Share

Takut

Penulis: Emaknya Daru
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya. 

"Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya. 

"Ya, Mas!" sahut Dewi agak keras. Suaranya beradu dengan suara air dari shower.

"Kok lama banget, kamu gak papa?" Roni mungkin merasa khawatir, melihat Dewi tak kunjung keluar kamar mandi. 

"Gak papa Mas!" sahut Dewi. Dewi mempercepat mandinya.

"Lama banget. Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke rumah teman Mas," kata Roni, ketika Dewi keluar dari kamar mandi. Dewi langsung mengenakan daster, baju kebesarannya bila sedang berada di dalam rumah. 

"Besok aja, Mas. Dewi ngantuk." Dewi memang merasa sangat lelah hari ini. 

"Ya sudah, kamu tidur duluan ya. Mas, mau ke rumah teman Mas," kata Roni berpamitan pada istrinya. 

"Mas ... Dewi takut sendirian," kata Dewi, diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. 

Entah kenapa, Dewi merasakan tak nyaman, seperti ada yang mengawasinya sedari tadi. 

"Takut … kenapa?" Mata Roni menyipit. 

"Gak tau … Dewi merasa, kayak ada yang merhatiin," kata Dewi agak berbisik. Seakan-akan ada yang ikut mendengar pembicaraan mereka. 

"Hanya perasaan kamu aja Sayang, sudah tidur gih. Apa perlu, Mas keloni." Roni malah menggoda Dewi dengan mengerlingkan mata genit. 

"Ih Mas …." Dewi mencubit pinggang Roni untuk menutupi perasaannya yang sedang salah tingkah. Roni tertawa gemas melihat istrinya itu. 

"Kalau capek, istirahat lah dulu. Gak ada yang perlu ditakuti di sini. Semua aman." 

"Tapi Mas …."

"Tapi apa? Kamu dari tadi, Mas lihat gelisah terus. Lagi mikirin apa? Kangen sama anak Panti?" 

"Nggak kok, Mas. Baru juga sehari." 

"Nah, itu tau. Sayang, kamu baru sehari di sini. Wajar saja kamu merasa ada yang aneh. Merasa gak nyaman, merasa kikuk. Kamu harus menyesuaikan diri lagi." 

"Mungkin Mas benar," gumam Dewi. 

"Kamu pasti sangat lelah, habis dari perjalanan jauh. Sampai di sini, melihat sikap Bapak yang seperti itu. Mas, minta maaf atas nama Bapak ya." 

"Gak papa Mas, wajar saja Bapak masih kecewa dengan kita. Mas juga, jangan terlalu menentang Bapak. Nanti Bapak semakin tak suka sama Dewi. Takutnya Bapak berfikir, Dewi yang membuat Mas jadi membangkang sama Bapak." 

Roni menghela nafasnya dengan dalam, mendengar perkataan Dewi. Dia tak ada maksud untuk membangkang Bapaknya. Dia hanya ingin mempertahankan prinsipnya saja. Dia sudah memilih, dan harus menerima segala konsekuensinya. Kalau Bapaknya tak bisa menerima pilihannya, jalan satu-satunya dia harus pergi. Sesimple itu cara Roni berfikir, berbeda dengan Dewi yang lebih memikirkan perasaan orang tuanya. 

"Mas … Dewi salah ngomong ya? Maafin aku ya Mas. Dewi cuma gak mau Mas jadi anak durhaka, karena membela Dewi. Sama aja, hidup Dewi juga gak akan tenang. Gimana kita bisa hidup bahagia, kalau Mas durhaka sama orangtua." 

"Kamu kok bilang begitu?" 

"Habis, Mas diam aja. Mas marah sama Dewi?" 

"Mana bisa Mas marah, sama istri Mas yang tersayang ini," kata Roni seraya menjepit hidung Dewi. 

"Tuh kan, mulai. Sakit nih," sungut Dewi dengan muka dibuat cemberut sembari mengusap pucuk hidungnya yang merah. Roni justru tertawa geli melihat ekspresi istrinya. 

"Mas, jangan diambil hati lagi setiap kata-kata Bapak ya. Dewi gak papa kok. Wajar kalau Bapak kecewa sama Mas. Biarin aja, nanti lama-lama pasti Bapak akan menerima pernikahan kita."

"Mas janji, gak akan menentang Bapak lagi. Kita sama-sama berjuang, meyakinkan Bapak. Kalau pilihan Mas, memilih kamu menjadi istri, sudah benar," kata Roni. Direngkuhnya tubuh Dewi ke dalam dadanya yang bidang. 

Wajah Dewi langsung memerah, Roni memang pandai membuatnya tersipu malu. Roni sering melontarkan kata rayuan dan pujian yang tidak terlalu dibuat-buat. Meskipun begitu, selalu saja bisa membuat Dewi serasa melambung tinggi ke angkasa. 

"Ya udah, Mas temeni sampai kamu tidur," kata Roni. Dia melihat wajah Dewi yang tampak sangat letih.

Dewi naik ke pembaringan yang sangat empuk. Baru kali ini, Dewi tidur di ranjang sebagus itu. Tempat tidur yang mereka miliki di rumah kontrakan, hanya berupa kasur kapuk saja tanpa ranjang. Dewi merasa nyaman sekali, ditambah udaranya sejuk, karena kamar mereka dilengkapi dengan ac. 

Tak butuh waktu yang lama, Dewi langsung terlelap dalam tidurnya. Sekejap saja, mimpi menyeramkan langsung menyinggahi tidur Dewi.

"Hei, siapa kamu!" Dewi terlonjak melihat seorang anak kecil lelaki, kisaran usia sepuluh tahun, sedang berdiri di dekat jendela. 

Dia hanya mematung menatap Dewi, bulu kuduk Dewi meremang melihatnya. Diusapnya tengkuknya yang terasa dingin. Matanya sangat awas memperhatikan anak itu. 

"Kenapa kamu masuk kesini, pergi dari sini!" Dewi mengusirnya, dia tak bergeming. Pandangannya kosong ke arah Dewi. Dengan wajah pias yang menakutkan, tanpa ekspresi. 

Dewi semakin takut melihatnya, keringat mengalir dari pelipisnya. Padahal Dewi merasakan udara begitu dingin, hingga menusuk ke tulang-tulangnya. 'Siapa anak ini? Kenapa dia bisa masuk? Kemana mas Roni? Bukankah katanya akan menemaniku? Dia tak minta izin denganku kalau ingin keluar kamar.' Begitu banyak tanya di benak Dewi. Dewi berusaha keluar dari kamar, dia berusaha menarik handle pintu, tapi tak bisa. Pintu terkunci. Bagaimana ini? Hati Dewi semakin gelisah tak karuan. 

Anak itu terus saja menatap Dewi dengan pandangannya yang beku. Menjalarkan hawa dingin ke sekujur tubuh Dewi. Dewi menggigil, namun anehnya … keringat terus membasahi wajahnya. Dewi meringkuk ketakutan di balik pintu. 

"PERGIIII!" Tiba-tiba anak itu berteriak. Suaranya begitu nyaring melengking, membuat gendang telinga Dewi seakan mau pecah. Dewi menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. 

Roni melihat Dewi tidur dengan gelisah. "Sayang … kamu kenapa? Dewi. Bangun Sayang," kata Roni berusaha membangunkan Dewi dengan menepuk-nepuk lembut pipinya.

"TIDAAAK!" Dewi spontan teriak, dengan tangan menutup kedua telinganya mendengar teriakan melengking anak dalam mimpinya. 

"Dewi, Sayang, kenapa kamu?" tanya Roni khawatir.

"Hos hos hos." Nafas Dewi memburu. Dadanya bergerak naik turun tak beraturan. Adrenalinnya benar-benar terpacu. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. 

"Kamu mimpi?!" tanya Roni, terlihat masih sangat khawatir dengan istrinya. Roni memberikan segelas air putih kepada Dewi. 

Dewi meminum tuntas air yang diberikan Roni. Dewi merasa sangat kelelahan dan ketakutan. Mimpi itu begitu nyata. Dewi melihat ke arah jendela dan pintu kamar, kosong. Tak ada siapapun disana. 

"Mas … aku takut." Dewi langsung merangsek ke pelukan suaminya. Jantungnya berdetak sangat kencang. 

"Kamu cuma kecapekan." Roni membelai lembut rambut Dewi. Berusaha menghibur, meski belum mengetahui, apa sebenarnya yang Dewi impikan, hingga setakut itu. 

"Kita keluar saja, biar bisa menghirup udara segar," ajak Roni. Dewi mengikutinya, tak berani ditinggal sendirian di dalam kamar yang indah itu.

Begitu keluar kamar, mereka melihat Bu Wati yang akan masuk ke kamarnya. 

Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya.

"Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Bertemu sahabat

    Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya."Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati."Masih, kuncinya di laci lemari yang di dapur," jawab Bu Wati. Roni langsung ke dapur mengambil kunci motornya. Motor yang sudah sangat lama tak dikendarainya."Udah sore begini, mau kemana?" tanya Bu Wati lagi."Roni mau keluar, ngajak Dewi ke rumah Iwan," jawab Roni."Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Bu Wati setelah mereka berpamitan dengan mencium punggung tangan Bu Wati dengan takzim.Sepanjang jalan, Roni menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka. Tak ada yang spesial di kampung ini. Hanya ada perkebunan sawit di setiap sisi jalannya."Kita ke rumah teman Mas ya," kata Roni lagi."Terserah Mas aja," sahut Dewi. Dia hanya mengikuti

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Ternyata Iwan indigo

    "Jaga istrimu baik-baik," pesan Iwan, sebelum Roni dan Dewi naik ke atas motor.Cukup membuat tanya di hati Dewi. Apa maksud bang Iwan bicara seperti itu? Sepertinya Roni juga merasa heran dengan kata-kata Iwan, terlihat dari raut wajahnya."Um … ok Bro. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan."Roni langsung tancap gas, usai Iwan menjawab salamnya.Sepanjang perjalanan pulang, Dewi masih memikirkan kata-kata Iwan tadi. 'Apa maksudnya meminta mas Roni menjagaku baik-baik?' batin Dewi bertanya-tanya.Roni pun merasakan keanehan dari perkataan Iwan. Apalagi saat ditanya, Iwan berkilah, karena Dewi cantik m

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Mengambil hati mertua

    "Mas, gak ada salahnya nuruti Ibuk. Sampai kapan kalian diem-dieman kayak gini," kata Dewi mendukung Ibu mertuanya."Nanti aku juga nyusul ke atas," ucap Dewi. Untuk membujuk Roni agar mau menemui Pak Darma. Roni memandang Dewi, seakan tak percaya."Kamu yakin?" tanyanya. Dewi sambut dengan anggukan kepala. Bu Wati tersenyum melihat anak dan menantunya itu.Dewi merasa harus bisa mencairkan kebekuan di antara Pak Darma dan mereka. Dewi merasa tak nyaman di rumah mertuanya, bila selalu melihat wajah masam Bapak mertuanya. Roni akhirnya menuruti kata-kata Dewi.Dengan ragu, Roni menaiki anak tangga satu persatu. Dewi dan Bu Wati yang masih di meja makan, memperhatikannya. Setelah memastikan Roni sampai di atas, Dewi segera membantu Bik Jum membereska

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Ada yang mencurigakan

    Akhirnya Dewi bangkit, melangkah ke arah jendela, mencoba memberanikan diri mengintip keluar. Dengan tangan gemetar dibukanya jendela kamarnya. Disibaknya tirai jendela perlahan. Dia celingukan melihat ke luar jendela. "Tak ada apa-apa. Apa cuma pendengaranku saja?" Lagi-lagi Dewi bergumam sendiri. 'Ah sudahlah, aku lanjut tidur lagi. Mungkin hanya suara angin' batin Dewi.Baru Dewi akan melangkah kembali ke ranjangnya, Dewi mendengar suara itu lagi, bahkan kali ini disertai dengusan. Mendadak Dewi merasa takut, peluh membasahi pelipisnya. Rasa penasaran itu datang lagi, hingga mampu mengalahkan rasa takutnya.Hati-hati Dewi membalikkan badan, mencoba mengintip dari balik tirai jendela lagi. Dewi menajamkan penglihatannya. Dia terkesiap melihat ada seekor kuda di depan jendela kamarnya. Matanya seketika membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Digosok

