Tuan Xavier mengusap tulang punggung Raihana yang masih bergetar, basah oleh keringat. Meskipun masih menginginkan Adeline, Tuan Xavier mulai belajar mengendalikan hasrat, sadar bahwa fisik Raihana kini berbeda dari sebelumnya. Padahal beberapa hari ini dia dihantui kegelisahan, mimpi yang membuatnya takut untuk tidur. Jika saja dia bisa bercinta sampai kehabisan tenaga lalu tertidur tanpa takut didatangi mimpi mengerikan itu. Namun, Dokter Jimmy sudah memberi peringatan di awal kehamilan Raihana. Dia bahkan sempat melarang Tuan Xavier menyentuh Raihana, mengusulkan agar Tuan Xavier memindahkan Raihana keluar dari kamar pribadinya agar waktu istirahatnya lebih maksimal. Disarankan juga agar Tuan Xavier memilih para wanita simpanannya untuk menyalurkan gairahnya saat dia membutuhkan perempuan. Bagaimana dia bisa menyentuh wanita lain kalau yang membuatnya bergairah dan tempat yang diinginkan untuk menyalurkan hasrat adalah Raihana itu sendiri. Akhirnya setelah ujung pistol Tuan Xav
Upacara memperingati kematian wanita yang telah melahirkan sang Tuan Muda diadakan secara besar-besaran. Ratusan karangan bunga berdatangan. Doa dan dan ucapan duka di berikan diberikan. Para pelayan dan semua orang yang bekerja dengannya bisa makan dan minum sepuasnya , mendapatkan bingkisan dan hadiah yang tentu saja dibalas dengan doa dari mereka untuk ketenangan arwah mendiang Ibunda Tuan Muda. Di atas tembok kediamannya yang diberi kain putih sebagai tanda berkabung, untuk pertama kalinya Tuan Xavier membawa Raihana, ditunjukkan pada pegawainya yang bersorak gembira menyambutnya, bagi mereka adalah calon istri masa depan karena mengandung anak sulung dari Tuan Muda Xavier. Raihana dikelilingi para pelayannya, duduk di tempat terbaik, di sebelah Tuan Xavier. Menonton berbagai atraksi, mulai dari seni tarian dan nyanyian sedih. Para wanita wanita lainnya berada di belakangnya, berbisik satu sama lain menggunjingkan sikap Raihana yang menurut mereka terlalu berlebihan, saat Raiha
"Karena saya takut mengecewakan Anda." Raihana langsung menjawab, tidak ingin membuang waktu, dia tidak bisa membiarkan Tuan Xavier tetap pada rencananya. "Penolakanmu membuatku lebih kecewa." Tuan Xavier mendengus. Raihana bangkit, membiarkan kompres di tangannya jatuh ke lantai. Dia berjinjit melingkar lengan ke leher Tuan Xavier, bergantung di sana. Mencium Tuan Xavier dengan lapar. Raihana jarang bersikap agresif, dia selalu hati-hati dan terkendali. Ini pertama kalinya dia duluan mencium Tuan Xavier. Tentu saja Tuan Xavier langsung menyambutnya mengambil alih ciuman, menaklukan Raihana seketika. "Saya mencintai Anda, Tuan Muda. Sangat mencintai Anda." Raihana terengah menyatakan cintanya pada sang Tuan Muda begitu bibirnya dilepaskan. "Tunggu dulu dengarkan saya dulu, Tuan Muda." Raihana menahan tangan Tuan Xavier yang akan menarik selimut yang masih melilit badannya, dia tahu apa yang Tuan Xavier inginkan. "Lagi-lagi kamu menolakku. Kamu semakin berani, apa karena k
Raihana didorong seperti dilempar ke tengah-tengah ruang kerja Tuan Xavier. Dia mencari pegangan supaya perutnya tidak membentur lantai atau pinggir meja. Raihana berbalik, segera berlutut melihat Tuan Xavier masuk berderap mendekatinya. Pistol Tuan Xavier terarah ke dada Raihana, wajah tampan itu terlihat mengerikan, tatapannya bisa menghanguskan apa pun. "Siapa kamu sebenarnya?" Suara Tuan Xavier parau bergetar menahan marah. Raihana bersimpuh saat Nona Adeline masuk, diiringi Pengawal William dan beberapa orang petinggi perusahaam. Tuan Xavier ikut melihat Adeline yang asli, amarahnya semakin memuncak. Dia menendang bahu Raihana, membuat wanita itu tergolek miring. "Jika kamu pikir aku tidak akan membunuhmu karena kamu tengah mengandung anakku, maka kamu salah besar." Tuan Xavier mengeram, menusuk ujung pedangnya ke lantai di depan wajah Raihana. Raihana lebih takut pada Tuan Xavier saat ini dibanding saat Tuan Xavier yang menghabisi orang keluarga Thanus . Dia segera duduk,
Raihana menepuk-nepuk pipinya yang pucat agar sedikit berwarna, tetapi warna kulitnya yang putih pucat tidak mau berubah. Padahal dia sudah berusaha keras, tidak pernah gagal menghabiskan makanan yang diantarkan padanya meskipun hanya berupa sayur dan nasi putih. Sesekali dalam tiga hari ini Salsa berhasil membawakan seiris daging untuknya. Raihana sulit menelan makanan, tetapi sebentar- sebentar perutnya terasa lapar, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menahannya sambil merintih atau menangis, membujuk anaknya agar menjadi anak baik yang mengerti situasinya. Sekarang saja dia mondar mandir di dalam ruang kecil ini tidak sabar menunggu kedatangan Salsa membawakan sarapan untuknya yang dari subuh sudah menahan lapar. Karena berada di ruang doa, jadi jika dia mulai merasa gelisah, Raihana naik ke atas ranjang bambu duduk bersila dan merapalkan doa yang membuat hatinya lebih tenang, cara ini juga manjur untuk mengendalikan kerinduannya pada Tuan Muda, Raihana lebih banyak berdoa
Tuan Xavier menutup pintu, memasang palang kayu kecil supaya tidak ada yang mengganggunya, terhuyung dia kembali pada Raihana. Kini dengan kasar ditariknya lengan Raihana agar wanita itu berdiri. Kaki Raihana membeku mati rasa. Dia terhuyung mencengkeram baju Xavier, wajahnya terhempas ke dada sang Tuan Muda. Tuan Xavier menekan pinggangnya, perut bulat dan keras Raihana menekan miliknya yang keras. Tuan Xavier terlalu mabuk tidak waspada, dengan gampang Raihana melepaskan diri. "Pergilah, Tuan Muda," bisiknya makin gemetar, terhuyung mundur karena kakinya yang mati rasa. "Aku Tuan Muda Xavier, ke mana pun aku pergi tidak ada yang bisa melarang. Apa pun yang aku mau harus aku dapatkan." Raihana mengerti, dia paham apa yang Tuan Xavier mau. "Ada banyak wanita di rumah ini. Ada Nona Adeline yang asli yang tadi bersama Anda." Tuan Xavier maju selangkah, Raihana mundur dua langkah. Wajah Raihana tampak sayu, mati-matian menahan air matanya. Semakin lemah dirinya terlihat, semakin
"Hei Raihana, buka pintunya apa kamu tidak mau makan?" Tuan Xavier yang sedang mengikat sabuk celananya menoleh ke pintu, mendengar gedoran dan panggilan dari luar sana. Kening Tuan Xavier berkerut, dia tahu suara itu milik Rona yang kini melayani Adeline. Tuan Xavier melihat Raihana yang membungkus tubuh telanjangnya dengan selimut tipis, seperti anjing yang habis disiksa, gemetar, dan merintih pelan. Tuan Xavier harus melawan keinginan hatinya untuk meraih Raihana dan memeluknya di atas pangkuannya, menenangkan berjanji tidak akan ada yang menyakiti Raihana lagi setelah ini, tetapi kalau seperti itu namanya bukan hukuman dan Raihana tidak akan pernah jera. Suara Rona semakin keras, gedoran di pintu semakin kuat. Apa penjaga di luar sana tidak memberitahu Rona siapa yang ada di dalam sini? Tuan Xavier ingat ada pergantian jam jaga, mungkin yang tugas jaga malam tidak memberitahu penjaga pagi. Tuan Xavier berjalan, membuka palang pintu, menarik pintu terbuka. "Apa-apaan k
Dari kejauhan Tuan Xavier melihat asap hitam yang melayang ke atas, diterangi cahaya berwarna jingga di bawah sana. Api? Tuan Xavier bagai kesetanan memacu mobilnya melaju lebih kencang lagi, para penjaga yang berlarian membawa air langsung menyingkir saat melihat sang Tuan Xavier yang segera turun dan berlari dari mobilnya menerobos ke dalam kediamannya. "Di mana Raihana?" tanyanya pada para penjaga dan pelayan yang lalu lalang membawa air. "Terakhir kami mendengar suara jeritan di bawah reruntuhan, tapi sebelum kami sempat memberikan pertolongan, api sudah membesar menghalangi jalan masuk." Tuan Xavier mendorong kepala penjaga itu. Berlari menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya. Saat dia akan menerobos api beberapa penjaga menahannya. Tuan Xavier mengambil pistol dari balik bajunya. "Menyingkir," bentaknya mengayunkan pistol tidak peduli jika ada yang terkena tembakan, dia berlari menerobos api yang nyaris menutupi jalan masuk ke ruangan doa. "Raihana." Tu