Angel meletakkan secangkir teh yang masih mengepulkan uap di atas meja yang terdapat di depan Raka.Bisa dikata kalau menyajikan minuman seperti ini merupakan hal yang sangat jarang dia lakukan. Biasanya sih, lebih banyak Angel yang memerintah Raka dan meminta untuk dilayani. Namun saat ini, situasinya berbeda. Raka sedang emosi. Itu satu hal yang bisa Angel ketahui dengan baik. "Siapa?" tanya Raka pelan, dengan suara yang nyaris menggeram. "Siapa lelaki yang sudah berani-berani kamu undang untuk datang ke sini? Siapa, Baby? Jawab!"Kata terakhir Raka ucapkan dengan nada membentak, membuat Angel harus menggigit bibirnya agar tidak menjerit kaget. Perempuan itu tidak suka dibentak, tapi kali ini dia harus bisa menahan dan bersikap sabar. "Bukan siapa-siapa," jawabnya, mati-matian bersikap tenang. Angel berharap agar suaranya tidak terdengar gemetar. "Mana mungkin aku memasukkan lelaki lain selain kamu. Lagi pula, bukankah tadi kamu sudah memeriksa sendiri apartemen ini?"Setelah da
"Aku pergi." "A—apa?" "Aku pergi, Raka. Ambil saja kembali apartemen ini beserta isinya. Aku tidak butuh!" "Baby, tunggu dulu." Raka berseru panik. Dia benar-benar terkejut, sewaktu melihat Angel keluar dari kamar tidurnya dengan sudah menyeret koper. "Ayolah, jangan seperti ini. Sabar dulu, Baby. Jangan marah, ya. Kita bicarakan semua dengan baik-baik." "Tidak ada satu pun barang dari apartemen ini yang aku bawa," ujar Angel lagi, seolah tidak menghiraukan Raka sama sekali. "Termasuk perhiasan-perhiasan dan juga barang-barang lain pemberianmu, aku tinggalkan semuanya, Raka." "Baby, ayolah. Jangan begini. Dengarkan aku sebentar saj—" Angel tiba-tiba saja berhenti dan langsung berbalik menghadapnya, membuat Raka sedikit terkejut. "Jadi, kamu tidak ingin aku pergi dari sini?" tanya perempuan yang menjadi kekasihnya itu. Tanpa sadar Raka meneguk ludah, demi melihat amarah yang berkobar di sepasang mata yang biasanya memandangnya dengan manja. "Jawab, Raka!" "I—iya." Raka buru-bur
Adam akhirnya memutuskan untuk tidak jadi pergi ke kantor. Lelaki itu memilih untuk menghubungi Dimas, menanyakan perihal urgensi yang ada, dan segera memberikan perintah untuk tindakan selanjutnya. Kegelisahan yang sejak tadi dia rasakan semakin membelit, sampai-sampai membuatnya sesak napas. Ada bagian dari dalam dirinya yang terus berseru, memintanya agar segera memutar arah dan kembali ke apartemen. Jadi sekarang, di sinilah dia berada. "Ada ap— apa yang sebenarnya terjadi? Sial!" Baru saja sampai di pelataran apartemen, Adam mendapati sudah ada sesuatu yang menyambutnya. Ah, ralat. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya adalah seseorang. "Masuk ke mobil, Pak! Sekarang!" seru Angel, yang berlari menghampiri Adam sambil menyeret kopernya. "Kenapa malah bengong sih, Pak? Ayo, cepetan!" "Ha?" Adam terus saja bengong. Oh, ayolah. Jangan menyalahkannya apabila dia masih bingung. Soalnya, yah ... coba bayangkan saja. Dia baru saja datang, lalu tiba-tiba Angel langsung menghamp
Adam berdiri di bawah pancuran air dengan kepala yang menunduk. Setengah jam sudah berlalu sejak lelaki itu tetap diam dengan posisinya saat ini, sementara air terus mengguyurnya. Meski rasa dingin sudah menyebar ke sekujur tubuhnya, tapi Adam seolah tidak peduli sedikit pun. Siapa? Tangannya yang bertumpu di dinding kamar mandi kini terkepal, sementara matanya memejam kuat. Siapa lelaki itu? Hubungan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Lalu, mengapa? "Mengapa di antara banyak lelaki, kamu malah memilih dia?" bisik Adam begitu lirih, nyaris terdengar seperti suara geraman. "Apa sebenarnya yang membuatmu sampai memilih dia? Apa?" Kali ini Adam menghantam dinding kamar mandinya, membuat beberapa retakan di keramik sementara darah pun mulai mengalir dari luka di tangannya. Beberapa kali dia menarik napas dalam, demi bisa sedikit menenangkan diri. Bayangan pada siang hari tadi pun kembali melintas di benaknya. Saat Adam melihat Angel yang dibawa paksa, sebena
Adam sedang berjalan menuju ruangannya ketika Angel datang. Melihat dari cara mereka berpisah kemarin, lelaki itu memperkirakan beberapa skenario yang kemungkinan sudah menunggunya hari ini. Entah Angel bakal mencoba merayunya, berpikir bahwa dengan begitu bisa membuat Adam untuk tutup mulut, atau dia akan mulai bersikap menyedihkan demi menarik simpatinya. Bukankah kalau kejadian kemarin tersebar, maka akan menjadi suatu masalah besar? Coba bayangkan saja, bagaimana nanti apabila hal ini terekspos ke media? Seorang sekretaris perusahaan CC ternyata menjadi perempuan simpanan pemilik Sandira Enterprises. Brengsek! Sekedar memikirkan hal tersebut saja sudah membuat Adam harus mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Lelaki itu memejam, berusaha mengendalikan diri agar saat-saat sulitnya semalam tidak lagi harus dialami. Demi Tuhan, sekali itu saja sudah cukup. Yah, bayangkan saja. Sudah delapan belas jam empat puluh tujuh menit sejak peristiwa itu terjadi dan sejak itulah Ad
Apakah dia harus membuka amplop itu atau tidak? Namun kalau dia tidak membuka dan melihat sendiri, lalu dari mana dia tahu bisa tahu apa isinya?Menggertakkan rahang dan memandang tajam sekretarisnya, Adam memutuskan untuk bersikap tegas kali ini. "Apa kamu tidak bisa langsung memberi tahuku saja, Miss Angel? Soal apa ini?""Apakah Anda tidak bisa langsung memeriksanya saja, Pak? Saya rasa untuk membuka amplop dan mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya sama sekali bukan sesuatu yang sulit."Ya, Tuhan. Lihat. Lihat! Betapa menjengkelkan sekretarisnya ini! Bagaimana bisa perempuan seseksi ini memiliki sikap yang begitu menyebalkan? "Apakah sesulit itu untuk langsung mengatakan kepadaku? Kenapa kamu bersikap begitu menyulitkan seperti ini?""Maafkan saya, tapi saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyulitkan Anda sedikit pun, Pak.""Lalu, menurutmu apa yang sudah kamu lakukan, ha?""Pak, hal apa sebenarnya yang sedang Anda bicarakan in—""Bukankah aku sudah jelas-jelas menyuruhmu un
Rasanya Adam siap untuk mengirimkan beberapa rudal sekaligus karena saking emosinya. Namun untuk saat ini, dia harus berpuas dulu dengan memberi pandangan membunuh yang dia layangkan kepada Dimas. "Jadi, ada apa, Dim? Kenapa kamu tiba-tiba saja datang ke ruang kantorku?"Paling tidak ada waktu satu menit tiga puluh tujuh detik yang dibutuhkan Dimas untuk menarik napas dalam-dalam, menelan ludah, dan mengucapkan dalam hati berbagai doa keselamatan yang dia tahu, sebelum akhirnya memberi jawaban. "Eh, ma—maafkan saya, Pak. Itu— ada hal urgent yang perlu untuk saya koordinasikan dengan Anda. Jadi, eh—"Dimas kembali menelan ludah. Dia mendapati bahwa sebagian dari dirinya begitu ingin segera angkat kaki dari sini, tapi etos kerjanya yang tinggi menghalangi dan tentu saja melarangnya melakukan hal pengecut yang semacam itu. Jadi sekarang, di sinilah dia, mencoba menabah-nabahkan hati di hadapan atasan yang jelas sekali ingin menguburnya hidup-hidup. Ya, Tuhan. Kenapa tadi dia sampai b
Adam merasa lega ketika akhirnya Angel kembali setengah jam kemudian. "Dari mana saja kamu?" semburnya seketika bertanya, bahkan tanpa mau menunggu sampai Angel duduk dulu di balik meja kerjanya. Namun kemudian dahinya berkerut, menyadari sesuatu yang lain dari sekretarisnya itu. "Ada apa? Apakah tadi kamu—" Menarik napas, sekali lagi Adam harus menelan kembali pertanyaan yang sebenarnya ingin dia ajukan. Apakah tadi diam-diam Angel menangis? Mengepalkan kedua tangannya, Adam mencoba sedikit mengurangi sensasi tidak nyaman yang kini dia rasakan. Seolah-olah ada tangan tidak kasat mata yang sedang meremas jantungnya. Sial! Ternyata dia sangat tidak suka melihat sekretarisnya itu menangis. Menarik napas dalam-dalam, dia berusaha agar tetap bisa bersikap seperti biasanya. Mata sembab yang menatapnya itu kini melebar dan dahi Angel pun berkerut. "Maaf?" "Aku belum selesai bicara denganmu dan kamu sudah langsung saja pergi dengan seenaknya, Miss Angel." "Bukankah tadi ada urusa