Gavin memiringkan senyumnya dengan tatapan tajam mengarah ke wajah Raline. Saat Gavin melangkahkan kakinya, sontak membuat Raline memundurkan posisinya menjauh.
"K-kamu mau apa? Jangan macam-macam. Dasar otak mesum!" Ancam Raline dengan tubuh yang gemetaran.
Gavin tidak menanggapi ancaman dari Raline.
Sedangkan yang ada dipikiran Raline sekarang adalah bagaimana caranya, bisa keluar dari kamar mandi sekolah. “Buka pintunya, Vin. Aku mau pulang,” pinta Raline datar.
“Jawab dulu pertanyaanku, apa kamu menyukaiku?” tanya Gavin penasaran.
“Pft! Suka? Hahaha …." Raline tertawa mendengar pertanyaan dari Gavin.
Namun saat Raline lengah karena tertawa, Gavin malah mendorong tubuh Raline ke tembok. Lalu mengunci tubuh gadis itu dengan kedua tangannya. Jelas membuat Raline tidak bisa berkutik, karena posisinya sudah terpojok dan terhimpit.
“Kenapa kamu malah tertawa?” cecar Gavin menatap tajam wajah Raline dari dekat.
Deg! Jantung Raline seakan terhenti dalam sekejap.
Bagaikan dihantam sebuah masalah besar sekarang. Tubuhnya terasa lemas dikungkung oleh Gavin. Namun Raline berusaha untuk tidak tunduk dari seorang lelaki yang suka mempermainkan perempuan.
“Kamu sepertinya tidak sadar kalau ini masih lingkungan sekolah ya? Bisa-bisanya mainin cewek sembarangan,” kecam Raline.
Gavin tersenyum manis menatap lekat Raline. “Apa kamu penasaran dengan apa yang aku lakukan barusan? Mau mencobanya denganku?” goda Gavin dengan gaya alis kanannya yang terangkat.
"Sepertinya kamu terlalu percaya diri. Mungkin kamu pikir aku tertarik denganmu, ya? Dasar lelaki bodoh," sentak Raline dengan yakin. "Tidak semua perempuan mau dibodoh-bodohi olehmu, Vin. Jadi percuma saja, caramu ini tidak berlaku untukku. Minggir!"
Seolah mendapat kekuatan, Raline mendorong tubuh Gavin menjauh. Bahkan setiap tatapan dari Gavin, dibalas tatap oleh Raline tanpa rasa takut lagi. Gadis itu beranjak membuka kunci kamar mandi, tanpa memperdulikan Gavin.
Merasa tertampar karena mendapat penolakan dari Raline, membuat Gavin marah dan kesal. "Apa yang kurang dariku? Aku tampan, kaya, bertubuh tinggi, bahkan ABS ku sempurna!" ucap Gavin membanggakan diri.
Mendengar teriakan Gavin, Raline mendadak mengurungkan niat keluar dari kamar mandi.
"Sayangnya, aku tidak tertarik dengan apa yang kamu miliki-." Raline menolak semuanya mentah-mentah.
Semakin kesal, Gavin tidak tinggal diam. Tangannya mencengkram tangan Raline dengan kuat. Gavin menghalangi kepergian gadis itu dan menariknya lagi ke dalam.
"Sebutkan apa yang kamu mau, aku bisa wujudkan itu." Tandas Gavin.
Raline seketika terdiam. Pikirannya seakaan berkecamuk tanpa arah.
Sedangkan Gavin malah terpesona dengan wajah Raline saat ditatap dengan jarak yang cukup dekat. Rasa penasaran seorang Gavin semakin memuncak. Belum lagi, bibir ranum Raline begitu menggoda. Meskipun tertutup riasan palsu, namun Gavin bisa melihat jelas kecantikan seorang Raline.
Sial! Bisa-bisanya aku gemetaran seperti ini? Batin Gavin.
"Mau aku cuma satu. Anggap saja kamu tidak pernah melihatku. Bahkan saat kita bertemu, dimanapun." Jawab Raline dengan mantap. "Aku pun akan begitu. Apa yang aku lihat, akan aku anggap itu tidak ada. Jadi, kita impas. Rahasiamu dan rahasiaku. Jelas?" Raline menekankan lagi apa yang terjadi diantara mereka berdua. Tentang kelakuan mesum seorang Gavin dengan banyak perempuan. Dan rahasia wajah Raline yang diketahui oleh Gavin.
