Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat.
"Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
Dewi bergidik, melihat patung kuda berwarna coklat keemasan yang tampak berdiri gagah di halaman rumah mertuanya. Dewi merasa, mata patung kuda itu seperti sedang melihat ke arahnya dan memperhatikan setiap gerak geriknya. Patung kuda itu seperti bentuk ucapan selamat datang, bagi siapapun yang datang ke rumah mertuanya.Dewi takut, tapi merasa takjub dengan keindahan patung kuda itu. Patung itu berdiri dengan gagah. Bak ksatria yang sedang berada di medan perang. Dewi terus saja memperhatikan setiap detail patung kuda itu. Tak ada cela, sungguh piawai orang yang membuat patung kuda ini, bathin Dewi."Ayo Yang, kita sudah ditunggu Bapak dan Ibu." Panggilan mas Roni, membuat Dewi kaget. Dialihkan pandangannya pada Roni, suaminya. Senyum manis yang terpaksa harus dia ditunjukkan pada suaminya, menghiasi bibirnya yang tipis. Sesungguhnya masih ada keraguan di hatinya. Akanka
"Kalau Mas Roni yang pilih, gak mungkin salah. Gak mungkin Mas Roni asal-asalan pilih istri. Ibu pasti seneng punya mantu kayak Mbak Dewi." Bik Jum justru semakin membuat Dewi tersipu malu."Bapak sama Ibu, ada Bik?" tanya Roni. Keadaan rumah memang sangat sepi. Itu sebabnya Roni bertanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling rumahnya, mencari sosok Bapak dan Ibunya."Ada Mas, lagi di ruang keluarga. Sudah menunggu Mas Roni. Makanya Bapak sengaja nggak pergi ke kebun. Yuk, bibik antar," tawar bik Jum."Gak usah Bik. Roni sendiri saja kesana," tolak Roni halus."Memang, Mas Roni tau tempatnya?" tanya bik Jum.Dewi merasa aneh mendengarnya. 'Bukankah ini rumah mas Ron
"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.Bagaimanapun, cinta seorang Ibu memang mampu menghancurkan batu sekeras karang. Seperti Pak Darma, yang akhirnya melunak. Meskipun sikapnya masih dingin."Kamu dengarkan Roni. Segitu sayang Ibumu denganmu, sampai dia rela membantah Bapak," kata Pak Darma langsung berlalu meninggalkan mereka yang masih terpaku."Jangan diambil hati perkataan Bapak. Biarpun begitu, setiap hari Bapak memikirkan kamu Ron. Kadang sampai mengigau, kamu ingatkan, sejak kecil Bapak yang paling menyayangi kamu. Bapak seperti itu, karena malu saja dengan temannya. Karena kamu menolak untuk dijodohkan," jelas Bu Wati panjang lebar.Bu Wati takut, R
Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya."Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya."Ya, Mas!" sahut Dewi agak keras. Suaranya beradu dengan suara air dari shower."Kok lama banget, kamu gak papa?" Roni mungkin merasa khawatir, melihat Dewi tak kunjung keluar kamar mandi."Gak papa Mas!" sahut Dewi. Dewi mempercepat mandinya."Lama banget. Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke rumah teman Mas," kata Roni, ketika Dewi keluar dari kamar mandi. Dewi langsung mengenakan daster, baju kebesarannya bila sedang berada di dalam rumah."Besok aja, Mas. Dewi ngantuk." Dewi memang merasa sangat lelah hari ini.
Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya."Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati."Masih, kuncinya di laci lemari yang di dapur," jawab Bu Wati. Roni langsung ke dapur mengambil kunci motornya. Motor yang sudah sangat lama tak dikendarainya."Udah sore begini, mau kemana?" tanya Bu Wati lagi."Roni mau keluar, ngajak Dewi ke rumah Iwan," jawab Roni."Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Bu Wati setelah mereka berpamitan dengan mencium punggung tangan Bu Wati dengan takzim.Sepanjang jalan, Roni menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka. Tak ada yang spesial di kampung ini. Hanya ada perkebunan sawit di setiap sisi jalannya."Kita ke rumah teman Mas ya," kata Roni lagi."Terserah Mas aja," sahut Dewi. Dia hanya mengikuti
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa