"Astaghfirullah," ucap Zayyan. Tangannya mengepal erat. Bibirnya yang biasanya lembut kini terkatup rapat, menahan emosi yang hampir tak terkendali.Nada yang melihat raut wajah sang kakak mulai berubah itu mulai tegang. Padahal niatnya mengadu hanya agar ia mempunyai dukungan dan kekesalan di hatinya lepas karena berhasil meluapkannya. Tetapi ternyata? Sepertinya sang kakak benar-benar marah. Ah, bukan sepertinya. Tapi memang sudah marah."Kamu tidak perlu khawatir," suara Zayyan akhirnya keluar, rendah namun tegas. "Mas marahin suamimu nanti! Kalau dia masih berani nyakitin kamu lagi dan gak percaya sama kamu, kamu ikut Mas aja. Gak akan Mas pulangin kamu ke dia lagi! Dikasih kesempatan bukannya memperbaiki, dia malah kembali melakukan kesalahan!" Amarah Zayyan semakin memuncak.Nada menelan saliva. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada rasa hangat yang mengalir di dadanya mendengar kakaknya siap membela, namun kekhawatiran perlahan merayap ke dalam pikirannya. Tangan Nada menggeng
Plak!Satu tamparan keras dari Marwah mendarat di pipi Nina, membuat gadis berusia 28 tahun itu terhenyak. Udara seakan membeku, dan suara benturan tangan Marwah dengan kulit Nina bergema dalam kesunyian. Tanpa bisa menahan, air mata Nina jatuh perlahan, mengalir di pipi yang kini memerah.Nina memegangi pipinya yang perih, tangannya gemetar, seakan berusaha menyerap rasa sakit fisik dan emosional yang mendadak menampar hatinya juga. Matanya yang basah menatap ibunya, namun kata-kata tak kunjung keluar dari bibirnya yang bergetar.Di sudut lain ruangan, Dirga duduk di atas lantai dingin, punggungnya bersandar pada tembok di dekat pintu kamar Nada. Pandangannya kosong, menatap lurus tanpa fokus, seolah terpaku pada kekosongan di depannya. Dirga tak menghiraukan amarah ibunya, juga tangisan Nina—seakan berada di dimensi yang berbeda. Padahal, tadi ia berniat pulang untuk meminta maaf pada Nada dan akan memperbaiki semuanya. Tetapi, sesampainya di rumah ia malah mendapat kabar dari teta
Ceklek.Pintu kamar rawat Nada terbuka, dan Ryan melangkah keluar. Tanpa suara, ia mendekati Dirga yang masih terduduk di atas lantai rumah sakit yang dingin, dengan tatapan kosong, seolah seluruh dunia telah berhenti di sekitarnya. Ryan duduk tepat di samping Dirga.“Kamu masuk, ajak dia bicara. Walau gak nanya kamu di mana, tapi aku bisa baca dari matanya kalau dia nyari kamu," ucap Ryan pelan, sambil menepuk bahu Dirga dengan lembut. Sentuhan itu membuat Dirga tersadar sejenak dari kekosongan yang melingkupinya, matanya langsung menatap Ryan dengan cemas. Dirga menundukkan kepalanya sejenak, lalu menggeleng perlahan. "Aku tidak berani, apa yang harus aku katakan pada Nada? Aku bingung… Aku tidak berani menatap wajahnya.” Suaranya terdengar putus asa, penuh kebingungan dan ketakutan. Ryan menatap Dirga dengan penuh pengertian. "Aku tau ini pasti sangat sulit buat kamu. Tapi, aku yakin, Ga, Nada lagi butuh kamu sekarang. Setidaknya temui dia dulu dan kuatkan dia.” Dirga menelan
Nada menatap suaminya dengan tatapan terkejut. "Kamu sudah tahu semuanya?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, tak menyangka bahwa kebenaran akhirnya terungkap.Dirga mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Nada. "Iya, Ryan udah kasih tau aku semuanya," jawabnya dengan nada lembut, penuh penyesalan.Dirga menarik napas dalam, menahan beban emosional yang menyesakkan dadanya. "Maafin aku. Harusnya aku lebih percaya sama kamu. Aku terlalu cepat emosi dan menuduh tanpa mencari tahu lebih dulu. Seharusnya aku seperti Ryan, mencari kebenaran. Harusnya..." Dirga menghentikan ucapannya sejenak, merasakan sesak di dadanya semakin kuat. "Nggak semestinya aku menuduh kamu berhubungan dengan Farhan. Aku baru tahu kalau yang mengantarkan kamu pulang dari bidan waktu itu adalah Ryan, bukan Farhan"Tatapan Nada tertuju pada suaminya, tapi dia masih terdiam. Pikirannya berputar, berusaha memahami situasi ini. Kata-kata maaf yang meluncur dari mulut Dirga seakan menjadi pelipur lara, tapi Nada belu
Nina berdiri tegak beberapa meter dari ruangan Nada, perasaannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan ketakutan. Ia tak berani menemui sang adik ipar, tapi bayangan wajah Nada yang terluka terus menghantui pikirannya. Hatinya penuh sesal, namun kakinya terasa berat untuk melangkah.Sebuah suara tiba-tiba menyentak lamunannya. "Ada baiknya kamu pulang," ucap Ryan dari belakang.Nina menoleh, matanya bertemu dengan pria yang jauh lebih tinggi darinya. Ia mendongak menatap Ryan yang berdiri dengan wajah serius dan sikap tegas."Keberadaan Mbak di sini hanya akan membuat suasana semakin tegang," lanjut Ryan, suaranya datar namun penuh makna.Jujur saja ia juga kesal pada Nina, kenapa wanita itu bisa berbuat sejahat itu? Tanpa mendengar penjelasan, dia langsung menuduh. Tetapi, ada sedikit tidak tega di dalam hatinya melihat wajah Nina yang terlihat mengkhawatirkan.Nina menelan ludah, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali mengangkat wajahnya dengan keyakinan. "Aku gak akan pergi
"Sudah aku bilang jangan keras kepala!" ucap Ryan dengan nada sarkastis, membuat Nina kembali menunduk lemah.Setetes air mata mengalir perlahan dari mata Nina, jatuh membasahi pipinya. Ryan berdiri satu langkah di depannya, berkacak pinggang dengan tatapan kesal.Ryan memalingkan wajah, mengembuskan napas berat. Rasa frustrasi memenuhi dadanya. Sejak tadi Nina begitu keras kepala, namun di saat yang sama, ada bagian dari dirinya yang tak tega melihat wanita itu terus-menerus dihujani kemarahan dari orang-orang terdekatnya.Dengan tatapan penuh kekecewaan, Ryan kembali menatap Nina yang masih menundukkan kepala. Dia tahu, air mata pasti telah membanjiri wajah Nina lagi.Dengan gerakan perlahan, ia merangkul tubuh Nina, menariknya hingga kepalanya bersandar di dadanya."Hiks... hiks..." Nina terisak lirih, air matanya semakin deras saat merasakan dekapan Ryan yang erat. Tangannya terangkat sedikit, namun ia terlalu lemah untuk melakukan apa pun selain menangis di dadanya. Ryan hanya di
Dirga tersenyum hangat, kemudian ia semakin mengeratkan pelukannya, memeluk sang istri dari arah samping. Ia bisa merasakan detak jantung Nada yang tenang.“Jangan tinggalin aku ya, Mas,” ucap Nada dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, seolah takut permintaan itu tak didengar. Dirga tertawa kecil sambil menggeleng pelan, lalu menatap sang istri penuh rasa sayang. “Mau sampai kapan ngomong kayak gitu? Mas nggak akan kemana-mana, dan nggak akan pernah ninggalin kamu. Mas cinta banget sama kamu,” ucap Dirga serius, meski nada suaranya tetap terdengar ceria.Nada tertawa kecil mendengar jawaban Dirga, “Lebay!”Dengan spontan, Dirga melepas pelukan dan menatapnya dengan ekspresi pura-pura kesal. Matanya menyipit, menampilkan raut wajah yang pura-pura marah. “Kenapa? Apa salahnya bilang cinta? Ini bukan lebay, tapi beneran! Kamu nggak tahu kan gimana frustasinya Mas waktu kamu kabur? Gimana terlukanya Mas waktu kita pisah dan berantem terus? Stress, tau!” balas Dirga dengan nada yan
Nina masih membisu, seolah kata-kata yang telah menumpuk di kerongkongannya tak mampu keluar. Suara teriakan Marwah menggema lagi, lebih keras kali ini, “Nina?!” Namun, tetap tak ada respons. Amarah Marwah semakin memuncak. Tubuhnya bergerak cepat, tangan kanannya terangkat tinggi, siap menghukum Nina dengan satu tamparan lagi. Nina, yang tahu apa yang akan terjadi, memejamkan mata dan menahan napas, bersiap menerima hukuman itu.Aisha memalingkan wajah, tak sanggup melihat adiknya diperlakukan begitu, tapi tak berani melawan ibunya. Sementara itu, Ryan, yang menyaksikan segalanya dengan pandangan geram, tidak bisa lagi hanya diam. Dalam satu gerakan cepat, ia melangkah ke depan dan memegang pergelangan tangan Marwah, menghentikan tamparan yang hampir mendarat di wajah Nina."Tante boleh marah, tapi jangan dengan terus melukai anak sendiri," kata Ryan dengan nada tegas namun penuh rasa hormat. “Saya tahu apa yang Mbak Nina lakukan sangat fatal, bahkan tak termaafkan. Tapi memukul da
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se
"Apa maksudnya keluarga? Jangan aneh-aneh ya, kamu! Pergi kamu dari sini!" usir Marwah dengan nada yang ketus. Raut wajahnya terlihat merah padam menahan marah. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Sudah ditolak, masih saja mengejar anakku. Punya malu dong!" "Cih!" Delisha mengalihkan pandangan ke arah lain dan mendecih sinis. Ia juga nampak tersenyum smirk, senyuman jahat nampak terlihat begitu jelas di wajahnya. "Kamu tuh ada masalah apa sih sama aku, Sha? Kamu gak capek apa terus ganggu hidup aku? Aku tuh capek tau ngadepin kamu terus," sahut Nada bersuara. Pandangan Delisha lantas beralih pada Nada. "Sampai mati pun aku akan terus ada di sekitaran kamu, Nad. Aku akan terus menjadi bayang-bayang kamu dan akan terus mengganggu kamu," jawab Delisha, kali ini ia tidak memasang senyuman smirk, tapi senyumnya nampak terlihat sangat manis. Sayangnya, senyuman manis itu malah membuat Nada ngeri melihatnya. "Aku akan terus ada dalam pandanganmu, Nad," lanjutnya lagi. "Teruslah bermimpi,
"Dia di sini?" gumam Dirga saat membaca pesan dari Ryan yang mengatakan jika Delisha kini sedang berada di ruangan yang sama dengannya. "Kenapa, Mas?" tanya Nada saat dengan tak sengaja mendengar gumaman Dirga. Dirga lantas memperlihatkan layar ponselnya pada Nada seraya berkata, "Ryan bilang kalau Delisha ada di sini," jawab Dirga. "Delisha ada di sini? Mau apa di ke sini?" Nada bertanya walau ia tahu jika sang suami pasti tidak tahu jawabannya. "Mas? Bagaimana kalau dia buat masalah di sini." "Kamu jangan jauh-jauh dari aku," ucap Dirga mulai meraih telapak tangan Nada dan menggenggamnya. "Aku curiga dia datang ke sini mau berulah. Dia sama sekali tidak diundang, terus tiba-tiba ada di sini, jelas ini aneh, kan?" Nada diam sebentar sebelum akhirnya menjawab, otaknya nampak bekerja keras hingga akhirnya ia berkata, "Mas? Aku rasa saat aku tidak sengaja melihat dia di rumah sakit tempo hari itu, dia juga pasti melihat aku. Ada kemungkinan dia tahu aku ke dokter kandungan dan dia
"Yakin yang Nada dan ibumu lihat itu Delisha?" tanya Ryan setelah mendengar cerita yang baru saja Dirga katakan padanya. Dirga mengangguk. "Nada bilang kalau dia yakin itu Delisha, dan dia bilang kalau ibuku juga yakin kalau itu Delisha. Cuma ya belum pasti saja si Delisha itu datang ke rumah sakit untuk menemui dokter kandungan atau ke dokter spesialis yang lain." "Perlukah ku cari tahu?" Dirga menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak usah, untuk apa? Dia bukan urusan kita. Untuk apa kita mengurusi hidup dia? Kita juga punya kesibukan masing-masing. Semisal dia betulan ke dokter kandungan, ya sudah ... kenapa memangnya? Mungkin dia sudah menikah, kan? Atau, semisal dia ke dokter spesialis yang lain, ya biarkan saja. Mungkin dia sakit dan sedang memeriksakan diri. Tidak usah pedulikan dia." "Ya memang, aku juga tidak peduli dia datang ke rumah sakit untuk apa. Tapi masalahnya kita bisa meminta pertanggung jawaban dia atas apa yang dia lakukan pada Nada. Dia membodohi kita dan secara