"Kalau Mas Roni yang pilih, gak mungkin salah. Gak mungkin Mas Roni asal-asalan pilih istri. Ibu pasti seneng punya mantu kayak Mbak Dewi." Bik Jum justru semakin membuat Dewi tersipu malu.
"Bapak sama Ibu, ada Bik?" tanya Roni. Keadaan rumah memang sangat sepi. Itu sebabnya Roni bertanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling rumahnya, mencari sosok Bapak dan Ibunya.
"Ada Mas, lagi di ruang keluarga. Sudah menunggu Mas Roni. Makanya Bapak sengaja nggak pergi ke kebun. Yuk, bibik antar," tawar bik Jum.
"Gak usah Bik. Roni sendiri saja kesana," tolak Roni halus.
"Memang, Mas Roni tau tempatnya?" tanya bik Jum.
Dewi merasa aneh mendengarnya. 'Bukankah ini rumah mas Roni, pasti mas Roni tau dimana letak ruang keluarga. Mas Roni baru setahun saja tak pulang, semenjak menikah denganku' batin Dewi.
"Di tempat biasa kan, Bik?" Roni menjadi agak ragu.
"Kan, Mas Roni tau kebiasaan Bapak. Ada saja bentuk rumah ini yang di ubah-ubah. Sekarang ruang keluarga ada di atas. Tempat yang biasa, udah jadi ruang makan," jelas bik Jum.
"Oh iya, saya lupa Bik. Ya sudah saya ke atas langsung ya Bik. Bik, tolong bawakan tas ini ke kamar saya. Kamar saya masih di tempat biasa kan?" Roni menyodorkan tas yang berisi baju Dewi dan dirinya ke tangan bik Jum. Wanita itu menerimanya dengan senang hati.
"Kalau kamar Mas Roni masih tetap di tempat yang dulu. Gak ada diubah sama sekali. Paling kalau Ibu mange, Ibu suka tidur di situ kalau siang," kata Bik Jum. Roni termangu mendengarnya, ternyata Ibunya begitu merindukannya.
"Ya sudah, Mas Roni langsung ke atas saja. Bapak sama Ibu sudah nungguin dari tadi."
"Terima kasih, ya Bik."
Roni menggenggam erat jemari tangan Dewi yang dingin. Dewi sedang sangat nervous saat ini, sehingga membuat tangannya menjadi begitu dingin. Roni dan Dewi mulai melangkahkan kaki untuk masuk lebih lagi ke dalam rumah. Satu persatu anak tangga mereka naiki dengan perlahan. Sampai di atas mereka langsung melihat Bapak dan Ibu Roni sedang bercengkrama, menonton televisi.
"Sudah sampai kamu Nak," sambut Ibu Roni, Bu Wati begitu melihat mereka. Bu Wati langsung bangkit mendekati Roni. Bu Wati memeluk hangat Roni. Binar bahagia terlihat dari matanya. Dia sangat merindukan Roni. Anak semata wayangnya.
"Ini, istrimu?" tanya Ibu Roni memastikan.
"Iya Buk," jawab mas Roni. Dewi mencium tangan Ibu mertuanya. Ibu Roni memeluk Dewi. Dewi sangat terharu. Baru kali ini dia merasakan kehangatan pelukan seorang Ibu.
"Ayune, mantuku," puji Bu Wati dengan senyum menghiasi bibirnya. Dia terus memandangi Dewi, seakan begitu mengagumi kecantikan menantunya itu.
Bapak Roni masih terlihat asik menonton tivi, seakan tak perduli dengan kehadiran mereka. Roni kembali menggenggam tangan Dewi, membawa Dewi berjalan ke arah Bapaknya.
"Pak," sapa Roni. Mengulurkan tangannya ingin bersalaman dan mencium punggung tangan Bapaknya.
"Akhirnya kamu datang juga," kata Bapak Roni tanpa melihat ke arah mereka. Dia juga mengabaikan tangan Roni tanpa menyambutnya. Roni menarik tangannya kembali.
