Share

MELAWAN DALAM KETIDAKBERDAYAAN

Raihana membuka matanya, tidak berani bernapas dan bergerak, hanya matanya yang mengamati sekeliling ruangan itu. Merasa aman dan sendirian, perlahan dia duduk, langsung menahan selimut yang melorot, tubuh telanjangnya yang penuh bercak ungu di sana sini.

Raihana tidak tahu di mana dia sekarang, tetapi dia ingat semua yang terjadi padanya. Matanya menangkap lipatan pakaian di atas meja yang tidak jauh dari tempat tidur. Mendekap selimut erat ke dadanya, tertatih Raihana turun dari tempat tidur meraih pakaian lalu memakainya tergesa-gesa secepat yang dibisa oleh lengannya yang sakit dab tidak bertenaga.

Raihana tidak peduli apakah dia memakai pakaian tersebut dengan benar dan rapi, dia menjatuhkan selimut, niatnya berlari ke arah pintu, tetapi lututnya langsung menekuk, Raihana berlutut memegang pinggir meja, kewanitaannya yang panas perih, ia menahan sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya menetes menahan benci dan luka.Terseok-seok Raihana berjalan menuju pintu, tangannya menyambar belati yang tersilang di dinding yang dilaluinya dan menggenggamnya dengan erat. Raihana berjalan seperti orang mabuk yang oleng ke sana kemari selangkah dua langkah. Kemana dia harus pergi, kenapa tidak ada satu pun jalan yang pasti, terlalu banyak pintu?

Jika dia salah memilih pintu dia pasti akan langsung tertangkap. Inilah fungsi belati ini, jika tertangkap dia akan langsung menghujamkan ke jantungnya.

Raihana memilih pintu paling jauh dari tempatnya berdiri, dia membuka sedikit pintu dan melihat, ternyata itu ruangan kerja atau ruangan baca karena dipenuhi rak dan buku. Raihana mengembuskan napas, menggigit bibir menahan ngilu di bawah sana.

Keringat mulai bercucuran, pandangannya mulai hilang timbul, tetapi dia tidak mau menyerah. Jika tidak bisa keluar, maka pilihannya hanyalah mati . Dia memaksakan langkah yang semakin goyah, tubuhnya oleng seperti sampan diayun ombak.

Raihana memilih pintu lagi secara acak, dia membuka pintu sedikit memperhatikan sekelilingnya, bertemu pandang dengan Tuan Xavier yang sedang makan bersama sang pengawal pribadi. Raihana refleks memutar badan, berniat lari dari sana, tubuhnya yang oleng menghantam dinding, tetapi dia tidak menyerah, merintih dan dia berusaha berdiri kembali.

"Adeline." Xavier segera berdiri mengejar perempuan itu.

Raihana berbalik, mengarahkan ujung belati ke lehernya.

"Jangan mendekat," bentaknya terengah gemetar hebat takut mengingat apa yang sudah Tuan Xavier lakukan padanya.

"Letakan belatinya," hardik pria itu, berhenti melangkah, bertindak pelan-pelan tidak mau mengambil risiko. Adeline tidak boleh mati secepat ini, Adiknya Wilson harus mendengar cerita tentang Raihana yang menjadi miliknya.

Raihana tahu dia tidak akan pernah bisa meninggalkan rumah ini dalam keadaan hidup. Dia menarik belati sepanjang lengannya menggenggam erat mengarahkan ke dadanya, bersiap menekan menembus jantungnya.

Tuan Xavier bergerak cepat menyambar vas bunga yang ada di atas meja di sebelahnya, dengan terarah dia melemparkan pada tangan Raihana yang menggenggam belati. Tepat sasaran, belati terlempar dari pegangan Raihana yang menjerit kaget oleng lalu jatuh terduduk di lantai. Raihana mengabaikan punggung tangannya yang berdenyut, segera merangkak melewati vas bunga yang berderai, dia fokus pada belati yang jatuh ke bawah kursi.

Tuan Xavier mendekat, menarik Raihana sampai berdiri, menahan Raihana agar tidak bergerak.