Raline mengebaskan cengkraman tangan Gavin dengan keras. "Kita impas. Jadi mulai sekarang anggap saja aku tidak ada disekitarmu," sentak Raline dengan tatapan benci. Langkahnya terasa yakin untuk menjauh dari Gavin dan keluar dari kamar mandi sekolah.
Mata Gavin membulat penuh. Sekarang gilirannya yang tidak bisa berkutik dari Raline. Gavin membiarkan Raline pergi tanpa perlawanan. Tangan Gavin mengusap kasar wajah dan rambutnya dengan gusar.
"Apa dia barusan mengancamku,” gumam Gavin berbicara dengan dirinya sendiri. “Ahahaha!” Tawa Gavin pecah seketika. Gavin baru sadar jika, dirinya dikalahkan oleh gadis cupu bernama Raline. Bahkan ditolak mentah-mentah. Bukannya marah. Malah membuat seorang Gavin semakin penasaran dibuatnya.
Gavin bergegas keluar mencari Raline, namun tidak lagi menemukannya di sekitar sekolah.
***
HALTE BUS.
Raline tengah duduk menanti kedatangan bus. Dengan wajah lesu, Raline menyandarkan kepalanya di tiang halte. “Argh! Sial banget sih hari ini ….” Raline menggerutu kesal saat mengingat kejadian bersama Gavin.
Gadis itu tidak sadar, jika banyak mata yang memandang tingkahnya di halte. Ada yang berbisik bahkan ada yang menertawakan Raline. Namun gadis itu terlihat cuek dan merutuki dirinya sendiri.
Ckitt …
Bunyi suara rem bus memecah keriuhan halte. Sebuah bus berwarna biru berhenti tepat di depan halte. Semua penumpang yang sudah menunggu, berebut masuk ke dalam bus, untuk mendapatkan tempat duduk. Tidak terkecuali Raline. Sialnya bus sudah banyak terisi penumpang dari halte sebelumnya. Tentu saja, Raline tidak kebagian tempat. Karena sudah terjebak, mau tidak mau Raline menyelinap di sela-sela banyaknya penumpang bus yang berdiri sambil memegang handgrip bus.
Pasrah. Raline benar-benar pasrah harus berdempetan lagi dengan penumpang lain. Yang memang banyak digunakan para pelajar dan mahasiswa. Sampai akhirnya Raline berdiri di belakang bus sambil memegang handgrip yang tersisa. Dengan susah payah, Raline berdiri tegak agar tidak bersentuhan dengan penumpang yang rata-rata adalah lelaki. Jelas akan bahaya bagi Raline yang berdesakan dengan banyak lelaki dalam satu bus.
Tidak lama bus kembali melaju. Raline mencari posisi berdiri yang pas. Saat menghadap ke arah samping, pandangan lelah Raline tiba-tiba berubah seketika. Sebuah pandangan yang sejuk muncul di matanya. Sosok seorang lelaki yang diidolakan Raline. Lelaki yang terkenal dengan prestasi yang sangat banyak di sekolahnya.
Sosok lelaki yang diidolakan Raline itu, tengah duduk di bangku bus belakang, sambil memegangi buku di tangannya. Menggunakan kacamata, dengan pakaian rapi. Wajah putih dan raut mata yang fokus menatap buku yang dibacanya seakan menghipnotis Raline. Bak mendapatkan air saat berada di tengah gurun, Raline terpesona akan seorang lelaki bernama Devin.
Gadis itu tidak lagi memperhatikan banyaknya orang yang tengah berdesakan. Belum lagi bus yang melaju dengan jalan yang tidak mulus. Hingga membuat Raline hampir saja terjatuh di tubuh penumpang lain.
Raline terus saja memandangi Devin diam-diam. Sampai akhirnya Devi menutup bukunya, dan menemukan pandangan ke arah Raline.
Sontak Raline membuang wajahnya, agar tidak terlihat oleh Devin. Namun tidak dengan Devin. Lelaki yang memakai seragam sekolah yang sama dengan Raline, tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Lalu meletakkan tasnya agar tempatnya aman. Devin berdiri menyelinap, dan menarik tangan Raline yang berada tidak jauh dengannya.
Raline terkejut akan sikap Devin.
Dengan wajah datarnya, Devin meminta Raline untuk duduk di tempatnya. “Duduklah di sana, sebelum diambil orang lain.” Ujar Devin sambil mendorong tubuh Raline perlahan agar duduk di tempatnya tadi.
Setelah Raline duduk, Devin langsung mengambil tasnya lalu meminta bus untuk berhenti.
Belum sempat Raline berterima kasih, Devin sudah berada di depan bersiap untuk turun dari bus. Tidak lama bus kembali melaju. Raline merasakan ada yang mengganjal di atas tempat duduknya.
*****
Belum sempat Raline berterima kasih, Devin sudah berada di depan bersiap untuk turun dari bus. Tidak lama bus kembali melaju, Raline merasakan ada yang mengganjal di atas tempat duduknya. Raline mengambil sesuatu yang mengganjal dengan tangannya. Sebuah buku tulis, dengan sampul polos. Raline membuka halaman awal, dan mendapati nama Devin, tertera di halaman awal. "Astaga, rupanya Devin ketinggalan buku disini," decak Raline khawatir. Karena Devin sudah turun terlebih dahulu dari bus, Raline memutuskan akan menyimpan buku tersebut sampai besok. Dan akan mengembalikannya besok disekolah. Perlahan Raline mencermati tulisan yang berjajar dengan rapi di buku milik Devin. "Tulisannya saja rapi. Enak dibaca. Sudah tampan dan pintar lagi," puji Raline membac
Keesokan harinya.Raline bersiap seperti biasa. Mengubah wajah cantiknya menjadi jelek, sebelum keluar dari rumah. Lalu mengenakan seragam sekolah. Raline yang tengah berada sendirian di rumah, tidak sempat sarapan karena sudah hampir terlambat sekolah. Sudah biasa bagi Raline bangun tidur tidak melihat siapapun di rumahnya. Menyiapkan segala sesuatu sendirian, bagi Raline adalah hal mudah. Terlahir dengan perhatian dan pengertian yang baik, membuat Raline mengerti akan perjuangan Ibunya.Setelah semua sudah beres, Raline berjalan menuju halte. Dengan langkah cepat Raline mengejar waktu agar tidak melewatkan gerbang yang segera tertutup dalam hitungan 30 menit lagi.
Perawat membuka pintu yang bertuliskan nama Dr. Daniel Aksara. Laura mengangguk segan dan menebar senyum kepada perawat yang sudah membukakan pintu untuknya. Sikap urakan Laura masih kental, saat berada ditengah orang banyak. Perlahan Laura masuk ke dalam ruangan, dan langsung duduk tanpa permisi kepada dokter yang tengah berdiri menghadap nakas di belakang meja kerja. "H-halo, Dok." Sapa Laura bingung. Dokter yang berperawakan tinggi besar itu berbalik badan, untuk melihat pasien yang akan diperiksanya. Brugh! Laura langsung terperanjat saat
RUMAH SAKIT MEDIHEALTHRaline dan Laura tengah mengantri untuk membeli obat. Setelah Laura selesai melakukan pemeriksaan, Raline ikut mendengar hasil diagnosa kesehatan Laura."Mulai sekarang Mama jangan suruh Raline makan, tapi Mama sendiri harus teratur makan." Pesan Raline mengingatkan Laura. "Mama juga harus kurangi minum bagaimanapun juga. Bukan Raline mengatur, tapi ini demi kesehatan Mama." Sambung Raline memperingatkan Laura, yang mengidap maag akut.Sudah menjadi hal biasa Laura hidup tidak teratur selama ini. Sejak dulu, dirinya lebih banyak mengkonsumsi alkohol dibandingkan makanan. Baginya dengan tidak sada
"Ma, ayo bangun." Sudah beberapa kali Raline membangunkan Laura namun tak kunjung berhasil. Dari luar kamar, akhirnya Raline memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. "Pulas sekali, tidurnya? Pakai senyum-senyum segala lagi," gumam Raline. Raline membangunkan Laura lagi, perlahan agar tidak mengejutkan Mamanya itu. Duduk di sisi ranjang, Raline tampak mengamati wajah Laura yang masih sangat cantik. Hoam … Laura terbangun sambil menggeliat. "Eh, Raline?" Laura terkejut dengan keberadaan anak gadisnya. "Ayo sebentar lagi Mama telat," ucap Raline mengingatkan.
"Kalian pernah dengar, tentang anak lelaki yang bunuh diri di atas gak? Dia habis meratapi kesalahannya, lalu bunuh diri disana. Kalian yakin mau ke atas?" Raline semakin mendalami aktingnya. Bahkan terlanjur hiperbola.Pft!Tiba tiba ada suara dari atas tengah menahan tawa. Suara itu menggema dan terdengar mengerikan. Sontak gerombolan adik kelas itu berlarian kocar-kacir saat mendengar suara yang muncul dari atas.Setelah semua berlarian, Raline masih berdiri di anak tangga. Bulu kuduknya malah ikut-ikutan merinding saat melihat ke lantai atas."Ish! Kenapa aku malah jadi ikut-ikutan takut?" gumam Raline memeluk tubuhnya sendiri. Tak ingin berlama-lama, Raline langsung kembali turun sebe
Menunggu kedatangan Devin, malah membuat Raline sempat-sempatnya tertidur dengan posisi kepala di atas meja. Buku pun masih berserakan di atas meja. Raline memang gampang tertidur saat kepalanya bersandar di tempat yang bisa membuatnya nyaman.Setengah jam kemudian …Raline masih tertidur di perpustakaan, namun saat ini bukan Devin yang berada di hadapan Raline. Melainkan Gavin yang tengah menatap ke arah Raline. Gavin menopang wajahnya dengan tangan kanan. Sudah hampir 10 menit Gavin berada di depan Raline. Memandang sambil melamun memikirkan sesuatu tentang gadis yang membuatnya penasaran ingin memiliki Raline."Jelek, t
Tik … Tik … Tik …Suara hujan memecah suasana di dalam toko buku, yang sekaligus menjual berbagai macam accesories musik. Sontak suara riuh hujan di luar, membuat Devin mengalihkan pandangan ke arah luar. Mendung dan hujan yang perlahan mulai deras turun dengan tiba-tiba."Yah, hujan?" Devin merasa sedikit kecewa dengan suasana yang tiba-tiba turun hujan.Raline yang melihat ekspresi Devin langsung melepas headphone nya. "Ada apa?" tanya Raline khawatir melihat perubahan eks
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :) Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini. Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain. Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak
"Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh sekalipun bisa hilang dari pandangan mata ...."***Satu tahun kemudian ….Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devin. Ia mencium bibir Raline dengan paksa. Berhasil wanita itu membalas dengan tamparan keras di wajah adik dari Gavin. Selama ini dia sangat mempercayai Devin. Tetapi sekarang semua kepercayaan itu hancur lebur."Kamu keterlaluan, Dev! Jadi semua itu kamu penyebabnya, huh!? Aku tidak menyangka kamu sejahat itu ternyata."Raline tidak menyangka jika semua yang terjadi adalah ulah Devin dan Lucy. Hubungan dia bersama Gavin hancur karena dengan sengaja lelaki itu mengadu domba keduanya sampai berpisah seperti sekarang.&nbs
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Laura terus membujuk Raline untuk menerima tawaran pemilik agensi model itu. Bahkan Raline kebingungan menolak tawaran itu saat Gasari memintanya lagi untuk menjadi model.“Ini bakal jadi pengalaman baru buat kamu. Siapa tahu uangnya bisa kamu tabung dan lanjut untuk kuliah. Daripada kamu di rumah terus, Nak. Coba baca dulu kontraknya, terus kamu bisa terima tawaran untuk berkunjung ke kantor agensi itu. Mama temani nanti, deh, ya?” bujuk Laura antusias.Dia juga sebenarnya tidak tega melihat anak kesayangannya itu hanya di rumah seperti dirinya tanpa memiliki aktivitas lain. Hanya Maria yang bekerja. Meski sebenarnya, Laura memiliki uang simpanan pemberian Gavin yang dirahasiakan olehnya dari Raline. Sepeserpun kartu gold pemberian dari menantunya itu tidak pernah disentuh olehnya.
Tiga puluh hari kemudian.Raline tinggal bersama Laura dan Maria. Sudah satu bulan wanita itu pergi dari rumah keluarga Gavin. Sebenarnya Raline ingin pergi dari rumah pemberian suaminya, namun Jamal sudah mewanti-wanti agar tidak perlu meninggalkan hunian mereka sekarang. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Raline saat ini, sudah atas nama dia sendiri.Laura dan Maria sampai detik ini tidak tahu kenapa anak kesayangan mereka itu pergi meninggalkan Gavin dan malah tinggal bersama-sama sekarang.Raline berubah menjadi lebih pendiam dan suka berada di dalam kamar setelah keluar dari kediaman mertuanya. Bahkan, tidak jarang dia bisa tahan seharian penuh tidak keluar dari kamar. Laura sempat khawatir, tapi selalu saja Raline bisa berkilah kalau dia akan baik-baik saja.
Raline terikat kedua tangannya salah satu tiang kamar. Gavin menyesapi setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tertinggal. Kissmark di leher, dan bekas gigitan membekas di sela paha wanita itu. Ia terperanjat akan sentuhan kasar Gavin yang berada di titik intimnya. Tubuh putih itu sekarang tidak mulus karena lelaki itu menodainya dengan bekas-bekas kegilaannya.Disuruhnya paksa wanita itu menggeliat seksi. Gavin memperlakukan Raline sudah seperti wanita bayaran. Rasa trauma itu kembali muncul. Dia tidak menyangka di dalam hidupnya jika Gavin yang memperlakukannya seperti ini. Kasar dan brutal. Tubuhnya sudah tidak tahan akan kegilaan lelaki itu. Desahan, rintihan tidak hentinya lolos.Pandangan Raline sudah buram. Dia memang bergairah dan sudah mencapai puncak dua kali, namun lelaki itu tidak kunjung menuntaskannya. Malah Gavin hanya menjadikannya tonto
Raline terperanjat setiap kali Gavin mencumbu setiap inci tubuhnya dengan brutal dan kasar. Setitik kristal bening keluar di sudut mata Raline yang tertutup rapat. Saat mata itu terbuka, ia seakan memohon pada Gavin agar berhenti menyiksanya.Tangan Gavin meremas kasar dada Raline tanpa ampun yang masih tertutup bra namun terlihat berantakan. Wanita itu sudah basah dibawah sana, tapi dia tidak merasakan kehangatan sama sekali akan sentuhan yang diberikan Gavin. Lelaki itu menyiksa tubuhnya kasar.“Emmpphh!” rintih Raline. Dia membuka matanya yang sudah sayu berusaha menatap dan memelas belas kasih di mata Gavin. Namun, tidak ada pandangan hangat lagi di mata sang suami. Air mata jatuh tak tertahan lagi. Raline menangis sekarang.Setelah puas membasahi tubuh Raline dengan salivanya
Sesampainya Gavin di rumah, suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pengawal yang tengah berjaga di kediaman Yudistoro. Tuan besar di rumah itu pun sedang tidak berada di tempat.Gavin turun dari mobil dengan amarah yang tertahan. Rahangnya mengeras dengan penampilannya yang berantakan. Darah masih bersimbah di jari tangan suami dari Raline itu.Gavin terlebih dahulu mencuci tangannya di kamar dia sebelumnya. Lelaki itu enggan masuk ke dalam kamarnya bersama Raline. Dia sangat gusar dan dalam keadaan tidak baik.Sebisa mungkin Gavin menghindari bertemu dengan istrinya. Dilepasnya kemeja putihnya dan meminum banyak air putih yang baru saja dibawakan oleh pekerja di rumahnya.Membasuh wajah dan rambutnya, Gavin berdiri di depan cermin kamar mandi sambi
"Kamu tunggu disini," pinta Gavin pada Jamal."Baik, Tuan." Jamal berdiri di depan pintu gudang dan menurut saja atas perintah Gavin.Dengan langkah berat, Gavin masuk ke dalam gudang yang temaram. Hanya ada lampu yang menyala tepat di bawah Edd tengah disekap mulutnya. Ada dua pengawal yang berjaga di samping kiri dan kanan.Gavin memberi isyarat dengan mengibaskan tangan pada dua pengawalnya yang berjaga standby. Mereka pergi karena bos mudanya meminta untuk pergi. Tinggallah Gavin sendiri bersama Edd.Edd dalam keadaan tertidur saat ini. Mulutnya dibekap lakban berwarna hitam. Wajahnya terlihat memar di beberapa sudut. Edd melawan saat dibawa paksa oleh dua pengawal Gavin ke gudang ini. Belum hilang bekas pukulan Devin saat itu, sekarang wajah