Dewi semakin mengeratkan genggaman tangan mereka. Jantungnya masih berdegup kencang. Deg-degan luar biasa, sedang melanda hati Dewi saat ini.
"Kalau Bapak belum bisa menerima kami di sini. Kami akan pergi dari sini," kata Roni dengan tegas tapi berusaha tetap santun.
Dia berbalik badan, ingin melangkah pergi. Dia merasa harga dirinya tercabik melihat sikap arogan Bapaknya. Apalagi hal itu terjadi di hadapan Dewi. Dewi hanya menurut saja kemana Roni melangkah. Apalagi tangan Roni begitu erat menggenggam tangannya.
"Pak … Bapak kan, udah janji akan menerima dan merestui Roni juga istrinya," kata Ibu Roni yang sepertinya tak menyukai sikap Bapak Roni kepada mereka.
"Kamu juga. Sama saja keras kepalanya dengan Bapakmu. Apa gak bisa, salah satu dari kalian mengurangi ego sedikit saja!" Bu Wati memegang bahu Roni, mencecarnya dengan kalimat omelan khas seorang Ibu terhadap anaknya.
"Hehhhhh." Terdengar helaan nafas Pak Darma, Bapak Roni.
"Sombong kamu," kata Pak Darma tanpa sedikitpun menoleh.
"Pak, anak baru datang jangan dimarahi. Nanti kalau Roni pergi lagi, bagaimana?"
"Ibu jangan terlalu memanjakannya."
"Bukan memanjakan, Pak. Roni anak kita satu-satunya, Ibu gak mau jauh lagi dari Roni. Apa Bapak gak merasa, rumah ini sepi sekali sekarang."
Dewi dan Roni hanya bisa berdiri mematung, melihat perdebatan Pak Darma dan Bu Wati. Tak tau harus bagaimana. Bila menurutkan ego, Roni ingin segera saja membawa Dewi kembali pergi dari rumah orangtuanya. Tapi kata-kata Ibunya juga benar. Haruskah dia menghadapi sikap keras kepala Bapaknya, dengan sikap keras kepalanya juga?
"Bapak menerima kalian, hanya karena permintaan Ibu! Bapak masih kecewa sama kamu Roni. Kamu anak kami satu-satunya, pewaris tunggal harta kekayaan Bapak. Tapi kamu tak pernah mau mendengarkan Bapak!" Pak Darma berbicara dengan ketus. Terlihat masih menyimpan rasa kecewa yang sangat besar terhadap Roni.
Pak Darma pernah menjodohkan Roni dengan anak temannya yang dianggap sederajat. Sebelum Roni dan Dewi menikah. Tapi Roni menolak, dan lebih memilih Dewi. Wajar saja Bapaknya masih marah. Dewi sangat memakluminya. Karena Roni sudah menceritakan semua pada Dewi.
"Maafkan Roni, Pak," ucap Roni lirih tanpa membalik badan melihat Bapaknya.
"Tapi Bapak belum mengenal Dewi. Kepribadian Dewi seperti apa? Bagi Roni, memilih istri bukan perkara hartanya saja. Yang terutama tentang keimanannya. Dan Roni merasa nyaman bersama Dewi."
"Tau apa kamu soal kenyamanan. Anak masih bau kencur saja, sok mau menasehati orang tua. Dasar kepala batu kamu!"
"Sudah sudah! Sampai kapan kalian harus berdebat. Pak! Dewi sudah jadi mantu kita. Apalagi yang harus dipermasalahkan? Semua sudah terjadi. Apa Bapak mau nyuruh mereka pisah! Biar keluarga kita bertambah malu lagi!" Bu Wati berusaha menengahi perdebatan Bapak dan anak itu.
Pak Darma gusar, dia mendengus dengan kasar lalu meninggalkan Roni, Dewi dan Bu Wati di ruang keluarga. Mukanya terus saja ditekuk. Hingga dia menuruni tangga rumah itu. Bu Wati hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya.
"Maafkan Roni, Pak," kata Roni dengan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Dewi yang dingin. Pak Darma yang masih menuruni beberapa anak tangga, langsung menghentikan langkah kakinya.
