Dari kejauhan Tuan Xavier melihat asap hitam yang melayang ke atas, diterangi cahaya berwarna jingga di bawah sana. Api? Tuan Xavier bagai kesetanan memacu mobilnya melaju lebih kencang lagi, para penjaga yang berlarian membawa air langsung menyingkir saat melihat sang Tuan Xavier yang segera turun dan berlari dari mobilnya menerobos ke dalam kediamannya. "Di mana Raihana?" tanyanya pada para penjaga dan pelayan yang lalu lalang membawa air. "Terakhir kami mendengar suara jeritan di bawah reruntuhan, tapi sebelum kami sempat memberikan pertolongan, api sudah membesar menghalangi jalan masuk." Tuan Xavier mendorong kepala penjaga itu. Berlari menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya. Saat dia akan menerobos api beberapa penjaga menahannya. Tuan Xavier mengambil pistol dari balik bajunya. "Menyingkir," bentaknya mengayunkan pistol tidak peduli jika ada yang terkena tembakan, dia berlari menerobos api yang nyaris menutupi jalan masuk ke ruangan doa. "Raihana." Tu
Nona Adeline berjalan mondar-mandir meremas sapu tangannya. Kabar tentang Raihana yang selamat dari kebakaran membuatnya tidak bisa tidur semalaman apalagi tadi pagi beberapa prenjaga datang dan menangkap Rona, menjebloskannya ke dalam penjara sampai Tuan Xavier menjatuhkan hukuman yang pantas. Dia harus menemui Wilson sekarang juga. Dia harus bicara pada Tunangannya itu. Semua ini salah pria itu yang membuatnya menjadi salah strategi. Wilson terlalu licik dan kejam demi ambisinya. Baik dia ataupun Raihana si pelayan sama-sama menjadi korban manipulasi bajingan itu. Andai saja ayahandanya tidak termakan dengan omongan Wilson tidak mungkin nasibnya akan seperti ini. Ayahandanya benar-benar berambisi menjadikan Wilson menantunya, berharap saat Wilson menjadi seorang pewaris, perusahaan kecil mereka diperluas, mencaplok beberapa perusahaan kecil menjadikan mereka semua di bawah kepemimpinannya.Mungkin perusahaan itu sudah mendengar niat ayahandanya, hingga tidak ada satu pun dari mer
"Aku mencintaimu." Raihana pura-pura memejamkan mata, tidur kaku dalam pelukan Tuan Xavier yang terus membelai rambutnya. Dia bertanya-bertanya apakah mungkin Tuan Xavier benar- benar mencintainya sedalam ini? Bukan karena anak atau rasa bersalah, hanya karena dia tulus mencintainya. Sedikit demi sedikit hubungan mereka kembali seperti saat sebelum Nona Adeline muncul. Tuan Xavier terlihat lepas bahagia meski Raihana masih menahan diri, berusaha tenang tidak larut dalam permainan Tuan Xavier. Mereka yang melihatnya memberi hormat bukan karena siapa dirinya, tetapi karena sekarang dia berjalan di sebelah Tuan Xavier, ya itu karena Tuan Xavier, sebab saat Raihana berjalan dengan Salsa justru tatapan atau lirikan tidak suka yang dia terima. "Dia terus bergerak." Tuan Xavier mengusap punggung Raihana, merasakan gerakan perut Raihana karena menempel ke pinggangnya. "Bagaimana bisa kamu tidur dengan dia yang terlalu aktif begini?" "Saya sudah terbiasa dengan ini, Tuan Muda." Raiha
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana kalau Rona akhirnya membuka mulutnya." Nona Adeline meremas sapu tangannya, berjalan mondar mandir, berkali-kali merapikan topi jubahnya, menutupi jauh ke bawah agar wajahnya tidak terlihat. "Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Tunggu dan lihat saja." Adeline terdiam, berbalik melihat Wilson yang berada di balik jeruji besi. "Apa kamu gila? Bagaimana bisa kamu bicara segampang ini?" Diamatinya tangan dan kaki bajingan itu yang dirantai, membuatnya tidak bisa bergerak bebas. "Aku memang gila. Apa ada orang normal yang akan mencari masalah dengan si bajingan Xavier?" Tawanya meledak. "Tapi aku gila karenanya juga. Kalau bukan karena dia aku tidak akan gila." Nona Adeline menggeleng. "Kamu sungguh penipu ulung. Kamu sangat pantas bersanding dengan pelayan sialan itu. Apa yang dia pakai, apa yang dia lakukan sampai membuat Xavier tergila-gila padanya?" Tawa Wilson pecah. "Jadi kamu sekarang percaya pada kata-kataku. Seorang Xav