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Ibu penjual tiwul

    "Disini biasanya pekan hanya setiap hari Sabtu, biasanya selalu ramai dari pagi hingga sore hari," sambung Roni.Roni memarkirkan sepeda motornya. Mereka berjalan terus hingga memasuki area pekan, hiruk pikuk khas Pasar juga terasa di Pekan ini."Kamu suka tiwul kan?" tanya Roni. Dewi mengangguk saja."Kita cari makanan tradisional, sudah jarang ada kalau di kota."Mereka terus menyusuri Pekan, hingga terus masuk lebih jauh ke dalam. Sampai mereka pada seorang Ibu yang duduk di sebelah emperan pedagang sayur. Ibu itu hanya duduk di atas bangku plastik kecil, dia memakai jarik, dengan tampah yang berisi bahan dagangan, ada di hadapannya. Dewi terus memperhatikan Ibu penjual tiwul. 'Ibu ini … seperti Ibu tadi. Ya, gak salah. Ibu ya

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Pintu

    Roni yang belum selesai menghabiskan tiwulnya, terburu-buru melahap habis sarapannya itu. Dia langsung menenggak segelas teh manis panas yang sudah disediakan oleh Bik Jum. Dan terburu-buru menyusul Pak Darma."Dewi, kita ke samping yuk. Bantuin Ibu membersihkan tanaman di samping rumah," ajak Bu Wati pada Dewi, begitu Roni dan Pak Darma sudah pergi.Dewi mengekor saja di belakang Bu Wati. Sepertinya membersihkan tanaman menjadi satu alternatif, menghilangkan rasa takut Dewi di rumah mertuanya.Dewi dan Bu Wati mulai asik membersihkan dedaunan kering dari tanaman-tanaman hias koleksi Bu Wati."Dewi, ambilkan sekop kecil di dalam gudang. Ibu mau menggemburkan tanah di dalam pot-pot ini," suruh Bu Wati, tangannya masih asik me

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Bisikan

    Dewi sebenarnya sudah sangat mengantuk, tadi malam dia hampir tak tidur sama sekali. 'Tapi sebaiknya aku makan dulu, kasian bik Jum, udah capek-capek masak' batin Dewi."Bik, saya boleh nanya sesuatu?" tanya Dewi ke bik Jum. Saat dia sedang melintas di dekat meja makan"Mau nanya apa Mbak?" tanya Bik Jum langsung berhenti di hadapan Dewi."Bibi kan, udah lama kerja di sini. Kira-Kira Bibi tau gak, ruangan yang ada di dalam gudang?" Dewi mencoba menyelidiki melalui bik Jum dulu tentang ruangan yang tadi dilihatnya di gudang."Bibi gak tau, Mbak. Yang boleh masuk ruangan itu, cuma Bapak sama Ibuk aja.""Oh gitu.""

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Siapa bersama Dewi?

    "Yang, kenapa sih?" Roni menggaruk kepalanya, kebingungan melihat tingkah Dewi. "Tadi … aku duduk dan ngobrol di ayunan sama kamu Mas," bisik Dewi. "Bercanda kamu. Mas masih di dalam tadi." Roni tak percaya apa yang Dewi katakan, karena sedari tadi dia memang di dalam rumah tepatnya di dapur, membuat kopi. "Beneran Mas, ada yang aneh di rumah ini," kata Dewi. Bola mata Dewi liar menyapu setiap sudut kamar, Dewi merasa ada yang ikut mendengar pembicaraan mereka. Dewi merasa was-was. "Bukan Mas gak percaya sama kamu. Tapi Mas, sejak kecil tinggal di sini, tak pernah ada hal aneh. Mungkin hanya perasaanmu saja Yang." Roni masih berusaha meyakinkan Dewi. Bahwa tidak ada yang aneh di rumah orangtuanya

Bab terbaru

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Suka berselimut duka (TAMAT)

    "Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Kabar gembira

    "Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Keinginan Widuri

    "Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Ganjalan di hati Widuri

    Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Mulai membaik

    "Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Kehangatan keluarga 2

    "Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Kehangatan keluarga 1

    Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Sampai rumah

    TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid

  • PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA   Kembali pulang

    Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa

DMCA.com Protection Status