"Tidak sekarang, saat ini kamu belum boleh mati," desisnya dengan wajah merah padam menahan amarah.

"Ada saatnya nanti aku akan menyerahkan belati itu ke tanganmu, memintamu mati di depan mataku, tapi tidak sekarang."

Lutut Raihana menekuk, pandangannya kosong sampai akhirnya tubuhnya terkulai, kembali kehilangan kesadarannya. Tuan Xavier sigap memeluk Raihana, mengguncang tubuh itu berulang kali memanggil nama perempuan itu dengan panik.

Pengawal William masih duduk di kursi menikmati anggur bagus yang dihidangkan Asisten.Hasim untuknya. Sang Asisten dan kedua muridnya sama terpaku menjadikan sang Majikan dan Nona Muda sebagai tontonan. Sang Pengawal mulai merasa pasti sang Majikannya tidak menyadari bahwa saat ini dia telah masuk ke dalam masalah yang akan sulit untuk diselesaikan oleh pistol dan kekuasaan yang tidak terbatas.

Pengawal William tidak akan mengatakan apa-apa pada sang Majikan, biarkan saja Tuan Xavier yang terkenal kejam itu menghadapi masalah ini. Pengawal William.tidak sabar melihat akhirnya, dia berharap Majikannya itu akan mendapatkan penutupan yang indah.

Ya, beginilah cinta. Sakit untuk digenggam, tetapi lebih sakit lagi jika dilepas. Kalau Tuan Xavier mendengar ini dari bibirnya pasti detik itu juga Tuan Xavier akan memenggal kepalanya.

Pengawal William meneguk anggurnya, menuang dan meneguk lagi, tatapan tertuju pada Tuan Xavier yang sepertinya lupa kalau dia masih duduk di sini. Aneh melihat Tuannya memperlakukan seorang wanita seperti ini. Dirinya dan Xavier tumbuh bersama, dia lebih tua dua tahun dari Xavier yang dulu disebut dewa kebahagiaan karena wajahnya yang tampan, sifat baiknya yang membuat orang-orang bahagia karenanya.

Sudah hampir lima tahun kebaikan itu tidak terlihat. William.sudah dua kali menikah, dia punya satu putra pada masing-masing istrinya. Sedangkan Tuan Xavier terlihat untuk tidak memiliki anak sendiri sebab tidak pernah terlintas di benak Xavier untuk menikah, menempatkan seorang wanita duduk di sebelahnya di atas kekuasaannya saat ini.

Bagi Tuan Xavier perempuan hanyalah tempat nafsu, tempat lari dari semua emosi yang mengganggu. Namun sekarang, apakah Xavier akan memperlakukan Nona Muda Adeline yang merupakan calon istri dari adiknya Wilson, sama seperti para wanitanya dan budak?

Menurut William jawaban tidak. Lihat saja sekarang betapa cemasnya Xavier, melihat gadis itu terkulai tidak berdaya. Apa pernah Xavier sepeduli ini pada wanita mana pun?

Tentu saja tidak, dia bahkan dengan dingin atau menghukum mati mereka yang dianggapnya sok berkuasa dan salah paham pada sikapnya.

Tuan Xavier seumur-umur belum pernah memaksa perempuan manapun untuk menjadi tempat pelampiasan hasratnya. Mendengar jeritan dan ratapan Nona Muda menjelang siang tadi, siapa pun akan tahu apa yang sudah Xavier lakukan pada perempuan itu.

Tuan Xavier tetaplah Tuan Xavier. William tahu ini tidak akan mudah bagi Nona Muda. Dan tentu saja ini tidak akan mudah bagi Xavier yang tidak pernah mengakui kalau dia juga punya rasa cinta di hatinya. Jikalau Tuan Xavier minta nasihatnya William dengan senang hati akan memberi. Meski berdarah dingin, William punya cinta yang besar di hatinya. Kedua istrinya tidak kekurangan cinta dan kini calon istri ketiganya juga akan mendapatkan cinta yang besar darinya.

Tuan Xavier yang terus mencoba membangunkan Raihana akhirnya menggendongnya dan membawa sang Nona Muda kembali ke kamar meninggalkan orang-orang yang masih asik menontonnya.

Pengawal William bertemu pandang dengan Asisten Hasim yang terlihat cemas. Senyum sang pengawal muncul di bibirnya.

"Aku yakin jika Nona Muda mati atau berhasil melarikan diri, kepala kalian semua akan terpisah dari leher." Ucap William sambil minum beberapa teguk anggur, lalu berdiri. "Katakan pada Yang Tuan Muda aku menikmati makanan dan anggurnya."

Senyumnya makin lebar makin jahat. "Aku sungguh menyesal, tapi aku yakin pekerjaan kalian semakin berat."

Pengawal William mengembuskan napas panjang. "Besok pagi kita akan mendengar satu pelayan wanita akan dihukum mati karena lalai menjaga Nona Muda."

"Pengawal William, saya akan mengantar Anda keluar." Asisten Hasim memberi arahan agar sang pengawal meninggalkan murid-muridnya yang mulai gemetar akibat rasa takut.

Dia juga harus menyiapkan pampasan untuk keluarga pelayan muda yang telah ceroboh meninggalkan Nona Muda sendirian pada tugasnya sudah ditetapkan. Sangat disayangkan, pelayan muda itu harus kehilangan nyawa karena kurangnya rasa tanggungjawab dan disiplin. Dia masih muda jalannya masih panjang, tetapi harus terhenti karena kecerobohan kecil yang tidak akan berpengaruh jika dilakukan di tempat dan situasi berbeda.

"Selamat malam, Pengawal William. Saya akan memberi tahu Tuan Muda bahwa Anda telah kembali ke kediaman Anda."

William menaiki mobilnya yang diantar seorang pelayan di depan teras rumah megah itu.

"Asisten Hasim, selamat malam."

Suara mobil di nyalakan mulai terdengar di ikuti laju mobil yang perlahan meninggalkan kediaman Tuan Xavier, angin malam menyapu wajahnya. Melihat sang Tuan Muda dan sang Nona membuatnya merindukan kedua istrinya. Mungkin malam ini dia tidak akan memilih salah satunya, dia akan meminta kedua istri dan calon istrinya berkumpul. Untuk bersenang-senang bisa dilakukan bersama-sama. Pengawal William memacu mobilnya semakin kencang membelah malam yang sunyi dan dingin.

Raihana demam selama dua hari, menggigil bercucuran keringat dengan badan yang panas seperti bara api. Dia terbangun, tetapi lebih sering tidak sadarkan diri.

Tuan Xavier tentu tidak tahu bahwa responsnya disebut cemas dan khawatir sampai-sampai menodongkan pistolnya ke kepala Dokter Jimmy, mengancam jika Raihana tidak segera membaik dia akan menembak kepala dokter tersebut.

Untunglah sesuai janji sang dokter di hari ketiga, Raihana membaik membuka mata dan tidak lagi menggigil kedinginan, panasnya jauh berkurang. Nyawa sang dokter yang berulang kali berada di ujung tanduk semenjak menjadi dokter pribadi sang Tuan Muda lagi-lagi selamat.

"Nona Muda, makanlah bubur ini."

Seorang pelaya muda berdiri di sisi tempat tidur memegang mangkok berisi bubur, terlihat takut dan hati-hati sekali melakukan pekerjaan di bawah pengawasan sang Tuan Muda. Raihana menggeleng. "Tidak. Pergi jangan ganggu aku."

"Makanlah sedikit, Nona muda. Kondisi Anda tidak akan membaik jika terus menolak makan. Ini sudah hari ketiga, saya takut Anda bisa meninggal." Pelayan itu masih sangat muda, dengan cepat dia menangis terisak.

"Jaga kesehatan Anda, makan dan minum obat. Dokter bilang jika Anda makan dan minum obatnya, Anda bisa pulih seperti sedia kala."

Dia melihat pada bahu Raihana. "Luka di bahu Anda mulai mengering."