"Maafkan Roni tak bisa menerima jodoh yang Bapak pilihkan buat Roni. Buat Roni, menikah cukup sekali seumur hidup, dan itu harus dengan orang yang Roni cintai." Pak Darma mendengus mendengar perkataan mas Roni.
"Bapak, mau apalagi? Bapak memang kecewa, kamu tak mau menurut perkataan Bapak. Tapi demi Ibumu, yang merengek setiap hari. Terpaksa Bapak menerima kalian," kata Pak Darma dengan angkuh.
"Kalau Bapak belum bisa menerima Dewi sebagai istri Roni. Roni akan pergi dari sini. Roni tak butuh kekayaan ini, Roni hanya ingin menjalani sisa hidup Roni dengan istri yang Roni cintai."
Dewi menatap Roni setelah mendengar perkataannya. Sebegitu besar cinta Roni padanya, hingga dia rela meninggalkan segala kemewahan, hanya demi Dewi, si gadis yatim piatu.
"Hhh, sombong kamu!" Pak Darma membalik badan, mencebikkan bibirnya, seolah mengejek.
"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.Bagaimanapun, cinta seorang Ibu memang mampu menghancurkan batu sekeras karang. Seperti Pak Darma, yang akhirnya melunak. Meskipun sikapnya masih dingin."Kamu dengarkan Roni. Segitu sayang Ibumu denganmu, sampai dia rela membantah Bapak," kata Pak Darma langsung berlalu meninggalkan mereka yang masih terpaku."Jangan diambil hati perkataan Bapak. Biarpun begitu, setiap hari Bapak memikirkan kamu Ron. Kadang sampai mengigau, kamu ingatkan, sejak kecil Bapak yang paling menyayangi kamu. Bapak seperti itu, karena malu saja dengan temannya. Karena kamu menolak untuk dijodohkan," jelas Bu Wati panjang lebar.Bu Wati takut, R
Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya."Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya."Ya, Mas!" sahut Dewi agak keras. Suaranya beradu dengan suara air dari shower."Kok lama banget, kamu gak papa?" Roni mungkin merasa khawatir, melihat Dewi tak kunjung keluar kamar mandi."Gak papa Mas!" sahut Dewi. Dewi mempercepat mandinya."Lama banget. Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke rumah teman Mas," kata Roni, ketika Dewi keluar dari kamar mandi. Dewi langsung mengenakan daster, baju kebesarannya bila sedang berada di dalam rumah."Besok aja, Mas. Dewi ngantuk." Dewi memang merasa sangat lelah hari ini.
Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya."Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati."Masih, kuncinya di laci lemari yang di dapur," jawab Bu Wati. Roni langsung ke dapur mengambil kunci motornya. Motor yang sudah sangat lama tak dikendarainya."Udah sore begini, mau kemana?" tanya Bu Wati lagi."Roni mau keluar, ngajak Dewi ke rumah Iwan," jawab Roni."Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Bu Wati setelah mereka berpamitan dengan mencium punggung tangan Bu Wati dengan takzim.Sepanjang jalan, Roni menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka. Tak ada yang spesial di kampung ini. Hanya ada perkebunan sawit di setiap sisi jalannya."Kita ke rumah teman Mas ya," kata Roni lagi."Terserah Mas aja," sahut Dewi. Dia hanya mengikuti
"Jaga istrimu baik-baik," pesan Iwan, sebelum Roni dan Dewi naik ke atas motor.Cukup membuat tanya di hati Dewi. Apa maksud bang Iwan bicara seperti itu? Sepertinya Roni juga merasa heran dengan kata-kata Iwan, terlihat dari raut wajahnya."Um … ok Bro. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan."Roni langsung tancap gas, usai Iwan menjawab salamnya.Sepanjang perjalanan pulang, Dewi masih memikirkan kata-kata Iwan tadi. 'Apa maksudnya meminta mas Roni menjagaku baik-baik?' batin Dewi bertanya-tanya.Roni pun merasakan keanehan dari perkataan Iwan. Apalagi saat ditanya, Iwan berkilah, karena Dewi cantik m
