Meski panggilan telepon sudah berakhir, tapi Angel masih memandangi ponsel di tangannya selama beberapa saat. Ada rasa tidak percaya, kesal, dan juga heran yang kini bergelut dalam dirinya. Apa-apaan atasannya itu tadi? "Sudah seenaknya menutup panggilan telepon, masih sempat-sempatnya pula mengatakan kalau omellete buatanku terlalu asin," gerutunya. "Padahal jatah yang aku makan tadi enak kok. Pas rasanya." Mendengus, perempuan itu masih juga tidak bisa menghilangkan rasa sebalnya. "Lidahnya saja yang mungkin bermasalah. Tahu begitu, lebih tadi tidak perlu aku telepon atau buatkan sarapan sekalian! Lalu, apa katanya tadi? Aku seperti orang yang sudah tidak sabar untuk menikah? Ada-ada saja." Sesaat Angel terdiam, sebelum kemudian tertawa kecil. Wajahnya pun seketika terlihat muram. "Dasar," bisiknya. "Memangnya, siapa yang mau menikah? Lagi pula, lelaki mana yang sudi menikah denganku? Mau apa pun alasannya, aku ini kan, tetap seorang pelakor." Saat melintas masuk ke kamar tidur
Suara decitan ban mobil terdengar nyaring, disusul dengan bunyi tabrakan. Adam memaki keras-keras ketika dahinya terbentur gara-gara tabrakan di bagian belakang mobilnya. Lelaki itu segera melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. "Apa kamu sudah gila? Kenapa mengerem dan berhenti mendadak di tengah jalan seperti ini?" Bukan Adam yang memaki, melainkan sopir taksi yang baru saja menabrak mobilnya dari belakang. "Lihat! Bagian depan mobilku sampai rusak! Sekarang siapa yang akan bertanggung jawab? Ha!" Adam melirik sekilas ke mobil taksi tersebut. Bumper depannya memang penyok dan lecet, dan sebelah lampunya pun pecah. Melirik ke arah lain, dia bisa melihat kalau bumper belakang mobilnya juga mengalami kerusakan yang sama. Ah, bukan masalah besar. Biaya perbaikan mobil taksi tersebut tidak seberapa dan jelas tidak setara, bila dibandingkan dengan biaya yang harus Adam keluarkan untuk memperbaiki mobil mewahnya. "Jangan diam saja! Apa kamu tuli? Heh! Jaw—" Sopir taksi
Angel meletakkan secangkir teh yang masih mengepulkan uap di atas meja yang terdapat di depan Raka.Bisa dikata kalau menyajikan minuman seperti ini merupakan hal yang sangat jarang dia lakukan. Biasanya sih, lebih banyak Angel yang memerintah Raka dan meminta untuk dilayani. Namun saat ini, situasinya berbeda. Raka sedang emosi. Itu satu hal yang bisa Angel ketahui dengan baik. "Siapa?" tanya Raka pelan, dengan suara yang nyaris menggeram. "Siapa lelaki yang sudah berani-berani kamu undang untuk datang ke sini? Siapa, Baby? Jawab!"Kata terakhir Raka ucapkan dengan nada membentak, membuat Angel harus menggigit bibirnya agar tidak menjerit kaget. Perempuan itu tidak suka dibentak, tapi kali ini dia harus bisa menahan dan bersikap sabar. "Bukan siapa-siapa," jawabnya, mati-matian bersikap tenang. Angel berharap agar suaranya tidak terdengar gemetar. "Mana mungkin aku memasukkan lelaki lain selain kamu. Lagi pula, bukankah tadi kamu sudah memeriksa sendiri apartemen ini?"Setelah da
"Aku pergi." "A—apa?" "Aku pergi, Raka. Ambil saja kembali apartemen ini beserta isinya. Aku tidak butuh!" "Baby, tunggu dulu." Raka berseru panik. Dia benar-benar terkejut, sewaktu melihat Angel keluar dari kamar tidurnya dengan sudah menyeret koper. "Ayolah, jangan seperti ini. Sabar dulu, Baby. Jangan marah, ya. Kita bicarakan semua dengan baik-baik." "Tidak ada satu pun barang dari apartemen ini yang aku bawa," ujar Angel lagi, seolah tidak menghiraukan Raka sama sekali. "Termasuk perhiasan-perhiasan dan juga barang-barang lain pemberianmu, aku tinggalkan semuanya, Raka." "Baby, ayolah. Jangan begini. Dengarkan aku sebentar saj—" Angel tiba-tiba saja berhenti dan langsung berbalik menghadapnya, membuat Raka sedikit terkejut. "Jadi, kamu tidak ingin aku pergi dari sini?" tanya perempuan yang menjadi kekasihnya itu. Tanpa sadar Raka meneguk ludah, demi melihat amarah yang berkobar di sepasang mata yang biasanya memandangnya dengan manja. "Jawab, Raka!" "I—iya." Raka buru-bur
Adam akhirnya memutuskan untuk tidak jadi pergi ke kantor. Lelaki itu memilih untuk menghubungi Dimas, menanyakan perihal urgensi yang ada, dan segera memberikan perintah untuk tindakan selanjutnya. Kegelisahan yang sejak tadi dia rasakan semakin membelit, sampai-sampai membuatnya sesak napas. Ada bagian dari dalam dirinya yang terus berseru, memintanya agar segera memutar arah dan kembali ke apartemen. Jadi sekarang, di sinilah dia berada. "Ada ap— apa yang sebenarnya terjadi? Sial!" Baru saja sampai di pelataran apartemen, Adam mendapati sudah ada sesuatu yang menyambutnya. Ah, ralat. Bukan sesuatu, tapi lebih tepatnya adalah seseorang. "Masuk ke mobil, Pak! Sekarang!" seru Angel, yang berlari menghampiri Adam sambil menyeret kopernya. "Kenapa malah bengong sih, Pak? Ayo, cepetan!" "Ha?" Adam terus saja bengong. Oh, ayolah. Jangan menyalahkannya apabila dia masih bingung. Soalnya, yah ... coba bayangkan saja. Dia baru saja datang, lalu tiba-tiba Angel langsung menghamp
Adam berdiri di bawah pancuran air dengan kepala yang menunduk. Setengah jam sudah berlalu sejak lelaki itu tetap diam dengan posisinya saat ini, sementara air terus mengguyurnya. Meski rasa dingin sudah menyebar ke sekujur tubuhnya, tapi Adam seolah tidak peduli sedikit pun. Siapa? Tangannya yang bertumpu di dinding kamar mandi kini terkepal, sementara matanya memejam kuat. Siapa lelaki itu? Hubungan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Lalu, mengapa? "Mengapa di antara banyak lelaki, kamu malah memilih dia?" bisik Adam begitu lirih, nyaris terdengar seperti suara geraman. "Apa sebenarnya yang membuatmu sampai memilih dia? Apa?" Kali ini Adam menghantam dinding kamar mandinya, membuat beberapa retakan di keramik sementara darah pun mulai mengalir dari luka di tangannya. Beberapa kali dia menarik napas dalam, demi bisa sedikit menenangkan diri. Bayangan pada siang hari tadi pun kembali melintas di benaknya. Saat Adam melihat Angel yang dibawa paksa, sebena
Adam sedang berjalan menuju ruangannya ketika Angel datang. Melihat dari cara mereka berpisah kemarin, lelaki itu memperkirakan beberapa skenario yang kemungkinan sudah menunggunya hari ini. Entah Angel bakal mencoba merayunya, berpikir bahwa dengan begitu bisa membuat Adam untuk tutup mulut, atau dia akan mulai bersikap menyedihkan demi menarik simpatinya. Bukankah kalau kejadian kemarin tersebar, maka akan menjadi suatu masalah besar? Coba bayangkan saja, bagaimana nanti apabila hal ini terekspos ke media? Seorang sekretaris perusahaan CC ternyata menjadi perempuan simpanan pemilik Sandira Enterprises. Brengsek! Sekedar memikirkan hal tersebut saja sudah membuat Adam harus mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Lelaki itu memejam, berusaha mengendalikan diri agar saat-saat sulitnya semalam tidak lagi harus dialami. Demi Tuhan, sekali itu saja sudah cukup. Yah, bayangkan saja. Sudah delapan belas jam empat puluh tujuh menit sejak peristiwa itu terjadi dan sejak itulah Ad
Apakah dia harus membuka amplop itu atau tidak? Namun kalau dia tidak membuka dan melihat sendiri, lalu dari mana dia tahu bisa tahu apa isinya?Menggertakkan rahang dan memandang tajam sekretarisnya, Adam memutuskan untuk bersikap tegas kali ini. "Apa kamu tidak bisa langsung memberi tahuku saja, Miss Angel? Soal apa ini?""Apakah Anda tidak bisa langsung memeriksanya saja, Pak? Saya rasa untuk membuka amplop dan mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya sama sekali bukan sesuatu yang sulit."Ya, Tuhan. Lihat. Lihat! Betapa menjengkelkan sekretarisnya ini! Bagaimana bisa perempuan seseksi ini memiliki sikap yang begitu menyebalkan? "Apakah sesulit itu untuk langsung mengatakan kepadaku? Kenapa kamu bersikap begitu menyulitkan seperti ini?""Maafkan saya, tapi saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyulitkan Anda sedikit pun, Pak.""Lalu, menurutmu apa yang sudah kamu lakukan, ha?""Pak, hal apa sebenarnya yang sedang Anda bicarakan in—""Bukankah aku sudah jelas-jelas menyuruhmu un
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye
Rupanya, Adam yang menelepon. Lelaki itu memberi kabar bahwa Lidia telah memasukkan tuntutan kepada Rama ke meja hijau. Ternyata Lidia memaksa pulang paksa dari rumah sakit adalah demi mencari barang bukti. Hasilnya, dia menemukan beberapa bungkus permen aneh yang seperti beberapa kali pernah dia konsumsi, serta sebotol kecil obat pil yang bisa larut dalam air dengan cepat. "Lalu?" tanya Angel dengan hati berdebar. Berita yang disampaikan Adam kepadanya ini cukup membuatnya tegang. "Dia menghubungiku dan meminta tolong agar semua temuannya itu diperiksa. Hasilnya—" Dari ujung telepon, tarikan napas Adam terdengar begitu jelas. "Apa?" desak Angel. "Hasilnya bagaimana, Adam?" Adam masih sempat menyergah napas, sebelum menjawab, "Permen itu mengandung sejenis zat adiktif, yang apabila dikonsumsi maka akan memberikan efek ketagihan. Namun, ada beberapa zat lain yang juga terdapat di dalamnya. Untuk singkatnya, permen itu bisa dikatakan sebagai obat perangsang." "Obat, apa?" Angel
"Ayah, sudah aku katakan kalau aku baik-baik saja!"Angel merajuk. Dia terlihat sebal dan merasa tidak suka dengan segala hal yang sekarang terpaksa dia jalani. "Lagi pula, apa-apaan sih, semua ini?""Ini untuk berjaga-jaga, Angel," ujar Jalu, dengan sabar mencoba membujuk putrinya. "Jadi, sabar dulu, ya?""Berjaga-jaga bagaimana? Lidia yang pingsan, kenapa aku juga ikut-ikutan diperiksa seperti ini?""Tetap saja, Ayah khawatir, Angel. Apalagi setelah hasil pemeriksaan Lidia akhirnya keluar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?"Angel memukul dahinya. Perempuan itu sekarang sedikit menyesali pertemuannya dengan Lidia tadi siang. Tidak berselang lama setelah Lidia melihat bukti yang disodorkan Adam kepadanya, perempuan itu tiba-tiba saja pingsan. Entah apa yang dia lihat, tapi apa pun itu yang pasti cukup membuat Lidia shok.Mereka tentu merasa panik. Jalu dengan segera membawa Lidia ke rumah sakit terdekat, diikuti oleh Angel dan juga Adam. Sampai kemudian hasil pemeriksaan Lidi
Angel sama sekali tidak percaya dengan hal yang baru saja didengarnya. "Jangan berbohong!" serunya. "Kakakku tidak mungkin melakukan hal yang semacam itu!""Apa kamu kira Kakakmu itu perempuan baik-baik, ha?" Lidia membalas disertai tawa. "Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja langsung kepada Raka. Yang terlebih dulu merebut Raka itu adalah Erin! Jadi, tidak salah kan, kalau aku mengambil kembali apa yang menjadi milikku?"Angel memegang kepalanya yang mendadak pusing. Hal yang diceritakan Lidia ini benar-benar di luar dugaannya. "Aku dan Raka sudah bertunangan dan sebentar lagi kami akan menikah," ujar Lidia lagi. "Lalu Kakakmu tiba-tiba datang dan merusak semuanya. Dia memaksa Raka memutuskan pertunangan kami dan otomatis pernikahan kami pun batal. Saat mendengar soal itu, penyakit jantung Ayahku kumat dan beliau meninggal seketika itu juga. Harta keluargaku habis, sampai aku pun terpaksa melakukan pekerjaan haram demi menghidupi Ibu dan adikku. Keluarga dan kebahagiaanku hancur