"Mas, sepertinya diantara mereka tak ada yang berusia di bawah tiga puluh tahun," bisik Dewi. Mata Roni mulai memindai mereka satu persatu.
Benar yang dibilang Dewi, penduduk di Desa Lor memang di dominasi orang yang sudah berumur.
"Sudah tau?!" ketus Ki Agung dengan suaranya yang berat. Khas seorang perokok.
"Ternyata istrimu lebih pintar," kata Ki Agung dengan seringai mengejek Roni.
Kebiasaannya mengisap rokok tembakau yang dilinting, sedari muda. Membuat pita suaranya rusak, sehingga suaranya menjadi serak.
"Sejak Bapakmu mati di massa warga. Tak ada lagi anak yang lahir di kampung ini. Perempuan di desa ini jadi mandul! Kalaupun ada yang ha
Puluhan tahun dia bungkam, menyimpan kepedihan hatinya seorang diri. Saat setiap hari harus menyaksikan penyiksaan yang dilakukan perlahan terhadap anaknya. Juga harus rela hidup diasingkan, dan dibenci semua orang karena dianggap pembawa musibah. Begitulah kalau orang sudah terdesak, keberanian akan muncul dengan sendirinya."Aku gak akan diam saja, kalau kalian mau membunuh cucuku. Kalian langkahi dulu mayatku!" Roni merasa tak percaya mendengar yang dikatakan Kek Warno. Dia pandangi lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu. Dia bertindak menjadi tameng yang siap menghalau siapa saja yang ingin menyerang Roni.Dibalik sikap dinginnya terhadap Roni, ternyata dia rela mati untuk cucunya."Jangan dengarkan mereka, tarik anak Widuri itu! Atau Desa ini selamanya akan seperti ini. Lama-lama Desa ini akan jadi Desa mati! " tit
Warga yang tadi menyerang mereka, terpaku melihat kejadian itu. Diantara mereka mulai berkasak-kusuk. Mulai meyakini, kalau Iwan dan Solihin bisa menolong mereka.Tiba-tiba, orang yang bernama Samijo dan Masno menyergap Solihin dan Iwan yang lengah. Juga seorang warga yang memegangi Kek Warno. Orang yang menyergap Kek Warno, menghunuskan belati ke leher lelaki tua itu."Kalau kowe, pengen teman-temanmu dan Kakekmu selamat. Kowe harus ikut kami!" kata Ki Agung yang mendekati Roni.Dewi siuman dari pingsannya. Roni menatap Dewi, dia menggeleng, berbicara dengan matanya, meminta Roni jangan menuruti mereka. Air mata membanjiri pipinya. Tapi Roni juga tak ingin mengambil resiko, dengan membuat nyawa Kakeknya di ujung tanduk.
"Tapi Ndoro. Sudah hampir tiga puluh tahun kita menunggu. Ini saatnya, kita harus segera membebaskan desa ini. Atau lama-lama desa ini akan seperti panti jompo!" Ki Agung menentang perintah orang yang dipanggil Ndoro. Sang Ndoro terdiam, dia menghela nafasnya yang terasa berat."Kowe mulai berani menentangku!" geram lelaki yang dipanggil Ndoro."Maafkan saya Ndoro. Kali ini saya gak bisa menuruti jenengan! Semua penduduk desa pasti mengharapkan kelahiran baru di desa ini. Mereka semua sudah mempercayai saya selama ini. Saya gak mungkin mengkhianati kepercayaan mereka." tegas Ki Agung."Kalau kowe mau bawa dia! Dia harus suka rela dibawa, bukan dipaksa!" Orang yang dipanggil Ndoro menjadi berang. Mungkin merasa malu, karena dia di tentang di depan orang banyak.
