Surya menimbang, apakah sebaiknya dia menceritakan semua pada Ibunya. Tapi Ibunya pun sedang tak berdaya saat ini. Kalau Ibunya mengetahui hal yang sebenarnya, apakah Ibunya bisa membantu menolong anaknya.
"Kamu dari tadi diam saja. Pasti ada hubungannya, antara anak Widuri dengan kamu. Cerita sama Ibu. Tak baik memendam rahasia, apalagi dari Ibu sendiri." Sang Ibu sepertinya memahami kegundahan hati putra semata wayangnya. Dia berusaha mendesak dengan lembut.
"Apa Ibu gak akan marah, kalau Surya ceritakan hal yang sebenarnya?" tanya lelaki tampan itu, dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Ibunya.
"Kapan … Ibu bisa marah sama kamu, Le?"
"Bu …." Surya tak mampu meneruskan kata-katanya. Dia
"Maaf, Den! Den Surya gak boleh membebaskan mereka. Nanti Juragan bisa marah!" Tiba-tiba tangan Surya dicekal oleh Kek Sukir. Walaupun sudah cukup sepuh, tapi tenaga Kek Sukir cukup kuat untuk menahan Surya."Mang, lepaskan saya! Mereka harus dibebaskan! Mereka ini gak punya salah apa-apa!" Surya berusaha memberontak, namun Kek Sukir semakin kuat memitingnya."Maaf, gak bisa Den! Saya bisa dipecat sama Juragan!" kata mantan jawara itu.Kek Sukir dulunya adalah seorang jawara kampung, namun karena nasib baik tak berpihak padanya. Dia hanya bisa bekerja sebagai seorang tukang kebun sekaligus penjaga keamanan rumah Juragan Sarjono.Iwan, diam-diam berusaha melepaskan ikatannya yang sudah longgar. Iwan
"Sudah Maghrib, tapi mereka gak pulang-pulang," kata Bu Wiyah. Tergambar jelas, kecemasan dari raut wajahnya.Bu Wiyah berdiri di depan pintu, berharap melihat mobil yang dibawa Iwan tadi, tampak di ujung jalan. Mukenanya pun masih dipakainya selepas sholat Maghrib barusan."Sebentar lagi kita susul mereka, Bu," sahut Solihin. Dia juga merasakan kekhawatiran yang sama.Dewi diam saja, dia berusaha tenang untuk menutupi segala kecemasan yang juga sedang melanda hatinya saat ini. Beruntung kondisi Widuri sedang stabil seharian ini. Hanya dia masih terlalu lemah. Hal yang wajar, karena puluhan tahun terpasung, tentunya membuat otot-otot tubuhnya menjadi lemah.Bu Wiyah beranjak dari depan pintu, dia b
Dewi yang duduk di sebelahnya berusaha menguatkan, dengan selalu menggenggam erat tangan mertuanya itu. Batin Dewi begitu pilu, mengetahui nasib tragis yang menimpa Widuri.Kek Warno duduk juga di sebelah Widuri, dibelainya lembut rambut putri kesayangannya itu. "Kasihan kamu, Ndok. Maafkan Bapak, seandainya kamu terlahir bukan di keluarga miskin, pasti nasib kamu gak seburuk ini," kata Kek Warno. Siapa pun yang mendengar, pasti bisa merasakan kegetiran hati Kek Warno."Warno, atas nama anak saya. Saya sungguh-sungguh minta maaf. Saya tau, Surya juga salah dalam hal ini. Karena telah sangat lama menyimpan rahasia yang sangat besar ini. Tapi saya harap, kamu bisa memakluminya, Warno," kata Bu Nilam dengan rasa penyesalan, kecewa, sedih juga malu tersemat di hatinya. Kek Warno tak membalas kata-kata Bu Nilam. Dia begitu lar
"Alhamdulillah, akhirnya mereka bisa diusir juga," kata Iwan dengan nafas tersengal kelelahan."Alhamdulillah. Sepertinya makhluk-makhluk tadi sengaja dikirim. Kita harus lebih waspada lagi. Mudah-mudahan besok Ustad Faruk dan Ustad Imam cepat sampai. Karena kita berdua tak bisa meninggalkan Bu Widuri di rumah sendirian. Harus ada yang berjaga di rumah ini," kata Solihin."Saya ikut, Bang." Dewi mengajukan diri untuk ikut dalam upaya penyelamatan Roni besok malam."Kita lihat besok. Kita menunggu dulu kedatangan Ustad Faruk dan Ustad Imam. Biar mereka yang memutuskan," sahut Solihin. Dewi tampak kecewa. Dia sangat mencemaskan keadaan Roni. Dia sangat ingin melihat langsung kondisi suaminya saat ini.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ustad Faruk dan Ustad Imam langsung memberi salam, sesaat setelah memarkirkan motornya."Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Solihin dan Iwan bersamaan. Mereka langsung memeluk para guru yang sudah mereka tunggu."Bagaimana, apa hal yang sudah terjadi di sini?" tanya Ustad Faruk. Kemaren Solihin hanya menceritakan garis besarnya saja, akan peristiwa yang sudah terjadi. Tidak terlalu mendetail."Kita bicarakan di dalam Ustad," kata Solihin mengajak Ustad Imam dan Ustad Faruk masuk ke dalam rumah Kek Warno.Mata Ustad Faruk langsung tertuju pada Widuri yang masih terbaring lemah. Bu Wiyah, Bu Ipah dan Dewi langsung menangkupkan kedua
"Benar Ustad. Bapaknya Pak Surya ini, juragan paling kaya di desa ini. Dia tak merestui hubungan antara Pak Surya dan Bu Widuri. Karena menganggap mereka tak sederajat. Waktu itu, Kek Warno masih bekerja menjadi buruh di kebun sawit milik Juragan Sarjono, Bapak Pak Surya." Iwan mencoba menjelaskan, pangkal dari semua masalah yang telah terjadi."Ya ya ya, saya sudah mengerti sekarang. Lalu apa rencana kita selanjutnya?" tanya Ustad Faruk. Dia cukup mengetahui secara garis besar saja, penyebab Surya tak bisa menikahi Widuri. Beliau tak ingin terlalu memanjangkan cerita, karena sedari tadi beliau selalu memperhatikan ke arah Surya yang terlihat kurang nyaman dengan perbincangan kisah masa lalunya."Malam ini, adalah malam bulan purnama menurut Ki Agung. Dan malam ini juga, Roni akan ditumbalkan. Kita harus segera menolong Roni, s
Keriuhan sontak terjadi dengan dihadirkan Roni di tengah tengah masyarakat yang sudah gelap mata. Berbagai makian dan sumpah serapah keluar dari mulut mereka, yang dilontarkan untuk Roni."Cepat pancung anak haram kuwi!""Anak sialan, gara-gara dia kampung iki jadi sial!""Penggal!""Pateni wae!""Anak jadah!""Anak setan! Ibunya dikawini setan, pasti dia anak setan!"Hati Dewi terasa hancur mendengar setiap cercaan yang keluar dari mulut warga untuk suaminya. Pun dengan Roni. Rasanya dia ingin mengamuk dan menerjang mulut mereka yang sangat tajam. Tapi tak ada daya dan upayanya. Tulang-tulangnya
BRAAKKTiba-tiba pintu rumah Kek Warno didobrak dari luar. Bukan perkara sulit mendobrak pintu yang sudah reyot itu. Beberapa orang dengan muka yang ditutupi topeng menyeramkan langsung masuk ke dalam rumah Kek Warno. Tentu saja hal itu mengejutkan mereka yang ada di dalam rumah. Solihin langsung bangkit bersiap untuk menyerang. Namun dua orang bertopeng itu menyendera Bu Nilam dan Widuri."Jangan melawan, atau nyawa mereka taruhannya!" gertak orang yang menyandera Bu Nilam dengan cara meletakkan ujung mata pisau ke leher Bu Nilam.Solihin terpaksa menghentikan serangannya. Dia terpaksa pasrah saja ketika orang-orang bertopeng itu mengikat tangannya ke belakang. Hal yang serupa juga dilakukan terhadap Bu Wiyah dan Bu Ipah. Dengan kasar, orang-orang bertopeng itu mendorong mereka unt
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa