Nina berdiri tegak beberapa meter dari ruangan Nada, perasaannya terombang-ambing antara rasa bersalah dan ketakutan. Ia tak berani menemui sang adik ipar, tapi bayangan wajah Nada yang terluka terus menghantui pikirannya. Hatinya penuh sesal, namun kakinya terasa berat untuk melangkah.Sebuah suara tiba-tiba menyentak lamunannya. "Ada baiknya kamu pulang," ucap Ryan dari belakang.Nina menoleh, matanya bertemu dengan pria yang jauh lebih tinggi darinya. Ia mendongak menatap Ryan yang berdiri dengan wajah serius dan sikap tegas."Keberadaan Mbak di sini hanya akan membuat suasana semakin tegang," lanjut Ryan, suaranya datar namun penuh makna.Jujur saja ia juga kesal pada Nina, kenapa wanita itu bisa berbuat sejahat itu? Tanpa mendengar penjelasan, dia langsung menuduh. Tetapi, ada sedikit tidak tega di dalam hatinya melihat wajah Nina yang terlihat mengkhawatirkan.Nina menelan ludah, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali mengangkat wajahnya dengan keyakinan. "Aku gak akan pergi
"Sudah aku bilang jangan keras kepala!" ucap Ryan dengan nada sarkastis, membuat Nina kembali menunduk lemah.Setetes air mata mengalir perlahan dari mata Nina, jatuh membasahi pipinya. Ryan berdiri satu langkah di depannya, berkacak pinggang dengan tatapan kesal.Ryan memalingkan wajah, mengembuskan napas berat. Rasa frustrasi memenuhi dadanya. Sejak tadi Nina begitu keras kepala, namun di saat yang sama, ada bagian dari dirinya yang tak tega melihat wanita itu terus-menerus dihujani kemarahan dari orang-orang terdekatnya.Dengan tatapan penuh kekecewaan, Ryan kembali menatap Nina yang masih menundukkan kepala. Dia tahu, air mata pasti telah membanjiri wajah Nina lagi.Dengan gerakan perlahan, ia merangkul tubuh Nina, menariknya hingga kepalanya bersandar di dadanya."Hiks... hiks..." Nina terisak lirih, air matanya semakin deras saat merasakan dekapan Ryan yang erat. Tangannya terangkat sedikit, namun ia terlalu lemah untuk melakukan apa pun selain menangis di dadanya. Ryan hanya di
Dirga tersenyum hangat, kemudian ia semakin mengeratkan pelukannya, memeluk sang istri dari arah samping. Ia bisa merasakan detak jantung Nada yang tenang.“Jangan tinggalin aku ya, Mas,” ucap Nada dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, seolah takut permintaan itu tak didengar. Dirga tertawa kecil sambil menggeleng pelan, lalu menatap sang istri penuh rasa sayang. “Mau sampai kapan ngomong kayak gitu? Mas nggak akan kemana-mana, dan nggak akan pernah ninggalin kamu. Mas cinta banget sama kamu,” ucap Dirga serius, meski nada suaranya tetap terdengar ceria.Nada tertawa kecil mendengar jawaban Dirga, “Lebay!”Dengan spontan, Dirga melepas pelukan dan menatapnya dengan ekspresi pura-pura kesal. Matanya menyipit, menampilkan raut wajah yang pura-pura marah. “Kenapa? Apa salahnya bilang cinta? Ini bukan lebay, tapi beneran! Kamu nggak tahu kan gimana frustasinya Mas waktu kamu kabur? Gimana terlukanya Mas waktu kita pisah dan berantem terus? Stress, tau!” balas Dirga dengan nada yan
Nina masih membisu, seolah kata-kata yang telah menumpuk di kerongkongannya tak mampu keluar. Suara teriakan Marwah menggema lagi, lebih keras kali ini, “Nina?!” Namun, tetap tak ada respons. Amarah Marwah semakin memuncak. Tubuhnya bergerak cepat, tangan kanannya terangkat tinggi, siap menghukum Nina dengan satu tamparan lagi. Nina, yang tahu apa yang akan terjadi, memejamkan mata dan menahan napas, bersiap menerima hukuman itu.Aisha memalingkan wajah, tak sanggup melihat adiknya diperlakukan begitu, tapi tak berani melawan ibunya. Sementara itu, Ryan, yang menyaksikan segalanya dengan pandangan geram, tidak bisa lagi hanya diam. Dalam satu gerakan cepat, ia melangkah ke depan dan memegang pergelangan tangan Marwah, menghentikan tamparan yang hampir mendarat di wajah Nina."Tante boleh marah, tapi jangan dengan terus melukai anak sendiri," kata Ryan dengan nada tegas namun penuh rasa hormat. “Saya tahu apa yang Mbak Nina lakukan sangat fatal, bahkan tak termaafkan. Tapi memukul da
Tap tap tap. Ryan berjalan cepat, hampir berlari, mengejar Nina yang sudah berjalan jauh dari rumah. Langkahnya tergesa, sementara pikirannya dipenuhi kecemasan. Dari kejauhan, ia melihat sosok Nina semakin menjauh."Mbaaaak?" teriak Ryan, suaranya parau. Ia memanggil nama kecil Nina, berharap itu bisa menghentikannya. Namun Nina tetap melangkah, punggungnya tegak, enggan menoleh meskipun hatinya pasti remuk.Langkah Ryan semakin cepat dan dengan satu gerakan sigap tangannya berhasil meraih pergelangan Nina. Seketika, Nina menghentikan langkahnya. Ia menoleh perlahan, menatap Ryan dengan mata yang sudah penuh air mata. Pipinya basah, jejak kesedihan tak mampu ia sembunyikan. Melihatnya begitu, hati Ryan mencelos, semakin tak tega melihat gadis yang itu terluka begitu dalam.Entah apa yang salah dengan hatinya, tapi melihat Nina yang demikian, membuatnya tak tega."Huuhhh..." Ryan mengembuskan napas berat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tanpa banyak bicara, ia menarik Nina ke d
Ckiiittt…Dirga menghentikan mobilnya dengan halus di halaman rumah. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera keluar dari mobil dan berjalan cepat ke arah pintu penumpang di mana Nada terduduk.Ceklek."Ck... Aku bilang kan diem dulu," ucap Dirga saat melihat Nada sudah membuka pintu mobil lebih dulu sebelum ia sempat melakukannya."Cuma buka pintu mobil doang," balas Nada santai sambil turun. "Gak perlu dibukain segala. Aku bukan putri raja atau anak konglomerat,” tambahnya, berjalan perlahan menuju rumah.“Tapi kan kamu ratu di rumah ini, permaisurinya aku.” “Kalau begitu jangan biarkan si penggoda masuk dan hancurin istana kita.” “Pffttt … Kayak lagu,” jawab Dirga terkekeh pelan. “Ya emang, bakalan terjadi juga kalau kamu beneran masukin penggoda.” “InsyaAllah sekarang gak akan, Sayang,” jawab Dirga.“Nanti?” “Nanti juga gak akan. Pasti,” jawab Dirga. Ia langsung merangkul dan memapahnya. "Bisa jalan gak? Mau Mas gendong?" tawarnya dengan nada perhatian."Isshh... aku bukan lansia
Pukul 17.30 Marwah tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di depan pintu utama rumah. Raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran, sesekali ia melirik ke arah luar dengan harapan melihat sosok putrinya, muncul di ujung jalan. "Mah? Ngapain mondar-mandir di situ?" tanya Aisha dari arah tangga, suaranya lembut namun sedikit cemas. Ia segera berjalan mendekati ibunya, ikut merasakan kegelisahan yang tampak jelas di wajah Marwah. "Nina... Kok belum pulang, ya?" ucap Marwah dengan suara pelan, namun jelas penuh kekhawatiran. Ia teringat ucapannya tadi sore selepas adzan ashar, ketika ia secara tidak langsung mengusir Nina dalam emosi yang tak terkendali. Ada ketakutan besar di hatinya—takut kalau Nina menanggapi serius kata-katanya dan memilih untuk benar-benar tidak pulang. Marwah merasakan hatinya semakin berat dengan kecemasan itu. Aisha melihat jam dinding di ruang tamu, jarum pendek di jam tersebut berada di antara angka lima dan enam, sementara jarum panjang tepat di angka enam. Ia me
"Waalaikumsalam," jawab Dirga, lalu menutup panggilan teleponnya dengan raut wajah tegang. "Kenapa?" tanya Nada, yang duduk di sampingnya dengan cemas."Mbak Nina, dia belum pulang," kata Dirga. "Belum pulang?" tanya Ryan yang baru saja tiba di ruang tamu, wajahnya penuh tanya. Bukankah tadi ia sudah mengantarkan Nina sampai rumah? Ia bahkan melihat gadis itu yang masuk membuka pagar. Lantas, kenapa bisa belum pulang? "Iya..." Dirga menghela napas panjang. "Mama bilang, tadi kamu ngejar Mbak Nina, kan? Kekejar nggak?" tanya Dirga sambil menatap Ryan."Iya, tadi sempet ngobrol. Aku anter dia pulang, kok. Malah sampai depan pager. Aku lihat sendiri dia masuk," jelas Ryan, nadanya penuh kepastian."Hm?" Dirga mengernyitkan dahi, jelas-jelas bingung. "Tapi ibuku bilang Mbak Nina belum pulang," ucapnya, kemudian berdecak kesal. "Ck! Kenapa dia hobi banget bikin masalah," gumamnya, nada marah mulai terdengar di ujung kalimat."Ya udah, kamu cari, Mas. Ini udah mau maghrib," Nada menyaran