"Winda…"Haru memenuhi udara. Winda menghambur ke dalam pelukan Mama, sementara Bang Arga menatap dengan mata memerah menahan tangis. Masih dapat kulihat dengan jelas binar cinta di matanya itu. Tapi Winda sama sekali tak berani menoleh. Dia hanya terus memeluk Mama."Mama…" Winda terisak-isak, tak sanggup bicara."Kamu sudah sembuh, Nak. Kemana saja kamu selama ini?""Emily dan Arfan yang menyembuhkan aku Ma.""Benarkah?" Mama menatapku. Aku hanya diam. Ucapan Winda barusan tidak terlalu tepat sebenarnya. Aku dan Mas Arfan hanya memberinya tempat untuk berobat. Dia lalu sembuh atas usahanya sendiri, dan bantuan para ustadzah di pesantren."Kamu cantik sekali pakai jilbab ini, Nak." Puji Mama. Winda melepaskan pelukan Mama, lalu perlahan menatap Bang Arga."Abang, aku kesini mau minta maaf. Sama Abang, sama Mama, dan terutama sama Emily. Aku sadar bahwa aku pernah membuat rumah ini kacau. Aku pernah membuat Abang dan Emi bertengkar. Aku sering membuat Mama bingung bersikap. Sungguh,
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 43Assalamu'alaikum Emily.Sebelumnya, aku ucapkan selamat atas pernikahanmu. Aku ikut bahagia karenanya. Tapi, aku juga mohon maaf karena harus pergi lagi. Aku datang hanya untuk memohon maaf atas kesalahan di masa lalu, padamu, pada Bang Arga dan juga Mama. Lega rasanya melihat kalian menyambutku penuh kasih sayang. Sungguh, aku tak pernah salah menilai keluargamu, keluarga yang penuh cinta. Keluarga yang dulu, selalu membuatku iri hingga bersikeras menyusup ke dalamnya dan membuatmu marah. Terimakasih karena kau sudah memaafkan aku.Dan kini, aku terpaksa memberi lagi alasan bagimu untuk membenciku. Emily, aku akhirnya tahu, bahwa aku bukan anak kandung keluarga Mamaku. Itulah alasan mereka selama ini membedakan aku dengan Kak Laura. Dan juga alasan diriku harus mendekam di rumah sakit jiwa, tempat yang pada akhirnya merenggut nyaris seluruh kewarasanku. Kalau bukan karena dirimu dan Mas Arfan, mungkin aku benar-benar telah menjadi orang gila yang berlaria
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 44"Selamat pagi semuanya."Suara Mas Ardan yang berwibawa membuat semua orang berhenti bicara, secara serempak menoleh pada kami yang kini berdiri di ambang pintu. Papa tersenyum lebar, langsung berdiri dan menyuruh kami duduk."Nah, masuklah pengantin baru. Papa sudah bertanya-tanya kapan Arfan membawa Emily pulang.""Pulang?" Suara protes Mama langsung terdengar."Tentu saja. Ini rumah kita, rumah Arfan. Dia dan istrinya selamanya akan selalu ditunggu untuk pulang."Mama bersungut-sungut mendengar kalimat Papa. Lelaki yang telah melewati usia setengah abad itu menghampiri Mas Arfan dan mereka bersalaman sambil saling memeluk. Diam-diam, aku bernafas lega. Setidaknya, ada orang yang waras disini. "Dan kamu Emily, duduklah. Papa ingin berbincang banyak denganmu."Suaranya begitu ramah. Aku ingat pada pertemuan pertama itu, meski beliau menanyakan kesediaan Mas Arfan untuk menikahi Laura, sang Papa tak menolak kehadiranku. Beliau menghormati keputusan Mas Arf
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 45Mas Arfan menyetir dengan kecepatan tinggi, menembus udara pagi menjelang siang. Kami seharusnya masih di rumahnya, menunggu waktu keberangkatan. Aku masih berharap hubunganku dengan Mamanya membaik. Bagaimana pun, aku akan menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi dengan kehadiran Erik yang sebelumnya tak pernah ku perkiraan, rasanya aku tak ingin lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Bagaimana bisa Mas Arfan yang dingin, kaku dan tak kenal perempuan, punya adik seperti itu?Aku hanya gadis biasa, yang sebelumnya tak mengenal pergaulan keluarga kaya yang menurutku mengerikan. Bangun tidur, berangkat kuliah lalu kerja, jalan jalan bareng Riana, bercanda dan bertengkar dengan Bang Arga. Sungguh hidup yang sangat biasa, tapi menyenangkan. Dan sepertinya, aku harus bersiap menghadapi hidup yang berbeda setelah menjadi bagian dari keluarga suamiku."Seperti itulah Mama dan Erik."Suara Mas Arfan getas. Aku tahu dia marah sekali. Entah bagaimana dia menghajar Erik t
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 46PoV LAURASeminggu lagi telah berlalu, dan nyaris setiap jam Ares meneror ku. Dia mulai mengirimkan nominal yang harus ku bayar, yang jumlahnya makin hari makin membuatku merasa tercekik. Lelaki itu benar-benar gila. Seandainya saja aku punya uang banyak, rasanya aku lebih baik membunuhnya saja daripada memberikan uang itu padanya.Membunuhnya? Astaga. Kenapa tidak kupikirkan itu sejak kemarin? Jadi aku tak perlu bingung dan bertingkah macam orang gila seperti ini, bingung mencari cara mendapatkan uang dalam waktu singkat. Sementara sampai saat ini Emily tak tersentuh. Arfan menempel pada nya seperti lem Korea. Lekat, dan tak terpisahkan. Erik hanya mampu memaki maki saja setiap kali kuhubungi. Dasar lelaki tak berguna.Aku bangkit dari kasur, memandang halaman yang luas dari jendela. Rumah yang kubangun dengan susah payah ini, tak akan pernah kurelakan untuk terjual. Aku melakukan apa saja untuk mewujudkan mimpiku, setara dengan para Sultan di luar sana. S
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 47PoV EMILYAku duduk memandang ikan ikan koi yang sepertinya semakin besar-besar saja padahal sepertinya belum lama aku datang kesini. Gemericik air yang turun dari air terjun kecil, yang kemudian memecah di atas batu batu hias terasa menenangkan. Pemandangan ini, mau tak mau mengingatkanku pada Winda, yang kini entah di mana.Pulang dari Puncak, aku dan Mas Arfan langsung pindah ke rumah ini setelah lebih dulu mampir ke rumah Mama. Mas Arfan nampaknya juga tak ingin lagi membawaku ke rumah orang tuanya, meski aku tahu dia masih berkomunikasi dengan Papa mertuaku dan Trisha melalui telepon. Tak sekalipun kudengar dia menyebut Mama dan Erik. Seburuk itu hubungan mereka, padahal mereka telah bersama lebih dari dua puluh tahun.Keluarga Mas Arfan, sangat berbeda dengan keluargaku yang penuh cinta. Karenanya, tak butuh waktu lama bagi Mas Arfan menyatu dengan Mama dan Bang Arga meski Bang Arga masih menyimpan sedih karena Winda pergi begitu saja.Winda. Entah di
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 48Rumah bagai terkena badai. Pintu depan terpentang lebar. Kursi bergelimpangan, tongkat baseball dan sapu ijuk tergeletak tak berdaya di samping meja kaca yang pecah. Dan yang membuat dadaku gemuruh adalah tetesan darah sepanjang pintu tengah hingga keluar, lalu hilang ditelan rumput Jepang. Tetesan darah yang setitik setitik itu tampaknya keluar dari luka gores yang tak terlalu dalam. Tapi tetap saja, rasanya akan sangat sakit. Oh Emily. Dia ternyata tidak tinggal diam, dia pasti memberi perlawanan pada siapapun yang mencoba menyerangnya. Seperti di kantor dulu. Tapi apalah daya seorang wanita bertubuh mungil, yang selama ini hidup damai dan penuh kasih sayang.Aku berlari masuk. Kutinggalkan Trisha di mobil, sementara Aditya masih menyisir rumah mencari petunjuk. Di kamar kerja, kukeluar kan sebuah tablet yang ku rahasiakan dari Emily, hanya agar tak membuatnya panik. Aku memasang kamera CCTV di pagar depan yang langsung ku sambungkan ke tablet itu. Tak sa
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 49"Apa yang kamu lakukan disini?!"Aku tegak sempurna, mundur, menjaga jarak darinya. Winda yang sepertinya tak tahu apa-apa ikut bingung, dia ikut mundur dan berdiri di sampingku. Sementara di hadapanku, berdiri seseorang yang sama sekali tak pernah kusangka.Raya."Emily, aku kesini untuk membantumu. Ayo kita pergi dari tempat ini sebelum Erik kembali."Raya berjalan hendak mendekat."BOHONG! Jangan coba-coba menipuku Ray. Dari mana kau kenal Erik?!"Raya menghentikan langkah. Mata hitamnya itu menatapku tak berkedip. Sementara aku masih dilanda kebingungan, kenapa dia ada disini? Apa sebenarnya yang terjadi? Temanku yang konyol dan suka menggodaku selama ini. Yang terang-terangan mengatakan kalau dia cinta sama aku. Temanku, yang tak disukai oleh Mas Arfan dan karenanya Mas Arfan selalu berusaha menjauhkan aku darinya."Aku lelaki Emily. Aku tahu arti tatapan lelaki pada lawan jenisnya. Dan aku tak suka anak itu, jauhi dia."Suara Mas Arfan kembali terngia