“Karena terlalu fokus nyari Mbak Nina, aku jadi gak bisa kasih perhitungan sama perempuan ular Delisha!” ucap Dirga.Ryan menoleh sebentar, melihat Dirga yang duduk bersandar di sampingnya, ia lalu kembali menatap lurus pada jalanan lagi karena sedang menyetir, kemudian berkata, “Tenang saja, dia tidak akan lolos! Dia akan segera mendapatkan balasannya. Lagipula, kalaupun kabur, yakin saja akan ada balasan dari yang diatas. Aku percaya karma itu ada,” ucap Ryan.“Aku juga percaya setiap kejahatan ada balasannya. Kalau gak di dunia ya diakhirat, masalahnya aku ingin melihat kejahatan dia di balas di dunia!” “Kenapa? Padahal balasan akhirat itu lebih kejam,” sahut Ryan, “Udahlah, Ga. Berusaha ikhlas saja meski hatimu sakit karena kehilangan. Yakin saja, dia nanti pasti akan jatuh juga. Aku akan bantu kamu untuk menyelesaikan masalah dengan si Delisha juga nanti.” Dirga hanya mengembuskan napasnya kasar. Jujur saja, kebencian di hatinya pada Delisha kini besar sekali. Ia malah menyesal
Dirga mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal, sesekali ia melihat ke arah kanan dan kiri berharap ia melihat Nina di pinggir jalan seperti kemarin malam. Ia dan Ryan sudah mencari Nina ke rumah teman-temannya Nina yang kemarin ia datangi, mencari dari rumah satu teman ke rumah temannya yang lain namun tetap saja nihil. Ternyata Nina tak berada di sana. "G? Kita kemana lagi sekarang?" tanya Ryan. Dirga sontak langsung melihat ke arah Ryan yang duduk di sebelahnya, ia menggeleng pelan kepalanya dan kembali menatap lurus lagi. Mereka sudah cukup lelah hari ini dan langit sudah sangat gelap. "Kita pulang aja. Kita cari besok lagi aja, ini udah malem, aku capek, Yan. Dari pagi kita cari gak ada hasil!” “Ayahmu ikut mencari juga, kan? Dia ada kasih kabar?” Dirga menggeleng. “Jadi mau pulang saja? Tapi besok aku tidak bisa ikut mencari. Aku sudah banyak izin bulan ini.” “Gak pa-pa, besok biar aku dan ayahku saja. Sekarang kita pulang saja dulu dan tidak usah mengkhawatirkan
Grep! “Apa?” tanya Nina dengan nada yang ketus saat Ryan berhasil meraih pergelangan tangannya. "Ikut dulu sebentar, kita perlu bicara." ucap Ryan."Apa yang mau dibicarain? Masalahnya udah beres!” ucap Nina."Masalah belum selesai, Mbak! Kita harus perbaiki sebelum nanti kamu sama Dirga sama-sama nyesel," ucap Ryan."Aku gak akan pernah nyesel! Aku udah minta maaf, udah mengikuti apa yang mereka mau! Jadi aku rasa aku gak akan pernah nyesel! Lagian kamu gak denger apa sama yang Dirga bilang tadi? Hubungan aku sama mereka udah selesai! Udahlah, kamu itu orang lain, gak usah peduli sama aku atau keluarga aku!” “Kamu memang bukan keluargaku, tapi aku peduli sama kamu, Mbak! Makanya aku kejar kamu sampe kesini!” ucap Ryan dengan nada suara yang cukup tinggi. “Kamu tau? Hati aku gak tenang terus mikirin kamu, Mbak! Aku gak tau perasaan macam apa ini tapi aku peduli sama kamu! Hati aku gak bisa tenang saat aku gak tau kamu ada di mana, keadaan kamu gimana, sudah makan atau belum, kamu
“Batu!” Nina yang mendengar umpatan Ryan itu sontak menghentikan langkah. Ia kembali menatap pria itu lagi. “Apa kamu bilang. Batu?” “Iya, kamu batu, Mbak! Kamu itu sudah melakukan kesalahan besar. Aturan tuh walau kena maki, kamu tetap berada di sisi mereka dan terus meminta maaf. Membuktikan pada mereka kalau kamu menyesal dan berubah. Bersikap baik pada mereka. Bukan malah kabur-kaburan kayak begini,” ucap Ryan dengan nada yang kesal, “Harusnya kamu memahami situasi. Kemarin adalah waktu yang masih panas dan genting, semua orang masih emosi dan kesal sama kamu karena baru saja kehilangan.” Ryan menarik napas sebentar. “Dan kamu? Sekarang malah menambah beban mereka! Nada yang harusnya di temani oleh Dirga setelah pulang dari rumah sakit, harus sendirian tanpa suami karena suaminya mencari kamu! Ibu kamu juga sejak kemarin terus khawatir! Ibu kamu marah itu hal yang wajar, dia kecewa sama kamu. Harusnya kamu memahami mereka semua! Bukan malah sama-sama keras seperti ini. Kam
"Sejak Nada masuk rumah sakit, ternyata Delisha nggak pernah muncul lagi di sekolah. Aku tanya sama guru lain, katanya dia resign karena urusan keluarga yang mendadak," ujar Dirga, “Aku yakin itu hanya alasan dia saja. Dia pasti kabur!” Ryan menyipitkan mata, tampak ada keresahan di balik tatapannya. "Kita kecolongan!" desisnya, "Lalu, kita harus bagaimana?" "Aku akan tetap coba cari dia," balas Dirga dengan suara yang semakin berat, mencerminkan amarah yang sudah mulai menggelegak di dalam dadanya. "Dia gak bisa seenaknya kabur tanpa mendapatkan balasan! Tanganku ini gatal ingin menampar dia!" Ryan menimbang-nimbang, lalu menyuarakan pikirannya, "Apa kita lapor polisi saja? Aku rasa polisi bisa dengan mudah menemukan dia." Dirga menggelengkan kepalanya pelan. "Nada tuh nggak mau ribet berurusan sama polisi," kata Dirga, "Dia hanya meminta aku untuk jangan berurusan lagi dengan Delisha dan lebih mempercayai dia daripada siapa pun. Dia juga meminta aku untuk jaga jarak saja dan ja
"Jadi tadi kamu sama Kak Ryan mencari Delisha? Tapi tidak bertemu karena dia pindah?" tanyanya, matanya penuh rasa ingin tahu setelah Dirga bercerita. Dirga yang baru saja memasukkan nasi ke mulutnya, mengangguk sambil menelan. "Iya, dia kabur!" jawabnya dengan nada kesal. Ia menghela napas panjang dan menatap lurus ke depan, matanya menyipit, penuh frustrasi. "Ah! Coba saja kalau kemarin Mbak Nina nggak kabur-kaburan, itu perempuan ular pasti sekarang sudah masuk penjara! Sayang banget. Kemarin kita terlalu fokus sama Mbak Nina sampai gak ada waktu untuk mengurusi wanita itu, dan dia berhasil kabur!" Nada tersenyum tipis mendengar kemarahan Dirga. "Ya udahlah, bagus kalau dia kabur. Itu artinya dia takut dan gak berani deketin kamu lagi. Gak berani menampakkan diri di hadapan kita lagi dan dia juga gak akan menggila lagi melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kamu. Aku jadi bisa bernapas dengan tenang dan hatiku juga lega gak perlu ketakutan lagi," jawab Nada dengan kedua tanga
Ryan tersenyum lebar sambil menatap Nina dengan penuh keyakinan. "Jadi gimana? Mau atau enggak? Kalo mau jawab mau, kalo enggak ya kamu harus mau. Ya masa kamu nolak laki-laki kayak aku begini, aku oke loh!" ucapnya dengan nada bercanda, tapi tetap serius. Nina hanya tertawa pelan, senyum geli menghiasi wajahnya. "Pffttt. Itu maksa namanya," balasnya, merasa terhibur dengan sikap percaya diri Ryan. Ryan tak kehilangan akal. "Cinta yang berawal dari paksaan biasanya akhirnya suka indah dan langgeng," katanya dengan nada penuh keyakinan. Dahi Nina seketika mengernyit, merasa heran. "Kata siapa?" tanyanya dengan nada penasaran. "Kata aku barusan," jawab Ryan cepat, seolah kalimat itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Nina mendengus pelan. "Ihh... dasar!" Ryan kembali mendesak, kali ini dengan nada lebih lembut tapi tetap penuh tuntutan. "Jadi mau apa enggak? Jawab kenapa sih, Mbak?" Nina hanya memberikan respons singkat, "Hmm..." sambil tersenyum tipis. Namun, Ryan tak memb
Dirga yang baru saja pulang dari masjid setelah melaksanakan isya itu mendekati Nada yang duduk di atas sofa dengan mata menatap lurus ke arah televisi. Ia langsung duduk di samping Nada dan melingkarkan tangannya di pinggang Nada, kemudian menaruh kepalanya di bahu Nada juga. "Kebiasaan," ucap Nada. "Biarin," sahut Dirga. Cup Sebuah kecupan Dirga daratkan di atas pipi Nada, lalu kembali menaruh lagi kepalanya di bahu Nada. "Aku sayang banget sama kamu, jangan tinggalin aku ya ....” “Kamu gak akan aku tinggalin kalau gak bertingkah,” jawab Nada datar. "Tenang aja, Sayang. Aku pastikan setelah ini kita akan bebas dari bayang-bayang orang ketiga. Gak akan aku nakal lagi, aku takut kamu beneran pergi. Soalnya kalau gak ada kamu hidup aku gak bermakna banget.” "Masa? Jadi aku penting banget buat kamu?" tanya Nada. "Banget! Kamu sangat penting buat aku," ucap Dirga. "Aku gak akan pernah bisa ganti kamu dengan cinta yang lain, hanya kamu yang aku mau, aku gak akan pernah berhenti m