana menantang mata Tuan Xavier. Tuan Xavier melempar gelas anggurnya, dengan cepat mencengkeram lengan Raihana menariknya hingga menempel ke bagian luar bak mandi. Cengkeraman Tuan Xavier seperti capit kepiting yang tidak bisa lepas."Aku lebih suka mati di tanganmu karena kamu ingin menuntut balas atas namamu sendiri." Tangan yang satunya bergerak mencengkeram rahang Raihana, dalam sekali tarikan Tuan Xavier membuat Raihana masuk ke dalam bak mandi, tercebur basah kuyup seketika. Raihana mengap-mengap menarik napas, berlutut menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya, roknya menutup permukaan air, dia tidak menyangka baknya akan sedalam ini. Seketika tangan Raihana memegang pinggir bak, berniat keluar dari sana. "Kamu harus punya alasan yang cukup kuat untuk membunuhku nanti." Tuan Xavier menarik lengan Raihana, membuat perempuan itu jatuh terhempas ke dadanya yang keras. Air menciprak ke mana-mana. "Lepaskan." Raihana berontak mencoba memukul Tuan Xavier, tetapi kedua lengannya ditahan oleh kekarnya tangan Tuan Xavier di bawah air. "Apa maumu?" geramnya dengan wajah yang begitu dekat dengan wajah Tuan Xavier. "Kamu tidak bodoh. Kamu pasti tahu apa yang aku inginkan," desis Tuan Xavier melarikan tatapannya pada dada Raihana yang bulat, besar tercetak jelas di balik bajunya yang basah. Untuk gadis semuda Raihana, dadanya cukup besar dan menggoda. "Tidak," pekik Raihana. "Aku tidak meminta izin padamu. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan." Di mata Raihana, Tuan Muda Xavier lebih mengerikan dari para iblis yang dikisahkan selalu jahat dan kejam. kamu memakai otakmu harusnya kamu tahu berapa banyak wanita di luar sana yang memimpikan ini. Asal kamu menyerahkan dirimu. Melupakan Wilson dan memilih berada di sisiku, maka aku akan memberimu kedudukan yang tinggi, kamu akan menjadi wanita favoritku." Tuan Xavier mengendus leher Raihana dengan hidungnya yang mancung. "Aku bukan mereka. Aku tidak peduli dengan permintaanmu. Aku lebih baik mati daripada mengkhianati pilihanku." Mengkhinati Wilson sama saja dengan mengkhianati Nona Adeline, lebih baik Raihana mati saja. Tuan Muda Xavier belum pernah merasa semarah ini pada seorang perempuan. Seumur hidup dia tidak pernah ditolak. Kalau Wilson tahu Nona muda menolaknya yang seorang Pewaris, pasti akan membuat sang adik senang luar biasa. "Matilah setelah aku memilikimu," desisnya memaksakan ciumannya pada sang Nona Muda. Dengan sifatnya yang pemarah, kekuatan dan tubuhnya yang jauh lebih besar dari Raihana dalam sekejap saja dia sudah mengoyak pakaian dan menelanjangi perempuan itu. Raihana histeris melawan sekuat tenaga, mati-matian mencoba keluar dari bak mandi. Semua usahanya gagal, tenaganya tidak ada apa-apanya bagi Tuan Xavier yang sama sekali tidak kewalahan menghadapinya. Kedua lengan Tuan Xavier memeluk bokong Raihana, wajah Tuan Xavier terbenam di antara dada indah Raihana, menggigit kuat hingga berdarah, lengan Raihana terjepit tidak bisa digunakan untuk mendorong atau memukul Tuan Xavier. Raihana menjerit, berontak, memaki, dan mengeluarkan segala macam hinaan yang tidak menyurutkan niat Tuan Xavier untuk menggagahinya. Raihana kewalahan, kehabisan tenaga, kesakitan. Namun, Tuan Xavier dengan ganas terus menggerayangi tubuhnya dengan bibir dan jemarinya.Perasaan terhina meruntuhkan semangat Raihana, dia kini hanya bisa memohon dan menangis agar Tuan Xavier berhenti dan melepaskannya. Apakah jika dia mengatakan semuanya Tuan Xavier akan melepaskannya? Dia lebih memilih mati daripada dilecehkan begini. "Akan kukatakan di mana Wilson, akan kuberitahu di mana keberadaan Wilson." Raihana terisak berharap cara ini akan membuat Tuan Xavier berhenti. Dia akan memohon maaf pada Nona Adeline saat mereka bertemu di langit kelak. "Aku memberimu beberapa kesempatan tapi kamu menantang dan meremehkanku," geram Tuan Xavier menekan kedua lengan Raihana ke belakang punggung tidak peduli betapa sakitnya bagi Raihana. "Kamu katakan atau tidak, cepat atau lambat aku pasti menemukan Wilson." Bibir Tuan Xavier menjelajahi leher dan rahang Raihana, mencap tanda kepemilikan. "Jika kamu memuaskan aku, aku akan membiarkan Wilson sementara, tidak akan mengusiknya." Raihana menggeleng. "Tidak," pekiknya, "Lepaskan aku, bunuh saja aku." Tuan Xavier mengeram. "Kamu butuh alasan yang tepat untuk membunuhku." Dia menahan bokong Adeline palsu, membuka jalan untuk kejantanannya masuk, begitu menemukan pintu Tuan Xavier menekan bokong Raihana turun. Kejantanan Tuan xavier menerobos masuk. Menyobek dinding penghalang yang tidak disangkanya masih ada di sana. Tuan Xavier terpaku menatap Raihana. Raihana berteriak kesakitan, kaku tidak berani bergerak atau bernapas. Tubuhnya melengkung ke belakang, rasanya seperti dikoyak dan dibelah dua, panas di bawah sana membakarnya. Air matanya mengalir deras, wajahnya yang awalnya merah padam kini pucat pasi. "Lepaskan, sakit." Isaknya terbata-bata mencengkeram paha Tuan Xavier dengan jari yang gemetar hebat di bawah permukaan air. Tuan Xavier melihat warna merah yang melayang bergoyang-goyang di air bening yang kini tidak lagi terasa hangat. Dia tahu dari mana warna merah itu berasal, darah dari kewanitaan Raihana. "Jadi kamu belum dimiliki Wilson?" bisik parau Tuan Xavier. Raihana terlalu kesakitan, kaku menahan gemetar yang menjalar ke sekujur tubuhnya. "Lepaskan," rintihnya tidak sanggup menghadapi siksaan satu ini. "Tidak mungkin aku melepaskanmu. Kamu adalah satu lagi bukti kemenanganku atas Wilson." Tuan Xavier meremas dada Raihana yang sangat indah, matanya menyala penuh nafsu melihat tubuh mungil berlekuk sempurna. Dengan sisa tenaganya Raihana mencoba menepis tangan Tuan Xavier. Air yang bergoyang terasa menusuk di setiap pori-pori tubuh Raihana. Raihana merintih, terisak dan memohon minta dilepaskan. Dia mencoba menarik diri mengeluarkan kelamin Tuan Xavier yang kini ada di dalamnya, tetapi rasa sakit mencegahnya untuk bergerak. Namun, di dalam air di bawah sana Tuan Xavier mulai bergerak, tidak peduli betapa tersiksanya Raihana. Tuan Xavier justru menikmati rintihan, isakan, dan pekikan Raihana di sepanjang persetubuhan mereka yang panjang. Raihana tersentak, mencengkeram lengan Tuan Xavier, punggungnya melengkung nyaris bulat, air turun naik di atas dadanya. Untuk ke sekian kalinya Raihana merasakan semburan panas yang berasal dari kejantanan Tuan Xavier yang berada di dalam, memenuhi dirinya. Seluruh tulang dalam tubuh Raihana seperti lepas , tubuhnya lemah dan tidak mempunyai kekuatan lagi. Air matanya sudah habis, tenggorokannya kering perih karena terlalu banyak menjerit. Kulitnya pedih akibat remasan dan gigitan Tuan Xavier di beberapa tempat. Akan tetapi, itu semua tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang berasal dari selangkangannya, ia tidak sanggup rasanya menahan ini semua serasa ingin mati. "Airnya terlalu dingin." Tuan Xavier yang sudah mendapatkan kepuasan beberapa kali terlihat sangat bahagia. Dia merapikan rambut panjang Raihana yang menutupi permukaan air, menari seirama dengan rambutnya."Kita lanjutkan di kamar," paraunya yang masih merasa belum cukup. Raihana menggeleng dan menjerit parau saat Tuan Xavier menarik keluar kejantanannya dari dalam lubang kenikmatan milik Raihana yang sempit, panas dan berdenyut, mencengkeram kuat. Cairan bukti kenikmatan ikut ketarik, membuat air yang awalnya bening menjadi keruh memutih. Begitu Tuan Xavier melepaskan darinya, Raihana terhempas ke dada Tuan Xavier, terkulai meluncur ke dasar bak mandi. Tuan Xavier langsung menarik Raihana, meletakkan tubuh tidak bertenaga itu ke bahunya, lalu dia keluar dari bak mandi, memijak lantai yang basah akibat perbuatannya. Dia menyambar kain, membungkus tubuhnya dan Raihana yang tidak sadarkan diri. Tuan Xavier masuk ke kamar, membaringkan Raihana di atas kasur. Dia duduk di sisi tempat tidur, mengusap wajah dan leher Raihana. Wanita ini dengan semua penolakan terasa begitu nikmat. Apalagi sekarang dia tahu dia masih di atas Wilson. Darah yang keluar dari kewanitaan Raihana adalah buktinya. Kesucian Raihana sama sekali tidak istimewa. Seluruh wanita yang melayaninya saat pertama kali datang adalah perawan, Tuan Xavier tidak menyentuh atau melakukannya barang bekas pakai. Satu-satunya yang membuatnya tertarik untuk melakukannya justru Raihana, tetapi ternyata Raihana juga masih suci. Tuan Xavier tersenyum jahat. Dia tidak sabar membuat Wilson tahu berita ini. Dia ingin adiknya itu tahu bahwa Adeline kini telah menjadi wanitanya. Dia tidak bodoh dan buta, dia tahu adiknya Wilson masih memilik antek-antek setia yang entah bagaimana caranya membuat adiknya tahu perkembangan yang terjadi di dalam perusahan dan kediamannnya. Bukan karena dia lemah, maka dia membiarkan saja hal itu, tetapi karena dia tahu setiap keberhasilannya akan membuat Wilson tersiksa. Bagi Tuan Xavier, Adiknya Wilson bukanlah lawan tanding yang sepadan, tetapi demi apa pun dia selalu menikmati setiap pertikaian ini. Andai saja mereka bukan dua orang saudara pewaris perusahaan, mungkin hubungannya dan Wilson tidak akan sepahit ini. Demi mendapatkan semua ini, Wilson malakukan berbagai cara yang tidak pernah terpikir sanggup dilakukannya. Bahkan Wilson tega menjebak Ibunda yang saat itu adalah istri sah, membuat Ayahnya percaya bahwa ibunya ada main dengan kepala pengawal pribadinya. Ibundanya diasingkan dan dijadikan tahanan rumah. Posisinya sebagai istri sah digantikan oleh Ibunda dari Adiknya Wilson, belum puas dan merasa terancam, Wilson bekerja sama dengan Ibundanya membuat fitnah lain hingga Ibunda dituduh menyusun pemberontakan, berniat membunuh Ayahnya terdahulu. Bodohnya sang ayah yang lebih percaya pada simpanannya dibanding sang istri sahnya. Xavier tidak bersedih saat ayahandanya mati mendadak di atas tempat tidur saat memadu kasih dengan simpanan tersayangnya itu. Air matanya sudah habis menangis melihat Ibunda yang mati digantung di pohon taman rumahnya, dicap sebagai pengkhianat suami. Dia justru diam-diam tersenyum pada simpanan kesayangan yang sadar bahwa niatnya menjadikan sang putra sebagai pewaris ayahnya sudah gagal sebab siapa sangka ayahnya bisa mati mendadak, padahal dia sehat-sehat saja dan belum sempat menentukan pewaris. Otomatis sebagai putra tertua, Xavier naik tahta menggantikan ayahnya yang sebelumnya menjabat. Tidak butuh waktu lama, dua hari setelah pelantikannya, Xavier menjatuhkan hukuman mati pada simpanam kesayangan ayahnya atas fitnah yang dilakukannya pada ibundanya yang namanya dibersihkan dan papan namanya dipindahkan di sebelah papan nama ayahnya. Xavier tidak membenci perempuan, dia menyukai tubuh mereka semakin cantik dan sempurna mereka, semakin hati-hati dirinya. Dia tidak pernah memakai perasaan saat bersama perempuan mana pun, ini murni hasrat yang minta dipuaskan dan nafsu yang butuh pelepasan. Umurnya dua puluh delapan tahun, para pemegang saham mendesaknya untuk menikah, mereka selalu punya calon yang dirasa sangat cocok menjadi istri Tuan muda Xavier. Sayang sekali Xavier tidak suka didikte, ini hidupnya dia yang akan menentukan jalannya. Lagi pula semua perempuan yang dicadangkan untuk menjadi istrinya pasti punya tugas tersendiri dari pendidikannya atau keluarganya, mereka disisipkan di sisinya dengan mengemban tugas dan kepentingan pribadinya dan keluarga. Bukannya kelak mereka hanya akan menyusahkan. Diruangana para wanitanya, tidak ada yang diistimewakan karena Tuan Xavier tahu orang-orang yang mengirim mereka menginginkan sesuatu darinya sebagai imbalan, informasi atau apa pun yang bisa menguntungkan mereka. Tidak ada cinta dan ketulusan yang dia rasakan, seperti yang Ibunda berikan untuk sang ayahanda, pemimpin terdahulu.Dia belajar banyak dari simpanan tercinta sang ayahanda yang tidak pernah mencintai siapa pun kecuali pada sang putra yang didambanya menjadi Pewaris, mengangkatnya menjadi ibu pemimpin yang resmi, mengatur perusahaan sesuai keinginannya. Lucu sekarang orang licik dan jahat seperti Wilson mendapatkan cinta yang besar dan tulus. Apa perempuan yang tidur di ranjangnya ini bodoh atau buta sampai tidak melihat semua kepura-puraan yang Wilson tunjukkan? Atau sebenarnya perempuan ini sedang tertipu mimpinya sendiri yang berpikir jika kelak Wilson menjadi pemilik perusahaan Logan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin juga? Tuan Xavier beranjak, meraih jubah kamar, berjalan ke depan meninggalkan kamar tidur. Di ruangan depan Tuan Xavier melihat Asisten Hasim yang selalu siaga menunggu siap melaksanakan perintahnya. "Bawa seorang dokter ke sini." Tuan Xavier manambahkan saat Asisten Hasim mundur untuk menjalankan perintah. "Siapkan beberapa helai pakaian untuk Nona Muda." Dia melihat pada dua orang pelayan muda yang selalu mendampingi Asisten Hasim. "Aku mau berpakaian." Kedua orang itu langsung bergegas menjalankan tugas, mengambil pakaian Tuan Xavier, membantu Tuan Xavier memakai pakaian yang membuatnya semakin gagah. "Siapkan makan, aku lapar," perintahnya yang merasa butuh tambahan tenaga, ingat belum makan apa pun hari ini. Tuan Xavier masih sempat menyantap makanan yang dicicipi terlebih dahulu oleh para asisten untuk memastikan apa pun yang masuk ke perut Tuan Xavier aman dan tidak membahayakan. Saat Asisten Hasim datang dengan seorang dokter tua yang gerakannya mulai lambat dan didampingi pembantunya, Tuan Xavier meninggalkan makanan berjalan lebih dulu ke kamar, berdiri di sebelah tempat tidur. Dia melihat kedua orang yang masih berada di ujung kamar. "Periksa luka Nona Muda, pastikan kondisinya segar kembali," titahnya yang membuat bingung dua orang itu. Apalagi dokter tua yang sangat berpengalaman tidak pernah disuruh merawat seorang perempuan yang katanya adalah seorang tawanan, yang kini dibiarkan terbaring di atas tempat tidur Tuan Muda Xavier. "Apa yang kamu tunggu?" Tuan Xavier bertanya, menatap tajam sang dokter yang terbungkuk-bungkuk mendekati tempat tidur. Dengan hati-hati, Dokter tua itu mulai memeriksa denyut nadi Nona Muda, membuka kain pembungkus kedua tangan Nona Muda memperhatikan luka panjang pucat dan basah itu. Dia mengoleskan obat pada luka, membungkus kembali dengan kain yang lebih tipis dan kering. Tuan Xavier menarik sedikit selimut ke bawah, menunjukkan luka di bahu akibat tembakan dan luka di leher karena cengkeraman tangannya. "Sedikit infeksi, tapi tidak ada tulang yang patah," ucap Dokter Jemmy dengan suaranya yang bergetar mengoleskan obat yang saking perihnya membuat Raihana yang tidak sadarkan diri merintih pelan. Luka itu ditutupi kain tipis untuk mencegah infeksi makin parah. Luka di leher Raihana ternyata cukup panjang. Tuan Xavier rasa jika dia memberi tekanan sedikit lagi, pasti akan memutuskan urat besar yang akan membunuh Raihana. "Apa dia akan baik-baik saja?" Tuan Xavier hanya melihat Raihana sampai tidak menyadari bagaimana ketiga orang itu terlihat kaget mendengar pertanyaan, untuk pertama kalinya Tuan Xavier terlihat peduli dengan seseorang. "Ya, Tuan Muda. Dia hanya kelelahan dan sedikit terguncang. Istirahat dan makan banyak daging, dia akan pulih dengan cepat. Dokte Jemmy berdiri sementara pembantunya semua memasukan peralatan kembali ke dalam kotak. Tuan Xavier kembali ditinggal berdua dengan Raihana, dia memperhatikan wajah Raihana yang pucat, perjalanan selama lima jam membuatnya kurus atau itu hanya perasaan Tuan Xavier saja? Dua orang pelayan masuk membawa perlengkapan yang Raihana butuhkan. Tuan Xavier terus melihat, membuat keduanya gugup, berkeringat dingin bertanya-tanya apa mereka melakukan kesalahan? "Siapkan seorang pelayan wanita muda di sini untuk membantu Raihana." Kedua orang pelayan itu mengangguk, bergegas keluar, baru berani menarik napasnya sedikit panjang. Mempersiapkan apa yang di perintahkan sang Tuan Muda.Raihana membuka matanya, tidak berani bernapas dan bergerak, hanya matanya yang mengamati sekeliling ruangan itu. Merasa aman dan sendirian, perlahan dia duduk, langsung menahan selimut yang melorot, tubuh telanjangnya yang penuh bercak ungu di sana sini. Raihana tidak tahu di mana dia sekarang, tetapi dia ingat semua yang terjadi padanya. Matanya menangkap lipatan pakaian di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur. Mendekap selimut erat ke dadanya, tertatih Raihana turun dari tempat tidur meraih pakaian lalu memakainya tergesa-gesa secepat yang dibisa oleh lengannya yang sakit dab tidak bertenaga. Raihana tidak peduli apakah dia memakai pakaian tersebut dengan benar dan rapi, dia menjatuhkan selimut, niatnya berlari ke arah pintu, tetapi lututnya langsung menekuk, Raihana berlutut memegang pinggir meja, kewanitaannya yang panas perih, ia menahan sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya menetes menahan benci dan luka.Terseok-seok Raihana berjalan menuju pintu
"Kamu manusia yang sangat kejam." Raihana menunjukkan ekspresi jijik. Tuan Xavier berjalan mendekat, sebelum Raihana menghindar dia mencengkeram bahu Raihana yang terluka, menahan tubuh sang nona muda yang ringkih. "Kamu adalah piala kemenanganku jika kamu mati, aku tidak akan sempat menunjukkan pada Wilson keberhasilanku ini. Sampai aku menemukan Wilson atau sampai kamu memberitahuku di mana bajingan itu bersembunyi, kamu tidak boleh mati." Jemari Tuan Xavier menekan kuat. Raihana meringis sambil membungkuk untuk menahan sakit di bahunya. Kini dia punya tanggungjawab tambahan, bukan hanya memastikan Nona Adeline dan Tuan Wilson tetap hidup, tetapi kini dia juga harus menjaga agar Rona atau siapa pun tidak akan mati olehnya. Tuan Xavier terlalu kejam, menekan Raihana dengan nyawa orang yang tidak bersalah. "Kalau aku tetap memilih mati, tidak ada gunanya kamu menghukum orang lain." "Itulah tugas para pelayan itu dan para penjaga. Jika mereka tidak bisa mengawasi dan menjagamu
Bohong saat suatu malam Tuan Xavier bilang tidak ada yang mencintainya karena Raihana melihat bagaimana para wanita wanita itu menatap Tuan Xavier, beberapa dari mereka mencintai Tuan Xavier sampai rela mati. Mereka cemburu dan marah pada Raihana yang membuat kehadiran mereka menjadi tidak berguna lagi, jasa mereka seperti tidak dibutuhkan oleh Tuan Xavier yang terus berkurung diri memadu kasih dengan si tawanan yang sebenarnya adalah pelayan dari calon istri Tuan Wilson. Angin segar datang bagi para wanita penghibur saat Tuan Xavier tiba dan jelas sebagai tawanan Tuan Xavier tidak mungkin membawa Raihana keluar dari rumah, masih takut Raihana akan mencari jalan melarikan diri. Tuan Xavier tidak pernah benar-benar percaya pada Raihana. Padahal setelah tiga puluh hari pertama tidak lagi terlintas di benak Raihana untuk melarikan diri atau menyakiti dirinya. Raihana terima kenyataan kalau dia harus melayani Tuan Muda Xavier agar pria itu tidak lagi mencari tahu keberadaan Tuan Wil
"Tuan Muda, cukup jangan minum lagi." Raihana memperhatikan Tuan Xavier yang terus menuang anggur dari botol ke mulutnya, meluber keluar dari sudut bibir pria itu, mengalir dari dagu hingga ke dada tercampur dengan air mandi. Tuan Xavier berhenti saat isi botol ketiga habis dia memberikan botol kosong itu pada Raihana, segera menarik Raihana begitu Raihana selesai meletakkan botol. "Kenapa kamu hanya meletakkan tiga botol? Apa kamu tidak tahu selama perjalananku di luar kota aku tidak pernah minum sekali pun, aku ingin minum sepuas-puasnya ditemani olehmu." Tuan Xavier mengelus wajah Raihana dengan jari jarinya. "Aku takut jika aku mabuk aku akan melepaskan hasratku pada wanita lain yang aku anggap sebagai dirimu. Ini semua karena dirimu. Lalu sekarang kamu melarangku untuk minum lagi. Apa kamu tidak tahu aku menderita karenamu?" Raihana meraih jemari Tuan Xavier, menekan ke pipinya. Tuan Xavier menarik lepas, memilih meremas dada yang bulat milik Raihana. "Kamu belum menjaw
Tuan Xavier mengusap tulang punggung Raihana yang masih bergetar, basah oleh keringat. Meskipun masih menginginkan Adeline, Tuan Xavier mulai belajar mengendalikan hasrat, sadar bahwa fisik Raihana kini berbeda dari sebelumnya. Padahal beberapa hari ini dia dihantui kegelisahan, mimpi yang membuatnya takut untuk tidur. Jika saja dia bisa bercinta sampai kehabisan tenaga lalu tertidur tanpa takut didatangi mimpi mengerikan itu. Namun, Dokter Jimmy sudah memberi peringatan di awal kehamilan Raihana. Dia bahkan sempat melarang Tuan Xavier menyentuh Raihana, mengusulkan agar Tuan Xavier memindahkan Raihana keluar dari kamar pribadinya agar waktu istirahatnya lebih maksimal. Disarankan juga agar Tuan Xavier memilih para wanita simpanannya untuk menyalurkan gairahnya saat dia membutuhkan perempuan. Bagaimana dia bisa menyentuh wanita lain kalau yang membuatnya bergairah dan tempat yang diinginkan untuk menyalurkan hasrat adalah Raihana itu sendiri. Akhirnya setelah ujung pistol Tuan Xav
Upacara memperingati kematian wanita yang telah melahirkan sang Tuan Muda diadakan secara besar-besaran. Ratusan karangan bunga berdatangan. Doa dan dan ucapan duka di berikan diberikan. Para pelayan dan semua orang yang bekerja dengannya bisa makan dan minum sepuasnya , mendapatkan bingkisan dan hadiah yang tentu saja dibalas dengan doa dari mereka untuk ketenangan arwah mendiang Ibunda Tuan Muda. Di atas tembok kediamannya yang diberi kain putih sebagai tanda berkabung, untuk pertama kalinya Tuan Xavier membawa Raihana, ditunjukkan pada pegawainya yang bersorak gembira menyambutnya, bagi mereka adalah calon istri masa depan karena mengandung anak sulung dari Tuan Muda Xavier. Raihana dikelilingi para pelayannya, duduk di tempat terbaik, di sebelah Tuan Xavier. Menonton berbagai atraksi, mulai dari seni tarian dan nyanyian sedih. Para wanita wanita lainnya berada di belakangnya, berbisik satu sama lain menggunjingkan sikap Raihana yang menurut mereka terlalu berlebihan, saat Raiha
"Karena saya takut mengecewakan Anda." Raihana langsung menjawab, tidak ingin membuang waktu, dia tidak bisa membiarkan Tuan Xavier tetap pada rencananya. "Penolakanmu membuatku lebih kecewa." Tuan Xavier mendengus. Raihana bangkit, membiarkan kompres di tangannya jatuh ke lantai. Dia berjinjit melingkar lengan ke leher Tuan Xavier, bergantung di sana. Mencium Tuan Xavier dengan lapar. Raihana jarang bersikap agresif, dia selalu hati-hati dan terkendali. Ini pertama kalinya dia duluan mencium Tuan Xavier. Tentu saja Tuan Xavier langsung menyambutnya mengambil alih ciuman, menaklukan Raihana seketika. "Saya mencintai Anda, Tuan Muda. Sangat mencintai Anda." Raihana terengah menyatakan cintanya pada sang Tuan Muda begitu bibirnya dilepaskan. "Tunggu dulu dengarkan saya dulu, Tuan Muda." Raihana menahan tangan Tuan Xavier yang akan menarik selimut yang masih melilit badannya, dia tahu apa yang Tuan Xavier inginkan. "Lagi-lagi kamu menolakku. Kamu semakin berani, apa karena k
Raihana didorong seperti dilempar ke tengah-tengah ruang kerja Tuan Xavier. Dia mencari pegangan supaya perutnya tidak membentur lantai atau pinggir meja. Raihana berbalik, segera berlutut melihat Tuan Xavier masuk berderap mendekatinya. Pistol Tuan Xavier terarah ke dada Raihana, wajah tampan itu terlihat mengerikan, tatapannya bisa menghanguskan apa pun. "Siapa kamu sebenarnya?" Suara Tuan Xavier parau bergetar menahan marah. Raihana bersimpuh saat Nona Adeline masuk, diiringi Pengawal William dan beberapa orang petinggi perusahaam. Tuan Xavier ikut melihat Adeline yang asli, amarahnya semakin memuncak. Dia menendang bahu Raihana, membuat wanita itu tergolek miring. "Jika kamu pikir aku tidak akan membunuhmu karena kamu tengah mengandung anakku, maka kamu salah besar." Tuan Xavier mengeram, menusuk ujung pedangnya ke lantai di depan wajah Raihana. Raihana lebih takut pada Tuan Xavier saat ini dibanding saat Tuan Xavier yang menghabisi orang keluarga Thanus . Dia segera duduk,
Sambil membuka (Gambar Plum Merah Salju Musim Dingin), Tuan Xavier menatap lukisan itu tanpa ekspresi. Sedetik kemudian, dia tersenyum dingin: "David menjadi malas dan emosional sekarang karena dia tidak menghadiri pengadilan." Dia pernah mendengar bahwa Tuan Max sangat pandai menggambar pemandangan. Namun lukisannya yang menampilkan orang-orang ini, juga sangat menyentuh. Asisten Hasim melihat ekspresi Tuan Xavier yang tidak baik. la teringat bahwa David telah mengirimkan lukisan ini, dan menduga bahwa Tuan Xavier masih memiliki perasaan buruk terhadap David sehingga ia tidak berani berbicara. la dengan patuh berdiri di satu sisi dan menunggu perintah Tuan Xavier."Kembalikan lukisan itu." Tuan Xavier mengerutkan bibirnya, sedikit rasa jijik terlihat. "Meskipun Nona Muda tidak suka melihat lukisan dan telah melupakan semua benda ini, para pelayan tetap harus menyimpannya dengan baik."Asisten Hasim menuju ke ruang belakang. Ketika dia melangkah masuk ke ruang tengah, dia bertemu deng
Tujuh tahun telah berlalu Xevo, Putra pertama Tuan Xavier, sudah tahu apa yang dimaksud dengan calon istri meskipun dia baru berusia tujuh tahun. Dia melihat adik perempuannya di belakangnya, dan ekspresi yang mendalam muncul di wajahnya: "Xava, bukankah kamu baru saja belajar membaca? Mengapa kita tidak bertanya pada pelayan? pelayan pernah mengajariku di masa lalu ketika aku belajar menulis." Raihana, yang berdiri di belakang mereka, mendengar perkataan putra sulungnya, dan tak kuasa menahan tawa. Dulu, bukankah baru dua tahun yang lalu? la melihat ekspresi serius di wajah putra sulungnya dan memanggil kedua anaknya kepadanya: "Xevo, Xava, kemarilah!" Xevo tidak menyangka bahwa ibunya mendengar perkataannya. Dia menuntun Xava dengan patuh ke depan Raihana dan berkata dengan suara kecil:" Ibu, mengapa kamu datang ke sini?" "Ibu hanya jalan-jalan saja," Raihana berjongkok untuk memeluk kedua anaknya dan tersenyum, "Aku akan pergi ke ruang kerja ayahmu untuk mengurus beberapa urus
Linda sekarang merasa sangat menyesal. Setelah meneguk teh dingin untuk menekan rasa takut di hatinya, saat cangkir teh meninggalkan bibirnya, Linda melihat pembantunya mendorong pintu hingga terbuka dan masuk dengan wajah penuh kepanikan untuk melapor: "Nona, Tuan Xavier memanggil Anda dan Tuan Median." Cangkir teh di tangannya jatuh ke lantai. Linda berdiri ketakutan. Melalui pintu, dia bisa melihat seorang penjaga berdiri di luar. Dia terhuyung dan memaksakan senyum: "Tunggu aku berganti pakaian..." "Nona, jangan buang-buang waktu. Tuan Muda dan Nona Muda sama-sama sangat sibuk. Nona harus segera menemui mereka." Asisten Hasim melangkah masuk, wajahnya tanpa ekspresi saat dia mengibaskan kain lap di tangannya, "Nona, kumohon." Linda mengenalinya sebagai pelayan pribadi Tuan Xavier dan tidak berani menyinggung perasaannya. Dia memaksakan senyum dan mengikuti Asisten Hasim keluar ruangan. Ketika dia keluar, dia melihat kakaknya juga mengenakan pakaiannya yang biasa, ekspresin
Perkataan Linda mengejutkan banyak orang. Terutama Tami. la merasa kakinya lemas. Jika ia tahu bahwa gadis ini begitu berani, hari ini, ia tidak akan melakukan ini. Jika Nona Raihana mengira bahwa ia sengaja mempermainkan orang di depannya, apakah ia akan memiliki hari-hari baik lagi untuk hidup?Raihana sedikit terkejut dengan tindakan Linda yang merekomendasikan dirinya sendiri ke ranjang suaminya, tetapi dia segera tenang. Dia pernah mendengar sebelumnya tentang sifat liberal gadis gadis masa kini. Meskipun dia tidak mengira bahwa Linda ini akan berbicara begitu datar tentang masalah ini, tetapi dia tidak akan kehilangan ketenangannya karena itu. Dengan elegan meletakkan cangkir teh di tangannya, dia menggunakan sapu tangan yang disulam dengan desain yang indah untuk menyeka bibirnya: "Dari mana kata-kata anda berasal? Jika kamu jatuh cinta dengan Tuan Muda, mengapa tidak mengatakannya kepadanya, daripada mengatakan kepada saya?""Saya mendengar bahwa Nona memiliki kekuasaan untuk
Peristiwa Linda yang menari di pesta ulang tahun dengan cepat menyebar ke seluruh mitra bisnis. Banyak orang yang suka bergosip mulai berspekulasi tentang bagaimana tarian wanita itu, betapa cantiknya dia. Bahkan ada orang yang mulai mengatakan bahwa Tuan Xavier akan membawa gadis itu ke kediamannya.Orang-orang telah melihat banyak hal dan tentu saja menduga bahwa gadis itu tidak hanya menawarkan tarian, melainkan, dia ingin memamerkan dirinya di hadapan Tuan Xavier. Seorang wanita berusaha keras untuk memamerkan atributnya di hadapan pria lain, jika dia tidak memiliki motif lain, itu agak mencurigakan.Pada suatu ketika, rumor tentang Linda semakin merebak. Ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Linda membeli perhiasan di toko tertentu, lalu membeli pakaian di toko lain. Semua rumor itu memiliki satu kesamaan, Linda sangat cantik dan dapat mencuri hati orang hanya dengan sekali pandang.Rumor-rumor itu semakin kuat dan kuat. Secara bertahap diketahui betapa cantiknya Linda dari pe
Pada hari ulang tahun Tuan Xavier, semua pelayan membuat diri mereka seratus dua puluh persen waspada. Tidak ada yang berani melakukan kesalahan. Jika mereka berhasil mengacau di depan atasan mereka, bahkan jika mereka tidak mati, mereka akan dicabik-cabik hingga setengah tubuh. Para pelayan dan penjaga menata segala sesuatunya dengan sempurna, mulai dari pakaian hingga makanan. Bahkan Aula yang akan di pakai sendiri dicuci berulang kali. Tangga batu giok putih di luar dibersihkan sedemikian rupa sehingga setitik kotoran pun tidak dapat ditemukan. "Cuaca hari ini sangat bagus," Seorang penjaga berpakaian biru mengangkat kepalanya untuk melihat matahari yang tergantung di langit, dan dengan suara pelan, berkata kepada rekannya di sampingnya, "Hei, apakah kau sudah mendengar betapa cantiknya nona dari perusahaan Maxim? Dia berencana untuk mempersembahkan tarian di pesta." "Tidak ada yang aneh," rekannya menggunakan kain di tangannya untuk membersihkan pilar-pilar koridor dengan hati-
Lampu di aula barat tiba-tiba padam. Hanya mutiara bercahaya malam di panggung dan lentera bunga yang mengapung di atas air yang memberikan penerangan, seolah-olah di dunia ini, hanya ada wanita di atas panggung.Musik mulai berdenting pelan, dan orang di panggung bunga itu bergerak. Lengan baju merah itu seakan membelah malam yang gelap, terbang di udara seperti ríak-riak air. Panggung bunga itu sedikit bergetar dan wanita berpakaian merah itu ikut bergerak, tiba-tiba mulai berputar seolah-olah yang ada di bawah kakinya bukanlah panggung bunga yang goyah yang mengapung di atas air, melainkan tanah yang kokoh.Lonceng di pergelangan kakinya berdentang dalam kegelapan, menusuk jauh ke dalam jiwa, berulang kali menyampaikan rasa terima kasih Tuan Xavier,Raihana berpakaian serba merah. Warnanya merah tua murni. Tidak ada perhiasan, tidak ada batu giok, selain untaian lonceng di pergelangan kakinya, dia tidak mengenakan hiasan apa pun di tubuhnya. Angin malam bertiup masuk melalui jendela
Hari-hari Raihana akhir-akhir ini sangat riang. Setiap hari, ia bermain dengan putra putrinya dan menyantap makanan lezat. Hari-harinya terasa mudah dan nyaman.Hari ini, ketika Tuan Xavier datang ke aula belakang, dia melihat putranya mengenakan pakaian dalam sambil berusaha keras menggerakkan anggota tubuhnya di tempat tidur, lehernya berusaha keras untuk sedikit terangkat sebelum akhirnya jatuh dengan keras. Hal itu membuat ibunya tertawa terbahak-bahak."Apa ini?" Tuan Xavier duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan putranya menggerakkan anggota tubuhnya seperti kura-kura. Hasilnya, dia tidak bergerak sedikit pun. Namun, dia tidak mengamuk, hanya mendorong kakinya dengan tegas."Tidak apa-apa, biarkan saja dia melatih kaki dan lehernya," Raihana dengan cekatan membalikkan badan putranya, menepuk pantatnya. Melihat putranya tersenyum lebar padanya, dia membungkuk untuk mencium pipinya. Mengambil kotak bedak dari tangan Salsa, dia mulai menaburkan bedak itu untuk mencegah ruam."Pa
"Karena David ingin kau hadir, maka kau harus tampil dengan baik," Dinda mengutak-atik kukunya yang baru saja dicat kemarin. la melirik Evie yang berdiri di depannya, "Kudengar bakat musikmu luar biasa. Jika ada kesempatan nanti, kau akan tampil di depan semua orang."Tangan Evie yang tersembunyi di balik lengan bajunya mengencang. Dia tahu bahwa Dinda sedang menghinanya, tetapi dia tidak punya pilihan selain bertahan, jadi dia menundukkan kepalanya. Dia membungkuk:" Saya akan mengingatnya.""Bagus," Dinda mengangguk dan mengangkat dagunya, "Hari ini, banyak tamu terhormat akan datang. Perhatikan perilakumu dan jangan mempermalukanku. Dia tidak melihat ke arah Evie saat dia memegang tangan seorang pelayan dan meninggalkan ruangan."Nyonya," seorang pelayan melihat ekspresi Evie yang tidak tepat dan bergegas maju untuk mendukungnya. Dia menghiburnya, "Jangan marah, nona Dinda hanya iri dengan betapa baiknya dirimu."Evie tersenyum pahit saat dia duduk di kursi. Dia menoleh untuk meliha