Raihana menatap pelayan muda itu, heran melihat kenapa dia bercucuran air mata seperti ini. Mereka baru bertemu hari ini, tidak mungkin pelayan itu tulus sayang padanya.

"Nona Muda, sebentar lagi Tuan Muda Xavier akan datang, tolong habiskan bubur dan obat Anda." Isakan si pelayan makin kuat.

"Mana pelayan yang sebelumnya?"

Raihana ingat dia terbangun kemarin, melihat ada pelayan lain yang menjaganya. Pelayan yang sekarang sangat cantik, terlalu cantik. Tidak pantas menjadi pelayan, harusnya menjadi wanita kesayangan Tuan Muda.

"Jika Anda tidak menghabiskan bubur ini, nasib saya akan sama dengan dua orang pelayan sebelumnya. Adik saya masih sangat kecil, saya menitipkannya pada sepupu saya saat saya masuk dan terpilih menjadi pelayan di rumah ini. Jika saya mati saya tidak tahu lagi bagaimana nasibnya. Sepupu saya bukan orang berada, dia tidak akan sanggup menghidupkan Amanda adik saya."

Mulanya Raihana tidak mengerti kenapa pelayan muda ini begitu sedih menceritakan tentang adiknya, tetapi sedikit demi sedikit dia mengerti.

"Dua pelayan.sebelummu." Raihana menelan ludah membasahi tenggorokannya. "Telah di pecat?"

Si pelayan menyeka air matanya.

"Saya akan menjadi yang ketiga jika Anda masih menolak makan."

Dia menyuap bubur, mulut Raihana perlahan terbuka. Meski mual dan ingin meludahkan bubur tersebut, Raihana memaksakan diri menelannya.

"Hanya karena aku menolak makan dan minum obat, dua pelayan dipecat?" Raihana.bergeser duduk bersandar ke tiang tempat tidur.

"Ya." Air mata si pelayan masih menentes."Tuan Muda Xavier tidak akan membiarkan siapa pun gagal menjalankan tugas yang diperintahkannya. Di rumah ini nyawa saling berkaitan satu sama lain."

Dia terus menyuap bubur ke mulut Raihana, cepat- cepat menghabiskan seakan takut Tuan Muda akan masuk begitu saja.

"Tolong minumnya."

Raihana butuh air untuk menelan bubur. Matanya melihat ke arah fentilasi, di mana bulan sabit terlihat jelas. Sudah seminggu dia berperan menjadi Nona Muda. Sampai detik ini belum terdengar kabar atau keberadaan Tuan Wilson. Mudah-mudah mereka selamat, sudah pergi sejauh mungkin.

"Mereka yang dibunuh karena aku, apa mereka juga punya keluarga yang ditinggalkan?" bisiknya dihantam rasa bersalah dan tanggungjawab.

"Putri di usir begitu saja karena meninggalkan Anda sendirian membuat Anda nyaris bunuh diri. Dia punya orang tua yang sangat sepuh, tidak bisa bekerja hanya mengharapkan kiriman dari Putri. Umur Putri hampir dua puluh lima, dia akan keluar dari rumah untuk menikah dengan kekasihnya. Putri ingin punya tiga orang putra. Air mata si pelayan kembali meluncur deras kali ini dia membungkuk terlihat sangat hancur.

"Roma, kami mendapatkan pelatihan di waktu yang bersamaan. Dengan cepat kami menjadi akrab, dia yatim piatu tidak punya keluarga, nyaris dijual ke rumah bordil sebelum, akhirnya berhasil kabur dan mendaftarkan diri sebagai pelayan di sini dan diterima. Roma punya banyak mimpi yang ingin diwujudkannya."

Air mata Raihana mengalir, dia tidak kuasa menahan isakannya.

"Gadis-gadis yang malang," lirihnya tidak mengerti dengan aturan di rumah ini.

Kenapa kesalahan kecil harus dihadiahi dengan kehilangan mata pencaharian mereka?

Dia meraih lengan si pelayan, meremas lemah.

"Siapa namamu?" bisiknya ikut menangis, merasakan beratnya beban sebagai pelayan.

"Rona. Nama saya Rona."

