Nina masih membisu, seolah kata-kata yang telah menumpuk di kerongkongannya tak mampu keluar. Suara teriakan Marwah menggema lagi, lebih keras kali ini, “Nina?!” Namun, tetap tak ada respons. Amarah Marwah semakin memuncak. Tubuhnya bergerak cepat, tangan kanannya terangkat tinggi, siap menghukum Nina dengan satu tamparan lagi. Nina, yang tahu apa yang akan terjadi, memejamkan mata dan menahan napas, bersiap menerima hukuman itu.Aisha memalingkan wajah, tak sanggup melihat adiknya diperlakukan begitu, tapi tak berani melawan ibunya. Sementara itu, Ryan, yang menyaksikan segalanya dengan pandangan geram, tidak bisa lagi hanya diam. Dalam satu gerakan cepat, ia melangkah ke depan dan memegang pergelangan tangan Marwah, menghentikan tamparan yang hampir mendarat di wajah Nina."Tante boleh marah, tapi jangan dengan terus melukai anak sendiri," kata Ryan dengan nada tegas namun penuh rasa hormat. “Saya tahu apa yang Mbak Nina lakukan sangat fatal, bahkan tak termaafkan. Tapi memukul da
Tap tap tap. Ryan berjalan cepat, hampir berlari, mengejar Nina yang sudah berjalan jauh dari rumah. Langkahnya tergesa, sementara pikirannya dipenuhi kecemasan. Dari kejauhan, ia melihat sosok Nina semakin menjauh."Mbaaaak?" teriak Ryan, suaranya parau. Ia memanggil nama kecil Nina, berharap itu bisa menghentikannya. Namun Nina tetap melangkah, punggungnya tegak, enggan menoleh meskipun hatinya pasti remuk.Langkah Ryan semakin cepat dan dengan satu gerakan sigap tangannya berhasil meraih pergelangan Nina. Seketika, Nina menghentikan langkahnya. Ia menoleh perlahan, menatap Ryan dengan mata yang sudah penuh air mata. Pipinya basah, jejak kesedihan tak mampu ia sembunyikan. Melihatnya begitu, hati Ryan mencelos, semakin tak tega melihat gadis yang itu terluka begitu dalam.Entah apa yang salah dengan hatinya, tapi melihat Nina yang demikian, membuatnya tak tega."Huuhhh..." Ryan mengembuskan napas berat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tanpa banyak bicara, ia menarik Nina ke d
Ckiiittt…Dirga menghentikan mobilnya dengan halus di halaman rumah. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera keluar dari mobil dan berjalan cepat ke arah pintu penumpang di mana Nada terduduk.Ceklek."Ck... Aku bilang kan diem dulu," ucap Dirga saat melihat Nada sudah membuka pintu mobil lebih dulu sebelum ia sempat melakukannya."Cuma buka pintu mobil doang," balas Nada santai sambil turun. "Gak perlu dibukain segala. Aku bukan putri raja atau anak konglomerat,” tambahnya, berjalan perlahan menuju rumah.“Tapi kan kamu ratu di rumah ini, permaisurinya aku.” “Kalau begitu jangan biarkan si penggoda masuk dan hancurin istana kita.” “Pffttt … Kayak lagu,” jawab Dirga terkekeh pelan. “Ya emang, bakalan terjadi juga kalau kamu beneran masukin penggoda.” “InsyaAllah sekarang gak akan, Sayang,” jawab Dirga.“Nanti?” “Nanti juga gak akan. Pasti,” jawab Dirga. Ia langsung merangkul dan memapahnya. "Bisa jalan gak? Mau Mas gendong?" tawarnya dengan nada perhatian."Isshh... aku bukan lansia
Pukul 17.30 Marwah tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di depan pintu utama rumah. Raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran, sesekali ia melirik ke arah luar dengan harapan melihat sosok putrinya, muncul di ujung jalan. "Mah? Ngapain mondar-mandir di situ?" tanya Aisha dari arah tangga, suaranya lembut namun sedikit cemas. Ia segera berjalan mendekati ibunya, ikut merasakan kegelisahan yang tampak jelas di wajah Marwah. "Nina... Kok belum pulang, ya?" ucap Marwah dengan suara pelan, namun jelas penuh kekhawatiran. Ia teringat ucapannya tadi sore selepas adzan ashar, ketika ia secara tidak langsung mengusir Nina dalam emosi yang tak terkendali. Ada ketakutan besar di hatinya—takut kalau Nina menanggapi serius kata-katanya dan memilih untuk benar-benar tidak pulang. Marwah merasakan hatinya semakin berat dengan kecemasan itu. Aisha melihat jam dinding di ruang tamu, jarum pendek di jam tersebut berada di antara angka lima dan enam, sementara jarum panjang tepat di angka enam. Ia me
"Waalaikumsalam," jawab Dirga, lalu menutup panggilan teleponnya dengan raut wajah tegang. "Kenapa?" tanya Nada, yang duduk di sampingnya dengan cemas."Mbak Nina, dia belum pulang," kata Dirga. "Belum pulang?" tanya Ryan yang baru saja tiba di ruang tamu, wajahnya penuh tanya. Bukankah tadi ia sudah mengantarkan Nina sampai rumah? Ia bahkan melihat gadis itu yang masuk membuka pagar. Lantas, kenapa bisa belum pulang? "Iya..." Dirga menghela napas panjang. "Mama bilang, tadi kamu ngejar Mbak Nina, kan? Kekejar nggak?" tanya Dirga sambil menatap Ryan."Iya, tadi sempet ngobrol. Aku anter dia pulang, kok. Malah sampai depan pager. Aku lihat sendiri dia masuk," jelas Ryan, nadanya penuh kepastian."Hm?" Dirga mengernyitkan dahi, jelas-jelas bingung. "Tapi ibuku bilang Mbak Nina belum pulang," ucapnya, kemudian berdecak kesal. "Ck! Kenapa dia hobi banget bikin masalah," gumamnya, nada marah mulai terdengar di ujung kalimat."Ya udah, kamu cari, Mas. Ini udah mau maghrib," Nada menyaran
Nina menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang, seolah ingin melampiaskan semua beban yang menghimpit pikirannya. Tatapannya kosong, lurus menembus langit-langit kamar hotel yang dingin dan sunyi. Setelah lelah berkelana tanpa arah, tanpa tujuan yang pasti, ia akhirnya memutuskan untuk menginap di hotel. Setidaknya, untuk sementara waktu. Tempat ini mungkin tak memberi kedamaian, tapi cukup untuk menghindari masalah yang kini sedang ia hadapi.Tes.Setetes air mata yang tak tertahankan jatuh dari sudut matanya. Ia tak bisa menahan ingatan yang kembali menghantamnya—kejadian tadi sore, ketika sang Ibu memarahinya habis-habisan. Setiap kata yang ibunya katakan masih sangat terngiang, menusuk lebih dalam ke hatinya.Kring kring kring.Tiba-tiba, dering ponsel yang nyaring memecah keheningan kamar. Nina tersentak, lamunan yang membelenggunya seketika buyar. Dengan gerakan cepat, ia bangkit dan duduk bersila di atas ranjang. Tangannya gemetar sedikit saat ia meraih ponsel yang t
“Stop, stop stop!” pinta Dirga seraya menepuk bahu Ryan yang sedang mengemudikan mobil. Ryan lantas dengan cepat menghentikan laju mobilnya. "Apa sih, Ga?!" protes Ryan sembari terus mengusap pucuk kepalanya yang sedikit terbentur setir mobil tadi. "Mbak Nina? Aku lihat Mbak Nina." ucap Dirga langsung membuka pintu mobil dan keluar saat pandangannya tadi dengan tidak sengaja melihat seseorang yang ia yakini adalah kakaknya."Hm? Mbak Nina?" Ryan melihat ke arah yang Dirga maksud, setelah meyakini dengan benar jika yang Dirga lihat benar-benar Mbak Nina, ia juga langsung keluar dari mobil."Mbak? Mbak Ninaaaa?" teriak Dirga memanggil sang kakak. Nina yang sedang melangkah pelan langsung menghentikan langkah saat Dirga berteriak memanggil namanya. Wanita itu menoleh ke arah Dirga, lalu di detik selanjutnya dia langsung berbalik dan berlari pergi."Mbaaaak?" panggil Dirga lagi berteriak."Mbak??" Ryan ikut berteriak memanggil nama Nina."Haish." ucap Dirga saat melihat Nina berlari pe
“Karena terlalu fokus nyari Mbak Nina, aku jadi gak bisa kasih perhitungan sama perempuan ular Delisha!” ucap Dirga.Ryan menoleh sebentar, melihat Dirga yang duduk bersandar di sampingnya, ia lalu kembali menatap lurus pada jalanan lagi karena sedang menyetir, kemudian berkata, “Tenang saja, dia tidak akan lolos! Dia akan segera mendapatkan balasannya. Lagipula, kalaupun kabur, yakin saja akan ada balasan dari yang diatas. Aku percaya karma itu ada,” ucap Ryan.“Aku juga percaya setiap kejahatan ada balasannya. Kalau gak di dunia ya diakhirat, masalahnya aku ingin melihat kejahatan dia di balas di dunia!” “Kenapa? Padahal balasan akhirat itu lebih kejam,” sahut Ryan, “Udahlah, Ga. Berusaha ikhlas saja meski hatimu sakit karena kehilangan. Yakin saja, dia nanti pasti akan jatuh juga. Aku akan bantu kamu untuk menyelesaikan masalah dengan si Delisha juga nanti.” Dirga hanya mengembuskan napasnya kasar. Jujur saja, kebencian di hatinya pada Delisha kini besar sekali. Ia malah menyesal