“Buka seragam mu, sekarang!” titah Gavin. Menatap sayup wajah Aletta yang tengah sibuk mencumbu lehernya penuh gairah di sudut perpustakaan.
“Ok, babe.” Aletta menuruti permintaan lelaki itu dan membuka perlahan kancing seragam sekolah yang masih melekat di jam pulang sekolah.
Gavin yang tengah menikmati permainan lidah Aleta, tiba-tiba melihat sosok wanita yang tengah mengintip aktifitas nakalnya bersama Aletta dari celah rak buku.
Brak!!
Sebuah buku terjatuh tiba-tiba. Suara buku yang terjatuh, membuat kenikmatan dua sejoli itu harus terhenti seketika.
Sontak Aletta terkejut dan membalikkan badan. Aletta keluar dari balik rak buku perpustakaan, dan menangkap si cupu Raline. Benar saja, Raline merusak suasana intim antara dirinya bersama Gavin.
“Kamu ngintip ya?!” tanya Aletta mencekal kencang tangan Raline kasar.
“A-aku tidak bermaksud mengintip. Ini perpustakaan, k-kenapa kalian melakukan itu disini?” Raline gemetaran dengan wajah pucat pasi.
“Awas saja kalau kamu bocor! Aku tidak menjamin beasiswa mu akan lanjut!” ancam Aletta pergi meninggalkan perpustakaan, sambil merapikan seragamnya yang berantakan.
Raline kembali menyibukkan diri dengan merapikan buku yang terjatuh ke lantai. Lalu, meletakkan buku lainnya ke dalam rak buku. Tubuh gadis itu gemetaran.
Gavin menghampiri Raline yang berpura-pura acuh dengan keberadaannya. Gadis itu berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan aktivitasnya menyusun buku-buku yang berserakan.
“Karena kamu sudah mengganggu dan merusak momen tadi, berarti kamu harus bertanggung jawab sekarang!" gertak Gavin sambil menarik lengan Raline, hingga membuat perempuan itu berada sejengkal lebih dekat.
Memiliki dua bola mata berwarna coklat yang indah dengan alis tipis dan bentuk wajah tirus. Cantik.
Namun kecantikan Raline sepertinya sengaja ditutupi menggunakan kacamata tebal dan bintik-bintik merah menyerupai jerawat dengan alis yang dibikin tebal agar terlihat buruk rupa. Terutama dari Mami Monalisa, yang terus mencari wanita berparas cantik untuk dijadikan budak.
Raline memejamkan mata rapat-rapat. Tubuh Raline seketika lemas saat Gavin mendekatinya. Gadis itu tak mampu lari dari cengkraman erat Gavin saat ini. Perpustakaan yang tengah kosong, semakin membuat Gavin lebih leluasa menggertak Raline. Dimana hanya ada mereka berdua di perpustakaan yang sangat luas.
Semakin Raline terlihat ketakutan, semakin membuat Gavin bertindak liar. Jari-jarinya menyentuh lembut, wajah perempuan polos yang sering dipanggil si cupu, oleh murid lain yang suka membully Raline.
Gavin mencermati seluk beluk wajah Raline. Tangannya mulai menyentuh sesuatu, “Rupanya, ini hanya make-up?” Gavin menebak dengan tepat.
“Apa-apaan kamu, Vin! Dasar mesum!" Raline menyentak tangan Gavin dari wajahnya.
Perempuan itu beranjak pergi. Tetapi dihalau oleh Gavin dengan cepat. Gavin mengamati dengan jelas dari jarak dekat wajah si cupu Raline. Body gadis remaja yang baru berusia enam belas tahun itu, terlalu menggoda lawan jenis untuk seusianya yang tergolong muda.
"Kamu ternyata cantik juga, ya?” puji Gavin sambil menyeringai nakal. “Kamu tengah menyamar di sekolah rupanya. Ada rahasia besar sepertinya dibalik wajah ini?” tebak Gavin masih penasaran.
Saking penasarannya lelaki itu mengamati dengan posisi yang makin dekat. Pandangan Gavin malah tertuju, ke leher jenjang nan putih mulus milik Raline. Semakin di tatap, membuat Gavin menelan saliva dengan kasar. Adam apple-nya bergerak sempurna.
Pandangan Gavin terhenti di sebuah tanda lahir berukuran kecil berwarna coklat samar.
"M-mau apa kamu… ?" tanya Raline gemetar ketakutan begitu Gavin menghimpit tubuhnya.
"Ganti kan posisi Aletta barusan!" desak Gavin dengan nada memaksa.
PLAK!
Raline memberanikan diri melawan Gavin dan menampar wajah lelaki yang kurang ajar kepadanya.
Tap!!
Gavin mencengkram hebat kedua tangan Raline setelah tangan gadis itu menamparnya. Gadis bertubuh mungil itu meringis kesakitan.
“Lepaskan aku, Vin!” Bentak Raline berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman lelaki itu, “Kamu tidak bisa melakukan itu kepada semua perempuan. Dan maaf aku bukan gadis seperti itu! Please, biarkan aku pergi,” maki Raline menolak mentah-mentah, perlakuan Gavin.
Melihat wajah Raline yang ketakutan, Gavin pun melepaskan tangannya. Setelah Gavin melepaskan cengkramannya gadis itu pun berlari sekencang-kencangnya. Raline pergi begitu saja meninggalkan Gavin yang tak henti menatap kepergiannya. Rasa penasaran di benak Gavin mulai bergejolak.
"Ck … Gadis itu. Bisa-bisanya menolakku seperti tadi." Gerutu Gavin.
“Sayang sekali, padahal kamu sudah tegang sekali pasti.” Ajak Gavin berbicara ke bawah. Menatap ke arah mahkota lelakinya. "Apa kamu mesum?" tanya Gavin sambil terkekeh, mengingat ucapan Raline yang membuatnya terngiang.
***
Di dalam bus menuju pulang ...
Duduk di dalam bus menatap ke arah jalan yang sedang macet membuat Raline teringat akan kelakuan Gavin di perpustakaan tadi. Lelaki yang dicap Raline mesum karena memintanya untuk melakukan hal gila di sekolah.
"Argh! Dasar lelaki mesum. Bisa-bisanya dia melakukan itu, dan mengira semua perempuan mau dengannya?!?” Raline menggerutu sendiri saat memikirkannya.
Raline mencoba melupakan kejadian tadi, dengan cara menyandarkan kepalanya di kaca bus yang tertutup. Memejamkan sejenak matanya, dari bayang-bayang Gavin.
Brum … Brum … Brum!!
Suara nyaring dari knalpot motor, trdengar di telinga Raline. Mengganggu, dan memekakkan telinga siapapun yang berada di dekatnya. Apalagi, motor sport itu berhenti tepat di samping bus. Mood Raline yang sudah buruk, menjadi semakin parah.
"Suara motor siapa, sih?!" seru Raline sambil mencari-cari asal suara bising. "Argh! Bising banget, sih!" Raline semakin gusar mendengar suara knalpot motor sport yang berada di samping bus.
Seketika muncul ide Raline untuk mengambil tutup bolpoin dari dalam tas. Rencana untuk mengerjai pemilik motor yang sudah mengganggu pengguna jalan lain, terutama dirinya karena membuat kebisingan di jalan. Gadis itu mengambil ancang-ancang untuk melemparkan tutup bolpoin.
Tuk!! tutup bolpoin itu tepat mengenai helm si pengguna motor besar. Yes, kena!” seru Raline puas.
Pengguna motor itu akhirnya sadar dan mencari siapa pelaku pelemparan tutup bolpoin. Apalagi benda kecil itu mengenai helm mahal kesayangannya. Lelaki pengguna motor sport itu membuka kaca helmnya.
Ternyata pengguna motor itu adalah Gavin. Sampai akhirnya, lelaki itu menatap ke jendela dalam bus yang berada di samping motornya.
Raline yang tidak sadar jika pengguna motor itu adalah Gavin, menatap dengan berani si pengguna motor dengan wajah kesal.
“Astaga, Gavin?!” pekik Raline tidak menyangka jika yang ditimpuknya adalah Gavin.
Bola mata Raline membulat penuh dan langsung membuang jauh pandangan dari Gavin. Seolah-olah buka dirinya pelaku yang dicari si korban pelemparan tutup bolpoin.
Malah Gavin malah terlihat acuh saat sadar pelaku usil itu adalah Raline dari dalam bus. Bahkan ia seperti tidak mengenali gadis di dalam bus.
Saat lampu hijau menyala, Gavin langsung menancap gas motornya dengan laju cepat.
***
Sesampainya di rumah Raline.
Dengan langkah lesu Raline memasuki rumahnya. "Raline pulang, Ma ...."
Mendengar suara sang putri semata wayang pulang, Laura langsung beranjak dari dapur. Kemudian langsung menemui anak gadisnya.
"Hai cantiknya Mama … " Sapa Laura bahagia melihat anaknya pulang dari sekolah. “Baru, pulang?” tanya Laura sambil merentangkan tangannya meminta pelukan.
Raline memberikan kecupan kepada sang Mama yang on point dengan riasan di wajah. "Ih, kok anak gadis mama bau keringat sih? Pulang naik bus lagi?" tanya Laura menutup hidungnya.
"Daripada naik taksi, buang-buang duit? Mending uangnya ditabung buat kita kabur dari sini." Jawab Raline sambil masuk ke dalam kamarnya.
“Hush ... Jangan bilang gitu dong? Nanti kalau ada yang dengar kita bisa kena denda lagi. Nambah denda dan hutang aja, kamu.” Tegur Laura halus. Laura langsung mengamati keadaan sekitar. Lalu kemudian menutup pintu kamar.
Raline hanya terdiam sambil melepaskan seragam sekolahnya. Merebahkan sejenak tubuhnya, Raline mulai kelelahan setelah seharian sekolah. Belum lagi, ia harus mengambil tugas paruh waktu untuk merapikan perpustakaan dan dibayar oleh pihak sekolah.
Laura tidak tahu jika anak gadisnya itu mengambil pekerjaan sampingan untuk menabung. Raline bekerja keras, agar bisa cepat lulus sekolah dan bekerja tetap untuk membebaskan keluarganya dari cengkraman Mami Monalisa. Serta bisa meninggalkan kampung seksi
Dimana kampung seksi adalah sebuah nama sebuah komplek yang diubah menjadi hunian para pekerja seks komersial kelas atas. Bahkan penguasa kampung seksi, itu adalah seorang germo wanita bernama Monalisa. Atau lebih dikenal dengan panggilan, Mami Lisa.
"Raline, ingat ya? Jangan lupa wajahmu saat keluar dari rumah. Mama pergi dulu, makanan kesukaanmu sudah mama sediakan di atas meja ya …," pamit Laura.
"Ma, tunggu!" panggil Raline.
Raline beranjak dari tempat tidur dan memeluk Laura erat.
"Maafin Raline, belum bisa membawa Mama dan Tante Maria keluar dari sini. Raline janji akan lulus sekolah dengan nilai terbaik. Raline akan langsung mencari pekerjaan agar bisa membawa kalian berdua pergi dari kampung sialan ini," ujar Raline dengan yakin.
"Sudahlah jangan terlalu membebani pikiranmu lagi. Jangan buat pengorbanan Mama menjadi sia-sia. Masa depanmu jauh lebih penting, kamu cukup belajar yang rajin. Raih cita-citamu sendiri," bujuk Laura sambil memeluk Raline. “Kalau begitu, Mama pergi dulu. Jangan lupa makan dan belajar. Ingat, wajah cantikmu ini harus terus kamu tutupi. Demi kebaikanmu dan masa depanmu.” Laura mengecup pucuk kepala Raline penuh kasih sayang.
Laura keluar dari rumah meninggalkan Raline untuk bekerja. Pekerjaan yang dibenci oleh Raline. Menemani para lelaki hidung belang. Laura akan menggantikan shift Maria. Sahabat terbaik, sekaligus wanita yang sudah dianggap Tante oleh Raline.
******
"Aku akan menjaga Raline segenap jiwa, bayi mungilku tumbuh dengan sangat cantik setiap harinya. Aku akan melakukan apa saja, untuk menjauhkan Raline dari Mami Lisa …. " *** CLUB HOUSE MONALISA. Saat Laura memasuki room pandangannya tertuju kepada Maria yang tengah terkapar. Terlihat kalau Maria tengah dalam keadaan mabuk berat. "Maria, ayo bangun!" mohon Laura sambil mengguncang tubuh Maria. “Tolong antarkan Maria pulang dan jangan coba-coba ambil kesempatan dengan keadaannya sekarang!" pintanya sambil mengingatkan anak buah Mami Lisa. “Kamu ini suka sekali mengatur. Mentang-mentang kesayangan Mami Lisa.” Protes bodyguard bernama Derek dengan rambut plontosnya. “Janga
Ups! Decak Aletta sengaja menubruk tubuh Raline. “Hahaha!" Gelak tawa siswa-siswi lain riuh menertawakan si cupu nan malang Raline. Bukannya membantu malah yang lain ikut-ikutan melempari Raline dengan kertas sembari merutuki gadis itu. Aletta membungkukkan tubuhnya dan berbisik ke telinga Raline. “Awas aja, kalau kamu menyebarkan kejadian kemarin. Aku nggak segan-segan berjanji akan membuatmu kehilangan beasiswa disini. Bahkan bisa saja di semua sekolah. Ingat, dimanapun!” gertak Aletta yakin. “A-aku tidak akan memberitahukan kejadian kemarin. Tidak ada untungnya juga untukku,” jawab Raline terbata-bata. “Good girl. Tidak salah kamu dikenal dengan sebutan cupu!" Aletta menata
Gavin memiringkan senyumnya dengan tatapan tajam mengarah ke wajah Raline. Saat Gavin melangkahkan kakinya, sontak membuat Raline memundurkan posisinya menjauh. "K-kamu mau apa? Jangan macam-macam. Dasar otak mesum!" Ancam Raline dengan tubuh yang gemetaran. Gavin tidak menanggapi ancaman dari Raline. Sedangkan yang ada dipikiran Raline sekarang adalah bagaimana caranya, bisa keluar dari kamar mandi sekolah. “Buka pintunya, Vin. Aku mau pulang,” pinta Raline datar. “Jawab dulu pertanyaanku, apa kamu menyukaiku?” tanya Gavin penasaran. “Pft! Suka? Hahaha …." Raline tertawa mendengar pertanyaan dari Gavin.
Belum sempat Raline berterima kasih, Devin sudah berada di depan bersiap untuk turun dari bus. Tidak lama bus kembali melaju, Raline merasakan ada yang mengganjal di atas tempat duduknya. Raline mengambil sesuatu yang mengganjal dengan tangannya. Sebuah buku tulis, dengan sampul polos. Raline membuka halaman awal, dan mendapati nama Devin, tertera di halaman awal. "Astaga, rupanya Devin ketinggalan buku disini," decak Raline khawatir. Karena Devin sudah turun terlebih dahulu dari bus, Raline memutuskan akan menyimpan buku tersebut sampai besok. Dan akan mengembalikannya besok disekolah. Perlahan Raline mencermati tulisan yang berjajar dengan rapi di buku milik Devin. "Tulisannya saja rapi. Enak dibaca. Sudah tampan dan pintar lagi," puji Raline membac
Keesokan harinya.Raline bersiap seperti biasa. Mengubah wajah cantiknya menjadi jelek, sebelum keluar dari rumah. Lalu mengenakan seragam sekolah. Raline yang tengah berada sendirian di rumah, tidak sempat sarapan karena sudah hampir terlambat sekolah. Sudah biasa bagi Raline bangun tidur tidak melihat siapapun di rumahnya. Menyiapkan segala sesuatu sendirian, bagi Raline adalah hal mudah. Terlahir dengan perhatian dan pengertian yang baik, membuat Raline mengerti akan perjuangan Ibunya.Setelah semua sudah beres, Raline berjalan menuju halte. Dengan langkah cepat Raline mengejar waktu agar tidak melewatkan gerbang yang segera tertutup dalam hitungan 30 menit lagi.
Perawat membuka pintu yang bertuliskan nama Dr. Daniel Aksara. Laura mengangguk segan dan menebar senyum kepada perawat yang sudah membukakan pintu untuknya. Sikap urakan Laura masih kental, saat berada ditengah orang banyak. Perlahan Laura masuk ke dalam ruangan, dan langsung duduk tanpa permisi kepada dokter yang tengah berdiri menghadap nakas di belakang meja kerja. "H-halo, Dok." Sapa Laura bingung. Dokter yang berperawakan tinggi besar itu berbalik badan, untuk melihat pasien yang akan diperiksanya. Brugh! Laura langsung terperanjat saat
RUMAH SAKIT MEDIHEALTHRaline dan Laura tengah mengantri untuk membeli obat. Setelah Laura selesai melakukan pemeriksaan, Raline ikut mendengar hasil diagnosa kesehatan Laura."Mulai sekarang Mama jangan suruh Raline makan, tapi Mama sendiri harus teratur makan." Pesan Raline mengingatkan Laura. "Mama juga harus kurangi minum bagaimanapun juga. Bukan Raline mengatur, tapi ini demi kesehatan Mama." Sambung Raline memperingatkan Laura, yang mengidap maag akut.Sudah menjadi hal biasa Laura hidup tidak teratur selama ini. Sejak dulu, dirinya lebih banyak mengkonsumsi alkohol dibandingkan makanan. Baginya dengan tidak sada
"Ma, ayo bangun." Sudah beberapa kali Raline membangunkan Laura namun tak kunjung berhasil. Dari luar kamar, akhirnya Raline memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. "Pulas sekali, tidurnya? Pakai senyum-senyum segala lagi," gumam Raline. Raline membangunkan Laura lagi, perlahan agar tidak mengejutkan Mamanya itu. Duduk di sisi ranjang, Raline tampak mengamati wajah Laura yang masih sangat cantik. Hoam … Laura terbangun sambil menggeliat. "Eh, Raline?" Laura terkejut dengan keberadaan anak gadisnya. "Ayo sebentar lagi Mama telat," ucap Raline mengingatkan.
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :) Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini. Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain. Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak
"Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh sekalipun bisa hilang dari pandangan mata ...."***Satu tahun kemudian ….Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devin. Ia mencium bibir Raline dengan paksa. Berhasil wanita itu membalas dengan tamparan keras di wajah adik dari Gavin. Selama ini dia sangat mempercayai Devin. Tetapi sekarang semua kepercayaan itu hancur lebur."Kamu keterlaluan, Dev! Jadi semua itu kamu penyebabnya, huh!? Aku tidak menyangka kamu sejahat itu ternyata."Raline tidak menyangka jika semua yang terjadi adalah ulah Devin dan Lucy. Hubungan dia bersama Gavin hancur karena dengan sengaja lelaki itu mengadu domba keduanya sampai berpisah seperti sekarang.&nbs
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Laura terus membujuk Raline untuk menerima tawaran pemilik agensi model itu. Bahkan Raline kebingungan menolak tawaran itu saat Gasari memintanya lagi untuk menjadi model.“Ini bakal jadi pengalaman baru buat kamu. Siapa tahu uangnya bisa kamu tabung dan lanjut untuk kuliah. Daripada kamu di rumah terus, Nak. Coba baca dulu kontraknya, terus kamu bisa terima tawaran untuk berkunjung ke kantor agensi itu. Mama temani nanti, deh, ya?” bujuk Laura antusias.Dia juga sebenarnya tidak tega melihat anak kesayangannya itu hanya di rumah seperti dirinya tanpa memiliki aktivitas lain. Hanya Maria yang bekerja. Meski sebenarnya, Laura memiliki uang simpanan pemberian Gavin yang dirahasiakan olehnya dari Raline. Sepeserpun kartu gold pemberian dari menantunya itu tidak pernah disentuh olehnya.
Tiga puluh hari kemudian.Raline tinggal bersama Laura dan Maria. Sudah satu bulan wanita itu pergi dari rumah keluarga Gavin. Sebenarnya Raline ingin pergi dari rumah pemberian suaminya, namun Jamal sudah mewanti-wanti agar tidak perlu meninggalkan hunian mereka sekarang. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Raline saat ini, sudah atas nama dia sendiri.Laura dan Maria sampai detik ini tidak tahu kenapa anak kesayangan mereka itu pergi meninggalkan Gavin dan malah tinggal bersama-sama sekarang.Raline berubah menjadi lebih pendiam dan suka berada di dalam kamar setelah keluar dari kediaman mertuanya. Bahkan, tidak jarang dia bisa tahan seharian penuh tidak keluar dari kamar. Laura sempat khawatir, tapi selalu saja Raline bisa berkilah kalau dia akan baik-baik saja.