"Mas, gak ada salahnya nuruti Ibuk. Sampai kapan kalian diem-dieman kayak gini," kata Dewi mendukung Ibu mertuanya."Nanti aku juga nyusul ke atas," ucap Dewi. Untuk membujuk Roni agar mau menemui Pak Darma. Roni memandang Dewi, seakan tak percaya."Kamu yakin?" tanyanya. Dewi sambut dengan anggukan kepala. Bu Wati tersenyum melihat anak dan menantunya itu.Dewi merasa harus bisa mencairkan kebekuan di antara Pak Darma dan mereka. Dewi merasa tak nyaman di rumah mertuanya, bila selalu melihat wajah masam Bapak mertuanya. Roni akhirnya menuruti kata-kata Dewi.Dengan ragu, Roni menaiki anak tangga satu persatu. Dewi dan Bu Wati yang masih di meja makan, memperhatikannya. Setelah memastikan Roni sampai di atas, Dewi segera membantu Bik Jum membereska
Akhirnya Dewi bangkit, melangkah ke arah jendela, mencoba memberanikan diri mengintip keluar. Dengan tangan gemetar dibukanya jendela kamarnya. Disibaknya tirai jendela perlahan. Dia celingukan melihat ke luar jendela. "Tak ada apa-apa. Apa cuma pendengaranku saja?" Lagi-lagi Dewi bergumam sendiri. 'Ah sudahlah, aku lanjut tidur lagi. Mungkin hanya suara angin' batin Dewi.Baru Dewi akan melangkah kembali ke ranjangnya, Dewi mendengar suara itu lagi, bahkan kali ini disertai dengusan. Mendadak Dewi merasa takut, peluh membasahi pelipisnya. Rasa penasaran itu datang lagi, hingga mampu mengalahkan rasa takutnya.Hati-hati Dewi membalikkan badan, mencoba mengintip dari balik tirai jendela lagi. Dewi menajamkan penglihatannya. Dia terkesiap melihat ada seekor kuda di depan jendela kamarnya. Matanya seketika membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Digosok
"Disini biasanya pekan hanya setiap hari Sabtu, biasanya selalu ramai dari pagi hingga sore hari," sambung Roni.Roni memarkirkan sepeda motornya. Mereka berjalan terus hingga memasuki area pekan, hiruk pikuk khas Pasar juga terasa di Pekan ini."Kamu suka tiwul kan?" tanya Roni. Dewi mengangguk saja."Kita cari makanan tradisional, sudah jarang ada kalau di kota."Mereka terus menyusuri Pekan, hingga terus masuk lebih jauh ke dalam. Sampai mereka pada seorang Ibu yang duduk di sebelah emperan pedagang sayur. Ibu itu hanya duduk di atas bangku plastik kecil, dia memakai jarik, dengan tampah yang berisi bahan dagangan, ada di hadapannya. Dewi terus memperhatikan Ibu penjual tiwul. 'Ibu ini … seperti Ibu tadi. Ya, gak salah. Ibu ya
Roni yang belum selesai menghabiskan tiwulnya, terburu-buru melahap habis sarapannya itu. Dia langsung menenggak segelas teh manis panas yang sudah disediakan oleh Bik Jum. Dan terburu-buru menyusul Pak Darma."Dewi, kita ke samping yuk. Bantuin Ibu membersihkan tanaman di samping rumah," ajak Bu Wati pada Dewi, begitu Roni dan Pak Darma sudah pergi.Dewi mengekor saja di belakang Bu Wati. Sepertinya membersihkan tanaman menjadi satu alternatif, menghilangkan rasa takut Dewi di rumah mertuanya.Dewi dan Bu Wati mulai asik membersihkan dedaunan kering dari tanaman-tanaman hias koleksi Bu Wati."Dewi, ambilkan sekop kecil di dalam gudang. Ibu mau menggemburkan tanah di dalam pot-pot ini," suruh Bu Wati, tangannya masih asik me
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa