“Stop, stop stop!” pinta Dirga seraya menepuk bahu Ryan yang sedang mengemudikan mobil. Ryan lantas dengan cepat menghentikan laju mobilnya. "Apa sih, Ga?!" protes Ryan sembari terus mengusap pucuk kepalanya yang sedikit terbentur setir mobil tadi. "Mbak Nina? Aku lihat Mbak Nina." ucap Dirga langsung membuka pintu mobil dan keluar saat pandangannya tadi dengan tidak sengaja melihat seseorang yang ia yakini adalah kakaknya."Hm? Mbak Nina?" Ryan melihat ke arah yang Dirga maksud, setelah meyakini dengan benar jika yang Dirga lihat benar-benar Mbak Nina, ia juga langsung keluar dari mobil."Mbak? Mbak Ninaaaa?" teriak Dirga memanggil sang kakak. Nina yang sedang melangkah pelan langsung menghentikan langkah saat Dirga berteriak memanggil namanya. Wanita itu menoleh ke arah Dirga, lalu di detik selanjutnya dia langsung berbalik dan berlari pergi."Mbaaaak?" panggil Dirga lagi berteriak."Mbak??" Ryan ikut berteriak memanggil nama Nina."Haish." ucap Dirga saat melihat Nina berlari pe
“Karena terlalu fokus nyari Mbak Nina, aku jadi gak bisa kasih perhitungan sama perempuan ular Delisha!” ucap Dirga.Ryan menoleh sebentar, melihat Dirga yang duduk bersandar di sampingnya, ia lalu kembali menatap lurus pada jalanan lagi karena sedang menyetir, kemudian berkata, “Tenang saja, dia tidak akan lolos! Dia akan segera mendapatkan balasannya. Lagipula, kalaupun kabur, yakin saja akan ada balasan dari yang diatas. Aku percaya karma itu ada,” ucap Ryan.“Aku juga percaya setiap kejahatan ada balasannya. Kalau gak di dunia ya diakhirat, masalahnya aku ingin melihat kejahatan dia di balas di dunia!” “Kenapa? Padahal balasan akhirat itu lebih kejam,” sahut Ryan, “Udahlah, Ga. Berusaha ikhlas saja meski hatimu sakit karena kehilangan. Yakin saja, dia nanti pasti akan jatuh juga. Aku akan bantu kamu untuk menyelesaikan masalah dengan si Delisha juga nanti.” Dirga hanya mengembuskan napasnya kasar. Jujur saja, kebencian di hatinya pada Delisha kini besar sekali. Ia malah menyesal
Dirga mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal, sesekali ia melihat ke arah kanan dan kiri berharap ia melihat Nina di pinggir jalan seperti kemarin malam. Ia dan Ryan sudah mencari Nina ke rumah teman-temannya Nina yang kemarin ia datangi, mencari dari rumah satu teman ke rumah temannya yang lain namun tetap saja nihil. Ternyata Nina tak berada di sana. "G? Kita kemana lagi sekarang?" tanya Ryan. Dirga sontak langsung melihat ke arah Ryan yang duduk di sebelahnya, ia menggeleng pelan kepalanya dan kembali menatap lurus lagi. Mereka sudah cukup lelah hari ini dan langit sudah sangat gelap. "Kita pulang aja. Kita cari besok lagi aja, ini udah malem, aku capek, Yan. Dari pagi kita cari gak ada hasil!” “Ayahmu ikut mencari juga, kan? Dia ada kasih kabar?” Dirga menggeleng. “Jadi mau pulang saja? Tapi besok aku tidak bisa ikut mencari. Aku sudah banyak izin bulan ini.” “Gak pa-pa, besok biar aku dan ayahku saja. Sekarang kita pulang saja dulu dan tidak usah mengkhawatirkan
Grep! “Apa?” tanya Nina dengan nada yang ketus saat Ryan berhasil meraih pergelangan tangannya. "Ikut dulu sebentar, kita perlu bicara." ucap Ryan."Apa yang mau dibicarain? Masalahnya udah beres!” ucap Nina."Masalah belum selesai, Mbak! Kita harus perbaiki sebelum nanti kamu sama Dirga sama-sama nyesel," ucap Ryan."Aku gak akan pernah nyesel! Aku udah minta maaf, udah mengikuti apa yang mereka mau! Jadi aku rasa aku gak akan pernah nyesel! Lagian kamu gak denger apa sama yang Dirga bilang tadi? Hubungan aku sama mereka udah selesai! Udahlah, kamu itu orang lain, gak usah peduli sama aku atau keluarga aku!” “Kamu memang bukan keluargaku, tapi aku peduli sama kamu, Mbak! Makanya aku kejar kamu sampe kesini!” ucap Ryan dengan nada suara yang cukup tinggi. “Kamu tau? Hati aku gak tenang terus mikirin kamu, Mbak! Aku gak tau perasaan macam apa ini tapi aku peduli sama kamu! Hati aku gak bisa tenang saat aku gak tau kamu ada di mana, keadaan kamu gimana, sudah makan atau belum, kamu
“Batu!” Nina yang mendengar umpatan Ryan itu sontak menghentikan langkah. Ia kembali menatap pria itu lagi. “Apa kamu bilang. Batu?” “Iya, kamu batu, Mbak! Kamu itu sudah melakukan kesalahan besar. Aturan tuh walau kena maki, kamu tetap berada di sisi mereka dan terus meminta maaf. Membuktikan pada mereka kalau kamu menyesal dan berubah. Bersikap baik pada mereka. Bukan malah kabur-kaburan kayak begini,” ucap Ryan dengan nada yang kesal, “Harusnya kamu memahami situasi. Kemarin adalah waktu yang masih panas dan genting, semua orang masih emosi dan kesal sama kamu karena baru saja kehilangan.” Ryan menarik napas sebentar. “Dan kamu? Sekarang malah menambah beban mereka! Nada yang harusnya di temani oleh Dirga setelah pulang dari rumah sakit, harus sendirian tanpa suami karena suaminya mencari kamu! Ibu kamu juga sejak kemarin terus khawatir! Ibu kamu marah itu hal yang wajar, dia kecewa sama kamu. Harusnya kamu memahami mereka semua! Bukan malah sama-sama keras seperti ini. Kam
"Sejak Nada masuk rumah sakit, ternyata Delisha nggak pernah muncul lagi di sekolah. Aku tanya sama guru lain, katanya dia resign karena urusan keluarga yang mendadak," ujar Dirga, “Aku yakin itu hanya alasan dia saja. Dia pasti kabur!” Ryan menyipitkan mata, tampak ada keresahan di balik tatapannya. "Kita kecolongan!" desisnya, "Lalu, kita harus bagaimana?" "Aku akan tetap coba cari dia," balas Dirga dengan suara yang semakin berat, mencerminkan amarah yang sudah mulai menggelegak di dalam dadanya. "Dia gak bisa seenaknya kabur tanpa mendapatkan balasan! Tanganku ini gatal ingin menampar dia!" Ryan menimbang-nimbang, lalu menyuarakan pikirannya, "Apa kita lapor polisi saja? Aku rasa polisi bisa dengan mudah menemukan dia." Dirga menggelengkan kepalanya pelan. "Nada tuh nggak mau ribet berurusan sama polisi," kata Dirga, "Dia hanya meminta aku untuk jangan berurusan lagi dengan Delisha dan lebih mempercayai dia daripada siapa pun. Dia juga meminta aku untuk jaga jarak saja dan ja
"Jadi tadi kamu sama Kak Ryan mencari Delisha? Tapi tidak bertemu karena dia pindah?" tanyanya, matanya penuh rasa ingin tahu setelah Dirga bercerita. Dirga yang baru saja memasukkan nasi ke mulutnya, mengangguk sambil menelan. "Iya, dia kabur!" jawabnya dengan nada kesal. Ia menghela napas panjang dan menatap lurus ke depan, matanya menyipit, penuh frustrasi. "Ah! Coba saja kalau kemarin Mbak Nina nggak kabur-kaburan, itu perempuan ular pasti sekarang sudah masuk penjara! Sayang banget. Kemarin kita terlalu fokus sama Mbak Nina sampai gak ada waktu untuk mengurusi wanita itu, dan dia berhasil kabur!" Nada tersenyum tipis mendengar kemarahan Dirga. "Ya udahlah, bagus kalau dia kabur. Itu artinya dia takut dan gak berani deketin kamu lagi. Gak berani menampakkan diri di hadapan kita lagi dan dia juga gak akan menggila lagi melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kamu. Aku jadi bisa bernapas dengan tenang dan hatiku juga lega gak perlu ketakutan lagi," jawab Nada dengan kedua tanga
Ryan tersenyum lebar sambil menatap Nina dengan penuh keyakinan. "Jadi gimana? Mau atau enggak? Kalo mau jawab mau, kalo enggak ya kamu harus mau. Ya masa kamu nolak laki-laki kayak aku begini, aku oke loh!" ucapnya dengan nada bercanda, tapi tetap serius. Nina hanya tertawa pelan, senyum geli menghiasi wajahnya. "Pffttt. Itu maksa namanya," balasnya, merasa terhibur dengan sikap percaya diri Ryan. Ryan tak kehilangan akal. "Cinta yang berawal dari paksaan biasanya akhirnya suka indah dan langgeng," katanya dengan nada penuh keyakinan. Dahi Nina seketika mengernyit, merasa heran. "Kata siapa?" tanyanya dengan nada penasaran. "Kata aku barusan," jawab Ryan cepat, seolah kalimat itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Nina mendengus pelan. "Ihh... dasar!" Ryan kembali mendesak, kali ini dengan nada lebih lembut tapi tetap penuh tuntutan. "Jadi mau apa enggak? Jawab kenapa sih, Mbak?" Nina hanya memberikan respons singkat, "Hmm..." sambil tersenyum tipis. Namun, Ryan tak memb
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara