"Eneng, sek tak jimok." Kek Warno bergegas masuk ke dapur, dengan langkah lebar.
Dia dengan semangat mengambilkan nasi dari dalam periuk yang masih bertengger diatas tungku yang dibuatnya dengan susunan beberapa potong batu bata. Masih tampak bekas asap yang masih mengepul dari kayu yang baru dipadamkan.
Diambilnya lauk kangkung yang hanya dia rebus saja. Kangkung hasil ngeramban dari pinggiran rawa yang tak jauh dari rumahnya. Sudah sangat lama dia tak lagi bekerja di kebun sawit. Dia bertahan hidup dari hasil kebun juga rawa yang banyak di sekitar desa itu. Sementara beras, dia dapatkan dari petani yang sudi memakai jasanya untuk membantu di saat panen tiba. Dengan imbalan beberapa kilogram beras. Yang sangat dia irit-irit memasaknya, hingga tiba masa panen lagi. Bila sedang beruntung, tidak hanya satu petani yang memakai jasanya.
Biarpun tetap bungkam, Kek Warno tetap bergegas masuk ke kamar. Dia mencari kain panjang di setiap lipatan baju yang ada di lemari yang tak lagi berpintu. Cepat dia balik lagi membawa kain panjang itu. Lalu menyerahkannya ke tangan Roni. Roni menerimanya, dan segera membalut tubuh Ibu dan mengikatnya tak terlalu kuat, agar tak menyakiti tubuh Ibunya."Apa gapapa, Mas?" tanya Dewi. Dia kasihan melihat Bu Widuri yang diikat begitu."Gapapa. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Mas takut Ibu seperti tadi," jawab Roni. Dewi bergidik kala mengingat tubuh Bu Widuri yang melayang tadi.Bu Widuri masih terus menggeliat sambil mengerang, berusaha melepaskan ikatannya. Dia menghentak-hentakkan kepala dan kakinya. Beruntung ada bantal yang menyanggah kepalanya. Apa Ibu
Cuaca subuh hari di Desa Lor sungguh sangat dingin. Dewi merapatkan jaketnya, tak terbiasa dengan suhu yang terlalu dingin begini. Alam pedesaan sangat sejuk juga menyegarkan. Dewi menghirup udara pagi dengan hidungnya lalu menghembuskan perlahan dari mulutnya."Yang, ngapain di situ?" tanya Roni yang baru keluar dari rumah Kek Warno. Dihampiri istrinya yang tengah menikmati segarnya udara pedesaan di halaman rumah Ke Warno."Gapapa Mas. Tenang aja rasanya, mendengar suara burung pagi-pagi gini. Udaranya juga seger banget, tapi dingin brrrr," kata Dewi merinding karena dinginnya."Ya sudah kita ke dalam yuk, kalau dingin. Kan juga harus siap-siap mau pulang," ajak Roni. Dengan bergandengan tangan mereka masuk kembali ke rumah Kek Warno.
"Juminah ngendi, Bik?" Bu Wiyah menanyakan teman lamanya, anak Nek Marsini. Kepalanya celingukan melihat semakin ke dalam rumah."Dee wes suwi ra bali. Meranto ke Malaysia. Entuk bojo wong kono." Ternyata anak Nek Marsini merantau ke Malaysia dan menikah dengan warga negara Malaysia."Wah hebat. Wes due anak de e, Bik?" Bu Ipah menanyakan apakah Juminah sudah mempunyai anak."Uwes telu. Lanang kabeh. Tapi ra ngerti bali. Kirim duwet tok. Lah aku gawe opo duwet okeh-okeh. Wes arep mati hehe." Miris mendengar kata-kata Nek Marsini. Dia bilang anak Juminah sudah tiga orang, tapi tak pernah pulang. Dia hanya rutin mengirimkan uang untuk Nek Marsini. Sementara dari perkataan Nek Marsini, dia jelas menginginkan anaknya itu pulang sebelum dia meninggal.
"Kamu beneran gak ingat sama kami, Sih?" tanya Bu Ipah lagi."Nggak!" jawabnya ketus. Ada yang aneh sepertinya. Bu Ipah dan Bu Wiyah tampak kecewa melihat sambutan Bu Narsih."Kalian mau apa? Aku mau tutup warung!" ketus sekali Bu Narsih. Kelihatan tidak senang dengan kehadiran mereka."Emm anu, kasih gulanya setengah kilo. Telur sepuluh, bawang sama cabe," kata Bu Ipah tak bersemangat. Seandainya masih ada warung lain. Bu Ipah enggan untuk meneruskan belanja di warung Bu Narsih.Bu Narsih cepat-cepat membungkus pesanan Bu Ipah, lalu menyerahkan belanjaan itu ke tangan Bu Ipah. Setelah dibayar, dia langsung menutup warungnya. Tanpa basa basi atau pun sedikit saja beramah tamah.
"Lek, tas riko endi? Biar di masuk kan dalam mobil." Bu Wiyah menanyakan tas Kek Warno.Kek Warno masuk ke kamarnya mengambil tas lusuh yang sudah diisi dengan beberapa potong bajunya yang dianggap masih layak untuk dipakai. Keluar dari kamar, dia menyerahkan tas lusuh itu pada Bu Wiyah. Bu Wiyah menerimanya, dan langsung ke mobil untuk memasukkan tas Kek Warno."Ibu masih tidur. Kita harus hati-hati mengangkatnya. Siapa yang akan memangku kepala Ibu?" tanya Iwan."Aku aja Wan. Takut ada apa-apa. Kamu bisa nyetir kan?" sahut Roni."Ya sebaiknya memang begitu. Biar aku nanti gantian sama Solihin yang nyetir. Dewi bisa di bagian kakinya. Bu Ipah, Bu Wiyah sama Kakek gapapa di belakang ya." Iwan
"Darimana Ki Agung tau? Atau Aki yang menjebak Mas Darma?" selidik Bu Ipah. Ternyata, apa yang Roni pikirkan sama dengan yang ada di pikiran Bu Ipah."Ngaco kowe!" Pandangan Ki Agung beralih ke Bu Ipah. Lalu dia berbalik lagi ke gerombolannya."Kalau kalian mau pergi. Pergi saja! Tapi anak Widuri harus tetap tinggal di sini! Dia harus mati dan menumpahkan darahnya di kampung ini! Dia harus ditumbalkan! Biar kampung ini bebas dari kutukan. Wiyah, kali ini aku memaafkan ke kurang ajaranmu! Mengingat dulu Bapakmu, temanku. Siapa di antara kalian yang anak Widuri?" tanya Ki Agung. Matanya memandang, Iwan, Roni dan Solihin bergantian."Wes, tinggalkan anak Widuri!""Anak Widuri harus mati!"
"Mas, sepertinya diantara mereka tak ada yang berusia di bawah tiga puluh tahun," bisik Dewi. Mata Roni mulai memindai mereka satu persatu.Benar yang dibilang Dewi, penduduk di Desa Lor memang di dominasi orang yang sudah berumur."Sudah tau?!" ketus Ki Agung dengan suaranya yang berat. Khas seorang perokok."Ternyata istrimu lebih pintar," kata Ki Agung dengan seringai mengejek Roni.Kebiasaannya mengisap rokok tembakau yang dilinting, sedari muda. Membuat pita suaranya rusak, sehingga suaranya menjadi serak."Sejak Bapakmu mati di massa warga. Tak ada lagi anak yang lahir di kampung ini. Perempuan di desa ini jadi mandul! Kalaupun ada yang ha
Puluhan tahun dia bungkam, menyimpan kepedihan hatinya seorang diri. Saat setiap hari harus menyaksikan penyiksaan yang dilakukan perlahan terhadap anaknya. Juga harus rela hidup diasingkan, dan dibenci semua orang karena dianggap pembawa musibah. Begitulah kalau orang sudah terdesak, keberanian akan muncul dengan sendirinya."Aku gak akan diam saja, kalau kalian mau membunuh cucuku. Kalian langkahi dulu mayatku!" Roni merasa tak percaya mendengar yang dikatakan Kek Warno. Dia pandangi lelaki tua yang berdiri di hadapannya itu. Dia bertindak menjadi tameng yang siap menghalau siapa saja yang ingin menyerang Roni.Dibalik sikap dinginnya terhadap Roni, ternyata dia rela mati untuk cucunya."Jangan dengarkan mereka, tarik anak Widuri itu! Atau Desa ini selamanya akan seperti ini. Lama-lama Desa ini akan jadi Desa mati! " tit