Biarpun tetap bungkam, Kek Warno tetap bergegas masuk ke kamar. Dia mencari kain panjang di setiap lipatan baju yang ada di lemari yang tak lagi berpintu. Cepat dia balik lagi membawa kain panjang itu. Lalu menyerahkannya ke tangan Roni. Roni menerimanya, dan segera membalut tubuh Ibu dan mengikatnya tak terlalu kuat, agar tak menyakiti tubuh Ibunya.
"Apa gapapa, Mas?" tanya Dewi. Dia kasihan melihat Bu Widuri yang diikat begitu.
"Gapapa. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Mas takut Ibu seperti tadi," jawab Roni. Dewi bergidik kala mengingat tubuh Bu Widuri yang melayang tadi.
Bu Widuri masih terus menggeliat sambil mengerang, berusaha melepaskan ikatannya. Dia menghentak-hentakkan kepala dan kakinya. Beruntung ada bantal yang menyanggah kepalanya. Apa Ibu
Cuaca subuh hari di Desa Lor sungguh sangat dingin. Dewi merapatkan jaketnya, tak terbiasa dengan suhu yang terlalu dingin begini. Alam pedesaan sangat sejuk juga menyegarkan. Dewi menghirup udara pagi dengan hidungnya lalu menghembuskan perlahan dari mulutnya."Yang, ngapain di situ?" tanya Roni yang baru keluar dari rumah Kek Warno. Dihampiri istrinya yang tengah menikmati segarnya udara pedesaan di halaman rumah Ke Warno."Gapapa Mas. Tenang aja rasanya, mendengar suara burung pagi-pagi gini. Udaranya juga seger banget, tapi dingin brrrr," kata Dewi merinding karena dinginnya."Ya sudah kita ke dalam yuk, kalau dingin. Kan juga harus siap-siap mau pulang," ajak Roni. Dengan bergandengan tangan mereka masuk kembali ke rumah Kek Warno.
"Juminah ngendi, Bik?" Bu Wiyah menanyakan teman lamanya, anak Nek Marsini. Kepalanya celingukan melihat semakin ke dalam rumah."Dee wes suwi ra bali. Meranto ke Malaysia. Entuk bojo wong kono." Ternyata anak Nek Marsini merantau ke Malaysia dan menikah dengan warga negara Malaysia."Wah hebat. Wes due anak de e, Bik?" Bu Ipah menanyakan apakah Juminah sudah mempunyai anak."Uwes telu. Lanang kabeh. Tapi ra ngerti bali. Kirim duwet tok. Lah aku gawe opo duwet okeh-okeh. Wes arep mati hehe." Miris mendengar kata-kata Nek Marsini. Dia bilang anak Juminah sudah tiga orang, tapi tak pernah pulang. Dia hanya rutin mengirimkan uang untuk Nek Marsini. Sementara dari perkataan Nek Marsini, dia jelas menginginkan anaknya itu pulang sebelum dia meninggal.
"Kamu beneran gak ingat sama kami, Sih?" tanya Bu Ipah lagi."Nggak!" jawabnya ketus. Ada yang aneh sepertinya. Bu Ipah dan Bu Wiyah tampak kecewa melihat sambutan Bu Narsih."Kalian mau apa? Aku mau tutup warung!" ketus sekali Bu Narsih. Kelihatan tidak senang dengan kehadiran mereka."Emm anu, kasih gulanya setengah kilo. Telur sepuluh, bawang sama cabe," kata Bu Ipah tak bersemangat. Seandainya masih ada warung lain. Bu Ipah enggan untuk meneruskan belanja di warung Bu Narsih.Bu Narsih cepat-cepat membungkus pesanan Bu Ipah, lalu menyerahkan belanjaan itu ke tangan Bu Ipah. Setelah dibayar, dia langsung menutup warungnya. Tanpa basa basi atau pun sedikit saja beramah tamah.
"Lek, tas riko endi? Biar di masuk kan dalam mobil." Bu Wiyah menanyakan tas Kek Warno.Kek Warno masuk ke kamarnya mengambil tas lusuh yang sudah diisi dengan beberapa potong bajunya yang dianggap masih layak untuk dipakai. Keluar dari kamar, dia menyerahkan tas lusuh itu pada Bu Wiyah. Bu Wiyah menerimanya, dan langsung ke mobil untuk memasukkan tas Kek Warno."Ibu masih tidur. Kita harus hati-hati mengangkatnya. Siapa yang akan memangku kepala Ibu?" tanya Iwan."Aku aja Wan. Takut ada apa-apa. Kamu bisa nyetir kan?" sahut Roni."Ya sebaiknya memang begitu. Biar aku nanti gantian sama Solihin yang nyetir. Dewi bisa di bagian kakinya. Bu Ipah, Bu Wiyah sama Kakek gapapa di belakang ya." Iwan
"Darimana Ki Agung tau? Atau Aki yang menjebak Mas Darma?" selidik Bu Ipah. Ternyata, apa yang Roni pikirkan sama dengan yang ada di pikiran Bu Ipah."Ngaco kowe!" Pandangan Ki Agung beralih ke Bu Ipah. Lalu dia berbalik lagi ke gerombolannya."Kalau kalian mau pergi. Pergi saja! Tapi anak Widuri harus tetap tinggal di sini! Dia harus mati dan menumpahkan darahnya di kampung ini! Dia harus ditumbalkan! Biar kampung ini bebas dari kutukan. Wiyah, kali ini aku memaafkan ke kurang ajaranmu! Mengingat dulu Bapakmu, temanku. Siapa di antara kalian yang anak Widuri?" tanya Ki Agung. Matanya memandang, Iwan, Roni dan Solihin bergantian."Wes, tinggalkan anak Widuri!""Anak Widuri harus mati!"
"Mas, sepertinya diantara mereka tak ada yang berusia di bawah tiga puluh tahun," bisik Dewi. Mata Roni mulai memindai mereka satu persatu.Benar yang dibilang Dewi, penduduk di Desa Lor memang di dominasi orang yang sudah berumur."Sudah tau?!" ketus Ki Agung dengan suaranya yang berat. Khas seorang perokok."Ternyata istrimu lebih pintar," kata Ki Agung dengan seringai mengejek Roni.Kebiasaannya mengisap rokok tembakau yang dilinting, sedari muda. Membuat pita suaranya rusak, sehingga suaranya menjadi serak."Sejak Bapakmu mati di massa warga. Tak ada lagi anak yang lahir di kampung ini. Perempuan di desa ini jadi mandul! Kalaupun ada yang ha
Puluhan tahun dia bungkam, menyimpan kepedihan hatinya seorang diri. Saat setiap hari harus menyaksikan penyiksaan yang dilakukan perlahan terhadap anaknya. Juga harus rela hidup diasingkan, dan dibenci semua orang karena dianggap pembawa musibah. Begitulah kalau orang sudah terdesak, keberanian akan muncul dengan sendirinya."Aku gak akan diam saja, kalau kalian mau membunuh cucuku. Kalian langkahi dulu mayatku!" Roni merasa tak percaya mendengar yang dikatakan Kek Warno. Dia pandangi lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu. Dia bertindak menjadi tameng yang siap menghalau siapa saja yang ingin menyerang Roni.Dibalik sikap dinginnya terhadap Roni, ternyata dia rela mati untuk cucunya."Jangan dengarkan mereka, tarik anak Widuri itu! Atau Desa ini selamanya akan seperti ini. Lama-lama Desa ini akan jadi Desa mati! " tit
Warga yang tadi menyerang mereka, terpaku melihat kejadian itu. Diantara mereka mulai berkasak-kusuk. Mulai meyakini, kalau Iwan dan Solihin bisa menolong mereka.Tiba-tiba, orang yang bernama Samijo dan Masno menyergap Solihin dan Iwan yang lengah. Juga seorang warga yang memegangi Kek Warno. Orang yang menyergap Kek Warno, menghunuskan belati ke leher lelaki tua itu."Kalau kowe, pengen teman-temanmu dan Kakekmu selamat. Kowe harus ikut kami!" kata Ki Agung yang mendekati Roni.Dewi siuman dari pingsannya. Roni menatap Dewi, dia menggeleng, berbicara dengan matanya, meminta Roni jangan menuruti mereka. Air mata membanjiri pipinya. Tapi Roni juga tak ingin mengambil resiko, dengan membuat nyawa Kakeknya di ujung tanduk.
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa