Adam akhirnya memutuskan untuk tidak jadi pergi ke kantor. Lelaki itu memilih untuk menghubungi Dimas, menanyakan perihal urgensi yang ada, dan segera memberikan perintah untuk tindakan selanjutnya. Kegelisahan yang sejak tadi dia rasakan semakin membelit, sampai-sampai membuatnya sesak napas. Ada bagian dari dalam dirinya yang terus berseru, memintanya agar segera memutar arah dan kembali ke apartemen. Jadi sekarang, di sinilah dia berada. "Ada ap— apa yang sebenarnya terjadi? Sial!" Baru saja sampai di pelataran apartemen, Adam mendapati sudah ada sesuatu yang menyambutnya. Ah, ralat. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya adalah seseorang. "Masuk ke mobil, Pak! Sekarang!" seru Angel, yang berlari menghampiri Adam sambil menyeret kopernya. "Kenapa malah bengong sih, Pak? Ayo, cepetan!" "Ha?" Adam terus saja bengong. Oh, ayolah. Jangan menyalahkannya apabila dia masih bingung. Soalnya, yah ... coba bayangkan saja. Dia baru saja datang, lalu tiba-tiba Angel langsung menghamp
Adam berdiri di bawah pancuran air dengan kepala yang menunduk. Setengah jam sudah berlalu sejak lelaki itu tetap diam dengan posisinya saat ini, sementara air terus mengguyurnya. Meski rasa dingin sudah menyebar ke sekujur tubuhnya, tapi Adam seolah tidak peduli sedikit pun. Siapa? Tangannya yang bertumpu di dinding kamar mandi kini terkepal, sementara matanya memejam kuat. Siapa lelaki itu? Hubungan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Lalu, mengapa? "Mengapa di antara banyak lelaki, kamu malah memilih dia?" bisik Adam begitu lirih, nyaris terdengar seperti suara geraman. "Apa sebenarnya yang membuatmu sampai memilih dia? Apa?" Kali ini Adam menghantam dinding kamar mandinya, membuat beberapa retakan di keramik sementara darah pun mulai mengalir dari luka di tangannya. Beberapa kali dia menarik napas dalam, demi bisa sedikit menenangkan diri. Bayangan pada siang hari tadi pun kembali melintas di benaknya. Saat Adam melihat Angel yang dibawa paksa, sebena
Adam sedang berjalan menuju ruangannya ketika Angel datang. Melihat dari cara mereka berpisah kemarin, lelaki itu memperkirakan beberapa skenario yang kemungkinan sudah menunggunya hari ini. Entah Angel bakal mencoba merayunya, berpikir bahwa dengan begitu bisa membuat Adam untuk tutup mulut, atau dia akan mulai bersikap menyedihkan demi menarik simpatinya. Bukankah kalau kejadian kemarin tersebar, maka akan menjadi suatu masalah besar? Coba bayangkan saja, bagaimana nanti apabila hal ini terekspos ke media? Seorang sekretaris perusahaan CC ternyata menjadi perempuan simpanan pemilik Sandira Enterprises. Brengsek! Sekedar memikirkan hal tersebut saja sudah membuat Adam harus mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Lelaki itu memejam, berusaha mengendalikan diri agar saat-saat sulitnya semalam tidak lagi harus dialami. Demi Tuhan, sekali itu saja sudah cukup. Yah, bayangkan saja. Sudah delapan belas jam empat puluh tujuh menit sejak peristiwa itu terjadi dan sejak itulah Ad
Apakah dia harus membuka amplop itu atau tidak? Namun kalau dia tidak membuka dan melihat sendiri, lalu dari mana dia tahu bisa tahu apa isinya?Menggertakkan rahang dan memandang tajam sekretarisnya, Adam memutuskan untuk bersikap tegas kali ini. "Apa kamu tidak bisa langsung memberi tahuku saja, Miss Angel? Soal apa ini?""Apakah Anda tidak bisa langsung memeriksanya saja, Pak? Saya rasa untuk membuka amplop dan mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya sama sekali bukan sesuatu yang sulit."Ya, Tuhan. Lihat. Lihat! Betapa menjengkelkan sekretarisnya ini! Bagaimana bisa perempuan seseksi ini memiliki sikap yang begitu menyebalkan? "Apakah sesulit itu untuk langsung mengatakan kepadaku? Kenapa kamu bersikap begitu menyulitkan seperti ini?""Maafkan saya, tapi saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyulitkan Anda sedikit pun, Pak.""Lalu, menurutmu apa yang sudah kamu lakukan, ha?""Pak, hal apa sebenarnya yang sedang Anda bicarakan in—""Bukankah aku sudah jelas-jelas menyuruhmu un
Rasanya Adam siap untuk mengirimkan beberapa rudal sekaligus karena saking emosinya. Namun untuk saat ini, dia harus berpuas dulu dengan memberi pandangan membunuh yang dia layangkan kepada Dimas. "Jadi, ada apa, Dim? Kenapa kamu tiba-tiba saja datang ke ruang kantorku?"Paling tidak ada waktu satu menit tiga puluh tujuh detik yang dibutuhkan Dimas untuk menarik napas dalam-dalam, menelan ludah, dan mengucapkan dalam hati berbagai doa keselamatan yang dia tahu, sebelum akhirnya memberi jawaban. "Eh, ma—maafkan saya, Pak. Itu— ada hal urgent yang perlu untuk saya koordinasikan dengan Anda. Jadi, eh—"Dimas kembali menelan ludah. Dia mendapati bahwa sebagian dari dirinya begitu ingin segera angkat kaki dari sini, tapi etos kerjanya yang tinggi menghalangi dan tentu saja melarangnya melakukan hal pengecut yang semacam itu. Jadi sekarang, di sinilah dia, mencoba menabah-nabahkan hati di hadapan atasan yang jelas sekali ingin menguburnya hidup-hidup. Ya, Tuhan. Kenapa tadi dia sampai b
Adam merasa lega ketika akhirnya Angel kembali setengah jam kemudian. "Dari mana saja kamu?" semburnya seketika bertanya, bahkan tanpa mau menunggu sampai Angel duduk dulu di balik meja kerjanya. Namun kemudian dahinya berkerut, menyadari sesuatu yang lain dari sekretarisnya itu. "Ada apa? Apakah tadi kamu—" Menarik napas, sekali lagi Adam harus menelan kembali pertanyaan yang sebenarnya ingin dia ajukan. Apakah tadi diam-diam Angel menangis? Mengepalkan kedua tangannya, Adam mencoba sedikit mengurangi sensasi tidak nyaman yang kini dia rasakan. Seolah-olah ada tangan tidak kasat mata yang sedang meremas jantungnya. Sial! Ternyata dia sangat tidak suka melihat sekretarisnya itu menangis. Menarik napas dalam-dalam, dia berusaha agar tetap bisa bersikap seperti biasanya. Mata sembab yang menatapnya itu kini melebar dan dahi Angel pun berkerut. "Maaf?" "Aku belum selesai bicara denganmu dan kamu sudah langsung saja pergi dengan seenaknya, Miss Angel." "Bukankah tadi ada urusa
Tiga hari berlalu bagai sekejap mata. Pagi ini Angel terbangun dengan frustrasi dan rasa gugup yang membingungkan. Berkedip-kedip, selama setengah jam dia hanya berbaring sambil memandangi langit-langit kamar tidurnya dengan pikiran yang tidak menentu. Beberapa kali alarm ponselnya berbunyi, tapi Angel tidak menghiraukannya sama sekali. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari ketika dia akan pergi berlibur bersama Raka. "Apa yang sudah aku lakukan?" bisiknya dengan suara yang terdengar bagai rintihan. "Ya, Tuhan. Apa sebenarnya yang aku lakukan ini?"Pada akhirnya Raka bersedia mengabulkan permintaan Angel yang menginginkan sebuah rumah mewah, tepat di sebelah rumah yang dia dan istrinya tempati. Namun lelaki itu tidak memberikannya dengan cuma-cuma, sebab ujung-ujungnya dia meminta agar Angel menemaninya berlibur selama beberapa hari sebagai syaratnya. Angel terpaksa menerima syarat tersebut karena tidak ingin lagi membuang waktu. Dia ingin agar semua masalah ini tuntas, sehingga dia p
"Kita sudah sampai, Nona."Dua puluh detik telah berlalu sejak mobil yang ditumpanginya berhenti dan Angel masih juga terdiam. Kedua tangannya yang berada di atas pangkuan pun terkepal, seolah ada sesuatu yang coba dia tahan. Tenang, Angel. Tenanglah. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan. Kamu pasti bisa."Terima kasih," ujarnya, memberi senyuman kepada supir yang tadi dikirimkan Raka untuk menjemputnya.Kepalan tangannya perlahan terbuka dan ekspresi wajahnya pun sudah terlihat sedikit santai. Dia tetap duduk dan menunggu, sampai pintu mobil dibukakan oleh supir tersebut. Namun baru sesaat Angel keluar dari mobil, dia seketika terpaku. Berjarak sekitar seratus meter dari tempatnya, sudah ada Raka yang menunggu. Melihat sosok Raka, seketika membuat Angel merasakan denyutan nyeri dalam dadanya. Ya, Tuhan. Sungguh, saat ini seolah seluruh tubuhnya sedang menjerit-jerit dan memprotes atas keputusan yang sudah dia ambil."Baby!" seru Raka, tampak luar biasa bahagia ketika me