Ketakutan yang dirasakan oleh Bu Wiyah sama dengan Dewi juga mereka yang ada di dalam rumah Kek Warno.
"Sudah. Jangan banyak bicara dulu. Pasti tadi kepalamu terbentur, makanya kamu cukup lama pingsannya."
"Kenapa warga di sini jadi brutal seperti itu? Padahal dulu, penduduk desa ini sangat rukun. Kehidupan di sini sangat tenang dan menyenangkan," kata Bu Wiyah masih tak habis fikir dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
"Ya, sejak mereka membantai Ustad Daud dulu. Semua ini kesalahan mereka sendiri. Yang sejak dulu, selalu saja suka main hakim sendiri. Tak pernah mau mendengar penjelasan dari orang lain. Menyelidiki dulu pun tidak. Warga sini, sangat mudah terprovokasi!" sahut Bu Ipah dengan geram.
"Apa benar, Ke
"Ya, memang saat ini hanya Allah yang bisa menolong, Roni. Mudah-mudahan besok malam ada keajaiban," kata Solihin."Lalu, apa kita tak akan bertindak secara nyata untuk menolong Mas Roni?" Dewi merasa tak cukup hanya berdoa saja, untuk bisa menyelamatkan Roni. Tak mungkin mereka hanya menunggu keajaiban saja."Besok, kita akan berusaha menyelamatkan Roni," jawab Solihin."Kenapa menunggu besok, Bang. Kenapa tak sekarang, atau nanti malam?" tanya Dewi lagi. Jawaban Solihin, membuat Dewi sangat tak puas."Kita tak tau, mereka membawa Roni kemana. Pasti saat ini, mereka menjaga Roni dengan sangat ketat. Kalau besok malam, pasti mereka akan membawa Roni ke tempat keramaian. Pastinya akan banyak warga yang in
Sementara di sebuah rumah bermodel klasik yang cukup megah, sangat mencolok dibanding rumah-rumah lain di desa Lor. Sedang terjadi perdebatan antara dua orang anak manusia.Rumah itu milik Juragan Sarjono. Orang paling kaya dan pemilik hampir semua perkebunan sawit di desa itu. Orang yang dikenal baik dan ramah pada pekerjanya. Juragan Sarjono juga dikenal sebagai seorang yang dermawan yang rendah hati.Namun siapa sangka, ada rahasia busuk yang telah disimpannya dengan rapi selama puluhan tahun."Romo, tolong bebaskan anak Widuri," mohon seorang laki-laki paruh baya, yang duduk bersimpuh di hadapan Ayahnya, juragan Sarjono.Wajahnya sangat memelas, memohon pada Ayahnya yang berdiri dengan wajah an
Kek Sukir kembali melanjutkan tugasnya. Matanya sesekali melirik ke tamu-tamu junjungannya itu seraya tangannya kembali sibuk membersihkan rumput-rumput yang baru tumbuh di halaman rumah majikannya.Juragan Sarjono langsung mencoba menghubungi orang dimaksud Bu Ipah, yang tak lain anaknya sendiri."Nggak diangkat," katanya dengan mimik kecewa yang dibuat-buat. Dicobanya lagi menghubungi anaknya."Nyambung, tapi gak diangkat," katanya lagi seraya menunjukkan layar ponselnya pada tamu-tamu di hadapannya. Untuk meyakinkan para tamunya itu, kalau benar dia menghubungi anaknya.Sementara di sudut rumah itu, mengintip lelaki yang tadi berdebat dengan Juragan Sarjono. Dia merasa kesal dengan ulah Juragan
Surya menimbang, apakah sebaiknya dia menceritakan semua pada Ibunya. Tapi Ibunya pun sedang tak berdaya saat ini. Kalau Ibunya mengetahui hal yang sebenarnya, apakah Ibunya bisa membantu menolong anaknya."Kamu dari tadi diam saja. Pasti ada hubungannya, antara anak Widuri dengan kamu. Cerita sama Ibu. Tak baik memendam rahasia, apalagi dari Ibu sendiri." Sang Ibu sepertinya memahami kegundahan hati putra semata wayangnya. Dia berusaha mendesak dengan lembut."Apa Ibu gak akan marah, kalau Surya ceritakan hal yang sebenarnya?" tanya lelaki tampan itu, dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya."Kapan … Ibu bisa marah sama kamu, Le?""Bu …." Surya tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia
Surya menimbang, apakah sebaiknya dia menceritakan semua pada Ibunya. Tapi Ibunya pun sedang tak berdaya saat ini. Kalau Ibunya mengetahui hal yang sebenarnya, apakah Ibunya bisa membantu menolong anaknya."Kamu dari tadi diam saja. Pasti ada hubungannya, antara anak Widuri dengan kamu. Cerita sama Ibu. Tak baik memendam rahasia, apalagi dari Ibu sendiri." Sang Ibu sepertinya memahami kegundahan hati putra semata wayangnya. Dia berusaha mendesak dengan lembut."Apa Ibu gak akan marah, kalau Surya ceritakan hal yang sebenarnya?" tanya lelaki tampan itu, dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya."Kapan … Ibu bisa marah sama kamu, Le?""Bu …." Surya tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia
"Maaf, Den! Den Surya gak boleh membebaskan mereka. Nanti Juragan bisa marah!" Tiba-tiba tangan Surya dicekal oleh Kek Sukir. Walaupun sudah cukup sepuh, tapi tenaga Kek Sukir cukup kuat untuk menahan Surya."Mang, lepaskan saya! Mereka harus dibebaskan! Mereka ini gak punya salah apa-apa!" Surya berusaha memberontak, namun Kek Sukir semakin kuat memitingnya."Maaf, gak bisa Den! Saya bisa dipecat sama Juragan!" kata mantan jawara itu.Kek Sukir dulunya adalah seorang jawara kampung, namun karena nasib baik tak berpihak padanya. Dia hanya bisa bekerja sebagai seorang tukang kebun sekaligus penjaga keamanan rumah Juragan Sarjono.Iwan, diam-diam berusaha melepaskan ikatannya yang sudah longgar. Iwan
"Sudah Maghrib, tapi mereka gak pulang-pulang," kata Bu Wiyah. Tergambar jelas, kecemasan dari raut wajahnya.Bu Wiyah berdiri di depan pintu, berharap melihat mobil yang dibawa Iwan tadi, tampak di ujung jalan. Mukenanya pun masih dipakainya selepas sholat Maghrib barusan."Sebentar lagi kita susul mereka, Bu," sahut Solihin. Dia juga merasakan kekhawatiran yang sama.Dewi diam saja, dia berusaha tenang untuk menutupi segala kecemasan yang juga sedang melanda hatinya saat ini. Beruntung kondisi Widuri sedang stabil seharian ini. Hanya dia masih terlalu lemah. Hal yang wajar, karena puluhan tahun terpasung, tentunya membuat otot-otot tubuhnya menjadi lemah.Bu Wiyah beranjak dari depan pintu, dia b
Dewi yang duduk di sebelahnya berusaha menguatkan, dengan selalu menggenggam erat tangan mertuanya itu. Batin Dewi begitu pilu, mengetahui nasib tragis yang menimpa Widuri.Kek Warno duduk juga di sebelah Widuri, dibelainya lembut rambut putri kesayangannya itu. "Kasihan kamu, Ndok. Maafkan Bapak, seandainya kamu terlahir bukan di keluarga miskin, pasti nasib kamu gak seburuk ini," kata Kek Warno. Siapa pun yang mendengar, pasti bisa merasakan kegetiran hati Kek Warno."Warno, atas nama anak saya. Saya sungguh-sungguh minta maaf. Saya tau, Surya juga salah dalam hal ini. Karena telah sangat lama menyimpan rahasia yang sangat besar ini. Tapi saya harap, kamu bisa memakluminya, Warno," kata Bu Nilam dengan rasa penyesalan, kecewa, sedih juga malu tersemat di hatinya. Kek Warno tak membalas kata-kata Bu Nilam. Dia begitu lar