Raihana menghapus air mata si pelayan muda, lupa menghapus air matanya sendiri.

"Aku janji kamu tidak akan mati. Aku tidak akan membuatmu dihukum. Adikmu tidak akan kehilangan kakak satu-satunya."

"Terima kasih, Nona."Raihana bangkit, menahan Rona yang akan bersujud di lantai. Saat itu kain tersingkap, sosok Tuan Muda yang tinggi melangkah masuk. Rona langsung melepaskan pegangan Raihana dan menundukkan kepalanya.

Tuan Muda memberi kode agar asisten Hasim tidak ikut masuk. Dia berjalan mendekati Raihana melihat mangkuk bubur yang tergeletak di lantai lepas dari pegangan Rona. Seakan Rona tidak ada, Tuan muda

melewatinya, berdiri di depan Raihana menatap tajam.

"Apa yang kamu tangisi?" tegurnya menyeka air mata Raihana menggunakan jempol dengan sang Tuan Muda.

Raihana menepis tangan Tuan Muda. Berpaling menolak bicara atau melihat siluman dalam wujud manusia itu.

"Kenapa obatnya belum diminum?"

Tuan Muda berbalik menuju meja, melihat mangkuk obat yang masih penuh.

"Nona muda baru saja bangun, Tuan. Dia baru menghabiskan buburnya sebelum Anda datang." Rona cepat-cepat menjawab.

Tuan Muda Xavier menunduk mengamati pelayan muda yang menunduk tadi mengangkat wajah memohon kemurahannya.

"Apa yang kamu tunggu. Lakukan." Rona segera bergerak, meraih botol obat dengan tangan gemetar membawa pada Raihana yang mau tidak mau meminum habis semuanya demi gadis muda yang bisa mati jika dia terus keras kepala.

"Nona Muda menghabiskan obatnya, Tuan." Rona kembali menunduk menunjukkan botol obat yang kosong pada Tuan Muda.

Tuan Xavier menunduk memperhatikan pelayan muda yang tersenyum lega meski wajahnya masih basah oleh air mata.

"Kerjamu lebih baik dari dua pendahulumu."

Rona menganggap itu sebuah pujian, dia langsung sujud mengucapkan terima kasih.

"Kamu akan terus menemani Nona Adeline. Kamu bertanggungjawab penuh atasnya."

Tuan Xaviermenunggu sampai pelayan itu mengangkat pandangan ke arahnya. "Tidak boleh ada kesalahan."

"Saya mengerti, Tuan Muda." Rona kembali menunduk.

"Keluar." Tuan Xavier memberi perintah.

Rona segera bergegas, membereskan semua mangkuk dan membawanya keluar, berjalan dalam posisi mundur sampai melewati pintu kamar membuatnya tidak terlihat oleh sang Tuan Muda.

"Haruskah satu kesalahan dibayar dengan hidup mereka?"

Tuan Xavier mendengus. "Jadi karena itu kamu mau makan dan minum obatmu. Pelayan itu melaporkan padamu apa yang terjadi pada dua temannya dan kamu tidak mau hal sama menimpanya?"

"Di Rumahku, kami tidak memberi hukuman jika ada yang yang berbuat salah tanpa sengaja, kami memberinya waktu untuk kembali belajar lebih baik ke depannya. Jika kesalahan itu dilakukan dengan sengaja selama tidak merugikan orang lain, maka orang itu hanya diberi peringatan. Dan kalau merugikan, kami akan melaporkannya pada pihak yang berwajib yang akan memutuskan hukumannya."

"Karena itulah kalian sangat lemah. Dalam tiga hari aku menghapus nama kalian dari muka bumi. Di rumah ini kata-kataku adalah perintah. Jika aku sudah memutuskan sesuatu tidak ada yang boleh membantahnya. Semua pelayan harus patuh dan mendengarkanku. Jika ada yang membuatku terganggu, aku akan menjadikan mereka makanan anjing kelaparan atau menghilangkan mata pencaharian mereka atau bisa saja pistolku yang akan langsung menembak kepala mereka."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status