Pemandangan yang menyambut Adam, cukup menyesakkan. Ruang ICU ini merupakan ruangan VIP, sehingga hanya berisi satu pasien.Lelaki itu berdiri diam selama sesaat. Dia bisa melihat ada banyak alat medis yang digunakan di ruangan tersebut. Sekilas pandangannya menangkap gerakan naik turun ventilator yang memompa udara. Suara dari mesin EKG terdengar teratur senada dengan denyut jantung. Di salah satu sudut meja juga terdapat alat defibrilator yang siap digunakan untuk memacu jantung. Adam menarik napas dalam-dalam. Sekedar berada di dalam ruang ICU ini saja sudah membuatnya begitu tertekan. Rasanya begitu suram, seolah harapan tidak lebih dari sekedar sebuah tali tipis yang bisa putus kapan saja. "Angel, ini—""Itu kakak saya, Pak.""Apa? Kakak? Tapi bukankah kamu—"Angel berjalan mendekati tempat tidur pasien. Perempuan itu terdiam dan menunduk selama beberapa saat, baru kemudian memandang Adam sambil mengulas senyuman. "Perkenalkan, Pak. Ini kakak saya, Erin Hurem.""Hurem," ulang
"Apakah kamu yakin?"Angel seketika terdiam dan terlihat waspada. Tadi dia baru saja keluar dari kamar mandi, lalu sekarang sedang mencuci tangan. Namun kemudian ada sebuah suara, yang tiba-tiba saja menyapanya. "Ayah?" serunya. Dia merasa lega sekaligus heran, saat menyadari sosok lelaki yang terpantul di cermin wastafel. "Kenapa Ayah ada di sini? Apakah Ayah ingin menjemputku?"Tanpa menunggu lama, Angel segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Usia lelaki itu sekitar empat puluh tahunan dengan kumis berwarna hitam yang melintang. Jalu Pradhita balas memeluk putrinya sembari tersenyum. Angel memang bukan putri kandungnya, tapi lelaki itu benar-benar menyayanginya dengan tulus. "Kalau Ayah memang datang untuk menjemputmu, lalu apakah kamu akan benar-benar mau ikut pulang?" tanyanya, kali ini menepuk-nepuk kepala Angel seperti yang kerap dia lakukan sejak perempuan ini kecil. "Ayah." Angel cemberut dan bersikap merajuk. "Ayah tahu kan, kalau aku belum bisa pulang selama semua i
"Aku bisa membantumu." Angel terdiam. Perempuan itu sedikit menundukkan kepala dan tetap tidak memberi jawaban, meski beberapa waktu telah berlalu. "Angel," ujar Adam lagi, kali ini dia bahkan menggenggam tangan sekretarisnya. "Aku bisa membantumu." Angel masih saja terdiam. Dia beberapa kali menarik napas dalam, sebelum kemudian memaksakan segaris senyuman. "Lalu, apa?" tanyanya sembari menoleh dan memandang Adam. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil Adam. Atasannya itu duduk di bangku pengemudi, sementara Angel mengambil tempat di sebelahnya. Sebenarnya, mereka berdua sudah sampai di area parkiran apartemen. Namun baik Angel maupun Adam, masih tetap berada di dalam mobil. Rasanya aneh apabila dipikirkan, sebab mereka seolah tidak ingin untuk berpisah satu sama lain. "Anda belum menjawab pertanyaan saya, Pak," ujar Angel. Suaranya terdengar begitu pelan, seakan dia sendiri pun sudah merasa lelah. "Sebab aku tidak mengerti." Adam menyahutinya. "Apa maksud pertanyaan
Tempat tidur yang sebenarnya cukup kokoh itu terlihat bergoyang-goyang. Suara deritan pun kerap kali terdengar, menjadi selingan dari desahan dan erangan yang memenuhi kamar tidur. "Ah, sudah. Aku sudah tidak sanggup." Suara bisikan keluar dari sepasang bibir yang sudah terlihat sedikit bengkak. Tidak lama kemudian, dia kembali mendesah-desah. "Katanya sudah tidak sanggup, tapi nyatanya masih saja keenakan seperti itu," balas lelaki yang tengah menindihnya, dengan nada sedikit mengejek. Seolah tanpa ampun, lelaki itu lantas mengangkat lebih tinggi kedua kaki lawan mainnya. Dengan begitu, dia bisa lebih dalam menghujam dan leluasa bergerak. Gerakannya itu tak ayal membuat perempuan yang tengah dia pacu menjadi semakin blingsatan. Dari gerakan yang semakin liar dan tubuh yang kian menegang, lelaki itu tahu bahwa lawan mainnya ini sebentar lagi tidak akan bertahan. "Ak—aku— sedikit lagi— Ah!" Selama beberapa saat, tubuh perempuan itu mengejang, sebelum kemudian terkulai lemas. Bu