"Bagaimana kepala Anda, Tuan Muda?" Raihana memijat bahu Tuan Xavier. "Apa sebaiknya saya meminta asisten Hasim menyiapkan ramuan untuk menghilangkan mabuk Anda?" "Tidak perlu, ini salahku, belum makan apa pun sudah minum bersama William." Tuan Xavier mengerang memejamkan mata. Dia duduk di sofa panjang, Raihana berdiri di belakangnya hanya memakai selimut sebagai penutup tubuh. Setelah mereka bermesraan, menyatu beberapa kali, kemudian tiba-tiba Tuan Xavier merasa mual, muntah, dan merasa kepalanya sakit sekali. Raihana berjalan ke arah pintu, dari balik kain dia memanggil asisten Hasim, meminta dibuatkan ramuan untuk menghilangkan efek anggur yang Tuan Xavier minum. "Entah kenapa kalian para laki-laki sangat suka minum-minum. Kalian tahu efek setelahnya, tapi kalian tetap mengulanginya." Raihana mengomeli Tuan Xavier membantu Tuan Xavier memakai baju dalamnya. Dia sendiri mulai berpakaian. "Kenapa memakai bajumu?" Tuan Xavier bertanya memegang gelas dingin menekan ke ken
"Tuan Muda." Pengawal William mencoba bangkit saat melihat Tuan Xavier masuk ke dalam kamarnya. Begitu juga dengan Dokter Jimmy yang membungkuk memberi hormat. "Berbaring saja, William. Jangan paksakan dirimu." Tuan Xavier berjalan maju mendekat memperhatikan tubuh William yang penuh luka. Asisten Hasim yang setia berada persis di belakang Tuan Xavier bergidik ngeri merasakan luka itu. "Anda menyempatkan diri datang ke sini sungguh saya sangat berterima kasih pada Tuan Muda." Pengawal William masih bicara tersendat, tetapi melihatnya masih hidup, Tuan Xavier lega luar biasa. Pria yang dianggapnya teman tidak boleh mati semudah itu di tangan para pemberontak. "Terima kasihlah pada Dokter Jimmy. Karena dia kamu bisa selamat." "Ya, saya sangat senang karena Anda mengirim Dokter Jimmy merawat saya. Padahal di rumah Tuan mungkin ada yang lebih membutuhkankan seorang Dokter seperti Dokter Jimmy." Pengawal William memejamkan mata mengangguk pelan. "Saya hidup berkat kebaikan
Tuan Xavier meletakkan belati patah milik Wilson di atas dada pria itu, perlahan menutup mata Wilson yang membelalak menyambut ajal dan akhir yang mengerikan. "Tuan Muda, tolong saya." Nona Adeline merintih sambil merayap menggapai kain baju yang dikenakan Tuan Xavief. Tuan Xavier berdiri melihat sang Nona Muda yang tidak pernah mengatakan terima kasih pada Raihana yang telah menolongnya. Dia berpaling bergegas ke tempat Raihana yang sedang berjuang untuk dirinya sendiri dan untuk anak mereka. "Raihana." Tuan Xavier memegang tangan Raihana yang lembab. Mengambil alih dari Salsa yang langsung tergolek begitu Tuan Xavier datang membantu Raihana. "Tuan Muda," jerit Raihana mengernyit, mengenjan sekuat tenaga. "Maafkan saya. Maafkan saya," jeritnya meremas jemari Tuan Xavier, menancapkan kukunya hingga jari Tuan Xavier berdarah. "Raihana sayang, tidak apa-apa. Aku di sini semua akan baik-baik saja." Keringat dingin mulai muncul di wajah Tuan Xavier yang ketakutan bisa membay
Pagi-pagi di kediaman Tuan Xavier tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Di dapur, para pelayan bergerak ke sana kemari tanpa ada yang terlihat tergesa- gesa. Vinda,setelah mengantarkan kue-kue yang dibutuhkan ke ruang makan, kembali ke dapur dengan sekelompok pelayan muda tetapi wajahnya tidak terlihat begitu baik. "Hei, Vinda, ada apa? Kenapa wajah anda terlihat mengerikan?" Seorang pelayan lain, mengenakan baju pelayan berwarna biru muda berkancing gelap, menyerahkan secangkir teh kepada wanita lain dan berseru kaget. "Bukankah kamu baru saja pergi ke ruang utama untuk mengantarkan keju, bagaimana bisa......" "Jangan pernah sebut-sebut itu. Tuan Xavier baru saja bangun pagi ini. Para pekerja kasar seperti kita bahkan tidak bisa masuk ke halaman. Kita hanya melihat salah satu pelayan utama, Salsa," Ketika dia berbicara sampai di titik itu, Vinda meneguk tehnya dalam-dalam, melihat ke sekeliling dan merendahkan suaranya menjadi bersiul, "Saya melihat bahwa ekspresi orang-orang d