Raline terikat kedua tangannya salah satu tiang kamar. Gavin menyesapi setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tertinggal. Kissmark di leher, dan bekas gigitan membekas di sela paha wanita itu. Ia terperanjat akan sentuhan kasar Gavin yang berada di titik intimnya. Tubuh putih itu sekarang tidak mulus karena lelaki itu menodainya dengan bekas-bekas kegilaannya.Disuruhnya paksa wanita itu menggeliat seksi. Gavin memperlakukan Raline sudah seperti wanita bayaran. Rasa trauma itu kembali muncul. Dia tidak menyangka di dalam hidupnya jika Gavin yang memperlakukannya seperti ini. Kasar dan brutal. Tubuhnya sudah tidak tahan akan kegilaan lelaki itu. Desahan, rintihan tidak hentinya lolos.Pandangan Raline sudah buram. Dia memang bergairah dan sudah mencapai puncak dua kali, namun lelaki itu tidak kunjung menuntaskannya. Malah Gavin hanya menjadikannya tonto
Raline terperanjat setiap kali Gavin mencumbu setiap inci tubuhnya dengan brutal dan kasar. Setitik kristal bening keluar di sudut mata Raline yang tertutup rapat. Saat mata itu terbuka, ia seakan memohon pada Gavin agar berhenti menyiksanya.Tangan Gavin meremas kasar dada Raline tanpa ampun yang masih tertutup bra namun terlihat berantakan. Wanita itu sudah basah dibawah sana, tapi dia tidak merasakan kehangatan sama sekali akan sentuhan yang diberikan Gavin. Lelaki itu menyiksa tubuhnya kasar.“Emmpphh!” rintih Raline. Dia membuka matanya yang sudah sayu berusaha menatap dan memelas belas kasih di mata Gavin. Namun, tidak ada pandangan hangat lagi di mata sang suami. Air mata jatuh tak tertahan lagi. Raline menangis sekarang.Setelah puas membasahi tubuh Raline dengan salivanya
Sesampainya Gavin di rumah, suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pengawal yang tengah berjaga di kediaman Yudistoro. Tuan besar di rumah itu pun sedang tidak berada di tempat.Gavin turun dari mobil dengan amarah yang tertahan. Rahangnya mengeras dengan penampilannya yang berantakan. Darah masih bersimbah di jari tangan suami dari Raline itu.Gavin terlebih dahulu mencuci tangannya di kamar dia sebelumnya. Lelaki itu enggan masuk ke dalam kamarnya bersama Raline. Dia sangat gusar dan dalam keadaan tidak baik.Sebisa mungkin Gavin menghindari bertemu dengan istrinya. Dilepasnya kemeja putihnya dan meminum banyak air putih yang baru saja dibawakan oleh pekerja di rumahnya.Membasuh wajah dan rambutnya, Gavin berdiri di depan cermin kamar mandi sambi
"Kamu tunggu disini," pinta Gavin pada Jamal."Baik, Tuan." Jamal berdiri di depan pintu gudang dan menurut saja atas perintah Gavin.Dengan langkah berat, Gavin masuk ke dalam gudang yang temaram. Hanya ada lampu yang menyala tepat di bawah Edd tengah disekap mulutnya. Ada dua pengawal yang berjaga di samping kiri dan kanan.Gavin memberi isyarat dengan mengibaskan tangan pada dua pengawalnya yang berjaga standby. Mereka pergi karena bos mudanya meminta untuk pergi. Tinggallah Gavin sendiri bersama Edd.Edd dalam keadaan tertidur saat ini. Mulutnya dibekap lakban berwarna hitam. Wajahnya terlihat memar di beberapa sudut. Edd melawan saat dibawa paksa oleh dua pengawal Gavin ke gudang ini. Belum hilang bekas pukulan Devin saat itu, sekarang wajah