"Pesannya sudah kamu kirimkan?""Iya.""Pasti si brengsek itu sudah langsung membacanya."Adam menghembuskan napas panjang. Lelaki itu lantas menunduk, menumpukan dahinya di bahu Angel. Saat ini mereka berdua tengah berada di atas tempat tidur. Angel duduk sambil bersandar pada Adam, yang juga memeluknya dari belakang. Pakaian keduanya berantakan. Kalau Adam masih mengenakan kemejanya meski dengan semua kancing yang terbuka, maka blouse yang tadi Angel kenakan sudah teronggok begitu saja dalam keadaan robek. Tadi mereka nyaris saja khilaf. Adam bahkan sudah meremas kedua buah dadanya, sehingga membuat Angel mendesah-desah. Namun sewaktu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan merayap menuju pangkal pahanya, Angel terkesiap. Dia reflek mendorong dada Adam dan menjerit kaget. "Maafkan saya, Pak," bisiknya dengan gugup. "Tadi saya—""Tidak perlu minta maaf." Adam segera memotong ucapannya. Lelaki itu lantas mengeratkan pelukan dan membawa Angel lebih merapat dengannya. "Tidak perlu m
Malam sudah cukup larut. Meski begitu, Lidia belum juga tidur dan masih harus menerima sebuah panggilan telepon. "Iya, Bu. Aku akan segera mengabari begitu mendapatkan informasi. Iya. Pasti."Dia terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Ibunya dari ujung telepon. "Ibu tenang saja, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin saja kan, kalau Lina hanya sekedar asyik keluar bersama teman kampusnya sampai lupa waktu. Tenanglah, Bu. Tidak akan terjadi sesuatu kok."Kali ini Lidia terdiam lebih lama lagi. Rupanya, kekhawatiran Ibunya terasa semakin menjadi saja. "Bu," ujarnya kemudian, menyela Ibunya. "Peristiwa dulu terjadi karena kecerobohan Lina. Dia yang terlalu gegabah karena merayakan kelulusan SMA-nya dengan berpesta di klub malam. Akhirnya dia mabuk dan peristiwa naas itu terjadi kan? Padahal waktu itu Mas Raka sampai bersusah payah menjemput dan mencari-carinya. Berkat Mas Raka juga Lina bisa lebih cepat ditemukan dan ditolong. Ibu masih ingat kan?"Dari sambungan telepon, Lidia masih bi
Keesokan harinya, segala-galanya terasa begitu membahagiakan bagi Lidia. Dia memang tidak bisa mengingat dengan baik soal kejadian semalam. Namun kalau melihat kamar tidurnya yang berantakan, Lidia bisa menebak dengan mudah hal apa yang sudah dia dan suaminya lakukan. "Kami pasti bercinta habis-habisan," gumamnya, sambil tersenyum-senyum sendiri. "Ah, Mas Raka ternyata benar-benar mencintaiku.""Sepertinya hari ini Anda terlihat begitu bahagia, Bu Lidia."Lidia yang semula sedang menyirami bunga pun terkejut. Secara reflek dia berbalik dan langsung menyemprot orang tiba-tiba menyapanya itu dengan selang air yang memang tengah dia gunakan. "Ya, ampun. Maafkan aku!" serunya. Dia panik karena sudah membuat Joni, supir pribadinya, basah kuyup. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja.""Tidak apa-apa, Bu.""Kamu yang salah! Kenapa tiba-tiba saja datang dan mengagetkan aku.""Iya. Saya yang salah, Bu. Tapi bagaimana kalau Bu Lidia mematikan dulu keran airnya? Lihat. Sekarang kita berd
"Apa maksudmu dengan tetangga? Itu apa maksudnya?" Lidia terlihat begitu bingung, tapi Angel malah tertawa kecil menanggapinya. "Ya ampun. Masa soal begitu saja Ibu tidak paham sih? Yang namanya tetangga itu adalah orang yang tinggal berdekatan. Dalam hal ini, saya tinggal di rumah sebelah Ibu persis lho. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya Bu Lidia ini memang benar tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu?" Lidia memandang Angel dengan gelombang rasa tidak suka yang tidak bisa dia jelaskan. Entah ada apa dengan perempuan cantik yang ada di hadapannya ini. Namun yang jelas, dia mulai merasakan adanya bahaya. "Bagaimana?" "Ya?" "Bagaimana kamu bisa memiliki rumah di sini? Ini adalah kawasan perumahan elit. Harga rumah di sini jelas tidak akan bisa terjangkau oleh pegawai biasa sepertimu!" "Kenapa tidak bisa?" Angel balas bertanya. "Nyatanya, ada seorang perempuan yang tidak jelas memiliki pekerjaan apa, yang bisa menempati rumah di kompleks ini kok. Lagi pula, apa tadi yang A