Dewi bergidik, melihat patung kuda berwarna coklat keemasan yang tampak berdiri gagah di halaman rumah mertuanya. Dewi merasa, mata patung kuda itu seperti sedang melihat ke arahnya dan memperhatikan setiap gerak geriknya. Patung kuda itu seperti bentuk ucapan selamat datang, bagi siapapun yang datang ke rumah mertuanya.
Dewi takut, tapi merasa takjub dengan keindahan patung kuda itu. Patung itu berdiri dengan gagah. Bak ksatria yang sedang berada di medan perang. Dewi terus saja memperhatikan setiap detail patung kuda itu. Tak ada cela, sungguh piawai orang yang membuat patung kuda ini, bathin Dewi.
"Ayo Yang, kita sudah ditunggu Bapak dan Ibu." Panggilan mas Roni, membuat Dewi kaget. Dialihkan pandangannya pada Roni, suaminya. Senyum manis yang terpaksa harus dia ditunjukkan pada suaminya, menghiasi bibirnya yang tipis. Sesungguhnya masih ada keraguan di hatinya. Akankah mertuanya, sudah bisa menerima kenyataan, kalau sekarang dia sudah menjadi istri Roni.
Dewi yang masih memperhatikan patung kuda itu dari dalam mobil, langsung beranjak keluar. Ini pertama kalinya, dia menginjakkan kaki di rumah mertuanya. Langkahnya tampak ragu, hatinya terus saja berdebaran tak karuan. Berulangkali dia menarik nafas dengan dalam lalu menghembuskan perlahan, untuk menenangkan dirinya sendiri.
Dewi dan Roni sudah menikah selama setengah tahun, tapi baru hari ini Roni membawa Dewi menemui orangtuanya. Kedua orangtua Roni tak menyetujui hubungan mereka. Hanya karena Dewi seorang yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.
Dewi tak mengetahui siapa orangtuanya. Kata Ibu Yanti, pemilik panti. Dulu Dewi ditemukan hanyut di sungai, sewaktu masih bayi merah. Sejak Dewi mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tak sedikit pun terlintas di benak Dewi, untuk mencari dimana keberadaan orang tuanya. Toh … mereka sudah membuangnya. Tandanya mereka tak menginginkan kehadiran Dewi. Buat apalagi Dewi mencari mereka. Itulah yang ada di benak Dewi.
Turun dari mobil, Dewi dapat melihat patung itu lebih jelas lagi. Patung itu sangat besar, bahkan ukurannya lebih besar dari kuda sungguhan. Berdiri dengan kedua kaki depan terangkat seolah sedang mengambil ancang-ancang untuk berlari. Warnanya coklat keemasan, tampak gagah dan juga … seram.
Dewi terus melihat dari atas ke bawah setiap detail patung itu. Sempurna. Sungguh pandai, seniman yang membuat patung kuda itu. Dewi semakin berdecak kagum, manakala melihat patung kuda itu lebih dekat lagi. Meski kagum, rasa takut tetap menggelayut di hatinya. Dewi mengusap bulu tengkuknya yang terasa meremang.
"Ya ampun Sayang. Dari tadi merhatiin kuda aja, Mas lebih perkasa dari kuda itu," bisik Roni menggoda Dewi. Pipi Dewi langsung bersemu merah.
"Patungnya kayak baru dibuat ya Mas," kata Dewi. Tak salah Dewi berpikiran seperti itu. Patung itu memang tampak sempurna, belum ada cacat sama sekali. Orang yang membuatnya benar-benar teliti sekali.
"Udah lama kok. Dari Mas kecil udah ada. Mungkin baru di cat sama Bapak. Dulu, letaknya disana." Roni menunjuk ke satu sudut dekat pintu gerbang masuk ke rumah. Dewi mengarahkan pandangannya mengikuti telunjuk Roni.
Telunjuk Roni mengarah ke sebuah taman bunga yang tertata rapi di samping rumah mertua Dewi.
"Dulu, gerbangnya masih belum seperti ini, masih dari bambu hias." Roni melanjutkan kata-katanya. Dewi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman rumah mertuanya. Rumah mertuanya begitu tertata rapi.