Ketakutan yang dirasakan oleh Bu Wiyah sama dengan Dewi juga mereka yang ada di dalam rumah Kek Warno."Sudah. Jangan banyak bicara dulu. Pasti tadi kepalamu terbentur, makanya kamu cukup lama pingsannya.""Kenapa warga di sini jadi brutal seperti itu? Padahal dulu, penduduk desa ini sangat rukun. Kehidupan di sini sangat tenang dan menyenangkan," kata Bu Wiyah masih tak habis fikir dengan peristiwa yang baru saja terjadi."Ya, sejak mereka membantai Ustad Daud dulu. Semua ini kesalahan mereka sendiri. Yang sejak dulu, selalu saja suka main hakim sendiri. Tak pernah mau mendengar penjelasan dari orang lain. Menyelidiki dulu pun tidak. Warga sini, sangat mudah terprovokasi!" sahut Bu Ipah dengan geram."Apa benar, Ke
"Ya, memang saat ini hanya Allah yang bisa menolong, Roni. Mudah-mudahan besok malam ada keajaiban," kata Solihin."Lalu, apa kita tak akan bertindak secara nyata untuk menolong Mas Roni?" Dewi merasa tak cukup hanya berdoa saja, untuk bisa menyelamatkan Roni. Tak mungkin mereka hanya menunggu keajaiban saja."Besok, kita akan berusaha menyelamatkan Roni," jawab Solihin."Kenapa menunggu besok, Bang. Kenapa tak sekarang, atau nanti malam?" tanya Dewi lagi. Jawaban Solihin, membuat Dewi sangat tak puas."Kita tak tau, mereka membawa Roni kemana. Pasti saat ini, mereka menjaga Roni dengan sangat ketat. Kalau besok malam, pasti mereka akan membawa Roni ke tempat keramaian. Pastinya akan banyak warga yang in
Sementara di sebuah rumah bermodel klasik yang cukup megah, sangat mencolok dibanding rumah-rumah lain di desa Lor. Sedang terjadi perdebatan antara dua orang anak manusia.Rumah itu milik Juragan Sarjono. Orang paling kaya dan pemilik hampir semua perkebunan sawit di desa itu. Orang yang dikenal baik dan ramah pada pekerjanya. Juragan Sarjono juga dikenal sebagai seorang yang dermawan yang rendah hati.Namun siapa sangka, ada rahasia busuk yang telah disimpannya dengan rapi selama puluhan tahun."Romo, tolong bebaskan anak Widuri," mohon seorang laki-laki paruh baya, yang duduk bersimpuh di hadapan Ayahnya, juragan Sarjono.Wajahnya sangat memelas, memohon pada Ayahnya yang berdiri dengan wajah an
Kek Sukir kembali melanjutkan tugasnya. Matanya sesekali melirik ke tamu-tamu junjungannya itu seraya tangannya kembali sibuk membersihkan rumput-rumput yang baru tumbuh di halaman rumah majikannya.Juragan Sarjono langsung mencoba menghubungi orang dimaksud Bu Ipah, yang tak lain anaknya sendiri."Nggak diangkat," katanya dengan mimik kecewa yang dibuat-buat. Dicobanya lagi menghubungi anaknya."Nyambung, tapi gak diangkat," katanya lagi seraya menunjukkan layar ponselnya pada tamu-tamu di hadapannya. Untuk meyakinkan para tamunya itu, kalau benar dia menghubungi anaknya.Sementara di sudut rumah itu, mengintip lelaki yang tadi berdebat dengan Juragan Sarjono. Dia merasa kesal dengan ulah Juragan
Surya menimbang, apakah sebaiknya dia menceritakan semua pada Ibunya. Tapi Ibunya pun sedang tak berdaya saat ini. Kalau Ibunya mengetahui hal yang sebenarnya, apakah Ibunya bisa membantu menolong anaknya."Kamu dari tadi diam saja. Pasti ada hubungannya, antara anak Widuri dengan kamu. Cerita sama Ibu. Tak baik memendam rahasia, apalagi dari Ibu sendiri." Sang Ibu sepertinya memahami kegundahan hati putra semata wayangnya. Dia berusaha mendesak dengan lembut."Apa Ibu gak akan marah, kalau Surya ceritakan hal yang sebenarnya?" tanya lelaki tampan itu, dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya."Kapan … Ibu bisa marah sama kamu, Le?""Bu …." Surya tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa