Rasanya Adam siap untuk mengirimkan beberapa rudal sekaligus karena saking emosinya. Namun untuk saat ini, dia harus berpuas dulu dengan memberi pandangan membunuh yang dia layangkan kepada Dimas. "Jadi, ada apa, Dim? Kenapa kamu tiba-tiba saja datang ke ruang kantorku?"Paling tidak ada waktu satu menit tiga puluh tujuh detik yang dibutuhkan Dimas untuk menarik napas dalam-dalam, menelan ludah, dan mengucapkan dalam hati berbagai doa keselamatan yang dia tahu, sebelum akhirnya memberi jawaban. "Eh, ma—maafkan saya, Pak. Itu— ada hal urgent yang perlu untuk saya koordinasikan dengan Anda. Jadi, eh—"Dimas kembali menelan ludah. Dia mendapati bahwa sebagian dari dirinya begitu ingin segera angkat kaki dari sini, tapi etos kerjanya yang tinggi menghalangi dan tentu saja melarangnya melakukan hal pengecut yang semacam itu. Jadi sekarang, di sinilah dia, mencoba menabah-nabahkan hati di hadapan atasan yang jelas sekali ingin menguburnya hidup-hidup. Ya, Tuhan. Kenapa tadi dia sampai b
Adam merasa lega ketika akhirnya Angel kembali setengah jam kemudian. "Dari mana saja kamu?" semburnya seketika bertanya, bahkan tanpa mau menunggu sampai Angel duduk dulu di balik meja kerjanya. Namun kemudian dahinya berkerut, menyadari sesuatu yang lain dari sekretarisnya itu. "Ada apa? Apakah tadi kamu—" Menarik napas, sekali lagi Adam harus menelan kembali pertanyaan yang sebenarnya ingin dia ajukan. Apakah tadi diam-diam Angel menangis? Mengepalkan kedua tangannya, Adam mencoba sedikit mengurangi sensasi tidak nyaman yang kini dia rasakan. Seolah-olah ada tangan tidak kasat mata yang sedang meremas jantungnya. Sial! Ternyata dia sangat tidak suka melihat sekretarisnya itu menangis. Menarik napas dalam-dalam, dia berusaha agar tetap bisa bersikap seperti biasanya. Mata sembab yang menatapnya itu kini melebar dan dahi Angel pun berkerut. "Maaf?" "Aku belum selesai bicara denganmu dan kamu sudah langsung saja pergi dengan seenaknya, Miss Angel." "Bukankah tadi ada urusa
Tiga hari berlalu bagai sekejap mata. Pagi ini Angel terbangun dengan frustrasi dan rasa gugup yang membingungkan. Berkedip-kedip, selama setengah jam dia hanya berbaring sambil memandangi langit-langit kamar tidurnya dengan pikiran yang tidak menentu. Beberapa kali alarm ponselnya berbunyi, tapi Angel tidak menghiraukannya sama sekali. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari ketika dia akan pergi berlibur bersama Raka. "Apa yang sudah aku lakukan?" bisiknya dengan suara yang terdengar bagai rintihan. "Ya, Tuhan. Apa sebenarnya yang aku lakukan ini?"Pada akhirnya Raka bersedia mengabulkan permintaan Angel yang menginginkan sebuah rumah mewah, tepat di sebelah rumah yang dia dan istrinya tempati. Namun lelaki itu tidak memberikannya dengan cuma-cuma, sebab ujung-ujungnya dia meminta agar Angel menemaninya berlibur selama beberapa hari sebagai syaratnya. Angel terpaksa menerima syarat tersebut karena tidak ingin lagi membuang waktu. Dia ingin agar semua masalah ini tuntas, sehingga dia p
"Kita sudah sampai, Nona."Dua puluh detik telah berlalu sejak mobil yang ditumpanginya berhenti dan Angel masih juga terdiam. Kedua tangannya yang berada di atas pangkuan pun terkepal, seolah ada sesuatu yang coba dia tahan. Tenang, Angel. Tenanglah. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan. Kamu pasti bisa."Terima kasih," ujarnya, memberi senyuman kepada supir yang tadi dikirimkan Raka untuk menjemputnya.Kepalan tangannya perlahan terbuka dan ekspresi wajahnya pun sudah terlihat sedikit santai. Dia tetap duduk dan menunggu, sampai pintu mobil dibukakan oleh supir tersebut. Namun baru sesaat Angel keluar dari mobil, dia seketika terpaku. Berjarak sekitar seratus meter dari tempatnya, sudah ada Raka yang menunggu. Melihat sosok Raka, seketika membuat Angel merasakan denyutan nyeri dalam dadanya. Ya, Tuhan. Sungguh, saat ini seolah seluruh tubuhnya sedang menjerit-jerit dan memprotes atas keputusan yang sudah dia ambil."Baby!" seru Raka, tampak luar biasa bahagia ketika me
Terdengar lenguhan ketika Lidia berguling ke samping. Beberapa bagian tubuhnya terasa begitu pegal dan ngilu, terutama di area kewanitaannya. "Jam berapa ini?" gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur. "Ah, Mas Raka pasti sudah berangkat."Lidia memejam kembali. Tanpa menyadarinya, tangannya melayang ke bagian dada, memainkan bagian ujungnya yang hanya tertutup oleh selembar selimut. Ingatan soal percintaannya semalam bersama Raka, ternyata masih begitu memenuhi benak perempuan itu. "Ah, Mas Raka." Dia mendesah. Kali ini jemarinya menyapa bagian kewanitaannya yang sudah mulai basah. Sentuhan jarinya sendiri berubah menjadi sentuhan suaminya dalam pikiran Lidia. "Mas Raka, ah!"Selama beberapa menit, perempuan itu sibuk menjamah tubuhnya. Lidia begitu larut dalam bayangannya. Dia sama sekali tidak peduli dengan selimutnya yang kini sudah tidak karuan, mengakibatkan beberapa bagian tubuhnya yang privasi pun terekspos. "Ah, Mas. Ah!" Mendesah dan melenguh, Lidia menggeliat menik
Sementara itu, suami yang terus dipikirkan oleh Lidia sekarang sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Setelah tadi menikmati segelas sampanye di atas dek, dia dan Angel kini berjalan-jalan untuk menjelajah kapal pesiar. Sebenarnya Raka lebih ingin menghabiskan waktunya berdua saja di dalam kamar, tapi ternyata kekasihnya berpikiran lain. "Ini pertama kalinya Baby menaiki kapal pesiar. Jadi, wajar saja kalau dia merasa begitu bersemangat," gumamnya, tersenyum sendiri melihat tingkah Angel yang terlihat begitu bahagia. "Benar-benar menggemaskan." Angel memanggilnya dan seperti biasa Raka pun bergegas menghampirinya. Kekasihnya itu mengajak pergi ke pusat perbelanjaan yang memang terdapat pula di dalam kapal pesiar yang mereka naiki saat ini. Jangan heran, apabila harga di pusat perbelanjaan tersebut jauh di atas rata-rata harga yang biasanya. Selain itu, di sana juga dipenuhi dengan outlet-outlet yang tidak kalah mewah dengan pusat perbelanjaan di luar. "Raka, aku mau in
Jarum jam tepat menunjukkan pukul delapan malam, ketika Angel melangkah memasuki bar Two 72's.Perempuan itu mengenakan dress malam khas musim panas bergaya simple. Dress putihnya memiliki aksen tali yang diikat di kedua bahu dan memberi kesan jatuh, sehingga memperlihatkan tulang selangkanya. Panjang gaunnya sendiri hanya sedikit diatas lutut, dengan model potongan asimetris. "Ternyata lumayan ramai juga," gumamnya, sembari mengedarkan pandangan. Sudah ada banyak orang yang datang dan berlalu lalang, baik penumpang kapal ataupun pegawainya. Para petugas keamanan pun terlihat membaur, meski tetap bersikap waspada. "Selamat malam, selamat datang di Two 72's," ucap pegawai bar yang rupanya bertugas untuk menyambut pengunjung. "Silakan memilih model topeng yang akan Anda kenakan."Angel mengangguk. Sesaat dia mengamati berbagai topeng pesta yang terlihat begitu mewah dan cantik, yang dipajang di berderet di dinding. "Tolong ambilkan itu," ujarnya, menunjuk sebuah topeng pesta yang be
Siapa orang yang sudah sembarangan memeluknya ini? Mungkinkah kalau ini adalah Raka?Bukan. Rasanya, bukan. Angel memang tidak ingin mengakuinya, tapi sedikit banyak dia sudah familier dengan sosok, postur, dan aroma lelaki beristri tersebut. Sementara untuk lelaki yang tengah memeluknya ini, Angel masih merasa asing. Tubuhnya menegang. Sebenarnya Angel tidak pernah suka, apabila disentuh oleh sembarang orang. Mengenai Raka tentu saja merupakan pengecualian, itu pun sebenarnya dia lakukan dengan sangat terpaksa.Jadi, siapa sebenarnya lelaki ini? "Lepaskan aku." Dia mendesis, balas meremas pergelangan tangan yang kini masih melingkar di pinggangnya. "Lepas, Brengsek!""Kurasa, tidak bisa." Bibir lelaki itu menyentuh ringan bagian bawah telinganya dan sontak membuat Angel gemetar karena kontak fisik tersebut. "Kamu tahu, aku sudah susah payah sampai di sini hanya untuk menemukanmu, jadi jangan berharap kalau aku akan melepaskanmu.""Apa maksudmu? Paling tidak, biarkan aku tahu soal