"Yuk, kita masuk. Dari tadi ngeliatin patung terus. Mulai besok, setiap hari kamu akan lihat patung itu."
"Serem patungnya Mas."
"Serem, tapi kok dipandangi terus?"
"Gak tau juga, kayaknya … um …."
"Kayaknya apa?
"Kayaknya patung itu bisa menghipnotis siapa aja yang melihatnya, deh Mas."
"Ah, itu perasaan kamu aja, Yang. Karena baru pertama kali melihatnya."
"Iya, kali ya."
"Kita apa mau di sini aja? Ngeliatin patung kuda itu, sampai bisa gerak."
"Ih amit-amit, gak lah Mas," kata Dewi seraya mengedikkan bahunya seolah merasa ngeri. Roni tertawa melihat ekspresi istrinya.
Roni menggamit sebelah tangan Dewi, membawanya masuk ke rumah orangtuanya. Sementara sebelah tangannya lagi membawa tas, berisi baju-baju Dewi dan dirinya.
Jantung Dewi berdebar semakin kencang, kala kakinya mulai menginjak teras rumah yang megah itu. Dewi tetap saja merasa khawatir, orangtua Roni belum bisa menerimanya. Walaupun sebelum mereka datang ke sini, Roni sudah memastikan, bahwa Bapaknya yang meminta mereka untuk pulang.
Dewi masih memandang takjub rumah mertuanya. Selain megah, desainnya begitu elegan. Biasanya Dewi hanya melihat di sinetron rumah semegah ini. Padahal dia masih lagi ada di teras rumah mertuanya.
Mulai dari pintu gerbang yang besar terbuat dari besi-besi yang berjajar rapi, dengan aksen kuda terbang di sisi kanan kirinya. Ada air mancur berikut kolam ikan kecil di halaman rumahnya. Sebuah ayunan di tengah taman bunga yang berjajar rapi. Rumput-rumput taman yang tampak seperti permadani terhampar di halaman rumah mertuanya. Terlihat sekali, kalau mertuanya orang yang menyukai seni dan keindahan.
Rumah ini sangat besar bagi Dewi, yang biasa hidup di panti. Dengan desain yang bagus membuat rumah terkesan mewah dan megah. Selama menikah dengan Roni, mereka masih mengontrak di rumah petakan. Wajar saja kalau Dewi merasa takjub melihat rumah mertuanya. Dalam mimpi pun tak pernah terlintas, bisa menginjakan kaki di rumah semegah itu.
Ting tong.
Suara bel pintu yang dipencet Roni. Dewi dan Roni saling melempar senyum untuk mengurangi kegugupan. Tak lama seorang wanita paruh baya, membukakan pintu.
"Mas Roni?" Wanita itu seakan merasa tak percaya melihat Roni di hadapannya. Diperhatikannya Roni dari atas hingga ke bawah.
"Iya bik, ini saya," kata Roni seraya memeluk perempuan itu. Sepertinya Roni menyayanginya dan begitu dekat dengannya.
"Kenalkan bik, ini istri saya. Namanya Dewi. Sayang, ini bik Jum. Bik Jum ini, sudah lama kerja disini. Dari Mas masih bayi. Bik Jum ini yang ngerawat Mas. Kalau Bapak sama Ibuk kerja."
Roni memperkenalkan Dewi pada wanita itu, yang ternyata asisten rumah tangga di rumah orangtuanya. Dewi tersenyum kepada perempuan itu, dia membalas senyum Dewi.
"Cantik sekali istri mas Roni." Bik Jum memuji Dewi, membuat Dewi tersipu malu.
"Pilihan Roni gak salah kan, Bik? Selain cantik, Dewi juga pinter masak. Yang utama, Dewi ini istri solehah Bik." Roni memuji Dewi di hadapan pengasuhnya itu. Membuat semburat merah di pipi Dewi semakin kentara. Dia menunduk berusaha menutupi rasa groginya.
"Kalau Mas Roni yang pilih, gak mungkin salah. Gak mungkin Mas Roni asal-asalan pilih istri. Ibu pasti seneng punya mantu kayak Mbak Dewi." Bik Jum justru semakin membuat Dewi tersipu malu.
"Bapak sama Ibu, ada Bik?" tanya Roni. Keadaan rumah memang sangat sepi. Itu sebabnya Roni bertanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling rumahnya, mencari sosok Bapak dan Ibunya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Kalau Mas Roni yang pilih, gak mungkin salah. Gak mungkin Mas Roni asal-asalan pilih istri. Ibu pasti seneng punya mantu kayak Mbak Dewi." Bik Jum justru semakin membuat Dewi tersipu malu."Bapak sama Ibu, ada Bik?" tanya Roni. Keadaan rumah memang sangat sepi. Itu sebabnya Roni bertanya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling rumahnya, mencari sosok Bapak dan Ibunya."Ada Mas, lagi di ruang keluarga. Sudah menunggu Mas Roni. Makanya Bapak sengaja nggak pergi ke kebun. Yuk, bibik antar," tawar bik Jum."Gak usah Bik. Roni sendiri saja kesana," tolak Roni halus."Memang, Mas Roni tau tempatnya?" tanya bik Jum.Dewi merasa aneh mendengarnya. 'Bukankah ini rumah mas Ron
"Pak, sudahlah. Bapak kan, sudah janji sama Ibu, gak akan lagi mempermasalahkan status istri Roni. Dewi sudah jadi anak mantu kita Pak. Ibuk gak mau, Roni pergi lagi. Rumah ini sepi sekali, cuma ada kita disini." Bu Wati mulai merengek ke Pak Darma lagi.Bagaimanapun, cinta seorang Ibu memang mampu menghancurkan batu sekeras karang. Seperti Pak Darma, yang akhirnya melunak. Meskipun sikapnya masih dingin."Kamu dengarkan Roni. Segitu sayang Ibumu denganmu, sampai dia rela membantah Bapak," kata Pak Darma langsung berlalu meninggalkan mereka yang masih terpaku."Jangan diambil hati perkataan Bapak. Biarpun begitu, setiap hari Bapak memikirkan kamu Ron. Kadang sampai mengigau, kamu ingatkan, sejak kecil Bapak yang paling menyayangi kamu. Bapak seperti itu, karena malu saja dengan temannya. Karena kamu menolak untuk dijodohkan," jelas Bu Wati panjang lebar.Bu Wati takut, R
Kulit Dewi yang putih dan wajahnya yang menurut orang-orang terbilang manis, membuat banyak orangtua yang jatuh hati. Ingin Dewi jadi anak mereka. Tapi entah kenapa, hati Dewi tak ingin memiliki keluarga yang utuh. Bagi Dewi, Bu Yanti adalah Ibunya, dan semua yang ada di panti adalah keluarganya."Sayang …." panggil Roni dari luar kamar mandi, menyadarkan Dewi dari lamunannya."Ya, Mas!" sahut Dewi agak keras. Suaranya beradu dengan suara air dari shower."Kok lama banget, kamu gak papa?" Roni mungkin merasa khawatir, melihat Dewi tak kunjung keluar kamar mandi."Gak papa Mas!" sahut Dewi. Dewi mempercepat mandinya."Lama banget. Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke rumah teman Mas," kata Roni, ketika Dewi keluar dari kamar mandi. Dewi langsung mengenakan daster, baju kebesarannya bila sedang berada di dalam rumah."Besok aja, Mas. Dewi ngantuk." Dewi memang merasa sangat lelah hari ini.
Kamar Bu Wati dan kamar mereka bersebrangan, hanya terhalang oleh sofa-sofa mewah yang tersusun sedemikian rupa. Disini biasanya Pak Darma dan Bu Wati mengobrol dengan tamu-tamunya."Buk, motor Roni masih ada?" tanya Roni pada Bu Wati."Masih, kuncinya di laci lemari yang di dapur," jawab Bu Wati. Roni langsung ke dapur mengambil kunci motornya. Motor yang sudah sangat lama tak dikendarainya."Udah sore begini, mau kemana?" tanya Bu Wati lagi."Roni mau keluar, ngajak Dewi ke rumah Iwan," jawab Roni."Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Bu Wati setelah mereka berpamitan dengan mencium punggung tangan Bu Wati dengan takzim.Sepanjang jalan, Roni menyapa beberapa orang yang berpapasan dengan mereka. Tak ada yang spesial di kampung ini. Hanya ada perkebunan sawit di setiap sisi jalannya."Kita ke rumah teman Mas ya," kata Roni lagi."Terserah Mas aja," sahut Dewi. Dia hanya mengikuti
"Jaga istrimu baik-baik," pesan Iwan, sebelum Roni dan Dewi naik ke atas motor.Cukup membuat tanya di hati Dewi. Apa maksud bang Iwan bicara seperti itu? Sepertinya Roni juga merasa heran dengan kata-kata Iwan, terlihat dari raut wajahnya."Um … ok Bro. Assalamualaikum.""Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan."Roni langsung tancap gas, usai Iwan menjawab salamnya.Sepanjang perjalanan pulang, Dewi masih memikirkan kata-kata Iwan tadi. 'Apa maksudnya meminta mas Roni menjagaku baik-baik?' batin Dewi bertanya-tanya.Roni pun merasakan keanehan dari perkataan Iwan. Apalagi saat ditanya, Iwan berkilah, karena Dewi cantik m
"Mas, gak ada salahnya nuruti Ibuk. Sampai kapan kalian diem-dieman kayak gini," kata Dewi mendukung Ibu mertuanya."Nanti aku juga nyusul ke atas," ucap Dewi. Untuk membujuk Roni agar mau menemui Pak Darma. Roni memandang Dewi, seakan tak percaya."Kamu yakin?" tanyanya. Dewi sambut dengan anggukan kepala. Bu Wati tersenyum melihat anak dan menantunya itu.Dewi merasa harus bisa mencairkan kebekuan di antara Pak Darma dan mereka. Dewi merasa tak nyaman di rumah mertuanya, bila selalu melihat wajah masam Bapak mertuanya. Roni akhirnya menuruti kata-kata Dewi.Dengan ragu, Roni menaiki anak tangga satu persatu. Dewi dan Bu Wati yang masih di meja makan, memperhatikannya. Setelah memastikan Roni sampai di atas, Dewi segera membantu Bik Jum membereska
Akhirnya Dewi bangkit, melangkah ke arah jendela, mencoba memberanikan diri mengintip keluar. Dengan tangan gemetar dibukanya jendela kamarnya. Disibaknya tirai jendela perlahan. Dia celingukan melihat ke luar jendela. "Tak ada apa-apa. Apa cuma pendengaranku saja?" Lagi-lagi Dewi bergumam sendiri. 'Ah sudahlah, aku lanjut tidur lagi. Mungkin hanya suara angin' batin Dewi.Baru Dewi akan melangkah kembali ke ranjangnya, Dewi mendengar suara itu lagi, bahkan kali ini disertai dengusan. Mendadak Dewi merasa takut, peluh membasahi pelipisnya. Rasa penasaran itu datang lagi, hingga mampu mengalahkan rasa takutnya.Hati-hati Dewi membalikkan badan, mencoba mengintip dari balik tirai jendela lagi. Dewi menajamkan penglihatannya. Dia terkesiap melihat ada seekor kuda di depan jendela kamarnya. Matanya seketika membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Digosok
"Disini biasanya pekan hanya setiap hari Sabtu, biasanya selalu ramai dari pagi hingga sore hari," sambung Roni.Roni memarkirkan sepeda motornya. Mereka berjalan terus hingga memasuki area pekan, hiruk pikuk khas Pasar juga terasa di Pekan ini."Kamu suka tiwul kan?" tanya Roni. Dewi mengangguk saja."Kita cari makanan tradisional, sudah jarang ada kalau di kota."Mereka terus menyusuri Pekan, hingga terus masuk lebih jauh ke dalam. Sampai mereka pada seorang Ibu yang duduk di sebelah emperan pedagang sayur. Ibu itu hanya duduk di atas bangku plastik kecil, dia memakai jarik, dengan tampah yang berisi bahan dagangan, ada di hadapannya. Dewi terus memperhatikan Ibu penjual tiwul. 'Ibu ini … seperti Ibu tadi. Ya, gak salah. Ibu ya
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa